Setelah Zora memeriksa dan melihat semua isi dari paper bag, ada 2 kotak makanan favorit Zora yaitu kue macaron yang berasal dari Prancis dan 1 gelas dark choco drink. Lalu Zora dengan cepat menyantap kue favoritnya, hingga satu kotak yang berisi 6 kue bulat dengan varian rasa yang berbeda itu habis. Sedangkan 1 kotak yang tersisa ia simpan di kulkas karena tidak mampu menghabiskannya sekaligus.
Waktu mengisi perut sudah habis, kini dia beralih kepekerjaanya. Dia memeriksa gelas minumannya, di bagian bawah gelas itu ada flashdisk yang sengaja ditempelkan. Flashdisk berukuran kecil yang berisi terkait misi yang akan diberikan padanya.
Tanpa pikir panjang Zora langsung menyalakan leptop miliknya dan memeriksa isi dari flashdisk itu, disana ada beberapa foto dan informasi pribadi dari target kali ini. Ada juga foto orang-orang yang menjadi keluarga dan orang terdekat target.
'Jadi ini misi pembunuhan?' batik Zora.
"Ini cukup merepotkan karena membutuhkan waktu." gumam Zora.
Di dalam file yang Zora baca target bernama Satya Arga Bintara anak bungsu dari pemilik perusahaan BN Gurp yaitu perusahaan terbesar di negri ini, orang yang selalu diperhatikan awak media dan setiap gerak-geriknya selalu menjadi trending topik di berbagai situs gosip.
Dia menjadi target pembunuhan kerena telah maraih posisi yang berhak bersaing dengan kedua kakaknya untuk menjadi pewaris perusahaan BN Grup, dan saat ini Satya menjabat sebagai Direktur dari anak perusahan BN Grup yang menangani jasa pengawalan atau bodyguard.
"Jadi aku harus menyamar sebagai bodyguard?" tanya Zora pada dirinya sendiri.
Pada misi kali ini Zora harus mendekati target terlebih dahulu karena tidak mungkin melakukan aksi pembunuhan secara langsung seperti yang biasa dia lakukan, target dijaga dengan ketat karena sudah beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan namun gagal karena memiliki sekertaris yang cukup kompeten sebagai pendamping dan pelindungnya.
"Ternyata ini cukup merepotkan" keluh Zora.
Di flashdisk juga tersedia identitas baru yang akan Zora gunakan sebagai penyamaran, ini akan memakan waktu yang cukup lama karena walaupun dia berhasil menyamar sebagai karyawan tidak ada jaminan dia akan bekerja dibawah direktur Satya.
"Jadi aku harus cepat bergerak ya." gumam Zora.
Kebetulan Saat ini BN Bodyguard grup sedang membuka lowongan pekerjaan, dengan cepat Zora mengirim Cv dan surat lamaran kerjanya via email, dan saat ini dia hanya perlu menunggu panggilan interview.
Sambil mempelajari apa yang harus ia lakukan pada saat interview, Zora merenung untuk sekarang posisinya aman, sebagai bodyguard harus memiliki keterampilan beladiri dan Zora memiliki kemampuan itu.
...
Dilain tempat, sore hari tempat Satya Arga Bintara berada.
Seorang pria gagah dengan duduk sambil menggigit ujung bolpoin, di mejanya terdapat berbagai macam berkas yang menumpuk. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung keatas, dilengkapi dasi bercorak garis biru yang longgar sehingga menampakan sebagian dadanya.
Dia adalah Satya Arga Bintara berusia 26 tahun, masih sibuk dengan pekerjaannya, membolak-balikan kertas yang ada didepannya lalu mengalihkan pandangannya ke arah komputernya. Tanpa sadar ada seseorang yang masuk ke dalam ruangan kerjanya, orang itu tidak menyapa dan menunggu Satya dengan tenang dan sabar tanpa mengganggu pekerjaannya.
"Astaga, sejak kapa kamu masuk?" ucap Satya spontan karena kaget melihat sekertarisnya yang berdiri di depannya.
"Saya sudah masuk sejak tadi tuan." jawabnya Andika,
Andika adalah sekertaris sekaligus bodyguard dari Satya, orang yang sangat dipercayai oleh Satya sampai sekarang. Mereka bertemu 3 tahun yang lalu, saat itu Andika sedang mengalami masa sulit karena ibunya mengalami kecelakaan.
