Satu persatu anggota keluarga memasuki kediaman, tuan dan nyonya rumah belum menunjukan diri. Kedua orang tersebut masih sibuk dengan urusan masing-masing, tuan besar sibuk dengan pekerjaan dan nyonya besar sibuk dengan kegiatan sosialita.
"Halo tuan, para tuan muda sudah datang. Mereka sedang menunggu kehadiran tuan besar." ucap Jeev setelah menghubungi majikannya untuk mengabari bahwa ketiga putranya sudah hadir."Baiklah, sebentar lagi aku sampai." setelah mengatakan hal itu William yang ada dibalik telepon itu langsung mengakhiri telepon."Baik tuan." balas Jeev. Seusai menelpon Jeev berjalan keruang tamu untuk menjamu para tuan muda yang sudah berkumpul.William Arga Bintara adalah ayah dari Satya sekaligus orang yang memimpin perusahaan Bintara Grup, sebetar lagi dia akan memasuki masa pensiun dan sedang mempersiapkan untuk menyerahkan posisinya pada salah satu putranya yang di anggap mampu olehnya.William orang yang sangat dingin, tidak pandai menunjukan perasaannya bahkan pada istrinya dan anak-anaknya sendiri, dia dan istrinya jarang sekali terlihat bersama kecuali ada acara yang mengharuskan mereka untuk bersama."Yoo, apa kabar kak." sapa Aryan melambaikan tangannya saat ia memasuki ruangan.Surya baru saja memasuki pintu, dan mendengar seseorang menyapanya dengan ramah yang tak lain adalah adiknya, namun ia tak menanggapi sapaan sang adik dan hanya melirik lalu membuang wajah dengan sombong. Sambil melihat sekitar, tidak ada orang lain selain mereka disini."Kakak, seperti biasa kakak masih saja arogan, itulah kenapa kakak tidak mendapatkan tempat dihati ayah" sindir Aryan tak terima diabaikan."Kamu juga tidak berubah, seperti biasa sangat cerewet. Telingaku sakit mendengar ocehanmu, pantas saja ayah membuangmu ketempat yang seharusnya." balas Surya memutar matanya malas."Hahaha. Oh ya, apa kakak tau si bungsu katanya akan datang kali ini." ucap Aryan sembari mengepal tangannya berusahan menyembunyikan emosinya karena merasa tersinggung dengan perkataan kakaknya."Ya aku tau, dasar bajingan kecil itu, masih saja tidak tau tempatnya." cemooh Surya.Setelah obrolan singkat itu mereka kembali diam, keduanya tidak ada niat untuk memulai kembali percakapan dan suasana terasa mencekik. Mereka memilih untuk melakukan kegiatan yang menurut mereka menyenangkan, Surya membakar sebatang rokok yang ada disakunya dan Aryan mengotak-atik ponselnya.Tibalah Satya di depan ruang tamu, begitu ia masuk ruangan mata kedua orang yang ada diruangan tersebut langsung tertuju kepadanya, tatapan benci yang di tujukan oleh kakak pertamanya dan tatapan licik yang diarahkan kakak keduanya yang tidak bisa ia pahami.Satya tidak mengerti kenapa kedua kakaknya sangat membencinya, ia tidak mengetahui alasannya. Setiap kali Satya ingin mendekati mereka, ia selalu saja diabaikan bahkan tidak pernah dianggap ada oleh kedua kakakknya.Satya memperhatikan keduanya secara bergiliran, begitu mata mereka bertemu tidak ada yang memulai percakapan. Suasana begitu suram dan mencekam, Satya sudah terbiasa dengan hal itu karena sudah sejak lama di abaikan oleh keduanya."Ku dengar kamu diangkat menjadi direktur." ujar Aryan memecah suanan.Satya mendengar itu hanya mengangguk ringan, tanpa melihat sumber suara yang ia dengar."Kalau begitu selamat, karena hanya kamu yang disayangi oleh ayah bukankah itu hal yang wajar." ucap Aryan lagi sembari tersenyum kecut."Apa?" ucap Satya spontan karena mendengar perkataan konyol kakak keduanya."Bukankah ayah langsung memberikan posisi itu padamu dengan cepat?" tanya Arya sengaja menekan suaranya."Ayah bahkan tidak perna melirik kami, tapi dia memberikan posisis setinggi itu untuk orang bodoh seperti mu!" lontar Aryan tak terima.Mendengar itu Satya hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia