Di tengah kendaraan yang berlalu lalang, suara bisik mesin dari segala arah. Zora melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sesekali dia memperhatikan dan melirik matanya sendiri.
Penampilannya sudah berubah, dia memakai sweater oversize berwarna abu dengan kacamata bulat serta rambut diikat kuncir kuda yang cukup tinggi, dilengakapi dengan poni yang menutupi alisnya. Itu adalah penampilannya dalam kehidupan normal jika profesinya sebagai pembunuh bayaran dikesampingkan.Zora masih dalam perjalanan akan kembali ke apartemen miliknya yang terletak di pinggir kota yang jauh dari pemukiman, daerah itu sudah tidak berpenghuni karena 2 tahun lalu pernah di landa banjir. Hanya ada beberapa pengemis dan tunawisma yang menjadi penghuninya.Sesampainya Zora di halaman apartemen, dia memarkirkan mobilnya di depan gedung apartemen 3 lantai yang sudah usang kerena tidak memiliki basement, apartemennya terletak di lantai atas bangunan tua itu.Karena apartemen itu juga tidak memiliki lift, Zora sudah terbiasa naik turun tangga, saat memasuki bangunan yang sudah tua dan usang itu, Zora disambut dengan pemandangan usang dengan cat yang terkelupas dan balkon yang retak disetiap lantai yang ia lewati.Sesampainya di apartemen yang ia tinggali, walaupun tampilan luar dari apartemen sangat memprihatinkan itu tampak berbeda dengan bagian dalammnya. Itu cukup terawat dan terlihat sangat rapi didalamnya, mungkin Zora merenovasi apartemen tersebut demi kenyamanan dirinya.Zora meletakan kunci mobilnya lalu bergegas kekamar mandi, beberapa saat ia memasuki kamar mandi terdengar bunyi ponsel dari dalam, karena suasana cukup sepi jadi sangat mudah suara ponsel menjangkau seluruh ruangan."Berisik sekali" lirih Zora dengan mata terpejam.Karena risih dengan bunyi ponsel yang tak kunjung berhenti, akhirnya Zora mengakhiri kegiatannya. Ia bergegas memakai kimono miliknya lalu menghampiri ponselnya.Tertera nomor yang tidak ia kenal namun Zora bisa menebak siapa yang menelponnya tanpa henti tidak peduli kapan dan dimana keadaannya."Ada apa Hann?" ucap Zora dengan nada kesal begitu dia menerima panggilan itu."Kenapa kamu melakukan hal yang begitu sembrono?" terdengar suara yang asing dibalik ponsel itu."Memangnya apa yang sudah kulakukan?" Zora bertanya balik dengan memutar bola matanya tak peduli."Tidak usah berpura-pura bodoh, aku tau kau yang melakukannya." ujarnya.Namun Zora hanya diam tak menjawab, ia lalu mengambil hair dryer di sampingnya dan memakainya."Zora, apa kau mendengarku? kenapa kau sampai membunuhnya? Orang yang kau bunuh adalah salah satu orang kepercayaan Nyonya Clara. Kalau sampai Nyonya Clara tau kau yang membunuhya kau akan mendapatkan teguran nanti." jelas orang yang dibalik ponsel itu dengan nada suara yang sedikit meninggi."Lagian si Clara itu belum tau, dan dia tidak akan pernah tau. Kenapa Han marah dengan hal sepele seperti itu." balas Zora memelas."Haahhh, Zora aku melakukan ini untuk kebaikannmu. Memang sekarang Nyonya Clara belum tau, hanya masalah waktu sebelum ia mendengar informasinya." terang pria itu."Baiklah, baik. Aku tidak akan mengulanginya lagi." kilah Zora dengan acuh tak acuh."Han sangat bawel." ledek Zora."Ap."Belum sempat suara itu terdengar Zora langsunng mematikan ponselnya. Sedangkan pria yang ada di balik ponsel hanya bisa geleng-geleng kepala.'Apa yang harus kulakukan dengan anak ini.' gumam pria yang dipanggil Han.Han merupakan orang yang memperkenalkan Zora kepada organisasi sekaligus orang yang merawat dan melatih Zora sebagai pembunuh, selama