Dari kecelakaan itu ibu Andika kehilangan banyak darah dan stok golongan darah yang cocok dengan ibu Andika sedang kosong, Satya yang saat itu berada di rumah sakit itu menawarkan darahnya yang kebetulan cocok dengan darah ibu Andika.
Karena merasa tak tega melihat Andika tampak putus asa, Satya sedikit tergerak hatinya ketika melihat seorang pria dewasa menangis di depan orang lain, itu merupakan sesuatu yang memalukan bagi Satya.
Tapi Andika meneteskan air mata tanpa memperdulikan orang disekitarnya dengan putus asa memohon kepada dokter yang merawat ibunya untuk melakukan yang terbaik, itu membuktikan betapa berharganya seorang ibu bagi Andika.
Sebagai balas budi Andika menawarkan diri bekerja untuk Satya, karena tidak ada yang bisa ia tawarkan kepada orang kaya seperti Satya sebagai ucapan terimakasih.
Tentu saja Satya menolak dengan tegas, karena ia menganggap Andika tidak memiliki potensi untuk bekerja dengannya. Tapi Andika tidak menyerah disitu saja dia mampu menunjukan potensinya hanya dalam waktu 3 bulan setelah Andika memaksa Satya untuk memberikannya kesempatan.
"Kenapa kamu tidak mengentuk pintu terlebih dahulu?" kesal Satya.
"Saya sudah mengetuk, tapi tuan muda tidak mendengar sama sekali." ungkap pria itu.
"Lalu kenapa kau tidak memanggilku?" tanya Satya lagi.
"Saya tidak bisa mengganggu pekerjaan tuan muda." jawabnya lagi.
"Ya sudahlah. Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Satya.
"Untuk jadwal makan malam, Tuan besar mengundang tuan muda untuk datang kekediaman utama." ungkap Andika dengan wajah sedikit khawatir.
Itu karena jika tuan besar ayah dari Satya pemilik dari perusahaan BN Grup mengundang anak-anaknya untuk makan malam, memiliki keluhan terkait pekerjaan diantara mereka.
Selama ini Satya selalu menjadi kambing hitam kakak-kakaknya, dan perlahan itu mengurangi kepercayaan tuan besar pada putra bungsunya. Tetapi tuan besar merupakan orang yang adil dan tenang sehingga tidak termakan rayuan dan omongan semata, karena itulah sampai saat ini Satya masih tetap berada diposisinya sebagai direktur.
"Apa kakak-kakakku akan hadir?" tanya Satya.
"Iya tuan muda."
"Bagaiman pergerakan mereka selama ini?"
"Sejauh ini para tuan muda tidak melakukan hal yang mencurigakan untuk menjebak anda." jelas Andika yakin.
"Baiklah, sampaikan kepada ayahku kalau aku akan datang." ujar Satya.
"Baik tuan muda." jawab Andika perlahan mundur meninggalkan ruangan itu.
Satya yang ditinggal sendirian diam tak melakukan apapun, dia sudah tidak memiliki mood yang baik untuk melakukan pekerjaannya. Lalu membuka salah satu laci yang ada dimejanya dan mengambil sebungkus rokok yang ada di sana.
Satya berdiri dari kursinya lalu merapikan rambutnya yang acak-acakkan, dia mengambil sebatang rokok dan membakarnya.
"Kita lihat apa yang akan dilakukan oleh kedua kakakku." batin Satya sambil tersenyum menyeringai.
...
Di lain tempat.
Salah satu hotel mewah, terlihat tempat tidur yang sudah berantakan. Dua insan yang sedang berbaring dengan tubuh telanjang ditutupi selimut, dua orang tersebut saling berpelukan.
Pria yang sedang memainkan rambut dari wanita yang berada dalam pelukannya, sedangkan wanita dengan rambut coklat kulit putih penuh dengan bekas ciuman merasa senang dan menggeliat dengan manja.
Drrtttt Drrtttt Drrtttt.
Getar ponsel terdengar di samping tempat tidur, pria itu meraih ponsel dengan malas dan matanya masih tertutup, tanpa melepaskan pelukannya dari wanita itu.
"Ada apa?"
