"Kau selalu tampak menyedihkan."Syaqila tak bicara meski ucapan Raffael cukup membuatnya tertohok. Dia menyadari jika dirinya memang semenyedihkan itu. Dia tak pernah berharap jika dirinya akan selalu ditemukan dalam keadaan seperti ini oleh pria yang membencinya."Terlalu banyak orang yang membencimu. Sudah ku katakan padamu sebelumnya, berhati-hatilah," cecar Raffael, mengomeli perempuan di depannya. "Kau bertindak sangat ceroboh hari ini. Untuk apa membuat dirimu sendiri dalam bahaya hanya karena orang lain?""Aku ... mana mungkin diam saja saat melihat orang lain dalam kesulitan?" cicit Syaqila, membela diri."Ingat dirimu sewaktu kau dirundung oleh banyak orang. Apakah orang-orang di sekitarmu bergerak untuk menolongmu?" balas Raffael yang membuat Syaqila seketika terbungkam. "Tidak semua orang memiliki pemikiran bodoh sepertimu. Setidaknya mereka memikirkan tentang diri mereka sebelum memutuskan untuk menolong orang lain."Apa yang Raffael ucapkan benar. Namun Syaqila memiliki
Raffael mendengar jika Syaqila tengah sakit saat ini. Ia jadi berpikir, mungkin Syaqila terkejut karena kejadian yang menimpanya hari kemarin. Hal itu sangat wajar, semua perempuan akan merasakan hal yang sama.Tapi, di sini Raffael benar-benar merutuki sifat Syaqila yang tidak bisa tegar walau sedikit. Karena berkatnya, Raffael-lah yang diminta orang tuanya untuk menjaga bayi besar itu di rumah."Jangan memasang wajah seperti itu."Gadis yang bersembunyi di balik selimut itu menunjukkan setengah wajahnya, menyerukan protesan atas ekspresi Raffael yang tidak mengenakan.Raffael rasanya ingin membalas dengan kata-kata sarkas yang biasa ia ucapkan. Tapi, kali ini dia menahannya. Pria itu hanya menghembuskan napas dengan kasar."Sebegitu bencinyakah kau padaku?" tanya Syaqila. Perempuan itu mulai menunjukkan wajahnya, dan duduk di ranjangnya. Menunjukkan wajah cemberut. "Padahal aku sedang sakit sekarang.""Diamlah," ketus Raffael. Saat mendengar Syaqila bicara, dia justru semakin kesal.
"Ka-kamu serius?"Syaqila hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Dia sudah tidak banyak berharap, karena kebencian Raffael yang sulit disurutkan meski Syaqila sudah berkali-kali meminta maaf. Lantas, kenapa tiba-tiba pria itu menyetujui untuk berdamai dengannya?"Ya."Pria itu mengangguk tanpa keraguan sedikit pun. Dia terlihat lebih santai dari biasanya. Tatapannya pun tak sedingin sebelumnyaDari sana Syaqila menyadari jika Raffael tidak bercanda sama sekali."Tapi, apa alasanmu?" Syaqila tidak mungkin percaya begitu saja, di saat Raffael sudah terlalu sering menolak ajakannya mentah-mentah.Syaqila memang berharap. Tapi dia lebih pesimis, melihat bagaimana pria di depannya itu begitu membencinya sejak kemarin. Lantas, apa yang membuat pria itu tiba-tiba berubah pikiran?"Kurasa ... mungkin, karena kau terlalu membosankan." Raffael menjawab dengan ringan. Pria itu bersandar dan melipat kedua tangannya di dada. Dia merasa sudah cukup untuk bermain-main. Ia terlalu berekspekt
