Theodore tak bisa menahan senyumnya saat dia berhasil mengajak Syaqila makan bersama. Meski dengan keberadaan satu orang yang sebenarnya tidak ia harapkan. Theo tetap merasa bersyukur saat ini."Dia masih memasang wajah seperti itu." Diandra berbisik pada Syaqila. Sejak tadi dia memperhatikan bagaimana pria di depannya ini bersikap. Dan senyum bodoh di wajahnya itu masih saja tidak menghilang. Diandra heran, apakah pria itu tidak pegal terus melengkungkan senyum seperti itu?"Biarkan saja," sahut Syaqila, sama berbisik. Mereka tidak mungkin menggunjingkan orang secara terang-terangan. Saat ini posisi Theodore tepat di hadapan mereka. Hanya dipisahkan sebuah meja di tengah-tengah. "Dia mungkin hanya sedang senang.""Aku juga tidak begitu peduli." Diandra menyahut dengan acuh. Dia menyuap satu sendok makanan ke mulutnya, merasa makan lebih baik daripada memperhatikan pria aneh di depan mereka itu. "Makanan di depanku jauh lebih menarik."Syaqila mendelik. Padahal tadi temannya itu yang
"Sudahlah, Raffael." Jeslyn menarik ujung pakaian Raffael. Berusaha menarik perhatian pria itu yang sejak tadi memilih berseteru dengan orang-orang itu. "Ayo kita pergi saja."Jeslyn tak suka saat dirinya diabaikan seperti ini. Bayangannya menikmati makan siang dengan Raffael tidak berlangsung sesuai ekspektasi. Dia justru malah harus menonton bagaimana pria itu lebih memilih memperhatikan perempuan lain."Sepertinya kekasihmu itu tidak sabar," ucap Theodore. Dia dengan jelas melihat ketidaksukaan Jeslyn dengan keadaan ini. Tapi Raffael seolah tidak peduli. Tampaknya dia memang sengaja hanya mempermainkan perempuan yang bersamanya itu."Pergilah jika kau memang ingin," tegas Raffael.Jawaban pria itu membuat Jeslyn menganga tak percaya. Dia benar-benar tak dipedulikan.Raffael duduk di salah satu kursi, memilih bergabung bersama Syaqila dan dua orang yang bersamanya. Tindakannya membuat mereka terkejut. Jeslyn yang masih berdiri di sana mengepalkan kedua tangannya dengan geram.Kenapa
Zain merasa jika kesabarannya saat ini sedang diuji. Ada seorang gadis di sampingnya yang sejak tadi memperhatikannya dengan kedua mata yang berkedap-kedip. Dia memindai penampilan Zain dari bawah ke atas. Tangannya menyentuh rambut dan lalu pakaiannya. Zain tidak tahu apa yang dilakukan gadis aneh ini. Tapi dia harus tahan untuk beberapa saat sebelum tuannya menyuruh untuk pergi."Siapa kau?"Gadis itu bertanya ingin tahu. Dia baru menanyakan itu setelah matanya sejak tadi memindai dirinya dengan penuh selidik. Namun di sisi yang lain, Zain merasa ia telah ditelanjangi oleh perempuan cabul itu.Zain hanya melirik sekilas pada perempuan itu, tanpa menjawabnya. Dia kembali meluruskan pandangan ke depan. Tepatnya pada tuannya yang masih berbicara dengan Syaqila."Apa kau robot?'Alisnya berkedut, dia jelas tersinggung dengan pertanyaan perempuan itu. Apakah di sini ia tampak seperti benda mati tak bernyawa?Dengan kesal, dia melayangkan tatapan tajam pada perempuan itu. Berharap dengan
