Pagi hari yang cerah menyambut matahari dan seolah mengusir gelapnya malam, Zora bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan untuk interview. Dia memakai baju formal yang sesuai dengan kriteria seorang karyawan kantoran.
Zora menghadap cermin memperhatikan pantulan dirinya dari atas sampai bawah, dia berpikir masih ada yang kurang dari penampilannya lalu meraih laci di sampingnya dan mangambil sebuah kacamata dan memakainya."Sempurna" gumam Zora.Setelah selesai dengan urusan penampilan, Zora berangkat keperusahaan dengan mengendarai mobil pribadinya. Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke perusahaan jadi Zora berangkat lebih awal karena jam intervewnya pukul sembilan.Sesampainya didepan gedung Zora memperhatikan area sekitarnya dengan saksama lalu melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki gedung itu dan berjalan menuju resepsionis. Zora dia antar keruangan tunggu karyawan.Ada banyak orang yang melamar di perusahaan di berbagai macam posisi, tetapi berbeda dengan posisi yang Zora lamar. Karena pekerjaan sebagai pengawal membutuhkan kekuatan fisik jadi tidak banyak yang melamar."Waahhh ternyata ada perempuan juga yah." ucap seorang yang duduk di samping Zora."Apa kamu tidak salah ruangan nona? Di sini ruangan tunggu untuk karyawan pria khusus bodyguard." ungkap pria lain yang datang menghampiri dan menanyainya dengan sopan."Iya, kamu hanya seorang gadis kecil. Ada urusan apa disini?" ejek pria satunya lagi.Di ruangan itu ada 6 pria pelamar kerja di perusahaan tersebut, mereka memiliki badan kekar dan sangat tinggi, dan hal itu membuat kehadiran Zora layaknya tikus yang dikelilingi 6 kucing.Zora tidak menanggapi ucapan mereka dan hanya duduk diam, sambil meperhatikan struktur ruangan itu. Melihat itu salah satu dari mereka geram dan menegurnya."Nona, ketika diajak mengobrol anda harus menjawab supaya tidak dianggap kurang ajar." ucap salah satu pria itu."Betul, gadis kecil ini kenapa kurang ajar sekali. dia sama sekali tidak menghormati orang dewasa" sahut pria lainnya."Merepotkan sekali, inilah kenapa aku tidak suka seseorang berada di dekatku. Haruskan kubunuh mereka semua"."Hahh, tidak, tidak. Ini adalah misi yang Han berikan padaku, jadi aku harus melakukan yang terbaik supaya dia memujiku." tenggelam dalam pikirannya setelah mendengar ocehan yang menurutnya mengesalkan, Zora menggelengkan kepala dan mengalihkan pikirannya."Maafkan saya tuan-tuan, saya tidak pandai bersosialisasi." jawab Zora santai."Benarkah? Tapi kamu terlihat seperti orang yang acuh tak acuh dengan keadaan sekitarmu." balas pria disamping Zora."Saya tidak tau kenapa tuan-tuan sampai repot-repot menegur saya, jika tuan tidak suka abaikan saja saya dan juga saya berada di ruangan yang benar." ucap Zora berusaha mengakhiri percakapan yang membuatnya jengkel."Dasar gadis sombong, kamu pikir kamu siapa hah?" bentak pria itu.Hal itu semakin membuat Zora tidak mengerti kenapa orang-orang yang ada di depannya terlihat marah sampai meninggikan suaranya, hanya karena dia meminta untuk mengabaikannya, bukankah hal itu sangat mudah untuk dilakukan apalagi untuk orang dewasa seperti mereka.Ketika salah satu dari pria itu ingin angkat bicara tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan salah satu staf masuk keruangan itu dan duduk disalah satu dari tiga kursi yang ada di ruangan itu."Selamat pagi semuanya, mohon maaf karena telah membuat anda sekalian menunggu. Untuk intervewnya akan dilakukan langsung oleh pak direktur jadi mohon tunggu sebentar lagi." ucap Andika yang baru memasuki ruangan itu."Baik pak." jawab mereka serentak.Mendengar itu Zora menyipitkan matanya dan menatap tajam andika yang sedang mengotak-atik berkas, sebentar lagi dia akan