langsung memahaminya bahwa kedua kakaknya tidak suka kalau posisinya lebih tinggi dari mereka. Kedua kakaknya menganggap posisi itu diberikan oleh ayah mereka, kedua kakaknya mengabaikan fakta bahwa Satya bekerja keras untuk mendapatkan posisi itu."Kamu berani mengabaikan perkataannku?" tanya Aryan kesal lantaran diabaikan oleh sang adik."Maafkan aku kak, tapi aku sangat lelah." ujar Satya memberi alasan. Bukan hal baik jika memicu pertengkaran dengan alasan yang konyol seperti itu, apalagi ini hari mereka berkumpul setelah sekian lama."Beraninya kau." bentak Aryan, suaranya menggema di ruangan itu."Permisi tuan muda, tuan besar akan segera sampai. Silahkan ikut saya." Jeev tiba-tiba membuka pintu, berusaha melerai perdebatan yang akan terjadi.Aryan mengepal tangannya menahan kesal, matanya menatap tajam ke arah Satya tanpa berkedip sedikitpun. Sedangkan kakak sulung mereka yang memperhatikan hal itu diam-diam menertawakan kebodohan mereka berdua."Jeev, kau baru saja menganggu hal yang menarik." kilah surya sembari tersenyum."Maafkan saya tuan muda." balas Jeev."Hahaha, lain kali tunjukan yang lebih menarik dari ini." bisik Surya pada Aryan sembari menepuk pundak Aryan, dan berlalu meninggalkan ruangan itu dan membuang puntung rokoknya kesembarang arah.Arya mengepal tangannya kesal, dia tidak bisa membalas karena sudah dipanggil untuk menghadap ayahnya.'Sial, dasar bajingan. beraninya dia mengabaikanku, tunggu saja aku akan menunjukan hal yang menarik untuk kalian sebentar lagi.' batin Aryan menatap tajam Kearah Satya.-Di meja makan sudah tersedia semua makanan untuk disantap malam ini, satu persatu orang menduduki kursi yang sudah disediakan untuk mereka, keriga putra keluarga bintara sudah ikut duduk di ruang makan.Selain mereka ada juga om dan tente dari pihak ayah mereka, dan terjadi lagi suasana sunyi diantara mereka. Tidak ada orang yang berniat membuka obrolan atau sekedar basa-basi Sampai William datang dan menduduki kursi di ujung meja yang berbentuk oval tersebut."Halo sayang, ya ampun putra-putra mama kelihatan makin gagah." sapa Sofia begitu ia datang dan langsung menghampiri kedua putranya yang sedang duduk di sebelah kiri meja."Halo mam." ucap Surya."Mami juga keliatan makin cantik." kata Aryan membalas pelukan sang mama yang bergantian setelah menyapa kakaknya."Halo sayang, kamu sampai rumah kok nggak ngabarin aku." cetus Sofia yang ditujukan pada suaminya yang hanya diam memperhatikan."Kamu juga akan pulang untuk apa repot-repot memberi kabar." terang William.Mengabaikan putra bungsunya yang duduk seberang meja, Nyonya Sofia langsung duduk tanpa memberi sapaan yang sama seperti yang ia berikan kepada kedua anaknya, dia diabaikan oleh ibunya sendiri seakan Satya tak ada di ruangan itu.Satya meremas jari jemarinya, dia hanya bisa menunduk tanpa bisa mengangkat kepalanya dan hanya menajamkan telinga mendengarkan sapaan hangat yang diberikan oleh ibunya terhadap kedua kakaknya.Walaupun hal itu sudah sejak lama ia rasakan, namun tetap saja Satya tidak mampu membiasakan diri dengan perasaan sakit diabaikan oleh ibunya sendiri.'apa aku hanya terlihat sebagai bayangan redup dimatamu ma?''Aku berjuang keras untuk mendapatkan perhatianmu, tapi ternyata itu masi belum cukup.' batin Satya masih dalam keadaan menunduk.Satya tidak mampu mengangkat kepalanya dan menyaksikan kehangatan yang terjadi diantara kedua kakak dan ibunya. Sebisa mungking ia menyingkirkan perasaan sedihnya, ia harus bersyukur karena masih bisa bertemu dengan sang ibu tanpa bersenda gurau dengannya.Om dan tentenya yang duduk di samping Satya melihat hal itu, dan hanya bisa menggeleng kepala melihat kelakuan ipar mereka yang memandang anak-anak dengan cara berbeda seperti itu tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk membatu."Bagaimana kesibukannmu dikantor Sat? Om dengar kamu sedang merekrut karyawan baru." tanya Liam, paman dari Satya sekaligus adik dari William."Iya sat, kamu pasti sibuk." lanjut Sintia istri Liam.Tidak tega melihat keponakan mereka berlarut-larut dalam perasaan sedih, mereka berusaha mengajaknya mengobrol. Walaupun hal itu tidak menghibur setidaknya ada yang melihat dan memperhatikan Satya diruangan itu."E-ehh iya om, tente." balas Satya gelagapan."Karena beberapa waktu lalu ada karyawan yang resign." ungkap Satya setelah mendapatkan kembali ketenangannya."Om, tante juga gimana kabarnya?" tanya satya untuk melanjutkan obrolan mereka."Kabar tante baik, kamu kalau kerja jangan berlebihan loh. Nanti telat dapat jodohnya." canda tante Sintia."Haha, tante bisa aja." balas Satya tertwa kecil, hatinya sedikit terhibur.Pagi hari yang cerah menyambut matahari dan seolah mengusir gelapnya malam, Zora bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan untuk interview. Dia memakai baju formal yang sesuai dengan kriteria seorang karyawan kantoran. Zora menghadap cermin memperhatikan pantulan dirinya dari atas sampai bawah, dia berpikir masih ada yang kurang dari penampilannya lalu meraih laci di sampingnya dan mangambil sebuah kacamata dan memakainya. "Sempurna" gumam Zora. Setelah selesai dengan urusan penampilan, Zora berangkat keperusahaan dengan mengendarai mobil pribadinya. Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke perusahaan jadi Zora berangkat lebih awal karena jam intervewnya pukul sembilan. Sesampainya didepan gedung Zora memperhatikan area sekitarnya dengan saksama lalu melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki gedung itu dan berjalan menuju resepsionis. Zora dia antar keruangan tunggu karyawan. Ada banyak orang yang melamar di perusahaan di berbagai macam posisi, tetapi berbeda dengan posis
Klikkk... Ada 3 orang memasuki ruang tunggu, diantara nya ada Satya yang akan mewawancarai para pelamar, Zora memperhatikan orang-orang yang memasuki ruangan. Mata Zora langsung tertuju kepada satu orang yaitu Satya, dia terlihat mencolok dan sangat mudah menarik perhatian dengan penampilannya. Wibawanya sebagai seorang direktur dapat terlihat dari bagaimana cara ia berjalan, dengan dagu terangkat dan terlihat sangat arogan. Zora mengamatinya dari atas sampai bawah dan berfikir misinya kali ini tidak akan mudah untuk dilakukan, walaupun selama ini tidak ada misi yang dapat dianggap mudah. Ketiganya menduduki kursi masing-masing, didepan mereka sudah tersedia data-data terkait para pelamar, mata Zora tetap hanya fokus pada Satya seorang. Satya yang merasa ada yang memperhatikannya langsung mengangkatnya. Mata keduanya bertemu, dengan cepat Zora memberikan senyuman ramah. "Kamu maju kedepan.!" pinta Satya menunjuk ke arah Zora. "Saya?" tanya Zora menunjuk dirinya sendiri. Tanpa
Satya kembali sibuk dengan urusan kantor, dan ada Andika yang membantunya dengan setia keluar masuk ruangan setiap kali Satya memanggil. Lagi-lagi pikiranya terbayang-bayang tentang Zora yang ia lihat tadi pagi. Alasan Satya memanggil Zora untuk interview karena dia sedikit penasaran tentang dirinya. Untuk pertama kalinya dia tahu ada seorang wanita yang mau bekerja dan melamar sebagai pengawal.Setelah melihat CV yang dikirim Zora, terlintas dipikiran Satya bahwa wanita ini sangat unik dan memiliki bakat. Menurut pengalaman dan pemahaman Satya tentang wanita tidak pernah terbayangkan akan ada wanita yang bekerja sebagai tukang pukul. Wanita hanya peduli tentang penampilan dan fokus untuk mempercantik diri. Bagaimana seorang wanita bisa mendapatkan begitu banyak sertivikat beladiri, berbagai macam dugaan yang Satya pikirkan tentang Zora salah satunya adalah kemungkinan CV itu dipalsukan.Akhirnya Satya memutuskan untuk memanggilnya untuk interview kerja dan memastikan apakah dugaa
