"Hei, Raffael!"Pria yang dipanggil itu menoleh, menatap Rui yang duduk di sisinya."Aku ingin tahu apa hubunganmu dengan Syaqila?" Ia benar-benar penasaran sejak dulu. Entah kenapa, dia merasa jika Raffael sudah mengenal Syaqila jauh sebelum mereka. "Apakah kalian memiliki hubungan khusus?"Raffael terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab, "Bisa dibilang begitu."Rui tercengang. Tak menyangka Raffael akan membenarkan dugaannya."K-kau ... serius?"Raffael mengangguk, tak peduli ekspresi Rui yang begitu berlebihan.Pertanyaan aneh. Jika ada yang bertanya apakah Raffael memiliki hubungan khusus dengan Syaqila, bukankah tak salah jika Raffael membenarkannya? Hubungan persaudaraan juga termasuk khusus, kan?****"Ada apa?""Cucu durhaka! Apa begitu caramu menyapa kakekmu, hm?"Raffael memutar bola matanya malas saat mendengar balasan kakeknya di telepon."Minggu ini, Kakek sudah menghubungiku sebanyak tiga kali." Raffael bukannya tak senang. Tapi dia merasa ini tak biasa. Dan bagaimana
Hampir saja Syaqila ditinggalkan. Jika dia masih mempertahankan egonya, sudah pasti Raffael akan meninggalkannya di sana tanpa peduli sedikit pun. Akhirnya, Syaqila yang mengalah. Dia mengaku salah dan meminta maaf. Memastikan jika Raffael tak marah dan tak memperpanjang masalah.Sebenarnya, pria itu masih terlihat kesal. Namun dia tampak enggan memperpanjang masalah yang sebenarnya tidak terlalu berguna. Syaqila pun baru menyadari jika dia terlalu berlebihan dalam menyikapi masalah yang dia alami barusan.Perempuan itu meringis saat mengingat bagaimana konyolnya dia yang memaki-maki motor kesayangannya saat mengetahui jika bannya kempes. Haruskah dia bersikap seperti itu? Syaqila memang kesal, namun sikapnya justru membuat dirinya terlihat lebih memalukan.Setelah semua ini, siapa yang harus ia salahkan? Syaqila merasa ini semua memang berasal dari dirinya sendiri."Kita sudah sampai."Raffael menginterupsi. Menyadarkan Syaqila yang sejak tadi melamun di mobilnya.Mereka memang beran
Theodore tak bisa menahan senyumnya saat dia berhasil mengajak Syaqila makan bersama. Meski dengan keberadaan satu orang yang sebenarnya tidak ia harapkan. Theo tetap merasa bersyukur saat ini."Dia masih memasang wajah seperti itu." Diandra berbisik pada Syaqila. Sejak tadi dia memperhatikan bagaimana pria di depannya ini bersikap. Dan senyum bodoh di wajahnya itu masih saja tidak menghilang. Diandra heran, apakah pria itu tidak pegal terus melengkungkan senyum seperti itu?"Biarkan saja," sahut Syaqila, sama berbisik. Mereka tidak mungkin menggunjingkan orang secara terang-terangan. Saat ini posisi Theodore tepat di hadapan mereka. Hanya dipisahkan sebuah meja di tengah-tengah. "Dia mungkin hanya sedang senang.""Aku juga tidak begitu peduli." Diandra menyahut dengan acuh. Dia menyuap satu sendok makanan ke mulutnya, merasa makan lebih baik daripada memperhatikan pria aneh di depan mereka itu. "Makanan di depanku jauh lebih menarik."Syaqila mendelik. Padahal tadi temannya itu yang
"Sudahlah, Raffael." Jeslyn menarik ujung pakaian Raffael. Berusaha menarik perhatian pria itu yang sejak tadi memilih berseteru dengan orang-orang itu. "Ayo kita pergi saja."Jeslyn tak suka saat dirinya diabaikan seperti ini. Bayangannya menikmati makan siang dengan Raffael tidak berlangsung sesuai ekspektasi. Dia justru malah harus menonton bagaimana pria itu lebih memilih memperhatikan perempuan lain."Sepertinya kekasihmu itu tidak sabar," ucap Theodore. Dia dengan jelas melihat ketidaksukaan Jeslyn dengan keadaan ini. Tapi Raffael seolah tidak peduli. Tampaknya dia memang sengaja hanya mempermainkan perempuan yang bersamanya itu."Pergilah jika kau memang ingin," tegas Raffael.Jawaban pria itu membuat Jeslyn menganga tak percaya. Dia benar-benar tak dipedulikan.Raffael duduk di salah satu kursi, memilih bergabung bersama Syaqila dan dua orang yang bersamanya. Tindakannya membuat mereka terkejut. Jeslyn yang masih berdiri di sana mengepalkan kedua tangannya dengan geram.Kenapa