"Mohon maaf karena saya mengganggu waktu istirahat tuan muda, saya ingin menyampaikan kalau malam ini tuan muda diundang oleh tuan besar untuk makan malam dikediaman utama." jelas suara dibalik ponsel.
"Ya baiklah. Siapa saja yang akan datang?" tanya pria itu penasaran.
"Seluruh tuan mud diundang." balas suara dibalik ponsel.
"Oke, sampaikan kepada ayahku tercinta kalau putranya akan hadir." ucapnya lalu mematikan ponselnya.
Pelahan pria itu membuka matanya, lalu tersenyum puas setelah mendengar kabar baik itu.
"Malam ini kamu harus menjalankan peranmu dengan baik." bisiknya kepada wanita yang terbaring disampingnya.
"Tentu saja tuan, saya sangat pandai bersandiwara." ucap wanita itu dengan penuh percaya diri. Lalu kedua tersenyum puas dan kembali berpelukan.
"Huufftt akhirnya selesai." lirih Satya sembari meregengkan tubuhnya yang lelah karena dari pagi dia sudah duduk memeriksa dokumen yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tok tok tok. Terdengar ketukan pintu, Satya sedang bersandar dikursinya sambil memejamkan mata tidak bereaksi. Beberapa saat kemudia Andika masuk dan dia melihat Satya sedang tidur dikursinya. 'Tuan muda pasti sangat kelelahan' batin Andika. "Tuan muda, mohon untuk bersiap-siap. Sudah waktunya kita berangkat." ucap Andika membangunkan Satya dengan sedikit menggoyangkan tubuhnya. "Tuan, saya sudah menyediakan setelan jas yang akan tuan muda kenakan. Ayo cepat bangun." ucap Andika dengan nada suara yang sedikit meninggi. Andika tidak bisa membiarkan Satya beristirahat, karena malam ini ada jadwal penting yaitu makan malam dengan ayah Satya dan seluruh keluarga akan menghadiri acara malam itu. "Aku sangat malas bertemu dengan kedua kakakku." keluh Satya. "Walaupu begitu anda harus tetap hadir tuan, kalau tidak tuan
Satu persatu anggota keluarga memasuki kediaman, tuan dan nyonya rumah belum menunjukan diri. Kedua orang tersebut masih sibuk dengan urusan masing-masing, tuan besar sibuk dengan pekerjaan dan nyonya besar sibuk dengan kegiatan sosialita. "Halo tuan, para tuan muda sudah datang. Mereka sedang menunggu kehadiran tuan besar." ucap Jeev setelah menghubungi majikannya untuk mengabari bahwa ketiga putranya sudah hadir. "Baiklah, sebentar lagi aku sampai." setelah mengatakan hal itu William yang ada dibalik telepon itu langsung mengakhiri telepon. "Baik tuan." balas Jeev. Seusai menelpon Jeev berjalan keruang tamu untuk menjamu para tuan muda yang sudah berkumpul. William Arga Bintara adalah ayah dari Satya sekaligus orang yang memimpin perusahaan Bintara Grup, sebetar lagi dia akan memasuki masa pensiun dan sedang mempersiapkan untuk menyerahkan posisinya pada salah satu putranya yang di anggap mampu olehnya. William orang yang sangat dingin, tidak pandai menunjukan perasaannya bahka
Pagi hari yang cerah menyambut matahari dan seolah mengusir gelapnya malam, Zora bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan untuk interview. Dia memakai baju formal yang sesuai dengan kriteria seorang karyawan kantoran. Zora menghadap cermin memperhatikan pantulan dirinya dari atas sampai bawah, dia berpikir masih ada yang kurang dari penampilannya lalu meraih laci di sampingnya dan mangambil sebuah kacamata dan memakainya. "Sempurna" gumam Zora. Setelah selesai dengan urusan penampilan, Zora berangkat keperusahaan dengan mengendarai mobil pribadinya. Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke perusahaan jadi Zora berangkat lebih awal karena jam intervewnya pukul sembilan. Sesampainya didepan gedung Zora memperhatikan area sekitarnya dengan saksama lalu melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki gedung itu dan berjalan menuju resepsionis. Zora dia antar keruangan tunggu karyawan. Ada banyak orang yang melamar di perusahaan di berbagai macam posisi, tetapi berbeda dengan posis