"Tuan, bajunya sudah siap." ucap pelayan yang baru memasuki kamar Satya setelah mengetuk pintu, dan Satya hanya menangguk. Pelayan itu dengan tenang meninggalkan kamar Satya, Satya dengan rambut basah dan masih memakai kimono melihat kearah cermin dan menatap lekat bayangan dirinya. "Apa karena aku tampan?" gumam Satya dengan satu alisnya yang terangkat. "Tidak masuk akal, dia pasti hanya kagum." bantahnya lagi lalu memakai vitamin pada rambutnya. Satya masih memikirkan tentang Zora yang selalu memperhatikannya kemarin, dia tidak bodoh hingga tidak menyadari ada orang yang memperhatikan dirinya. Hanya saja dia tidak mengerti dan tidak dapat menebak apa arti dari tatapan Zora, wajahnya yang kaku benar-benar mengganggu pikiran Satya. Entah kenapa wanita itu sangat mengganggu dan membuat Satya tidak bisa fokus. Tidak mau membuang waktu dengan memikirkan wanita itu lagi, Satya dengan cepat memakai baju yang sudah disiapkan pelayannya dan bersiap untu berangkat kekantor. Dan seperti
Melihat Zora datang Alan berniat memerasnya dengan kejadian pagi ini, dimana dia mendapatkan cidera. Alan berpikir Zora datang karena takut kehilangan pekerjaannya, bagaimanapun Zora membuat keributan dihari pertamanya. "Haha, jackpot." batin Alan dengan wajah berbinar begitu dia melihat Zora menghampirinya sambil menundukan kepalanya. Tetapi kebingungan yang menimpa Zora saat ini tidak mampu mandengar ucapan Alan yang menyambut dengan makian didepannya. Suara yang ia dengar meyakinkannnya untuk tidak ragu dalam membunuh, itu bukan pertama kali dia mendengarnya. Alan memiliki emosi kurang stabil dan cepat dipenuhi amarah, dengan wajah yang merah padam Alan mengangkat tangannya lalu dengan kasar menampar pipi Zora. Dia tidak terima diabaikan oleh wanita seperti Zora, bagaimanapun Alan berpikir harus memberi wanita ini pelajaran. Zora tersentak oleh tamparan yang dilayangkan pada pipinya, seketika wajahnya mengeras dan sadar dari lamunannya. Ternyata sejak memasuki ruangan itu Zora
Hari pertama Zora bekerja terasa cukup berat, detik demi detik yang seiring dengan jarum jam yang bergerak perlahan. Akhirnya jam menunjukan pukul 04:00 pm waktu yang dinantikan semua orang yang sedang duduk disekitarnya. Semua orang bangkit dari kursi masing-masing dan bersiap untuk pulang kerumah untuk mengistirahatkan diri, begitu juga Zora yang yang sudah siap meninggalkan kursinya. "Hai" ucap seseorang menahan tangan Zora. Zora menoleh, lalu dia menghempaskan tangan pria yang memegangnya sembarangan. Zora menatap pria itu dengan bingung, di ruangan yang hanya tersisa mereka berdua hingga membuat suara pria itu sedikit menggema. Pagi ini dia mengalami hal yang menjengkelkan karena seseorang sembarangan memegang tangannya, Sore hari pun hal itu terulang lagi."Untung saja tangannya tidak ku patahkan lagi." gumam Zora."A-aku juga karyawan baru disini, namaku Johan." salam pria itu memperkenalkan diri dengan kikuk. Dengan badan yang tidak terlalu besar dan lebih tinggi sekitar 3
Satya membaringkan tubuh Zora di ranjangnya yang dibalut oleh kain sutra halus dan lembut berwarna putih polos, tanpa corak yang menurut Satya terlihat risih, dan berniat meninggalkan Zora tertidur di ranjangnya untuk sementara. Sedangkan Satya berniat membersihkan diri setelah seharian bekerja, ia merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang terasa berat dan kulit yang rasanya sedikit lengket. Rasa lelah yang seakan menyerangnya secara perlahan dari pagi hingga sore kini kian menumpuk. Ia membuka kemeja yang dikenakannya tanpa merasa terbebani bahwa ada orang lain di kamar itu, Satya terus melanjutkan gerakannya sambil memandang wanita yang terbaring tanpa pertahanan diri di depannya.'Apa dia akan akan marah jika tau aku membawanya kesini?' gumam Satya, pandangannya masih tertuju pada Zora yang terbaring. Satya sedikit meragukan tindakan yang sudah ia lakukan, dan berpikir seharusnya ia mengantar wanita itu kerumah sakit dari pada memenuhi egonya yang ingin membawa wanita itu ke apar
