Setelah Selena mengucapkan kalimat itu, dia melempar ponselnya ke samping dan mengikuti arahan Dokter Mona."Nyonya, aku nggak mungkin melakukan operasi dalam kondisi seperti ini, jadi kamu harus melakukannya sendiri. Kamu harus segera melahirkan bayinya. Kalau nggak, mereka berdua bisa meninggal karena kurang oksigen. Dorong sekuat tenaga, mulut rahimnya sudah terbuka."Selena merasakan kepala bayinya turun. Mungkin karena kehilangan cairan ketuban yang membungkus tubuh mereka, kedua bayi itu bergerak tidak teratur dalam perutnya.Mereka bergerak bagai ikan terdampar di pantai dan meronta-ronta di ambang kematian, serupa dirinya."Sayang, kalian harus bertahan. Ayah akan segera datang menjemput kalian. Kalian baik-baik saja. Semua pasti baik-baik saja. Ada Ibu di sini, Ibu nggak akan menyerah. Kalian juga nggak boleh menyerah."Walaupun dia sudah pernah melalui hal ini, saat mengalaminya kembali, dia hanya ketakutan jika penderitaannya ini akan lebih besar dari sebelumnya.Seluruh tub
"A-apa?""Mungkin mereka kehabisan napas saat keluar. Nyonya, jangan terlalu sedih. Bayi yang baru enam bulan di kandungan akan sulit bertahan hidup meski lahir dengan selamat. Sekarang, yang terpenting tetap kesehatanmu. Kamu masih muda, masih punya kesempatan punya anak lagi," jelas Dokter Mona perlahan."Nggak. Aku nggak percaya anakku pergi begitu saja. Aku sudah susah payah mengandung mereka. Aku ...""Nyonya, pembunuhnya akan segera datang, kita harus segera pergi dari sini.""Nggak, nggak bisa! Aku nggak bisa meninggalkan anak-anakku begitu saja."Dokter Mona tidak bisa mengurus lebih jauh dari itu. Perintah yang diterimanya hanyalah melindungi Selena, kemudian anak-anaknya.Ketika Selena dan anaknya berada dalam bahaya pada saat yang bersamaan, prioritas pertamanya adalah Selena."Nyonya, maafkan aku."Dokter Mona segera menggendong Selena di punggungnya. Selena melihat dua orang bayi tanpa suara yang ditinggal di atas pakaian. Air mata bercampur air hujan pun mengalir deras di
"Nyonya, jangan berpikir macam-macam. Tuan Harvey akan segera tiba. Toh, semua ini sudah tugas kami. Entah apa pun yang terjadi, kami harus melindungimu!""Terima kasih, Dokter Mona. Aku sangat berterima kasih kamu telah merawatku beberapa bulan ini."Ucapan Selena yang terdengar di saat-saat seperti ini membuat Dokter Mona merasa sangat tidak tenang."Nyonya, jangan menyerah. Kita pasti bisa kabur, aku yakin.""Kabur? Mau kabur ke mana lagi?"Selena menatap ke arah langit yang gelap. Dinginnya air hujan memukuli wajahnya tanpa belas kasihan."Sebenarnya, aku tahu kalau hidup ayahku sudah nggak lama lagi. Dia bisa bertahan hidup hingga saat ini hanya berkat alat dan obat-obatan. Lagi pula, keinginannya supaya tetap hidup sudah hilang sejak lama," jelas Selena dengan perasaan putus asa."Nyonya ...""Dokter Mona, temanku pernah berkata, aku seperti mentari kecil yang terang sinarnya, tapi cahaya di tubuhku perlahan padam dan cuma kegelapan yang menyelimutiku. Aku pernah lama sekali berj
Selena berlari seorang diri, terjebak dalam kegelapan.Anak-anaknya, di mana anak-anaknya?Selena hanya meremat satu tujuan di kepalanya, segera temukan anaknya dan jangan biarkan mereka ketakutan sendirian.Selena terus berlari tanpa henti dalam waktu yang sangat lama, hingga secercah cahaya seketika hadir di depan matanya. Lantas, dia berdiri di atas padang rumput.Di ujung padang rumput, ada sebuah jembatan dari pelangi. Di seberangnya, kabut tengah menyelimuti.Mungkinkah anak-anaknya ada di sana?Perlahan, di seberang jembatan pelangi, sosok Lian pun hadir.Lian tampak cantik mengenakan gaun yang hari itu dipakai untuk pergi menjemputnya di bandara. Seperti biasa, dia melambaikan tangannya pada Selena."Lian!" panggil Selena.Rasa bahagia menyelimuti hati Selena. Tanpa ragu, dia berlari menuju jembatan pelangi. Ketika kakinya hampir menginjak jembatan itu, tiba-tiba terdengar dua suara anak kecil."Ibu!"Selena pun berbalik dan melihat dua bayi yang lucu. Seorang anak lelaki yang