Langkah Raffael melambat saat ia melihat seorang yang tidak ingin ia temui berada di ruang tamu rumahnya. Pria tua yang tengah duduk di sofa itu tampak menikmati teh hangat yang disajikan oleh ibunya.Berbeda dengan kedua orang tuanya yang menyambut ramah kedatangan pria tua itu, Raffael justru tak senang.Dia berjalan mendekati mereka dengan aura tidak bersahabat."Sedang apa Kakek di sini?"Romeo menoleh. Wajahnya yang sejak tadi tampak dingin kini mulai mencair. Pria itu mengulas senyum untuk cucunya yang sejak tadi dia tunggu."Raffael, kakek menunggumu sejak tadi," ucap Romeo."Aku bertanya, Kakek. Untuk apa Kakek kemari?" tanya Raffael sekali lagi. Dia tidak menutupi ketidaksukaannya melihat kedatangan kakeknya. Dan hal itu membuat Fabian dan Utari melayangkan tatapan penuh peringatan pada pemuda itu. Namun Raffael sama sekali tak peduli."Apakah tak boleh aku berkunjung?" tanya Romeo, tersenyum geli. Melihat kekesalan cucunya itu, membuat ia semakin ingin mempermainkannya. "Ak
"Kau harus bisa menjaga sikap dan perkataanmu."Saat ia berada di lantai dua, Raffael diseret oleh ibunya dan diceramahi. Ia sadar akan mendapatkan ini setelah dengan terang-terangan menunjukkan sikap tak menyenangkan di hadapan kakeknya. Ia tahu orang tuanya tak mau terlibat dalam masalah karena ulah kurang ajarnya.Tapi, apakah Raffael peduli? Tentu saja tidak."Raffael, apa kau mendengar apa yang mama katakan?" tegur Utari. Dia kesal karena sepertinya putranya itu tak menganggap serius peringatan darinya."Iya, Ma. Aku mendengarnya." Raffael menyahut dengan acuh.Bukan berarti dia akan menurutinya. Dia hanya membiarkan ibunya itu memarahinya hingga puas."Jangan sampai mama melihatmu bersikap seperti itu lagi pada kakek," ancam Utari."Aku paham." Pria muda itu mengangguk, meski dalam hati dia tidak berniat menuruti apa yang dikatakan ibunya."Apa kau tahu, papa dan mama bisa terkena masalah jika kau masih bersikap seperti ini." Kali ini nada bicara Utari sedikit melembut. Dia beru
Utari tak bisa menahan rasa terkejutnya mendengar apa yang dikatakan oleh sang suami. Demi Tuhan, semua yang dikatakannya terasa sulit untuk diterima oleh otaknya."Katakan jika ini hanya candaan," ujar Utari. Dia berharap jika suaminya tidak serius mengatakan kalimatnya barusan."Sayangnya ini serius, sayang." Fabian menjawab dengan tidak berdaya. Sama seperti Utari, dia sendiri sebenarnya tak menyangka dengan permintaan yang dilayangkan ayahnya. Meski Fabian sudah mendengarnya lebih awal."Tapi, bagaimana mungkin?" Utari merasa ini seperti lelucon, yang bahkan tak pantas untuk dijadikan lelucon. Sungguh, ini tidak lucu sama sekali. "Apa ayahmu sudah kehilangan akalnya?""Kau tahu sendiri bagaimana sifat Ayah." Fabian juga tak mengerti apa tujuan ayahnya itu."Kenapa kau tidak menolak? Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.""Apa menurutmu itu mudah?" Fabian menjadi geram. Karena istrinya malah menyudutkannya, tanpa mau mengerti bagaimana posisinya saat ini. "Aku bukan anak kandung
Setelah pembicaraan yang menurut Raffael sangat membosankan, dia mengajak Syaqila untuk bicara serius. Mereka berada di belakang rumah, dekat dengan kolam renang. Keadaan mereka menjadi sangat canggung. Terlebih, karena mereka telah dijodohkan secara paksa."Aku hanya ingin memberitahumu, jika aku tidak bisa menerima ini." Raffael langsung bicara ke intinya. Dia tak peduli jika perempuan itu akan terluka karenanya. "Jadi jangan mengharapkan apapun dari kejadian ini. Aku akan mencari cara untuk membatalkan perjodohan sialan ini."Syaqila mengabaikan perasaan nyeri di dada. Tidak diharapkan, ditolak mentah-mentah, harga dirinya terasa dicabik-cabik. Dia mengangguk dengan perlahan. Mencoba berusaha bersikap tenang walau hatinya terasa hancur."Aku tahu," balas Syaqila. Dia berusaha bicara dengan suara normal. Namun suaranya tetap saja terdengar gemetar. Dia harus tegar, menunjukkan pada Raffael jika ia pun sebenarnya tidak menginginkan pria itu. "Aku juga tidak ingin semua ini."Syaqila