Jeslyn tanpa sengaja mendengar Raffael berbincang dengan seseorang di telepon. Entah dengan siapa ia bicara. Tapi dalam pembicaraan itu, Jeslyn mendengar Raffael meminta seseorang itu untuk menjaga Syaqil.Syaqil!Pikiran Jeslyn langsung tertuju pada satu orang. Siapa lagi jika bukan Syaqila? Hanya orang itu yang kemungkinan besar adalah 'Syaqil' yang dimaksud Raffael. Terlebih, Jeslyn pernah memergoki keduanya bersama beberapa kali.Kedua tangan Jeslyn mengerat. Dia tidak terima. Hubungan Raffael dengan Syaqila tampaknya menjadi semakin dekat saat ini. Padahal, seharusnya keduanya semakin menjauh, bukan malah sebaliknya.Mengapa semua menjadi seperti ini? Seolah dunia tidak berpihak padanya.Di tengah perasaan emosi yang bergemuruh di dada, Jeslyn memutuskan untuk membalas Syaqila dengan caranya sendiri. Dia tidak bisa hanya diam saja saat pujaan hatinya semakin dekat dengan perempuan lain. Terlebih itu adalah rivalnya.****"Ya. Kondisinya belum benar-benar membaik. Jadi, aku ingin
Malam ini orang tua mereka tidak berada di rumah. Fabian memiliki urusan pekerjaan dan membutuhkan istrinya sebagai pendamping. Karena itu, Raffael harus kembali terjebak bersama saudarinya.Waktu mendekati makan malam, Raffael pikir ia harus kembali maju sebagai pengasuh Syaqila, sebelum perempuan itu merengek meminta makan karena lapar. Tapi, tanpa diduga, Raffael justru menemukan perempuan itu berada di dapur, tengah menyiapkan makan malam dengan begitu piyawai. Dia seperti sudah terbiasa melakukannya. Untuk kali ini, Raffael bersyukur dia tidak direpotkan.Syaqila yang tenggelam dalam aktifitas memasak yang menyenangkan, tak menyadari jika kegiatannya sejak tadi diperhatikan oleh seseorang. Raffael di sana, berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan kemana perempuan itu bergerak. Bagaimana dia mengolah setiap bahan masakan hingga menjadi matang. Raffael harus memastikan jika perempuan yang berada di ruangan itu memang benar-benar bisa memasak, dan tidak berniat untuk meracuniny
"Hei, Raffael!"Pria yang dipanggil itu menoleh, menatap Rui yang duduk di sisinya."Aku ingin tahu apa hubunganmu dengan Syaqila?" Ia benar-benar penasaran sejak dulu. Entah kenapa, dia merasa jika Raffael sudah mengenal Syaqila jauh sebelum mereka. "Apakah kalian memiliki hubungan khusus?"Raffael terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab, "Bisa dibilang begitu."Rui tercengang. Tak menyangka Raffael akan membenarkan dugaannya."K-kau ... serius?"Raffael mengangguk, tak peduli ekspresi Rui yang begitu berlebihan.Pertanyaan aneh. Jika ada yang bertanya apakah Raffael memiliki hubungan khusus dengan Syaqila, bukankah tak salah jika Raffael membenarkannya? Hubungan persaudaraan juga termasuk khusus, kan?****"Ada apa?""Cucu durhaka! Apa begitu caramu menyapa kakekmu, hm?"Raffael memutar bola matanya malas saat mendengar balasan kakeknya di telepon."Minggu ini, Kakek sudah menghubungiku sebanyak tiga kali." Raffael bukannya tak senang. Tapi dia merasa ini tak biasa. Dan bagaimana
Hampir saja Syaqila ditinggalkan. Jika dia masih mempertahankan egonya, sudah pasti Raffael akan meninggalkannya di sana tanpa peduli sedikit pun. Akhirnya, Syaqila yang mengalah. Dia mengaku salah dan meminta maaf. Memastikan jika Raffael tak marah dan tak memperpanjang masalah.Sebenarnya, pria itu masih terlihat kesal. Namun dia tampak enggan memperpanjang masalah yang sebenarnya tidak terlalu berguna. Syaqila pun baru menyadari jika dia terlalu berlebihan dalam menyikapi masalah yang dia alami barusan.Perempuan itu meringis saat mengingat bagaimana konyolnya dia yang memaki-maki motor kesayangannya saat mengetahui jika bannya kempes. Haruskah dia bersikap seperti itu? Syaqila memang kesal, namun sikapnya justru membuat dirinya terlihat lebih memalukan.Setelah semua ini, siapa yang harus ia salahkan? Syaqila merasa ini semua memang berasal dari dirinya sendiri."Kita sudah sampai."Raffael menginterupsi. Menyadarkan Syaqila yang sejak tadi melamun di mobilnya.Mereka memang beran