ini dia selalu mengawasi Zora dalam melakukan misi kerena takut jika ada kesalahan yang dilakukan oleh Zora. Sehingga hal itu akan berakibat fatal bagi organisasi.Namun ketakutannya adalah omong kosong belaka, dia yang melatih Zora pun kaget kalau anak itu sangat berbakat dalam melakukan misi tanpa melakukan kesalahan sedikitpun. Tetapi satu yang menjadi kekurangan Zora adalah dia tidak mau bekerja sama dan tidak mau memiliki rekan.Zora merupakan orang yang sangat independen, tidak suka diperintah oleh siapapun kecuali Han orang yang telah membesarkannya. Bahkan pemimpin organisasi sekalipun tidak mampu mengaturnya, oleh karena itu Han mengambil tanggung jawab atas misi dari Zora."Bagaimana keadaan tubuh Sam?" tanya Hanzo kepada asistennya."Hampir seluruh tubuhnya hangus terbakar, tetapi ada beberapa organ yang bisa diambil" jawab asisten yang bernama Agra."Bukankah anak itu terlalu kejam?" keluh Han frustasi."Itu adalah hasil didikkan anda tuan." sahut Agra dengan santai."Tetapi aku tidak pernah mengajarinya bertindak tanpa berpikir begini." ujar Han."Kalau begitu salahkan saja tuan Sam yang telah menjual informasi sembarangan." timpal Agra."Kenapa kau selalu membela anak kurang ajar itu?" kesal Han yang melihat asistennya yang selalu memberikan alasan untuk tidak menyalahkan Zora atas tindakannya."Itu karena memang nona tidak bersalah." tangkas Agra lagi."Ya sudahlah, aku akan memaafkannya kali ini." Han pasrah, karena hal itu sudah terjadi maka ia harus memikirkan tindakan untuk kedepannya.'Bukankah tuan selalu memafkan nona' gumam Agra."Lalu kirimkan misi baru untuknya, misi kali ini dia pasti akan kesulitan karena berkaitan dengan orang yang sangat berpengaruh di Negara ini. Jika dia mengalami kesulitan dia akan meminta pertolongan dariku, hehehe." pinta Han dengan antusias.Han yang sudah cukup lama bersama dengan Zora, bisa dikatakan Han sudah menemani dan melihat dia tumbuh besar. Sehingga perlahan timbul naluri seorang ayah, Han ingin Zora bergantung dan meminta tolong padanya dan tidak suka kalau Zora hidup mandiri dan melupakannya.Oleh karena itu Han sering memberikan misi yang diluar kemampuan Zora, tetapi Zora selalu saja berhasil walaupun hampir kehilangan nyawanya."Ahhh, jangan lupa jual organnya, hasil penjualan masukan sebagai bayaran misi Atas nama Zora" lanjut Sam."Baik tuan, tetapi saya tidak bisa melakukan dengan cepat karena akan terlacak oleh pihak Nonya Clara." ucap Agra memberi alasan."Tinggal kau cuci saja uangnya, ini bukan pertama kalinya untukmu." cetus Han."Tapi tuan."Han menatap Agra dengan tatapan dingin, karena tidak suka dibantah.Agra menelan ludah, tanpa pikir panjang Agra langsung mengangguk dan pergi meninggalkan seorang diri untuk melakukan tugasnya dengan cepat....Zora sedang duduk santai di sofa berwarna hijau lumut di ruang tamu apartemennya sambil menonton berita ditelevisi, tak lama kemudia bel dari apartemennya berbunyi.Zora tahu kalau itu bukan tamu, karena tidak ada orang yang tahu bahwa dia tinggal di apartemen lusuh itu selain Han dan Agra asistennya. Dengan antusias ia berlari ke arah pintu karena mengira Han yang datang mengunjunginya.Ketika dia membuka pintu tidak ada seorangpun disana, Zora melirik kanan dan kiri tetap saja tidak ada seorangpun yang terlihat. Dia menundukan kepalanya dan melihat ada paper bag yang berisi makanan.Itu adalah paket yang dikirim Han untuknya, pengiriman memang disamarkan dengan paper bag makanan. Untuk menghindari kecurigaan dan pemeriksaan, karena tidak ada yang tau apa yang akan terjadi.