Hari ini mood Raffael sedikit memburuk. Selain karena kejadian semalam yang dibuat kakeknya, Raffael mulai merasakan perasaan tak nyaman setiap kali dia berpapasan dengan Syaqila. Terlebih, saat ini perempuan itu seolah memusuhinya. Entah apa yang membuat perempuan itu bersikap seperti ini padanya, Raffael berusaha mengerti. Mungkin kejadian semalam membuat perempuan itu tertekan hingga bersikap demikian.Namun mereka tinggal seatap. Mereka juga pergi ke kampus yang sama. Intensitas pertemuan mereka akan sering terjadi, secara tidak disengaja. Hal itu membuat keduanya kesulitan untuk menjauh."Kau kenapa?" Freya menyadari jika ada yang berbeda dengan pria yang baru-baru ini menjadi temannya itu. Dia tidak setenang biasanya. "Ada masalah?""Jika kau memang sedang ada masalah, ceritalah pada kami," ucap Rui, ikut bicara. Bagaimana pun, mereka sudah cukup dekat. Seharusnya Raffael tidak begitu tertutup pada mereka. Mereka akan membantu sebisa mungkin jika dibutuhkan."Jangan selalu memen
"Kau tahu? Katanya anak itu masuk rumah sakit lagi.""Maksudmu anak aneh itu?" tanya Romeo, menatap istrinya."Namanya Raffael," Emily meluruskan. Meski tingkah Raffael memang sedikit aneh, rasanya tak pantas jika mereka menyebutnya seperti itu. "Jangan panggil dia begitu. Bagaimana pun, dia masih cucu kita.""Sekarang, apa lagi?" Romeo sudah mendengar sebelumnya tentang apa yang terjadi. Dia cukup prihatin dengan kehidupan cucu laki-lakinya itu. Dia sangat tertutup. Dan tingkahnya juga sedikit aneh. Romeo sempat mendengar jika putranya memanggil psikiater untuk bocah tersebut. Sepertinya memang dia memiliki gangguan dalam psikisnya."Entahlah." Emily menghela napas. "Kudengar dari Utari, dia menemukan Raffael tak sadarkan diri saat ia hendak mengantarkan makan malam untuknya.""Sepertinya dia terlalu banyak mengonsumsi obat." Romeo mendengus, tampak tak senang. "Bukankah Fabian sudah mengawasinya? Mengapa anak itu masih sempat-sempatnya memiliki obat itu?""Dia tidak akan mudah berhe
"Aku menyerah."Syaqila sudah berusaha untuk bertahan. Tapi waktu yang dia lalui tidak menghasilkan apapun selain rasa sakit dan kecewa. Dia semakin menyadari, jika Raffael tak bisa memberikan apapun.Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kakek dan neneknya dengan raut wajah bersalah."Maaf jika mengecewakan kalian. Tapi, aku sudah tak bisa lagi meneruskan ini."Emily menghela napas. Meski sedikit kecewa, dia berusaha mengerti posisi Syaqila. Menghadapi sikap Raffael memang menguras banyak kesabaran. Cucu laki-lakinya itu memiliki banyak sifat yang menyebalkan. Sangat wajar rasanya jika pada akhirnya Syaqila memilih untuk menyerah daripada terus berjuang hanya untuk semakin melukai hatinya."Kami tidak marah." Emily berusaha menghiburnya. Dia tak akan menyalahkan Syaqila. Mereka sendiri yang membebaskannya untuk mengambil keputusan. Saat Syaqila datang menemui mereka untuk mengakhiri ini semua, mau tidak mau mereka harus menerimanya."Apa dia sudah sangat keterlaluan?" Romeo hany