Theodore tak bisa menahan senyumnya saat dia berhasil mengajak Syaqila makan bersama. Meski dengan keberadaan satu orang yang sebenarnya tidak ia harapkan. Theo tetap merasa bersyukur saat ini."Dia masih memasang wajah seperti itu." Diandra berbisik pada Syaqila. Sejak tadi dia memperhatikan bagaimana pria di depannya ini bersikap. Dan senyum bodoh di wajahnya itu masih saja tidak menghilang. Diandra heran, apakah pria itu tidak pegal terus melengkungkan senyum seperti itu?"Biarkan saja," sahut Syaqila, sama berbisik. Mereka tidak mungkin menggunjingkan orang secara terang-terangan. Saat ini posisi Theodore tepat di hadapan mereka. Hanya dipisahkan sebuah meja di tengah-tengah. "Dia mungkin hanya sedang senang.""Aku juga tidak begitu peduli." Diandra menyahut dengan acuh. Dia menyuap satu sendok makanan ke mulutnya, merasa makan lebih baik daripada memperhatikan pria aneh di depan mereka itu. "Makanan di depanku jauh lebih menarik."Syaqila mendelik. Padahal tadi temannya itu yang
"Kau tahu? Katanya anak itu masuk rumah sakit lagi.""Maksudmu anak aneh itu?" tanya Romeo, menatap istrinya."Namanya Raffael," Emily meluruskan. Meski tingkah Raffael memang sedikit aneh, rasanya tak pantas jika mereka menyebutnya seperti itu. "Jangan panggil dia begitu. Bagaimana pun, dia masih cucu kita.""Sekarang, apa lagi?" Romeo sudah mendengar sebelumnya tentang apa yang terjadi. Dia cukup prihatin dengan kehidupan cucu laki-lakinya itu. Dia sangat tertutup. Dan tingkahnya juga sedikit aneh. Romeo sempat mendengar jika putranya memanggil psikiater untuk bocah tersebut. Sepertinya memang dia memiliki gangguan dalam psikisnya."Entahlah." Emily menghela napas. "Kudengar dari Utari, dia menemukan Raffael tak sadarkan diri saat ia hendak mengantarkan makan malam untuknya.""Sepertinya dia terlalu banyak mengonsumsi obat." Romeo mendengus, tampak tak senang. "Bukankah Fabian sudah mengawasinya? Mengapa anak itu masih sempat-sempatnya memiliki obat itu?""Dia tidak akan mudah berhe
"Aku menyerah."Syaqila sudah berusaha untuk bertahan. Tapi waktu yang dia lalui tidak menghasilkan apapun selain rasa sakit dan kecewa. Dia semakin menyadari, jika Raffael tak bisa memberikan apapun.Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kakek dan neneknya dengan raut wajah bersalah."Maaf jika mengecewakan kalian. Tapi, aku sudah tak bisa lagi meneruskan ini."Emily menghela napas. Meski sedikit kecewa, dia berusaha mengerti posisi Syaqila. Menghadapi sikap Raffael memang menguras banyak kesabaran. Cucu laki-lakinya itu memiliki banyak sifat yang menyebalkan. Sangat wajar rasanya jika pada akhirnya Syaqila memilih untuk menyerah daripada terus berjuang hanya untuk semakin melukai hatinya."Kami tidak marah." Emily berusaha menghiburnya. Dia tak akan menyalahkan Syaqila. Mereka sendiri yang membebaskannya untuk mengambil keputusan. Saat Syaqila datang menemui mereka untuk mengakhiri ini semua, mau tidak mau mereka harus menerimanya."Apa dia sudah sangat keterlaluan?" Romeo hany
