Juan merasa Tuhan sedang menegurnya. Dia yang sempat ragu pada wanita itu hampir saja kehilangan Maya, bahkan makhluk kecil yang sedang tumbuh di dalam perut wanita itu. Jelas dia syok. Bahkan hampir tak mempercayai apa yang sudah dokter jelaskan. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memeriksa ulang, takut ada kesalahan atau data pasien yang tertukar. Hal yang jelas tidak mungkin terjadi. Namun saat itu Juan memang dalam mode ‘bodoh’-nya. Dia tidak bisa berkedip menatap perut wanita itu. Ada senyum haru yang terbit di bibirnya.
Tidak ada keraguan dalam hatinya. Jelas itu adalah hasil mereka beberapa minggu lalu. Apalagi dia ingat bagaimana dirinya yang melepaskan semuanya di rahim hangat Maya. Tanpa pengaman, tanpa halangan. Mereka terlalu larut saat itu. Juan pun tidak memikirkan akan secapat ini mereka memiliki buah hati. Namun dia tidak menyesal sama sekali. Dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya segera di depan keluarganya.
Kini mengetahui kehamilan Maya
Robin kembali datang ke tempat ini. Langkahnya masih seberat sebelumnya, tatapannya masih sendu seperti terakhir kali kemari. Rasa sesak dan sedihnya belum pulih. Padahal ini sudah lewat berminggu-minggu setelah kepergian wanita itu. Nyatanya penyesalan membuat kesedihannya tak berujung. Tiba di depan gundukan dengan nisan bertuliskan nama mantan istrinya, kakinya melemah, seakan tenaganya tersedot dan lumpuh seketika. Robin menatap nanar pada nisan di makam itu. Tangannya terulur dan mengelusnya di sana. “Maaf,” bisiknya dengan nada suara yang pelan, sarat akan kesedihan yang mendalam. “Maaf tidak pernah membuat kamu bahagia selama pernikahan kita seperti janjiku di depan pendeta.” Robin menunduk, seakan tidak berani menatap nisan itu. Meski Lucy sudah menyakitinya dengan sangat dalam, nyatanya perasaan cinta itu tidak juga pudar. Malah Robin merasa perasaannya masih sama besar seperti dulu. Robin hanya marah dan kecewa pada wanita itu. Dia tidak ber
Di kamarnya, Maya tak berhenti tersenyum. Dia mengeluarkan sebuah kotak yang sejak dulu disimpan dengan rapi. Di dalam kotak itu terdapat banyak barang-barang pemberian Juan padanya.Maya mengeluarkan salah satunya, sebuah liontin hadiah ulang tahunnya yang ke-17 tahun. Entah kapan jelasnya, mungkin perasaannya mulai beda sejak waktu itu. Sejak Maya melihat sang kakak dalam balutan jas berwarna kream, mengucapkan selamat ulang tahun dengan suara yang sangat merdu di telinganya.Saat itu Maya merasa sang kakak adalah Dewa Yunani. Sangat tampan, memesona, dan berhasil menarik perasaan cintanya untuk pertama kali. Sejak itu, Maya seakan berikrar hanya akan mencintaimu Juan, pertama dan terakhir. Hanya pria itu yang layak menjadi kekasih dan masa depannya.Maya tersenyum sendiri. Selain itu, ada album foto yang semuanya berisi foto-foto Juan. Beberapa gambar bahkan sengaja dipotong dan menyisakan dirinya dan pria itu. Tersenyum di depan kamera, meski wajah sang kaka
Juan benar-benar bingung dengan perasaannya. Dia yang membopong Mulan masuk ke ruang perawatan dan menunggunya di sana, bahkan tidak sedikitpun beranjak keluar meski beberapa dokter sudah menyuruhnya. Juan tetap kekeuh menunggu, mengamati para dokter yang menangani wanita itu. Sementara tatapannya sesekali jatuh pada perut Mulan yang masih rata, dia bahkan tidak menyangka ada calon makhluk hidup yang berkembang di sana.“Bagaimana?” Juan langsung bertanya, menatap dokter tersebut dengan menuntut.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nyonya Mulan sepertinya kurang asupan dan istirahat, belum lagi dia sedikit tertekan yang berakibat pada kandungannya.”Juan mendengarkan dengan baik. Memasang telinga dan mencerna sebaik mungkin apa yang didengarnya. Keadaan Mulan pasti berhubungan dengan penyekapannya dan juga masalah ini. Juan kembali melihat wanita itu yang tampak damai dalam tidurnya. Langkahnya semakin mendekat hingga tiba di samping ran
Tanpa sadar, Maya memundurkan langkah, membuat pelukan Juan terlepas begitu saja. Pandangan wanita itu tampak tak fokus, Maya seakan kehilangan arah, kehilangan pegangan setelah mendengar rentetan berita yang membuat jiwanya tertarik lepas. Apalagi saat telinganya menangkap gumaman Juan yang semakin menusuk hatinya.“Mulan?” beonya, mengulang berkali-kali nama yang sudah sangat akrab di telinganya.Maya memang ingin bertemu dengan Mulan. Namun, bukan seperti ini caranya. Dia hanya ingin meminta maaf dan menjalin pertemanan dengan benar. Namun, kedatangan Mulan dan bagaimana perasaan Juan yang sangat kuat pada wanita itu, jelas tidak bisa Maya anggap remeh. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat. Mulan tidak boleh kembali dan berada di sekitar Juan yang kembali gamang dengan perasaannya.“Di mana dia?” tanya Maya, menatap lekat sang kakak yang tampak kacau.Juan tampak menarik napas panjang. Ditanya seperti itu, dia kembali m
