Alex menatap penuh dendam pada wanita di depannya. Matanya mendelik, berusaha mengintimidasi lawan yang tak berefek apa pun. Bukan tanpa alasana kenapa dia bersikap demikian, tapi sungguh Alex sudah sangat jengkel pada wanita di depannya ini. Dia benar-benar tersiksa menghadapi Mulan dan segala keinginannya.
Sementara sang pelaku, Mulan tetap memasang wajah tenang, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia balas menatap Alex dengan tajam, tidak peduli bahwa lelaki di depannya tengah mati-matian berusaha sabar. “Ganti!” Sekali lagi dia berucap penuh penekanan.
Alex menggeleng, menolak perintah wanita yang seperti ratu ini. Beberapa hari ini wanita itu memang suka memerintah, tanpa mau menerima penolakan. Dengan alibi hamil dan tetek bengeknya, hidup Alex seakan dijajah.
“Alex ...”
“Mulan, please. Aku baru ganti pakaian. Parfum ini juga masih baru.” Alex merengek juga, berusaha meluluhkan hati wanita hamil yang sekeras batu itu
Keadaan Joe makin membaik. Pria itu sudah sadar dalam tahap pemulihan. Hanya Kriss yang masih kritis dan belum bisa dikunjungi banyak orang. Bahkan anak-anaknya harus bergantian masuk ke dalam dengan pakaian steril yang sudah disiapkan. Maya tidak berhenti menangis. Meratapi keadaan yang sangat menyedihkan baginya. Dia pikir pulangnya akan disambut dengan pelukan hangat sang ayah. Mendapatkan senyuman hangat ketiga kakaknya seperti biasa. Namun, harapannya melenceng. Maya tidak berhenti terisak dalam pelukan Juan. Pria yang sudah menemaninya beberapa hari ini, bahkan sang kakak tidak sedikit pun beranjak dari sampingnya. Maya jelas tidak membuang momen ini begitu saja. Setengah hatinya merasa senang mendapatkan Juan dalam pelukannya. Kakak yang sudah lama ditaksirnya. Tiba-tiba, Maya merasa mual. Dia membekap mulutnya. Aroma obat yang menyengat masuk ke dalam hidung dan semakin membuatnya mual. Perutnya bergejolak, seakan sesuatu mendesak untuk segera dikelua
Juan merasa Tuhan sedang menegurnya. Dia yang sempat ragu pada wanita itu hampir saja kehilangan Maya, bahkan makhluk kecil yang sedang tumbuh di dalam perut wanita itu. Jelas dia syok. Bahkan hampir tak mempercayai apa yang sudah dokter jelaskan. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memeriksa ulang, takut ada kesalahan atau data pasien yang tertukar. Hal yang jelas tidak mungkin terjadi. Namun saat itu Juan memang dalam mode ‘bodoh’-nya. Dia tidak bisa berkedip menatap perut wanita itu. Ada senyum haru yang terbit di bibirnya. Tidak ada keraguan dalam hatinya. Jelas itu adalah hasil mereka beberapa minggu lalu. Apalagi dia ingat bagaimana dirinya yang melepaskan semuanya di rahim hangat Maya. Tanpa pengaman, tanpa halangan. Mereka terlalu larut saat itu. Juan pun tidak memikirkan akan secapat ini mereka memiliki buah hati. Namun dia tidak menyesal sama sekali. Dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya segera di depan keluarganya. Kini mengetahui kehamilan Maya
Robin kembali datang ke tempat ini. Langkahnya masih seberat sebelumnya, tatapannya masih sendu seperti terakhir kali kemari. Rasa sesak dan sedihnya belum pulih. Padahal ini sudah lewat berminggu-minggu setelah kepergian wanita itu. Nyatanya penyesalan membuat kesedihannya tak berujung. Tiba di depan gundukan dengan nisan bertuliskan nama mantan istrinya, kakinya melemah, seakan tenaganya tersedot dan lumpuh seketika. Robin menatap nanar pada nisan di makam itu. Tangannya terulur dan mengelusnya di sana. “Maaf,” bisiknya dengan nada suara yang pelan, sarat akan kesedihan yang mendalam. “Maaf tidak pernah membuat kamu bahagia selama pernikahan kita seperti janjiku di depan pendeta.” Robin menunduk, seakan tidak berani menatap nisan itu. Meski Lucy sudah menyakitinya dengan sangat dalam, nyatanya perasaan cinta itu tidak juga pudar. Malah Robin merasa perasaannya masih sama besar seperti dulu. Robin hanya marah dan kecewa pada wanita itu. Dia tidak ber