Syaqila menghela napas malas. Rencana yang sudah ia susun rapi tak bisa ia jalankan. Sore tadi neneknya menghubunginya. Ia disuruh untuk datang ke sebuah restoran. Kakek dan neneknya memaksanya untuk menghabiskan waktu makan malam bersama Raffael. Ini bisa disebut kencan secara paksa. Syaqila sama sekali tak merasa senang menyambut saat ini.Disaat ibunya dengan heboh memilihkan pakaian yang tepat untuknya, Syaqila tak merasa bersemangat sedikit pun.Tadinya dia ingin pergi bersama Diandra, pergi ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan uang. Tapi, rencana itu harus batal karena perintah dari kakeknya. Syaqila tak bisa menolak. Dia yakin Raffael pun akan setuju dengan terpaksa.Syaqila memiliki waktu dua jam sebelum acara dimulai. Dia sudah menimbulkan kehebohan di rumah hanya untuk persiapan. Dan tentunya yang bersemangat menyiapkan semuanya bukanlah dirinya, melainkan ibunya."Pakai yang ini saja." Utari memberikan sebuah gaun berwarna navy pada putrinya itu. Dia rasa, gaun itu adal
Melihat Rui berhasil dan kembali akrab dengan Raffael, Freya merasa iri. Dia memang biasa-biasa saja pada awalnya, karena ia sendiri masih tak yakin apakah Rui akan berhasil atau tidak. Tapi, setelah melihat akhir ini, Freya pun merenggut. Dia merasa tidak terima."Apa aku juga harus minta maaf?" Freya meminta pendapat Ando. Jawaban yang diberikan pria itu mungkin bisa membantunya. Karena sebelumnya, Rui pun meminta pendapat mereka sebelum memutuskan untuk menemui Raffael.Ando mengedikkan bahu. "Itu terserah kau, Freya."Ando tahu, dibanding Rui, Freya masih menyimpan perasaan kesal pada Raffael. Karena melihat bagaimana pria itu memperlakukan seorang perempuan dengan buruk, membuat Freya ikut tersinggung karenanya.Sebagai sesama perempuan, Freya hanya berusaha menyadarkan Raffael untuk lebih bisa menghargai mereka."Rasanya tidak rela." Freya menghela napas kasar. Berat rasanya ketika dia dipaksa mengakui dirinya bersalah, padahal menurutnya ia sudah melakukan sesuatu yang benar. N
"Hei."Jeslyn berdecak, merasa risih dengan tindakan Rui yang sengaja menusuk lengannya dengan pulpen."Bagaimana kau bisa masih baik-baik saja dengan Raffael?" Rui merasa ini tidak adil. Dia sudah membela Jeslyn saat itu, tapi yang terkena dampaknya justru hanya mereka. Perempuan itu sendiri tampak tidak terpengaruh. Dia masih bisa mendekati Raffael. Hubungannya dengan Raffael tidak ada yang berubah. Kontras sekali perbedaan antara mereka."Memang kenapa?" balas Jeslyn, sewot. "Apa kau berharap dia menjauhiku juga?""Ini terasa tidak adil." Rui merenggut kesal. "Kenapa dia marah pada kami, sedangkan padamu tidak?""Hei! Kau berkata seolah ingin aku juga dimusuhi olehnya!" protes Jeslyn. Dia tidak akan mau jika sampai Raffael benar-benar melakukannya."Memang benar. Bukankah Raffael tidak sepantasnya memperlakukan kita seperti ini?" Freya ikut menanggapi. Dia menatap teman-temannya dan kembali bicara, "Jika dia bisa tetap bersikap biasa pada Jeslyn, seharusnya dia tak perlu memusuhi k
"Bagaimana?" Diandra bertanya antusias. "Apakah ada perkembangan tentang hubunganmu dengannya?"Dia selalu bersemangat untuk menanyakan hal ini. Tapi tidak dengan Syaqila. Dia justru enggan membahasnya. Ia sudah bosan mendengar orang lain bertanya tentang hal serupa. Akhir-akhir ini, orang-orang di sekitarnya seakan penasaran tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Raffael. Kadang, Syaqila merasa terganggu dengan semua ini."Aku tidak tahu," jawab Syaqila acuh. Dia memilih fokus mencatat, tak mau repot-repot menoleh pada sahabatnya. "Bisa tidak usah bicarakan tentangnya? Aku bosan."Tidak dimana pun, Syaqila seakan terus mendengar seseorang bertanya tentang pria itu. Telinganya sudah bosan."Tapi aku penasaran," rengek Diandra. Mana bisa dia diam saja memendam banyak pertanyaan di kepalanya? Sedangkan saat ini jawaban dari semua rasa penasarannya sudah ada di depan mata. Diandra hanya perlu mengulik sedikit supaya Syaqila mau sedikit berbagi cerita padanya. "Ayolah! Kau mana tega