Syaqila menghela napas malas. Rencana yang sudah ia susun rapi tak bisa ia jalankan. Sore tadi neneknya menghubunginya. Ia disuruh untuk datang ke sebuah restoran. Kakek dan neneknya memaksanya untuk menghabiskan waktu makan malam bersama Raffael. Ini bisa disebut kencan secara paksa. Syaqila sama sekali tak merasa senang menyambut saat ini.Disaat ibunya dengan heboh memilihkan pakaian yang tepat untuknya, Syaqila tak merasa bersemangat sedikit pun.Tadinya dia ingin pergi bersama Diandra, pergi ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan uang. Tapi, rencana itu harus batal karena perintah dari kakeknya. Syaqila tak bisa menolak. Dia yakin Raffael pun akan setuju dengan terpaksa.Syaqila memiliki waktu dua jam sebelum acara dimulai. Dia sudah menimbulkan kehebohan di rumah hanya untuk persiapan. Dan tentunya yang bersemangat menyiapkan semuanya bukanlah dirinya, melainkan ibunya."Pakai yang ini saja." Utari memberikan sebuah gaun berwarna navy pada putrinya itu. Dia rasa, gaun itu adal
Melihat Rui berhasil dan kembali akrab dengan Raffael, Freya merasa iri. Dia memang biasa-biasa saja pada awalnya, karena ia sendiri masih tak yakin apakah Rui akan berhasil atau tidak. Tapi, setelah melihat akhir ini, Freya pun merenggut. Dia merasa tidak terima."Apa aku juga harus minta maaf?" Freya meminta pendapat Ando. Jawaban yang diberikan pria itu mungkin bisa membantunya. Karena sebelumnya, Rui pun meminta pendapat mereka sebelum memutuskan untuk menemui Raffael.Ando mengedikkan bahu. "Itu terserah kau, Freya."Ando tahu, dibanding Rui, Freya masih menyimpan perasaan kesal pada Raffael. Karena melihat bagaimana pria itu memperlakukan seorang perempuan dengan buruk, membuat Freya ikut tersinggung karenanya.Sebagai sesama perempuan, Freya hanya berusaha menyadarkan Raffael untuk lebih bisa menghargai mereka."Rasanya tidak rela." Freya menghela napas kasar. Berat rasanya ketika dia dipaksa mengakui dirinya bersalah, padahal menurutnya ia sudah melakukan sesuatu yang benar. N
"Hei."Jeslyn berdecak, merasa risih dengan tindakan Rui yang sengaja menusuk lengannya dengan pulpen."Bagaimana kau bisa masih baik-baik saja dengan Raffael?" Rui merasa ini tidak adil. Dia sudah membela Jeslyn saat itu, tapi yang terkena dampaknya justru hanya mereka. Perempuan itu sendiri tampak tidak terpengaruh. Dia masih bisa mendekati Raffael. Hubungannya dengan Raffael tidak ada yang berubah. Kontras sekali perbedaan antara mereka."Memang kenapa?" balas Jeslyn, sewot. "Apa kau berharap dia menjauhiku juga?""Ini terasa tidak adil." Rui merenggut kesal. "Kenapa dia marah pada kami, sedangkan padamu tidak?""Hei! Kau berkata seolah ingin aku juga dimusuhi olehnya!" protes Jeslyn. Dia tidak akan mau jika sampai Raffael benar-benar melakukannya."Memang benar. Bukankah Raffael tidak sepantasnya memperlakukan kita seperti ini?" Freya ikut menanggapi. Dia menatap teman-temannya dan kembali bicara, "Jika dia bisa tetap bersikap biasa pada Jeslyn, seharusnya dia tak perlu memusuhi k
"Bagaimana?" Diandra bertanya antusias. "Apakah ada perkembangan tentang hubunganmu dengannya?"Dia selalu bersemangat untuk menanyakan hal ini. Tapi tidak dengan Syaqila. Dia justru enggan membahasnya. Ia sudah bosan mendengar orang lain bertanya tentang hal serupa. Akhir-akhir ini, orang-orang di sekitarnya seakan penasaran tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Raffael. Kadang, Syaqila merasa terganggu dengan semua ini."Aku tidak tahu," jawab Syaqila acuh. Dia memilih fokus mencatat, tak mau repot-repot menoleh pada sahabatnya. "Bisa tidak usah bicarakan tentangnya? Aku bosan."Tidak dimana pun, Syaqila seakan terus mendengar seseorang bertanya tentang pria itu. Telinganya sudah bosan."Tapi aku penasaran," rengek Diandra. Mana bisa dia diam saja memendam banyak pertanyaan di kepalanya? Sedangkan saat ini jawaban dari semua rasa penasarannya sudah ada di depan mata. Diandra hanya perlu mengulik sedikit supaya Syaqila mau sedikit berbagi cerita padanya. "Ayolah! Kau mana tega