Klikkk... Ada 3 orang memasuki ruang tunggu, diantara nya ada Satya yang akan mewawancarai para pelamar, Zora memperhatikan orang-orang yang memasuki ruangan. Mata Zora langsung tertuju kepada satu orang yaitu Satya, dia terlihat mencolok dan sangat mudah menarik perhatian dengan penampilannya. Wibawanya sebagai seorang direktur dapat terlihat dari bagaimana cara ia berjalan, dengan dagu terangkat dan terlihat sangat arogan. Zora mengamatinya dari atas sampai bawah dan berfikir misinya kali ini tidak akan mudah untuk dilakukan, walaupun selama ini tidak ada misi yang dapat dianggap mudah. Ketiganya menduduki kursi masing-masing, didepan mereka sudah tersedia data-data terkait para pelamar, mata Zora tetap hanya fokus pada Satya seorang. Satya yang merasa ada yang memperhatikannya langsung mengangkatnya. Mata keduanya bertemu, dengan cepat Zora memberikan senyuman ramah. "Kamu maju kedepan.!" pinta Satya menunjuk ke arah Zora. "Saya?" tanya Zora menunjuk dirinya sendiri. Tanpa
Satya kembali sibuk dengan urusan kantor, dan ada Andika yang membantunya dengan setia keluar masuk ruangan setiap kali Satya memanggil. Lagi-lagi pikiranya terbayang-bayang tentang Zora yang ia lihat tadi pagi. Alasan Satya memanggil Zora untuk interview karena dia sedikit penasaran tentang dirinya. Untuk pertama kalinya dia tahu ada seorang wanita yang mau bekerja dan melamar sebagai pengawal.Setelah melihat CV yang dikirim Zora, terlintas dipikiran Satya bahwa wanita ini sangat unik dan memiliki bakat. Menurut pengalaman dan pemahaman Satya tentang wanita tidak pernah terbayangkan akan ada wanita yang bekerja sebagai tukang pukul. Wanita hanya peduli tentang penampilan dan fokus untuk mempercantik diri. Bagaimana seorang wanita bisa mendapatkan begitu banyak sertivikat beladiri, berbagai macam dugaan yang Satya pikirkan tentang Zora salah satunya adalah kemungkinan CV itu dipalsukan.Akhirnya Satya memutuskan untuk memanggilnya untuk interview kerja dan memastikan apakah dugaa
"Tuan, bajunya sudah siap." ucap pelayan yang baru memasuki kamar Satya setelah mengetuk pintu, dan Satya hanya menangguk. Pelayan itu dengan tenang meninggalkan kamar Satya, Satya dengan rambut basah dan masih memakai kimono melihat kearah cermin dan menatap lekat bayangan dirinya. "Apa karena aku tampan?" gumam Satya dengan satu alisnya yang terangkat. "Tidak masuk akal, dia pasti hanya kagum." bantahnya lagi lalu memakai vitamin pada rambutnya. Satya masih memikirkan tentang Zora yang selalu memperhatikannya kemarin, dia tidak bodoh hingga tidak menyadari ada orang yang memperhatikan dirinya. Hanya saja dia tidak mengerti dan tidak dapat menebak apa arti dari tatapan Zora, wajahnya yang kaku benar-benar mengganggu pikiran Satya. Entah kenapa wanita itu sangat mengganggu dan membuat Satya tidak bisa fokus. Tidak mau membuang waktu dengan memikirkan wanita itu lagi, Satya dengan cepat memakai baju yang sudah disiapkan pelayannya dan bersiap untu berangkat kekantor. Dan seperti
Melihat Zora datang Alan berniat memerasnya dengan kejadian pagi ini, dimana dia mendapatkan cidera. Alan berpikir Zora datang karena takut kehilangan pekerjaannya, bagaimanapun Zora membuat keributan dihari pertamanya. "Haha, jackpot." batin Alan dengan wajah berbinar begitu dia melihat Zora menghampirinya sambil menundukan kepalanya. Tetapi kebingungan yang menimpa Zora saat ini tidak mampu mandengar ucapan Alan yang menyambut dengan makian didepannya. Suara yang ia dengar meyakinkannnya untuk tidak ragu dalam membunuh, itu bukan pertama kali dia mendengarnya. Alan memiliki emosi kurang stabil dan cepat dipenuhi amarah, dengan wajah yang merah padam Alan mengangkat tangannya lalu dengan kasar menampar pipi Zora. Dia tidak terima diabaikan oleh wanita seperti Zora, bagaimanapun Alan berpikir harus memberi wanita ini pelajaran. Zora tersentak oleh tamparan yang dilayangkan pada pipinya, seketika wajahnya mengeras dan sadar dari lamunannya. Ternyata sejak memasuki ruangan itu Zora