Zain merasa jika kesabarannya saat ini sedang diuji. Ada seorang gadis di sampingnya yang sejak tadi memperhatikannya dengan kedua mata yang berkedap-kedip. Dia memindai penampilan Zain dari bawah ke atas. Tangannya menyentuh rambut dan lalu pakaiannya. Zain tidak tahu apa yang dilakukan gadis aneh ini. Tapi dia harus tahan untuk beberapa saat sebelum tuannya menyuruh untuk pergi."Siapa kau?"Gadis itu bertanya ingin tahu. Dia baru menanyakan itu setelah matanya sejak tadi memindai dirinya dengan penuh selidik. Namun di sisi yang lain, Zain merasa ia telah ditelanjangi oleh perempuan cabul itu.Zain hanya melirik sekilas pada perempuan itu, tanpa menjawabnya. Dia kembali meluruskan pandangan ke depan. Tepatnya pada tuannya yang masih berbicara dengan Syaqila."Apa kau robot?'Alisnya berkedut, dia jelas tersinggung dengan pertanyaan perempuan itu. Apakah di sini ia tampak seperti benda mati tak bernyawa?Dengan kesal, dia melayangkan tatapan tajam pada perempuan itu. Berharap dengan
Langkah Raffael melambat saat ia melihat seorang yang tidak ingin ia temui berada di ruang tamu rumahnya. Pria tua yang tengah duduk di sofa itu tampak menikmati teh hangat yang disajikan oleh ibunya.Berbeda dengan kedua orang tuanya yang menyambut ramah kedatangan pria tua itu, Raffael justru tak senang.Dia berjalan mendekati mereka dengan aura tidak bersahabat."Sedang apa Kakek di sini?"Romeo menoleh. Wajahnya yang sejak tadi tampak dingin kini mulai mencair. Pria itu mengulas senyum untuk cucunya yang sejak tadi dia tunggu."Raffael, kakek menunggumu sejak tadi," ucap Romeo."Aku bertanya, Kakek. Untuk apa Kakek kemari?" tanya Raffael sekali lagi. Dia tidak menutupi ketidaksukaannya melihat kedatangan kakeknya. Dan hal itu membuat Fabian dan Utari melayangkan tatapan penuh peringatan pada pemuda itu. Namun Raffael sama sekali tak peduli."Apakah tak boleh aku berkunjung?" tanya Romeo, tersenyum geli. Melihat kekesalan cucunya itu, membuat ia semakin ingin mempermainkannya. "Ak
"Kau harus bisa menjaga sikap dan perkataanmu."Saat ia berada di lantai dua, Raffael diseret oleh ibunya dan diceramahi. Ia sadar akan mendapatkan ini setelah dengan terang-terangan menunjukkan sikap tak menyenangkan di hadapan kakeknya. Ia tahu orang tuanya tak mau terlibat dalam masalah karena ulah kurang ajarnya.Tapi, apakah Raffael peduli? Tentu saja tidak."Raffael, apa kau mendengar apa yang mama katakan?" tegur Utari. Dia kesal karena sepertinya putranya itu tak menganggap serius peringatan darinya."Iya, Ma. Aku mendengarnya." Raffael menyahut dengan acuh.Bukan berarti dia akan menurutinya. Dia hanya membiarkan ibunya itu memarahinya hingga puas."Jangan sampai mama melihatmu bersikap seperti itu lagi pada kakek," ancam Utari."Aku paham." Pria muda itu mengangguk, meski dalam hati dia tidak berniat menuruti apa yang dikatakan ibunya."Apa kau tahu, papa dan mama bisa terkena masalah jika kau masih bersikap seperti ini." Kali ini nada bicara Utari sedikit melembut. Dia beru
Utari tak bisa menahan rasa terkejutnya mendengar apa yang dikatakan oleh sang suami. Demi Tuhan, semua yang dikatakannya terasa sulit untuk diterima oleh otaknya."Katakan jika ini hanya candaan," ujar Utari. Dia berharap jika suaminya tidak serius mengatakan kalimatnya barusan."Sayangnya ini serius, sayang." Fabian menjawab dengan tidak berdaya. Sama seperti Utari, dia sendiri sebenarnya tak menyangka dengan permintaan yang dilayangkan ayahnya. Meski Fabian sudah mendengarnya lebih awal."Tapi, bagaimana mungkin?" Utari merasa ini seperti lelucon, yang bahkan tak pantas untuk dijadikan lelucon. Sungguh, ini tidak lucu sama sekali. "Apa ayahmu sudah kehilangan akalnya?""Kau tahu sendiri bagaimana sifat Ayah." Fabian juga tak mengerti apa tujuan ayahnya itu."Kenapa kau tidak menolak? Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.""Apa menurutmu itu mudah?" Fabian menjadi geram. Karena istrinya malah menyudutkannya, tanpa mau mengerti bagaimana posisinya saat ini. "Aku bukan anak kandung