bertemu orang yang menjadi targetnya kali ini dan akan segera menyusun rencana kedepan setelah melihatnya secara langsung."Kenapa pak direktur belum datang juga" guma Andika, lalu ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan itu.Sedangkan di ruangan direktur Satya sedang melamun, pikirannya melayang dan mengingat saat kemarin makan malam di rumah orang tuanya. "Pa, ada yang mau aku omongin sama papa" ucap Aryan, dan William hanya melirik tanpa mengatakan apapun.Sesaat sebelum Arya mengatakan sesuatu dia melirik adik bungsunya dan mata mereka bertemu, Aryan tersenyum menyeringai lalu mengalihkan pandanganya kearah ayahnya."Pa, ada seorang wanita yang mendatangiku dan dia mengaku sudah tidur bersama Satya. Wanita itu mengancam akan mengungkapkan hal itu kepada media kalau Satya tidak mau bertanggung jawab." ungkap Aryan."Kalau wanita itu melakukannya nama baik keluarga kita akan buruk dimata media dan akan mempengaruhi nama baik perusahaan." lanjut Aryan.Mendengar itu Satya kaget dan menatap kakaknya dengan tajam, dia mempertanyakan apa maksud dari tuduhannya. Satya tidak bisa langsung membantah karena ayahnya belum angkat bicara, dia paham betul bagaimana sifat ayahnya.William menatap putra bungsunya lekat-lekat, dan ia bertanya apakah yang dikatakan oleh kakaknya itu benar."Itu bohong pa, aku nggak dekat dengan siapapun. Aku sangat sibuk jadi tidak memiliki waktu untuk hal seperti itu." bantah Satya meyakinkan ayahnya."Wanita itu punya buktinya pa, dia nggak mungkin berani datang padaku mengatakan sesuatu tanpa bukti." tegas Aryan tak mau kehilangan kesempatan."Jadi kenapa wanita itu mendatangimu bukannya Satya?" tanya Walliam."I-itu, itu karena wanita itu takut kalau Satya menyakitinya untuk menghilangkan bukti." resah Aryan."Kalian bukan anak kecil lagi sehingga mengadukan hal yang tidak bermoral seperti itu, apa perlu aku turun tangan hanya untuk menyelesaikan masalah kalian." ujar William."Kalian urus masalah itu, dan juga aku tidak tau kalau ada yang berani mengancam Bintara Grup dengan hal remeh seperti itu. Kedepannya aku tidak ingin mendengar hal semacam itu lagi, kalian membuat selera makanku hilang." William berdiri dan melempar garpu yang ia pegang.Suara benturan antara garpu dan piring itu membuat Aryan gugup dan mengartikan perkataan ayahnya barusan itu ditujukan padanya. Dia sudah membuat ayahnya kesal dan kehilangan perhatian sang ayah."Sial, aku benar-benar tidak mengerti pemikiran pak tua itu." batin Aryan jengkel."Sayang tunggu, kamu mau kemana? kita sudah lama tidak berkumpul seperti ini, kamu tidak berniat meninggalkan kami begitu saja kan?" ucap nyonya Sofia yang bangun dan meraih tangan suaminya."Aku sudah kehilangan selera, jadi untuk apa aku disini?" ujar William tanpa berhenti terus, dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu."Sayang tunggu." Sofia menyusul suaminya dan ikut meninggalkan ruang makan."Hahaha, makan malam jadi kacau berkatmu Ar. Aku sangat berterimakasih karena kamu sangat bodoh." ejek Surya sambil tertawa, dia juga ikut pergi meninggalkan ruang makan. Karena makan malam ini tidak ada gunanya tanpa kehadiran ayahnya."Pak, pak, bangun. Waktunya untuk mewawancarai para pelamar." ucap Andika membangunkan Satya yang sedang duduk menyandarkan kepalanya.Perlahan mata Satya membuka mata, ingatannya tentang makan malam terhenti. Pandangannya yang buram butuh waktu untuk kembali jernih karena sesaat yang lalu dia seperti tertidur. Satya memperhatikan Andika yang berdiri dihadapannya, lalu melirik jam tangannya yang menunjukan pukul 08:47 AM."Ada apa?" tanya Satya sambil merapikan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan."Waktunya untuk mewawancarai para pelamar pak." jawab Andika."Oh, aku