Metode itu hanya digunakan oleh Han seorang, hal itu ia lakukan untuk menghindari mata yang mengawasinya yaitu Nyonya Clara orang yang sudah menjadi pemimpin dari organisasi sejak 2 tahun lalu.
Zora mengambil paper bag dengan pasrah, itu pasti informasi dari misi baru yang diberikan padanya. Dengan perasaan kecewa karena tidak bertemu Han dia masuk kembali ke dalam apartemennya sambil membuka paper bag tersebut."Yah, setidaknya dia tidak melupakan makanan favoritku." gumam Zora, sambil meneguk jus yang sudah ia siapkan.Setelah Zora memeriksa dan melihat semua isi dari paper bag, ada 2 kotak makanan favorit Zora yaitu kue macaron yang berasal dari Prancis dan 1 gelas dark choco drink. Lalu Zora dengan cepat menyantap kue favoritnya, hingga satu kotak yang berisi 6 kue bulat dengan varian rasa yang berbeda itu habis. Sedangkan 1 kotak yang tersisa ia simpan di kulkas karena tidak mampu menghabiskannya sekaligus. Waktu mengisi perut sudah habis, kini dia beralih kepekerjaanya. Dia memeriksa gelas minumannya, di bagian bawah gelas itu ada flashdisk yang sengaja ditempelkan. Flashdisk berukuran kecil yang berisi terkait misi yang akan diberikan padanya. Tanpa pikir panjang Zora langsung menyalakan leptop miliknya dan memeriksa isi dari flashdisk itu, disana ada beberapa foto dan informasi pribadi dari target kali ini. Ada juga foto orang-orang yang menjadi keluarga dan orang terdekat target. 'Jadi ini misi pembunuhan?' batik Zora. "Ini cukup merepotkan karena membutuhkan waktu." gumam Zora. Di dalam
"Huufftt akhirnya selesai." lirih Satya sembari meregengkan tubuhnya yang lelah karena dari pagi dia sudah duduk memeriksa dokumen yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tok tok tok. Terdengar ketukan pintu, Satya sedang bersandar dikursinya sambil memejamkan mata tidak bereaksi. Beberapa saat kemudia Andika masuk dan dia melihat Satya sedang tidur dikursinya. 'Tuan muda pasti sangat kelelahan' batin Andika. "Tuan muda, mohon untuk bersiap-siap. Sudah waktunya kita berangkat." ucap Andika membangunkan Satya dengan sedikit menggoyangkan tubuhnya. "Tuan, saya sudah menyediakan setelan jas yang akan tuan muda kenakan. Ayo cepat bangun." ucap Andika dengan nada suara yang sedikit meninggi. Andika tidak bisa membiarkan Satya beristirahat, karena malam ini ada jadwal penting yaitu makan malam dengan ayah Satya dan seluruh keluarga akan menghadiri acara malam itu. "Aku sangat malas bertemu dengan kedua kakakku." keluh Satya. "Walaupu begitu anda harus tetap hadir tuan, kalau tidak tuan
Satu persatu anggota keluarga memasuki kediaman, tuan dan nyonya rumah belum menunjukan diri. Kedua orang tersebut masih sibuk dengan urusan masing-masing, tuan besar sibuk dengan pekerjaan dan nyonya besar sibuk dengan kegiatan sosialita. "Halo tuan, para tuan muda sudah datang. Mereka sedang menunggu kehadiran tuan besar." ucap Jeev setelah menghubungi majikannya untuk mengabari bahwa ketiga putranya sudah hadir. "Baiklah, sebentar lagi aku sampai." setelah mengatakan hal itu William yang ada dibalik telepon itu langsung mengakhiri telepon. "Baik tuan." balas Jeev. Seusai menelpon Jeev berjalan keruang tamu untuk menjamu para tuan muda yang sudah berkumpul. William Arga Bintara adalah ayah dari Satya sekaligus orang yang memimpin perusahaan Bintara Grup, sebetar lagi dia akan memasuki masa pensiun dan sedang mempersiapkan untuk menyerahkan posisinya pada salah satu putranya yang di anggap mampu olehnya. William orang yang sangat dingin, tidak pandai menunjukan perasaannya bahka