Satya masih menunggu Zora di meja makan, dia berpikir mungkin Zora kesulitan dalam mengatasi rasa malu untuk makan bersamanya setelah apa yang terjadi. Memikirkan itu membuat bibir Satya sedikit naik tanpa sadar. 'Apa yang gadis itu lakukan?' gumam Satya kesal. Tak kunjung keluar kamar Satya ingin mendatanginya, tapi begitu Satya bangun dari kursi Zora baru saja muncul dengan rambut yang disanggul seadanya dan terlihat berantakan. 'Apa dia mengacak-acak rambutnya karena frustrasi?' pikir Satya sambil tersenyum, namun dia sembunyikan ketika mata keduanya bertemu. "Kalau ada orang lain yang melihat keadaanmu sekarang, mereka pasti berpikir aku seorang bajingan yang tak pernah kenyang." ucap satya. "Apa maksud bapak?" tanya Zora kebingungan. "Bukan apa-apa, duduklah dan makan." pinta Satya. Zora diam menatap meja makan yang terbuat dari kayu solid dengan empat kursi yang tersusun rapi di di depannya, tidak ada apapun di atas meja. Zora mengerutkan kening dan berpikir apakah dia dis
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi
Bagaikan aliran air yang mengalir tanpa henti, waktu berlalu begitu cepat.Sudah satu bulan berlalu begitu saja, Zora bekerja dan beradaptasi dengan baik di kantor Satya. Walaupun ada beberapa orang tidak suka dan senang menjahilinya, namun dia memilih tetap diam mengabaikan dan tak membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Begitu juga Satya selama satu bulan tidak datang mencari ataupun menanyakan kabarnya. Seolah tidak pernah saling mengenal, Satya hilang tak mencarinya seperti awal saat mereka bertemu, bahkan saat mereka berpapasan dikantor Satya langsung membuang muka dengan sombongnya. 'Sebenarnya aku mengharapkan dia lebih menyukaiku sedikit lebih lama.' batin Zora. Zora berpikir ketertarikan Satya padanya hanya bersifat sementara. Yah itu memang tidak mungkin bertahan lama, mereka bertemu belum lama ini dan Satya sekarang mungkin sudah merasa bosan pikir Zora. Selama satu bulan penuh Zora tidak pernah memikirkan rencana untuk misinya, dia hanya fokus mendengarkan
'Apa aku harus ikut mengantri juga?' batin Satya sambil melirik jam tangannya, mengangkat kepalanya menatap antrian panjang yang membentang di depannya. Dengan alis berkerut, Satya memejamkan matanya dan memantapkan pikirannya yang enggan mengantri. Mau tidak mau dia harus ikut mengantri, tidak mungkin untuk menerobos antrian hanya karena dia seorang direktur. Itu akan menimbulkan masalah nantinya. Setelah mengantri selama waktu 20 menit akhirnya tiba giliran Satya dan Zora di belakangnya, Satya memperhatikan makanan yang berderetan di depannya, ditangannya sudah ada nampan berwarna perak dan bagian isi yang berbeda bentuk dengan kesan yang sederhana. 'Pantas tercium aroma yang enak, ternyata makanannya cukup enak.' batin Satya. Makanan yang berjejeran di depannya terlihat menggiurkan, Satya manatapnya satu persatu. Sayur-sayur masih terlihat segar, mulai dari ikan yang dibaluri bumbu yang melimpah sehingga aromanya tercium dari jarak jauh. ‘Ohh, yang ini terlihat enak.’ batin Sa