lupa. Baiklah, pergilah dulu aku akan menyusul." pinta Satya.Andika berjalan keluar, sedangkan Satya menghela nafas memperhatikan punggung Andika yang menghilang dibalik pintu. Dia merenung dan memikirkan tentang ingatannya barusan.Satya memikirkan apa yang akan kakaknya lakukan selanjutnya, kakaknya pasti akan mencari cara lain untuk mengganggunya lagi. Kegagalannya tadi malam tidak akan membuatnya jera, bagaimanapun dia harus menyiapkan sesuatu untuk menghadapi kakaknya.Ketukan pintu kembali terdengar, itu pasti Andika yang datang untuk memanggilnya lagi. Satya bangun dari kursi kebesarannya sebagai direktur dan memakai jasnya, dia harus melakukan pekerjaanya dulu saat ini.Ada 2 orang yang menunggu Satya didepan pintu ruangannya termasuk Andika, sedangkan 1 orang lainya adalah HRD yang akan menemani Satya untuk mewawancarai para pelamar di perusahaan itu.Klikkk... Ada 3 orang memasuki ruang tunggu, diantara nya ada Satya yang akan mewawancarai para pelamar, Zora memperhatikan orang-orang yang memasuki ruangan. Mata Zora langsung tertuju kepada satu orang yaitu Satya, dia terlihat mencolok dan sangat mudah menarik perhatian dengan penampilannya. Wibawanya sebagai seorang direktur dapat terlihat dari bagaimana cara ia berjalan, dengan dagu terangkat dan terlihat sangat arogan. Zora mengamatinya dari atas sampai bawah dan berfikir misinya kali ini tidak akan mudah untuk dilakukan, walaupun selama ini tidak ada misi yang dapat dianggap mudah. Ketiganya menduduki kursi masing-masing, didepan mereka sudah tersedia data-data terkait para pelamar, mata Zora tetap hanya fokus pada Satya seorang. Satya yang merasa ada yang memperhatikannya langsung mengangkatnya. Mata keduanya bertemu, dengan cepat Zora memberikan senyuman ramah. "Kamu maju kedepan.!" pinta Satya menunjuk ke arah Zora. "Saya?" tanya Zora menunjuk dirinya sendiri. Tanpa
Satya kembali sibuk dengan urusan kantor, dan ada Andika yang membantunya dengan setia keluar masuk ruangan setiap kali Satya memanggil. Lagi-lagi pikiranya terbayang-bayang tentang Zora yang ia lihat tadi pagi. Alasan Satya memanggil Zora untuk interview karena dia sedikit penasaran tentang dirinya. Untuk pertama kalinya dia tahu ada seorang wanita yang mau bekerja dan melamar sebagai pengawal.Setelah melihat CV yang dikirim Zora, terlintas dipikiran Satya bahwa wanita ini sangat unik dan memiliki bakat. Menurut pengalaman dan pemahaman Satya tentang wanita tidak pernah terbayangkan akan ada wanita yang bekerja sebagai tukang pukul. Wanita hanya peduli tentang penampilan dan fokus untuk mempercantik diri. Bagaimana seorang wanita bisa mendapatkan begitu banyak sertivikat beladiri, berbagai macam dugaan yang Satya pikirkan tentang Zora salah satunya adalah kemungkinan CV itu dipalsukan.Akhirnya Satya memutuskan untuk memanggilnya untuk interview kerja dan memastikan apakah dugaa
"Tuan, bajunya sudah siap." ucap pelayan yang baru memasuki kamar Satya setelah mengetuk pintu, dan Satya hanya menangguk. Pelayan itu dengan tenang meninggalkan kamar Satya, Satya dengan rambut basah dan masih memakai kimono melihat kearah cermin dan menatap lekat bayangan dirinya. "Apa karena aku tampan?" gumam Satya dengan satu alisnya yang terangkat. "Tidak masuk akal, dia pasti hanya kagum." bantahnya lagi lalu memakai vitamin pada rambutnya. Satya masih memikirkan tentang Zora yang selalu memperhatikannya kemarin, dia tidak bodoh hingga tidak menyadari ada orang yang memperhatikan dirinya. Hanya saja dia tidak mengerti dan tidak dapat menebak apa arti dari tatapan Zora, wajahnya yang kaku benar-benar mengganggu pikiran Satya. Entah kenapa wanita itu sangat mengganggu dan membuat Satya tidak bisa fokus. Tidak mau membuang waktu dengan memikirkan wanita itu lagi, Satya dengan cepat memakai baju yang sudah disiapkan pelayannya dan bersiap untu berangkat kekantor. Dan seperti