Mendapatkan tamu tak diundang jelas bukan hal yang menyenangkan, apalagi bila tamu itu adalah orang yang tidak ingin ditemui. Mulan hanya diam, menatap sang tamu dengan tatapan kurang bersahabat. Bahkan Alex yang sejak tadi berada di dekatnya tak dia hiraukan.Maya, si tamu yang dimaksud sudah berdiri tegap di samping ranjang di mana Mulan beristirahat. Wanita yang dihindari Mulan sebisa mungkin malah datang dan mengagetkannya sesaat.“Hmm, aku keluar saja,” kata Alex yang merasa suasana mulai tegang. Dua wanita yang saling menatap lelat tanpa kata itu sama-sama butuh waktu. Tidak ada jawaban, Alex tetap keluar dan memberi waktu sebanyak mungkin.Sampai suara pintu terdengar, suara helaan napas panjang terdengar berikutnya. Maya yang sejak tadi berdiri, berjalan dan duduk di tempat Alex tadi. Tepat di samping Mulan. Dia memperhatikan setiap inci tubuh Mulan dengan seksama.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Mulan seaka
“Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan Mulan,” gumam Maya pelanDia pulang dalam keadaan kesal, tidak ada hasil yang didapatkannya. Jangankan menyuruh Mulan pergi, Maya pun belum mendapatkan jawaban atas siapa ayah dari anak yang dikandung Mulan. Meski sebenarnya, tanpa bertanya pun Maya yakin siapa ayahnya.Tiba di rumah, Maya segera masuk ke dalam kamarnya. Tidak ada bayangan Juan di sana, mungkin pria itu sudah pergi ke kantor. Maya mendengus, cinta yang terlalu besar membuatnya hampir gila. Dia selalu merasa ketakutan setiap detiknya. Tidak sanggup rasanya bila kehilangan pria itu.Lagi, Maya mendesah panjang. Dia merobohkan tubuhnya tengkurap di ranjang empuknya. Matanya terpejam, merasakan beban pikirannya yang semakin menumpuk rasanya.Tanpa disadari, seseorang sudah menyelinap masuk ke dalam. Mengunci pintu tanpa suara, dan menghampiri keberadaan Maya yang masih bertahan di posisinya.Orang tersebut memperhatikan setiap inc
Maya lekas membuka pintu hingga memperlihatkan sang kakak keduanya yang sudah berdiri di sana. Maya berusaha memasang wajah tenang, meski gemuruh di dadanya tak mau berhenti. Dalam hati dia meyakinkan diri berharap tidak ada yang mencurigakan dari penampilannya.“Kakak?” sapa Maya dengan senyum tipisnya.“Boleh masuk?”Maya mengangguk. Ada kerutan samar di keningnya melihat Julian yang tampak tak biasa. Senyum pria itu bahkan terasa sangat dipaksakan. Maya makin bingung saat pria itu banyak diam dan hanya menghembuskan napas kasar.“Kenapa, Kak?” tanya Maya lebih dulu. Mulai tidak sabar dengan keterdiaman sang kakak.“Kamu kenal Mulan?” tanya Julian dengan nada rendahnya.'Mulan lagi,' rutuk Maya dengan kekesalannya. Dia mulai sedikit curiga dengan sikap sang kakak. Dia memberikan anggukan kaku, menunggu maksud pertanyaan sang kakak. “Juan sempat menceritakan tentang dia.”
“Tunggu!” teriak Juan yang sudah mencekal Mulan lebih dulu.Mulan yang sejak tadi berlari tak tentu arah, menghentikan kakinya dengan tubuh tegang. Dia kira sejak tadi yang mengejarnya adalah Alex, tapi kenapa malah Juan yang kini berdiri tegap di depannya. Ke mana perginya Alex?Mulan berusaha menarik lengannya yang masih dicekal Juan, tapi pria itu seakan tidak ingin melepaskannya dengan mudah.“Lepas.”“Sebenarnya apa yang ada di pikiran kamu! Kamu tidak ingat sedang hamil, kenapa harus lari-larian,” omel Juan yang sejak tadi merasa khawatir. Padahal niatnya ingin berkata halus dan dan membujuk wanita itu, tapi tetap saja, rasa khawatir malah membuatnya kesal.Juan sudah menahan diri untuk tidak memeluk Mulan saat ini. Bagaimanapun, Juan tahu etikanya. Mulan pasti akan risih bila dirinya terlalu agresif.“Kamu baru saja sembuh. Jangan membahayakan kandunganmu,” lanjutnya karena belum mendapa
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
Mulan yang ingin masuk ke dalam kamar, terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menatap Juan yang tiba-tiba berdiri di samping pintu tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pria itu di sana. Mungkin Mulan terlalu asyik melamun sampai tak menyadari hal tersebut. “Bisa bicara?” Mendengar pertanyaan pria itu, Mulan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar. “Di dalam saja,” katanya, sekaligus mempersilahkan Juan masuk. Juan mengikuti Mulan ke dalam. Duduk di single sofa panjang yang membawa mereka dalam kebisuan. Belum ada yang angkat bicara. Juan masih mengamati seluruh ruangan, menghapal setiap sisi kamar wanita itu dalam kepalanya. Sedangkan Mulan memilih diam dan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Jujur saja dia masih sedikit canggung berdua dengan Juan. Sisi jalangnya selalu meronta, apalagi dengan hormon sialan ini. Rasanya Mulan ingin mengulang kejadian terakhir mereka. Saling menyentuh, saling memuaskan. Buru-buru Mulan meng