Di kamarnya, Maya tak berhenti tersenyum. Dia mengeluarkan sebuah kotak yang sejak dulu disimpan dengan rapi. Di dalam kotak itu terdapat banyak barang-barang pemberian Juan padanya.Maya mengeluarkan salah satunya, sebuah liontin hadiah ulang tahunnya yang ke-17 tahun. Entah kapan jelasnya, mungkin perasaannya mulai beda sejak waktu itu. Sejak Maya melihat sang kakak dalam balutan jas berwarna kream, mengucapkan selamat ulang tahun dengan suara yang sangat merdu di telinganya.Saat itu Maya merasa sang kakak adalah Dewa Yunani. Sangat tampan, memesona, dan berhasil menarik perasaan cintanya untuk pertama kali. Sejak itu, Maya seakan berikrar hanya akan mencintaimu Juan, pertama dan terakhir. Hanya pria itu yang layak menjadi kekasih dan masa depannya.Maya tersenyum sendiri. Selain itu, ada album foto yang semuanya berisi foto-foto Juan. Beberapa gambar bahkan sengaja dipotong dan menyisakan dirinya dan pria itu. Tersenyum di depan kamera, meski wajah sang kaka
Juan benar-benar bingung dengan perasaannya. Dia yang membopong Mulan masuk ke ruang perawatan dan menunggunya di sana, bahkan tidak sedikitpun beranjak keluar meski beberapa dokter sudah menyuruhnya. Juan tetap kekeuh menunggu, mengamati para dokter yang menangani wanita itu. Sementara tatapannya sesekali jatuh pada perut Mulan yang masih rata, dia bahkan tidak menyangka ada calon makhluk hidup yang berkembang di sana.“Bagaimana?” Juan langsung bertanya, menatap dokter tersebut dengan menuntut.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nyonya Mulan sepertinya kurang asupan dan istirahat, belum lagi dia sedikit tertekan yang berakibat pada kandungannya.”Juan mendengarkan dengan baik. Memasang telinga dan mencerna sebaik mungkin apa yang didengarnya. Keadaan Mulan pasti berhubungan dengan penyekapannya dan juga masalah ini. Juan kembali melihat wanita itu yang tampak damai dalam tidurnya. Langkahnya semakin mendekat hingga tiba di samping ran
Tanpa sadar, Maya memundurkan langkah, membuat pelukan Juan terlepas begitu saja. Pandangan wanita itu tampak tak fokus, Maya seakan kehilangan arah, kehilangan pegangan setelah mendengar rentetan berita yang membuat jiwanya tertarik lepas. Apalagi saat telinganya menangkap gumaman Juan yang semakin menusuk hatinya.“Mulan?” beonya, mengulang berkali-kali nama yang sudah sangat akrab di telinganya.Maya memang ingin bertemu dengan Mulan. Namun, bukan seperti ini caranya. Dia hanya ingin meminta maaf dan menjalin pertemanan dengan benar. Namun, kedatangan Mulan dan bagaimana perasaan Juan yang sangat kuat pada wanita itu, jelas tidak bisa Maya anggap remeh. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat. Mulan tidak boleh kembali dan berada di sekitar Juan yang kembali gamang dengan perasaannya.“Di mana dia?” tanya Maya, menatap lekat sang kakak yang tampak kacau.Juan tampak menarik napas panjang. Ditanya seperti itu, dia kembali m
Mendapatkan tamu tak diundang jelas bukan hal yang menyenangkan, apalagi bila tamu itu adalah orang yang tidak ingin ditemui. Mulan hanya diam, menatap sang tamu dengan tatapan kurang bersahabat. Bahkan Alex yang sejak tadi berada di dekatnya tak dia hiraukan.Maya, si tamu yang dimaksud sudah berdiri tegap di samping ranjang di mana Mulan beristirahat. Wanita yang dihindari Mulan sebisa mungkin malah datang dan mengagetkannya sesaat.“Hmm, aku keluar saja,” kata Alex yang merasa suasana mulai tegang. Dua wanita yang saling menatap lelat tanpa kata itu sama-sama butuh waktu. Tidak ada jawaban, Alex tetap keluar dan memberi waktu sebanyak mungkin.Sampai suara pintu terdengar, suara helaan napas panjang terdengar berikutnya. Maya yang sejak tadi berdiri, berjalan dan duduk di tempat Alex tadi. Tepat di samping Mulan. Dia memperhatikan setiap inci tubuh Mulan dengan seksama.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Mulan seaka
“Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan Mulan,” gumam Maya pelanDia pulang dalam keadaan kesal, tidak ada hasil yang didapatkannya. Jangankan menyuruh Mulan pergi, Maya pun belum mendapatkan jawaban atas siapa ayah dari anak yang dikandung Mulan. Meski sebenarnya, tanpa bertanya pun Maya yakin siapa ayahnya.Tiba di rumah, Maya segera masuk ke dalam kamarnya. Tidak ada bayangan Juan di sana, mungkin pria itu sudah pergi ke kantor. Maya mendengus, cinta yang terlalu besar membuatnya hampir gila. Dia selalu merasa ketakutan setiap detiknya. Tidak sanggup rasanya bila kehilangan pria itu.Lagi, Maya mendesah panjang. Dia merobohkan tubuhnya tengkurap di ranjang empuknya. Matanya terpejam, merasakan beban pikirannya yang semakin menumpuk rasanya.Tanpa disadari, seseorang sudah menyelinap masuk ke dalam. Mengunci pintu tanpa suara, dan menghampiri keberadaan Maya yang masih bertahan di posisinya.Orang tersebut memperhatikan setiap inc