Melihat Zora datang Alan berniat memerasnya dengan kejadian pagi ini, dimana dia mendapatkan cidera. Alan berpikir Zora datang karena takut kehilangan pekerjaannya, bagaimanapun Zora membuat keributan dihari pertamanya. "Haha, jackpot." batin Alan dengan wajah berbinar begitu dia melihat Zora menghampirinya sambil menundukan kepalanya. Tetapi kebingungan yang menimpa Zora saat ini tidak mampu mandengar ucapan Alan yang menyambut dengan makian didepannya. Suara yang ia dengar meyakinkannnya untuk tidak ragu dalam membunuh, itu bukan pertama kali dia mendengarnya. Alan memiliki emosi kurang stabil dan cepat dipenuhi amarah, dengan wajah yang merah padam Alan mengangkat tangannya lalu dengan kasar menampar pipi Zora. Dia tidak terima diabaikan oleh wanita seperti Zora, bagaimanapun Alan berpikir harus memberi wanita ini pelajaran. Zora tersentak oleh tamparan yang dilayangkan pada pipinya, seketika wajahnya mengeras dan sadar dari lamunannya. Ternyata sejak memasuki ruangan itu Zora
Hari pertama Zora bekerja terasa cukup berat, detik demi detik yang seiring dengan jarum jam yang bergerak perlahan. Akhirnya jam menunjukan pukul 04:00 pm waktu yang dinantikan semua orang yang sedang duduk disekitarnya. Semua orang bangkit dari kursi masing-masing dan bersiap untuk pulang kerumah untuk mengistirahatkan diri, begitu juga Zora yang yang sudah siap meninggalkan kursinya. "Hai" ucap seseorang menahan tangan Zora. Zora menoleh, lalu dia menghempaskan tangan pria yang memegangnya sembarangan. Zora menatap pria itu dengan bingung, di ruangan yang hanya tersisa mereka berdua hingga membuat suara pria itu sedikit menggema. Pagi ini dia mengalami hal yang menjengkelkan karena seseorang sembarangan memegang tangannya, Sore hari pun hal itu terulang lagi."Untung saja tangannya tidak ku patahkan lagi." gumam Zora."A-aku juga karyawan baru disini, namaku Johan." salam pria itu memperkenalkan diri dengan kikuk. Dengan badan yang tidak terlalu besar dan lebih tinggi sekitar 3
Satya membaringkan tubuh Zora di ranjangnya yang dibalut oleh kain sutra halus dan lembut berwarna putih polos, tanpa corak yang menurut Satya terlihat risih, dan berniat meninggalkan Zora tertidur di ranjangnya untuk sementara. Sedangkan Satya berniat membersihkan diri setelah seharian bekerja, ia merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang terasa berat dan kulit yang rasanya sedikit lengket. Rasa lelah yang seakan menyerangnya secara perlahan dari pagi hingga sore kini kian menumpuk. Ia membuka kemeja yang dikenakannya tanpa merasa terbebani bahwa ada orang lain di kamar itu, Satya terus melanjutkan gerakannya sambil memandang wanita yang terbaring tanpa pertahanan diri di depannya.'Apa dia akan akan marah jika tau aku membawanya kesini?' gumam Satya, pandangannya masih tertuju pada Zora yang terbaring. Satya sedikit meragukan tindakan yang sudah ia lakukan, dan berpikir seharusnya ia mengantar wanita itu kerumah sakit dari pada memenuhi egonya yang ingin membawa wanita itu ke apar
Satya masih menunggu Zora di meja makan, dia berpikir mungkin Zora kesulitan dalam mengatasi rasa malu untuk makan bersamanya setelah apa yang terjadi. Memikirkan itu membuat bibir Satya sedikit naik tanpa sadar. 'Apa yang gadis itu lakukan?' gumam Satya kesal. Tak kunjung keluar kamar Satya ingin mendatanginya, tapi begitu Satya bangun dari kursi Zora baru saja muncul dengan rambut yang disanggul seadanya dan terlihat berantakan. 'Apa dia mengacak-acak rambutnya karena frustrasi?' pikir Satya sambil tersenyum, namun dia sembunyikan ketika mata keduanya bertemu. "Kalau ada orang lain yang melihat keadaanmu sekarang, mereka pasti berpikir aku seorang bajingan yang tak pernah kenyang." ucap satya. "Apa maksud bapak?" tanya Zora kebingungan. "Bukan apa-apa, duduklah dan makan." pinta Satya. Zora diam menatap meja makan yang terbuat dari kayu solid dengan empat kursi yang tersusun rapi di di depannya, tidak ada apapun di atas meja. Zora mengerutkan kening dan berpikir apakah dia dis