Jiwa Selena telah runtuh total. Anak-anaknya menjadi pukulan terakhir yang merobohkan batinnya.Betapa Selena sangat menanti-nantikan kelahiran sang anak, sebesar itulah rasa sedih dan putus asanya sekarang.Air mata dan darah pun jatuh bersamaan. Selena berlutut di atas tempat tidur, mencengkeram rambutnya keras-keras. "Harvey, kamu harusnya biarkan aku mati saja. Hidup ini terlalu pahit!" teriaknya.Selena tidak bisa berpikir. Dia kehabisan alasan untuk hidup.Selena merasa, dirinya adalah pembawa sial. Dia hanya menyeret kesialan untuk orang-orang di sekitarnya.Sekali lagi, Harvey memeluk tubuh Selena. "Mau tahu alasanku menyelamatkanmu? Baiklah, sekarang akan kuberi tahu kenapa."Sambil berbicara, Harvey berlutut, memasangkan sepatu dan kaus kaki untuk Selena, kemudian dia mendekap dan menggendong tubuhnya."Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Selena keheranan."Sebentar lagi kamu tahu," jawab Harvey singkat.Harvey membawanya ke salah satu ruang rawat inap, diperuntukkan sebagai k
Di lantai tiga bawah tanah.Pintu lift terbuka, seketika disergap udara dingin.Harvey melepas jaket dan memakaikannya di atas tubuh Selena. Di sini tidak sehangat di atas.Selena baru pertama kali pergi ke tempat seperti ini. Rasanya berbeda dari yang tersaji di film dan acara televisi.Lampu di lorong sangat terang, tetapi cahaya putih menyilaukan yang memantul di dinding itu membuat suasana makin suram.Di depan pintu ruang mayat, seorang pria tua berdiri seraya menunggu kedatangan Selena usai mendapat perintah dari atasan."Tuan Harvey, Nyonya, meskipun jenazahnya sudah dihias, tapi namanya juga jenazah, pasti nggak terlalu bagus untuk dilihat. Kalian harus siap secara mental."Selena dengan suara tercekat berkata, "Buka pintunya."Pintu terbuka, Selena melihat jenazah yang ditutupi kain putih.Harvey menjelaskan, "Aku masih menutupi beritanya untuk saat ini. Keluarganya belum diberi tahu."Selena berjalan menuju jenazah itu langkah demi langkah. Dia tak sadarkan diri selama tiga h
Ada terlalu banyak emosi negatif terpendam dalam hati Selena. Harvey pun tahu, Selena masih sangat lemah saat ini dan emosi yang terlalu intens akan berdampak tidak baik untuknya.Harvey lebih takut dengan apa yang akan terjadi jika dia terus menahan perasaannya. Jadi, dia biarkan Selena melepaskan perasaannya.Selena menangis sangat lama, hingga suaranya serak dan air matanya sampai mengering dan tak menetes lagi. Kakinya yang menekuk untuk berlutut telah mati rasa.Selena terisak dalam pelukan Harvey. Harvey tidak berkata apa-apa, hanya membelai halus punggungnya.Usai cukup lama waktu berlalu, Harvey merasakan suasana hati Selena berangsur-angsur stabil. Lantas, dia membantunya berdiri.Selena mengubah kesedihan dan kemarahan menjadi kekuatan. Harvey benar, tidak seharusnya dia mencari kematian.Justru itu akan menggembirakan pelaku di balik semua ini. Dia ingin hidup, hidup dengan baik, supaya Selena bisa menampar balik segala macam penderitaan pada orang itu.Selena menyeka air ma
Ketika Selena terbangun, hari sudah malam dan dia mendengar isak tangis dari lorong.Matanya terbuka, tetapi belum sepenuhnya tersadar. Selena tidak bergerak, hanya menatap kosong ke arah langit-langit.Semuanya terasa semu, bagai bergerak dalam mimpi.Harvey menatapnya dengan mata berwarna merah dan suaranya terdengar sangat serak. "Seli, kamu sudah bangun."Melihat wajah Harvey yang pucat dan kuyu, tanpa ragu pun Selena tahu, dia belum tidur beberapa hari karena menjaganya tanpa istirahat.Beberapa hari ini, Selena hanya mengandalkan cairan infus tanpa makan apa pun. Ketika bibirnya kering, Harvey menggunakan kapas basah untuk melembapkannya.Setelah bangun, mulutnya hampir tidak bisa terbuka. Hanya bola matanya yang bergerak."Kamu mau sesuatu? Kalau haus atau lapar, beri tahu aku.""Aku haus ..."Setelah mendengar Selena yang mengajukan permintaan, Harvey tampak bahagia dan segera bangkit.Lekas bergerak tanpa memperhatikan dirinya yang belum istirahat beberapa hari berturut-turut