Pagi hari yang cerah menyambut matahari dan seolah mengusir gelapnya malam, Zora bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan untuk interview. Dia memakai baju formal yang sesuai dengan kriteria seorang karyawan kantoran. Zora menghadap cermin memperhatikan pantulan dirinya dari atas sampai bawah, dia berpikir masih ada yang kurang dari penampilannya lalu meraih laci di sampingnya dan mangambil sebuah kacamata dan memakainya. "Sempurna" gumam Zora. Setelah selesai dengan urusan penampilan, Zora berangkat keperusahaan dengan mengendarai mobil pribadinya. Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke perusahaan jadi Zora berangkat lebih awal karena jam intervewnya pukul sembilan. Sesampainya didepan gedung Zora memperhatikan area sekitarnya dengan saksama lalu melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki gedung itu dan berjalan menuju resepsionis. Zora dia antar keruangan tunggu karyawan. Ada banyak orang yang melamar di perusahaan di berbagai macam posisi, tetapi berbeda dengan posis
Klikkk... Ada 3 orang memasuki ruang tunggu, diantara nya ada Satya yang akan mewawancarai para pelamar, Zora memperhatikan orang-orang yang memasuki ruangan. Mata Zora langsung tertuju kepada satu orang yaitu Satya, dia terlihat mencolok dan sangat mudah menarik perhatian dengan penampilannya. Wibawanya sebagai seorang direktur dapat terlihat dari bagaimana cara ia berjalan, dengan dagu terangkat dan terlihat sangat arogan. Zora mengamatinya dari atas sampai bawah dan berfikir misinya kali ini tidak akan mudah untuk dilakukan, walaupun selama ini tidak ada misi yang dapat dianggap mudah. Ketiganya menduduki kursi masing-masing, didepan mereka sudah tersedia data-data terkait para pelamar, mata Zora tetap hanya fokus pada Satya seorang. Satya yang merasa ada yang memperhatikannya langsung mengangkatnya. Mata keduanya bertemu, dengan cepat Zora memberikan senyuman ramah. "Kamu maju kedepan.!" pinta Satya menunjuk ke arah Zora. "Saya?" tanya Zora menunjuk dirinya sendiri. Tanpa
Satya kembali sibuk dengan urusan kantor, dan ada Andika yang membantunya dengan setia keluar masuk ruangan setiap kali Satya memanggil. Lagi-lagi pikiranya terbayang-bayang tentang Zora yang ia lihat tadi pagi. Alasan Satya memanggil Zora untuk interview karena dia sedikit penasaran tentang dirinya. Untuk pertama kalinya dia tahu ada seorang wanita yang mau bekerja dan melamar sebagai pengawal.Setelah melihat CV yang dikirim Zora, terlintas dipikiran Satya bahwa wanita ini sangat unik dan memiliki bakat. Menurut pengalaman dan pemahaman Satya tentang wanita tidak pernah terbayangkan akan ada wanita yang bekerja sebagai tukang pukul. Wanita hanya peduli tentang penampilan dan fokus untuk mempercantik diri. Bagaimana seorang wanita bisa mendapatkan begitu banyak sertivikat beladiri, berbagai macam dugaan yang Satya pikirkan tentang Zora salah satunya adalah kemungkinan CV itu dipalsukan.Akhirnya Satya memutuskan untuk memanggilnya untuk interview kerja dan memastikan apakah dugaa
"Tuan, bajunya sudah siap." ucap pelayan yang baru memasuki kamar Satya setelah mengetuk pintu, dan Satya hanya menangguk. Pelayan itu dengan tenang meninggalkan kamar Satya, Satya dengan rambut basah dan masih memakai kimono melihat kearah cermin dan menatap lekat bayangan dirinya. "Apa karena aku tampan?" gumam Satya dengan satu alisnya yang terangkat. "Tidak masuk akal, dia pasti hanya kagum." bantahnya lagi lalu memakai vitamin pada rambutnya. Satya masih memikirkan tentang Zora yang selalu memperhatikannya kemarin, dia tidak bodoh hingga tidak menyadari ada orang yang memperhatikan dirinya. Hanya saja dia tidak mengerti dan tidak dapat menebak apa arti dari tatapan Zora, wajahnya yang kaku benar-benar mengganggu pikiran Satya. Entah kenapa wanita itu sangat mengganggu dan membuat Satya tidak bisa fokus. Tidak mau membuang waktu dengan memikirkan wanita itu lagi, Satya dengan cepat memakai baju yang sudah disiapkan pelayannya dan bersiap untu berangkat kekantor. Dan seperti