Subuh tiba dengan keheningan yang mendalam, seolah dunia sedang beristirahat sejenak sebelum memulai keramaian hari baru. Langit masih gelap, dengan bintang-bintang yang berkelipan di kejauhan, namun ada semburat cahaya lembut di ufuk timur yang menandakan fajar akan segera tiba. Zora tak kunjung bisa menutup matanya hingga pagi menyingsing, tempat itu terasa asing baginya. Sangat sulit untuk tidur, dia memikirkan apa yang dia alami sejak pagi. Kemarin malam Zora sudah mengelilingi semua ruangan dan seisi apartemen ini, ternyata benar ada CCTV di beberapa titik yang mampu merekan semua bagian apartemen kecuali kamar yang ditempati Satya. Ada 2 kamar kosong yang terlihat rapi dan bersih walaupun itu tidak ditinggali, entah kenapa Satya tidak menyuruh Zora untuk menggunakan kamar itu. Setelah melihat semuanya Zora kembali kekamar, dan melewati ruang tamu. Dia meliha Satya yang terbaring dengan tenang di sofa menggunakan piyama, dan bertelanjang dada. Dia menutupi wajahnya dengan seb
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi
Bagaikan aliran air yang mengalir tanpa henti, waktu berlalu begitu cepat.Sudah satu bulan berlalu begitu saja, Zora bekerja dan beradaptasi dengan baik di kantor Satya. Walaupun ada beberapa orang tidak suka dan senang menjahilinya, namun dia memilih tetap diam mengabaikan dan tak membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Begitu juga Satya selama satu bulan tidak datang mencari ataupun menanyakan kabarnya. Seolah tidak pernah saling mengenal, Satya hilang tak mencarinya seperti awal saat mereka bertemu, bahkan saat mereka berpapasan dikantor Satya langsung membuang muka dengan sombongnya. 'Sebenarnya aku mengharapkan dia lebih menyukaiku sedikit lebih lama.' batin Zora. Zora berpikir ketertarikan Satya padanya hanya bersifat sementara. Yah itu memang tidak mungkin bertahan lama, mereka bertemu belum lama ini dan Satya sekarang mungkin sudah merasa bosan pikir Zora. Selama satu bulan penuh Zora tidak pernah memikirkan rencana untuk misinya, dia hanya fokus mendengarkan
'Apa aku harus ikut mengantri juga?' batin Satya sambil melirik jam tangannya, mengangkat kepalanya menatap antrian panjang yang membentang di depannya. Dengan alis berkerut, Satya memejamkan matanya dan memantapkan pikirannya yang enggan mengantri. Mau tidak mau dia harus ikut mengantri, tidak mungkin untuk menerobos antrian hanya karena dia seorang direktur. Itu akan menimbulkan masalah nantinya. Setelah mengantri selama waktu 20 menit akhirnya tiba giliran Satya dan Zora di belakangnya, Satya memperhatikan makanan yang berderetan di depannya, ditangannya sudah ada nampan berwarna perak dan bagian isi yang berbeda bentuk dengan kesan yang sederhana. 'Pantas tercium aroma yang enak, ternyata makanannya cukup enak.' batin Satya. Makanan yang berjejeran di depannya terlihat menggiurkan, Satya manatapnya satu persatu. Sayur-sayur masih terlihat segar, mulai dari ikan yang dibaluri bumbu yang melimpah sehingga aromanya tercium dari jarak jauh. ‘Ohh, yang ini terlihat enak.’ batin Sa