Hari pertama Zora bekerja terasa cukup berat, detik demi detik yang seiring dengan jarum jam yang bergerak perlahan. Akhirnya jam menunjukan pukul 04:00 pm waktu yang dinantikan semua orang yang sedang duduk disekitarnya. Semua orang bangkit dari kursi masing-masing dan bersiap untuk pulang kerumah untuk mengistirahatkan diri, begitu juga Zora yang yang sudah siap meninggalkan kursinya. "Hai" ucap seseorang menahan tangan Zora. Zora menoleh, lalu dia menghempaskan tangan pria yang memegangnya sembarangan. Zora menatap pria itu dengan bingung, di ruangan yang hanya tersisa mereka berdua hingga membuat suara pria itu sedikit menggema. Pagi ini dia mengalami hal yang menjengkelkan karena seseorang sembarangan memegang tangannya, Sore hari pun hal itu terulang lagi."Untung saja tangannya tidak ku patahkan lagi." gumam Zora."A-aku juga karyawan baru disini, namaku Johan." salam pria itu memperkenalkan diri dengan kikuk. Dengan badan yang tidak terlalu besar dan lebih tinggi sekitar 3
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi
Bagaikan aliran air yang mengalir tanpa henti, waktu berlalu begitu cepat.Sudah satu bulan berlalu begitu saja, Zora bekerja dan beradaptasi dengan baik di kantor Satya. Walaupun ada beberapa orang tidak suka dan senang menjahilinya, namun dia memilih tetap diam mengabaikan dan tak membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Begitu juga Satya selama satu bulan tidak datang mencari ataupun menanyakan kabarnya. Seolah tidak pernah saling mengenal, Satya hilang tak mencarinya seperti awal saat mereka bertemu, bahkan saat mereka berpapasan dikantor Satya langsung membuang muka dengan sombongnya. 'Sebenarnya aku mengharapkan dia lebih menyukaiku sedikit lebih lama.' batin Zora. Zora berpikir ketertarikan Satya padanya hanya bersifat sementara. Yah itu memang tidak mungkin bertahan lama, mereka bertemu belum lama ini dan Satya sekarang mungkin sudah merasa bosan pikir Zora. Selama satu bulan penuh Zora tidak pernah memikirkan rencana untuk misinya, dia hanya fokus mendengarkan
'Apa aku harus ikut mengantri juga?' batin Satya sambil melirik jam tangannya, mengangkat kepalanya menatap antrian panjang yang membentang di depannya. Dengan alis berkerut, Satya memejamkan matanya dan memantapkan pikirannya yang enggan mengantri. Mau tidak mau dia harus ikut mengantri, tidak mungkin untuk menerobos antrian hanya karena dia seorang direktur. Itu akan menimbulkan masalah nantinya. Setelah mengantri selama waktu 20 menit akhirnya tiba giliran Satya dan Zora di belakangnya, Satya memperhatikan makanan yang berderetan di depannya, ditangannya sudah ada nampan berwarna perak dan bagian isi yang berbeda bentuk dengan kesan yang sederhana. 'Pantas tercium aroma yang enak, ternyata makanannya cukup enak.' batin Satya. Makanan yang berjejeran di depannya terlihat menggiurkan, Satya manatapnya satu persatu. Sayur-sayur masih terlihat segar, mulai dari ikan yang dibaluri bumbu yang melimpah sehingga aromanya tercium dari jarak jauh. ‘Ohh, yang ini terlihat enak.’ batin Sa