Melihat Zora datang Alan berniat memerasnya dengan kejadian pagi ini, dimana dia mendapatkan cidera. Alan berpikir Zora datang karena takut kehilangan pekerjaannya, bagaimanapun Zora membuat keributan dihari pertamanya. "Haha, jackpot." batin Alan dengan wajah berbinar begitu dia melihat Zora menghampirinya sambil menundukan kepalanya. Tetapi kebingungan yang menimpa Zora saat ini tidak mampu mandengar ucapan Alan yang menyambut dengan makian didepannya. Suara yang ia dengar meyakinkannnya untuk tidak ragu dalam membunuh, itu bukan pertama kali dia mendengarnya. Alan memiliki emosi kurang stabil dan cepat dipenuhi amarah, dengan wajah yang merah padam Alan mengangkat tangannya lalu dengan kasar menampar pipi Zora. Dia tidak terima diabaikan oleh wanita seperti Zora, bagaimanapun Alan berpikir harus memberi wanita ini pelajaran. Zora tersentak oleh tamparan yang dilayangkan pada pipinya, seketika wajahnya mengeras dan sadar dari lamunannya. Ternyata sejak memasuki ruangan itu Zora
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi
Bagaikan aliran air yang mengalir tanpa henti, waktu berlalu begitu cepat.Sudah satu bulan berlalu begitu saja, Zora bekerja dan beradaptasi dengan baik di kantor Satya. Walaupun ada beberapa orang tidak suka dan senang menjahilinya, namun dia memilih tetap diam mengabaikan dan tak membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Begitu juga Satya selama satu bulan tidak datang mencari ataupun menanyakan kabarnya. Seolah tidak pernah saling mengenal, Satya hilang tak mencarinya seperti awal saat mereka bertemu, bahkan saat mereka berpapasan dikantor Satya langsung membuang muka dengan sombongnya. 'Sebenarnya aku mengharapkan dia lebih menyukaiku sedikit lebih lama.' batin Zora. Zora berpikir ketertarikan Satya padanya hanya bersifat sementara. Yah itu memang tidak mungkin bertahan lama, mereka bertemu belum lama ini dan Satya sekarang mungkin sudah merasa bosan pikir Zora. Selama satu bulan penuh Zora tidak pernah memikirkan rencana untuk misinya, dia hanya fokus mendengarkan
'Apa aku harus ikut mengantri juga?' batin Satya sambil melirik jam tangannya, mengangkat kepalanya menatap antrian panjang yang membentang di depannya. Dengan alis berkerut, Satya memejamkan matanya dan memantapkan pikirannya yang enggan mengantri. Mau tidak mau dia harus ikut mengantri, tidak mungkin untuk menerobos antrian hanya karena dia seorang direktur. Itu akan menimbulkan masalah nantinya. Setelah mengantri selama waktu 20 menit akhirnya tiba giliran Satya dan Zora di belakangnya, Satya memperhatikan makanan yang berderetan di depannya, ditangannya sudah ada nampan berwarna perak dan bagian isi yang berbeda bentuk dengan kesan yang sederhana. 'Pantas tercium aroma yang enak, ternyata makanannya cukup enak.' batin Satya. Makanan yang berjejeran di depannya terlihat menggiurkan, Satya manatapnya satu persatu. Sayur-sayur masih terlihat segar, mulai dari ikan yang dibaluri bumbu yang melimpah sehingga aromanya tercium dari jarak jauh. ‘Ohh, yang ini terlihat enak.’ batin Sa