Raffael baru keluar dari lift. Dia menemukan Jeslyn yang tengah duduk menunggunya. Dalam hati Raffael merasa heran, bagaimana perempuan itu tahu tempat dia bekerja?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raffael, berjalan menghampirinya."Menemuimu." Jeslyn tersenyum. Perempuan itu mendekat padanya dan berbisik, "Aku baru menemukan satu hal yang menarik. Kuyakin kamu pasti terkejut."Raffael melengos, mendorong Jeslyn dengan perlahan. Dia tetap menjaga sikapnya supaya tidak menyakiti perempuan itu. Terlebih, saat ini mereka berada di kantor tempat ia bekerja."Apa yang kamu inginkan?""Kau harus mendengar dulu apa yang akan aku katakan." Jeslyn memegang lengan pakaian pria itu. Dia sedikit memaksa.Raffael sebenarnya enggan. Tapi dia merasa jika Jeslyn saat ini tidak berpura-pura. Dia mungkin benar-benar memiliki hal yang harus didengar olehnya. Entah itu kabar baik atau buruk, Raffael harus memastikannya."Baiklah." Raffael memilih untuk mengalah saat ini. "Ikut aku."Dia membawa Jesl
"Bagaimana harimu?"Utari menyambut antusias saat melihat putrinya kembali dari kampus. Dia menarik Syaqila, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.Sebelumnya dia sudah mendengar jika putrinya itu menerima permintaannya untuk menjalin hubungan dengan Raffael. Awalnya Utari merasa keberatan. Tapi, setelah dipikirkan kembali, tidak ada salahnya membiarkan putrinya untuk menjadi salah satu cucu menantu Romeo. Syaqila tidak akan kesusahan. Dengan harta yang diwarisi Raffael nanti, dia bisa hidup dengan harta bergelimang.Memikirkan semua itu membuat Utari semakin bersemangat untuk menyuruh putrinya melakukan banyak cara supaya Raffael semakin mudah tertarik padanya."Hariku berjalan seperti biasa." Syaqila menjawab dengan memandang ibunya heran. Tidak biasanya ibunya itu bertanya. "Ada apa, Ma?""Apa kau bertemu Raffael hari tadi?"Utari hanya ingin memastikan sejauh mana hubungan mereka berkembang. Semakin cepat akan semakin baik terdengar. Karena dengan itu, Romeo akan puas dengan usaha
Romeo dan Emily seolah sengaja memberikan waktu bagi Raffael dan Syaqila untuk berbincang-bincang. Tapi apakah itu berguna? Sedangkan sejak tadi Raffael bersikap acuh tak acuh. Pria itu lebih senang menatap handphone-nya daripada bicara dengan Syaqila. Menurutnya, perempuan itu tidak asik diajak bicara.Syaqila yang merasa jenuh menghela napas kasar. Dia merasa kesal, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Sikap Raffael memang seperti ini.Syaqila menginginkan kehadiran neneknya yang entah pergi kemana bersama kakeknya. Syaqila lebih senang jika orang tua itu ada di sini. Daripada menghabiskan waktu dengan Raffael yang sama sekali tak menganggap kehadirannya.Syaqila melirik jam di tangannya. Ini sudah lima belas menit, dan neneknya sampai sekarang tidak kembali."Ada apa denganmu?" tanya Raffael. Merasakan kegelisahan perempuan di sisinya itu membuat dirinya terganggu."Aku hanya bingung, kemana nenek? Kenapa dia tidak kunjung kembali?" balas Syaqila, mengutarakan keresahannya."Tidak p