Raffael baru keluar dari lift. Dia menemukan Jeslyn yang tengah duduk menunggunya. Dalam hati Raffael merasa heran, bagaimana perempuan itu tahu tempat dia bekerja?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raffael, berjalan menghampirinya."Menemuimu." Jeslyn tersenyum. Perempuan itu mendekat padanya dan berbisik, "Aku baru menemukan satu hal yang menarik. Kuyakin kamu pasti terkejut."Raffael melengos, mendorong Jeslyn dengan perlahan. Dia tetap menjaga sikapnya supaya tidak menyakiti perempuan itu. Terlebih, saat ini mereka berada di kantor tempat ia bekerja."Apa yang kamu inginkan?""Kau harus mendengar dulu apa yang akan aku katakan." Jeslyn memegang lengan pakaian pria itu. Dia sedikit memaksa.Raffael sebenarnya enggan. Tapi dia merasa jika Jeslyn saat ini tidak berpura-pura. Dia mungkin benar-benar memiliki hal yang harus didengar olehnya. Entah itu kabar baik atau buruk, Raffael harus memastikannya."Baiklah." Raffael memilih untuk mengalah saat ini. "Ikut aku."Dia membawa Jesl
"Bagaimana harimu?"Utari menyambut antusias saat melihat putrinya kembali dari kampus. Dia menarik Syaqila, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.Sebelumnya dia sudah mendengar jika putrinya itu menerima permintaannya untuk menjalin hubungan dengan Raffael. Awalnya Utari merasa keberatan. Tapi, setelah dipikirkan kembali, tidak ada salahnya membiarkan putrinya untuk menjadi salah satu cucu menantu Romeo. Syaqila tidak akan kesusahan. Dengan harta yang diwarisi Raffael nanti, dia bisa hidup dengan harta bergelimang.Memikirkan semua itu membuat Utari semakin bersemangat untuk menyuruh putrinya melakukan banyak cara supaya Raffael semakin mudah tertarik padanya."Hariku berjalan seperti biasa." Syaqila menjawab dengan memandang ibunya heran. Tidak biasanya ibunya itu bertanya. "Ada apa, Ma?""Apa kau bertemu Raffael hari tadi?"Utari hanya ingin memastikan sejauh mana hubungan mereka berkembang. Semakin cepat akan semakin baik terdengar. Karena dengan itu, Romeo akan puas dengan usaha
Romeo dan Emily seolah sengaja memberikan waktu bagi Raffael dan Syaqila untuk berbincang-bincang. Tapi apakah itu berguna? Sedangkan sejak tadi Raffael bersikap acuh tak acuh. Pria itu lebih senang menatap handphone-nya daripada bicara dengan Syaqila. Menurutnya, perempuan itu tidak asik diajak bicara.Syaqila yang merasa jenuh menghela napas kasar. Dia merasa kesal, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Sikap Raffael memang seperti ini.Syaqila menginginkan kehadiran neneknya yang entah pergi kemana bersama kakeknya. Syaqila lebih senang jika orang tua itu ada di sini. Daripada menghabiskan waktu dengan Raffael yang sama sekali tak menganggap kehadirannya.Syaqila melirik jam di tangannya. Ini sudah lima belas menit, dan neneknya sampai sekarang tidak kembali."Ada apa denganmu?" tanya Raffael. Merasakan kegelisahan perempuan di sisinya itu membuat dirinya terganggu."Aku hanya bingung, kemana nenek? Kenapa dia tidak kunjung kembali?" balas Syaqila, mengutarakan keresahannya."Tidak p