Ashan berjalan cepat menghampiri Zora, dengan niat ingin memarahinya. Zora tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dimata Ashan yang dari awal sudah membencinya pasti setiap tindakan kecil apapun akan dijadikan sebuah kesalahan. Ashan mengepalkan tangannya dengan keras, wajahnya merah padam menahan kesal. Zora dari awal sama sekali tidak menunjukan rasa hormat sedikitpun padanya sebagai atasan. Ashan berpikir bagaimanapun dia sebagai karyawan baru harus menyadari posisinya di perusahaan ini. "GEAA" bentak Ashan. Seketika rauangan yang berisik langsung hening, begitu suara itu mencapai ujung di setiap telinga karyawan yang ada. Suara itu seharusnya mampu membuat telinga orang yang mendengarnya merasa sakit, mungkin karyawan yang berada disana sudah terbiasa hingga tidak ada reaksi yang serius. Mereka hanya diam menyaksikan apa yang akan pemimpin mereka lakukan terhadap gadis itu. Termasuk Zora, dia tidak menanggapi suara lantang yang menyebut nama samarannya itu dengan kasar. Berunt
Tujuan Satya datang kesini untuk memberikannya obat salep, kemarin malam dia membeli obat itu untuk Zora. Merasa lebamnya tidak akan sembuh hanya dalam waktu semalam, lebih baik memberikannya dari pada dibiarkan seperti itu. Tadi pagi dia lupa memberikan obat itu, karena terburu-buru. Dia datang kesini tanpa sadar dan melupakan pekerjaannya yang menumpuk, jika Andika mengetahuinya dia pasti akan mengomeli Satya sepanjang waktu. Satya menghela nafas panjang, memijat pelipisnya sendiri. Ingin rasanya dia menertawakan dirinya sendiri, tindakannya akhir-akhir sejak dia bertemu gadis itu sangat di luar dugaan. Untuk apa dia mendatangi gadis itu, mengantarkan obat hanyalah alasan yang ia gunakan. Sesungguhnya dia hanya ingin bertemu dengan Zora. Satya yang sibuk dan asik dengan pikirannya sendiri mengabaikan keadaan sekitarnya, tanpa ia sadari Zora yang berada di sampingnya perlahan membuka mata. Zora terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang berat. Tubuhnya terasa lelah dan kaku,
Zora akhirnya tiba dikantor. Orang-orang berlalu lalang kesana kemari dengan kesibukan mereka masing-masing. Semua orang yang dilewati Zora terlihat bersemangat dan begitu penuh dengan energi, Wajah mereka terlihat cerah walaupun di sambut dengan segudang pekerjaan. Sangat berbanding terbalik dengan Zora, kantong matanya yang sedikit menggelap akibat begadang sepanjang malam. Pagi ini dia benar-benar kerepotan, Zora pulang naik taksi tapi tidak memiliki uang cash untuk membayar biaya taksinya. Entah itu adalah hari sialnya atau tidak, ponsel genggamnya pun ikut mati seakan menjebaknya di tengah situasi itu. Beruntungnya sang supir taksi merupakan orang yang pengertian, dia dengan sabar mengantar Zora ke ATM terdekat. Akhirnya masalah itu terselesaikan dengan damai karena bantuan dari sang supir. Zora bergegas lari menaiki tangga gedung apartemen usang dan berkarat itu, langkah demi langkah dia lewati hingga sampai di depan pintu apartemennya. Zora terlihat buru-buru seakan dia di
Subuh tiba dengan keheningan yang mendalam, seolah dunia sedang beristirahat sejenak sebelum memulai keramaian hari baru. Langit masih gelap, dengan bintang-bintang yang berkelipan di kejauhan, namun ada semburat cahaya lembut di ufuk timur yang menandakan fajar akan segera tiba. Zora tak kunjung bisa menutup matanya hingga pagi menyingsing, tempat itu terasa asing baginya. Sangat sulit untuk tidur, dia memikirkan apa yang dia alami sejak pagi. Kemarin malam Zora sudah mengelilingi semua ruangan dan seisi apartemen ini, ternyata benar ada CCTV di beberapa titik yang mampu merekan semua bagian apartemen kecuali kamar yang ditempati Satya. Ada 2 kamar kosong yang terlihat rapi dan bersih walaupun itu tidak ditinggali, entah kenapa Satya tidak menyuruh Zora untuk menggunakan kamar itu. Setelah melihat semuanya Zora kembali kekamar, dan melewati ruang tamu. Dia meliha Satya yang terbaring dengan tenang di sofa menggunakan piyama, dan bertelanjang dada. Dia menutupi wajahnya dengan seb