Ashan berjalan cepat menghampiri Zora, dengan niat ingin memarahinya. Zora tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dimata Ashan yang dari awal sudah membencinya pasti setiap tindakan kecil apapun akan dijadikan sebuah kesalahan. Ashan mengepalkan tangannya dengan keras, wajahnya merah padam menahan kesal. Zora dari awal sama sekali tidak menunjukan rasa hormat sedikitpun padanya sebagai atasan. Ashan berpikir bagaimanapun dia sebagai karyawan baru harus menyadari posisinya di perusahaan ini. "GEAA" bentak Ashan. Seketika rauangan yang berisik langsung hening, begitu suara itu mencapai ujung di setiap telinga karyawan yang ada. Suara itu seharusnya mampu membuat telinga orang yang mendengarnya merasa sakit, mungkin karyawan yang berada disana sudah terbiasa hingga tidak ada reaksi yang serius. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang akan pemimpin mereka lakukan terhadap gadis itu. Termasuk Zora, dia tidak menanggapi suara lantang yang menyebut nama samarannya itu dengan kasar. Berunt
Tujuan Satya datang kesini untuk memberikannya obat salep, kemarin malam dia membeli obat itu untuk Zora. Merasa lebamnya tidak akan sembuh hanya dalam waktu semalam, lebih baik memberikannya dari pada dibiarkan seperti itu. Tadi pagi dia lupa memberikan obat itu, karena terburu-buru. Dia datang kesini tanpa sadar dan melupakan pekerjaannya yang menumpuk, jika Andika mengetahuinya dia pasti akan mengomeli Satya sepanjang waktu. Satya menghela nafas panjang, memijat pelipisnya sendiri. Ingin rasanya dia menertawakan dirinya sendiri, tindakannya akhir-akhir sejak dia bertemu gadis itu sangat di luar dugaan. Untuk apa dia mendatangi gadis itu, mengantarkan obat hanyalah alasan yang ia gunakan. Sesungguhnya dia hanya ingin bertemu dengan Zora. Satya yang sibuk dan asik dengan pikirannya sendiri mengabaikan keadaan sekitarnya, tanpa ia sadari Zora yang berada di sampingnya perlahan membuka mata. Zora terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang berat. Tubuhnya terasa lelah dan kaku,
Zora akhirnya tiba dikantor. Orang-orang berlalu lalang kesana kemari dengan kesibukan mereka masing-masing. Semua orang yang dilewati Zora terlihat bersemangat dan begitu penuh dengan energi, Wajah mereka terlihat cerah walaupun di sambut dengan segudang pekerjaan. Sangat berbanding terbalik dengan Zora, kantong matanya yang sedikit menggelap akibat begadang sepanjang malam. Pagi ini dia benar-benar kerepotan, Zora pulang naik taksi tapi tidak memiliki uang cash untuk membayar biaya taksinya. Entah itu adalah hari sialnya atau tidak, ponsel genggamnya pun ikut mati seakan menjebaknya di tengah situasi itu. Beruntungnya sang supir taksi merupakan orang yang pengertian, dia dengan sabar mengantar Zora ke ATM terdekat. Akhirnya masalah itu terselesaikan dengan damai karena bantuan dari sang supir. Zora bergegas lari menaiki tangga gedung apartemen usang dan berkarat itu, langkah demi langkah dia lewati hingga sampai di depan pintu apartemennya. Zora terlihat buru-buru seakan dia di
Subuh tiba dengan keheningan yang mendalam, seolah dunia sedang beristirahat sejenak sebelum memulai keramaian hari baru. Langit masih gelap, dengan bintang-bintang yang berkelipan di kejauhan, namun ada semburat cahaya lembut di ufuk timur yang menandakan fajar akan segera tiba. Zora tak kunjung bisa menutup matanya hingga pagi menyingsing, tempat itu terasa asing baginya. Sangat sulit untuk tidur, dia memikirkan apa yang dia alami sejak pagi. Kemarin malam Zora sudah mengelilingi semua ruangan dan seisi apartemen ini, ternyata benar ada CCTV di beberapa titik yang mampu merekan semua bagian apartemen kecuali kamar yang ditempati Satya. Ada 2 kamar kosong yang terlihat rapi dan bersih walaupun itu tidak ditinggali, entah kenapa Satya tidak menyuruh Zora untuk menggunakan kamar itu. Setelah melihat semuanya Zora kembali kekamar, dan melewati ruang tamu. Dia meliha Satya yang terbaring dengan tenang di sofa menggunakan piyama, dan bertelanjang dada. Dia menutupi wajahnya dengan seb