Ashan berjalan cepat menghampiri Zora, dengan niat ingin memarahinya. Zora tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dimata Ashan yang dari awal sudah membencinya pasti setiap tindakan kecil apapun akan dijadikan sebuah kesalahan. Ashan mengepalkan tangannya dengan keras, wajahnya merah padam menahan kesal. Zora dari awal sama sekali tidak menunjukan rasa hormat sedikitpun padanya sebagai atasan. Ashan berpikir bagaimanapun dia sebagai karyawan baru harus menyadari posisinya di perusahaan ini. "GEAA" bentak Ashan. Seketika rauangan yang berisik langsung hening, begitu suara itu mencapai ujung di setiap telinga karyawan yang ada. Suara itu seharusnya mampu membuat telinga orang yang mendengarnya merasa sakit, mungkin karyawan yang berada disana sudah terbiasa hingga tidak ada reaksi yang serius. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang akan pemimpin mereka lakukan terhadap gadis itu. Termasuk Zora, dia tidak menanggapi suara lantang yang menyebut nama samarannya itu dengan kasar. Berunt
Tujuan Satya datang kesini untuk memberikannya obat salep, kemarin malam dia membeli obat itu untuk Zora. Merasa lebamnya tidak akan sembuh hanya dalam waktu semalam, lebih baik memberikannya dari pada dibiarkan seperti itu. Tadi pagi dia lupa memberikan obat itu, karena terburu-buru. Dia datang kesini tanpa sadar dan melupakan pekerjaannya yang menumpuk, jika Andika mengetahuinya dia pasti akan mengomeli Satya sepanjang waktu. Satya menghela nafas panjang, memijat pelipisnya sendiri. Ingin rasanya dia menertawakan dirinya sendiri, tindakannya akhir-akhir sejak dia bertemu gadis itu sangat di luar dugaan. Untuk apa dia mendatangi gadis itu, mengantarkan obat hanyalah alasan yang ia gunakan. Sesungguhnya dia hanya ingin bertemu dengan Zora. Satya yang sibuk dan asik dengan pikirannya sendiri mengabaikan keadaan sekitarnya, tanpa ia sadari Zora yang berada di sampingnya perlahan membuka mata. Zora terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang berat. Tubuhnya terasa lelah dan kaku,
Zora akhirnya tiba dikantor. Orang-orang berlalu lalang kesana kemari dengan kesibukan mereka masing-masing. Semua orang yang dilewati Zora terlihat bersemangat dan begitu penuh dengan energi, Wajah mereka terlihat cerah walaupun di sambut dengan segudang pekerjaan. Sangat berbanding terbalik dengan Zora, kantong matanya yang sedikit menggelap akibat begadang sepanjang malam. Pagi ini dia benar-benar kerepotan, Zora pulang naik taksi tapi tidak memiliki uang cash untuk membayar biaya taksinya. Entah itu adalah hari sialnya atau tidak, ponsel genggamnya pun ikut mati seakan menjebaknya di tengah situasi itu. Beruntungnya sang supir taksi merupakan orang yang pengertian, dia dengan sabar mengantar Zora ke ATM terdekat. Akhirnya masalah itu terselesaikan dengan damai karena bantuan dari sang supir. Zora bergegas lari menaiki tangga gedung apartemen usang dan berkarat itu, langkah demi langkah dia lewati hingga sampai di depan pintu apartemennya. Zora terlihat buru-buru seakan dia di
Subuh tiba dengan keheningan yang mendalam, seolah dunia sedang beristirahat sejenak sebelum memulai keramaian hari baru. Langit masih gelap, dengan bintang-bintang yang berkelipan di kejauhan, namun ada semburat cahaya lembut di ufuk timur yang menandakan fajar akan segera tiba. Zora tak kunjung bisa menutup matanya hingga pagi menyingsing, tempat itu terasa asing baginya. Sangat sulit untuk tidur, dia memikirkan apa yang dia alami sejak pagi. Kemarin malam Zora sudah mengelilingi semua ruangan dan seisi apartemen ini, ternyata benar ada CCTV di beberapa titik yang mampu merekan semua bagian apartemen kecuali kamar yang ditempati Satya. Ada 2 kamar kosong yang terlihat rapi dan bersih walaupun itu tidak ditinggali, entah kenapa Satya tidak menyuruh Zora untuk menggunakan kamar itu. Setelah melihat semuanya Zora kembali kekamar, dan melewati ruang tamu. Dia meliha Satya yang terbaring dengan tenang di sofa menggunakan piyama, dan bertelanjang dada. Dia menutupi wajahnya dengan seb