Ashan berjalan cepat menghampiri Zora, dengan niat ingin memarahinya. Zora tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dimata Ashan yang dari awal sudah membencinya pasti setiap tindakan kecil apapun akan dijadikan sebuah kesalahan. Ashan mengepalkan tangannya dengan keras, wajahnya merah padam menahan kesal. Zora dari awal sama sekali tidak menunjukan rasa hormat sedikitpun padanya sebagai atasan. Ashan berpikir bagaimanapun dia sebagai karyawan baru harus menyadari posisinya di perusahaan ini. "GEAA" bentak Ashan. Seketika rauangan yang berisik langsung hening, begitu suara itu mencapai ujung di setiap telinga karyawan yang ada. Suara itu seharusnya mampu membuat telinga orang yang mendengarnya merasa sakit, mungkin karyawan yang berada disana sudah terbiasa hingga tidak ada reaksi yang serius. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang akan pemimpin mereka lakukan terhadap gadis itu. Termasuk Zora, dia tidak menanggapi suara lantang yang menyebut nama samarannya itu dengan kasar. Berunt
Tujuan Satya datang kesini untuk memberikannya obat salep, kemarin malam dia membeli obat itu untuk Zora. Merasa lebamnya tidak akan sembuh hanya dalam waktu semalam, lebih baik memberikannya dari pada dibiarkan seperti itu. Tadi pagi dia lupa memberikan obat itu, karena terburu-buru. Dia datang kesini tanpa sadar dan melupakan pekerjaannya yang menumpuk, jika Andika mengetahuinya dia pasti akan mengomeli Satya sepanjang waktu. Satya menghela nafas panjang, memijat pelipisnya sendiri. Ingin rasanya dia menertawakan dirinya sendiri, tindakannya akhir-akhir sejak dia bertemu gadis itu sangat di luar dugaan. Untuk apa dia mendatangi gadis itu, mengantarkan obat hanyalah alasan yang ia gunakan. Sesungguhnya dia hanya ingin bertemu dengan Zora. Satya yang sibuk dan asik dengan pikirannya sendiri mengabaikan keadaan sekitarnya, tanpa ia sadari Zora yang berada di sampingnya perlahan membuka mata. Zora terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang berat. Tubuhnya terasa lelah dan kaku,
Zora akhirnya tiba dikantor. Orang-orang berlalu lalang kesana kemari dengan kesibukan mereka masing-masing. Semua orang yang dilewati Zora terlihat bersemangat dan begitu penuh dengan energi, Wajah mereka terlihat cerah walaupun di sambut dengan segudang pekerjaan. Sangat berbanding terbalik dengan Zora, kantong matanya yang sedikit menggelap akibat begadang sepanjang malam. Pagi ini dia benar-benar kerepotan, Zora pulang naik taksi tapi tidak memiliki uang cash untuk membayar biaya taksinya. Entah itu adalah hari sialnya atau tidak, ponsel genggamnya pun ikut mati seakan menjebaknya di tengah situasi itu. Beruntungnya sang supir taksi merupakan orang yang pengertian, dia dengan sabar mengantar Zora ke ATM terdekat. Akhirnya masalah itu terselesaikan dengan damai karena bantuan dari sang supir. Zora bergegas lari menaiki tangga gedung apartemen usang dan berkarat itu, langkah demi langkah dia lewati hingga sampai di depan pintu apartemennya. Zora terlihat buru-buru seakan dia di
Subuh tiba dengan keheningan yang mendalam, seolah dunia sedang beristirahat sejenak sebelum memulai keramaian hari baru. Langit masih gelap, dengan bintang-bintang yang berkelipan di kejauhan, namun ada semburat cahaya lembut di ufuk timur yang menandakan fajar akan segera tiba. Zora tak kunjung bisa menutup matanya hingga pagi menyingsing, tempat itu terasa asing baginya. Sangat sulit untuk tidur, dia memikirkan apa yang dia alami sejak pagi. Kemarin malam Zora sudah mengelilingi semua ruangan dan seisi apartemen ini, ternyata benar ada CCTV di beberapa titik yang mampu merekan semua bagian apartemen kecuali kamar yang ditempati Satya. Ada 2 kamar kosong yang terlihat rapi dan bersih walaupun itu tidak ditinggali, entah kenapa Satya tidak menyuruh Zora untuk menggunakan kamar itu. Setelah melihat semuanya Zora kembali kekamar, dan melewati ruang tamu. Dia meliha Satya yang terbaring dengan tenang di sofa menggunakan piyama, dan bertelanjang dada. Dia menutupi wajahnya dengan seb