Jeslyn kembali setelah selesai dengan hukumannya. Dia sama sekali tidak menunjukkan perasaan bersalah. Karena baginya, kesalahan yang dia lakukan sudah ditebus dengan menjalani hukumannya. Jeslyn juga tak peduli dengan orang-orang yang mengoceh padanya akibat ikut dalam rencananya hingga terkena dampak darinya. Jeslyn sama sekali tak peduli tentang mereka.Sikap Jeslyn itu membuat orang-orang mulai menjaga jarak, dan tidak percaya lagi padanya.Percayalah, mengikuti Jeslyn hanya akan membawa kesialan. Itulah yang dipegang oleh mereka sekarang."Raffael!" Jeslyn melambaikan tangan saat melihat pria yang ia rindukan itu. Dia segera mendekat dan duduk tepat di sampingnya. "Beberapa hari tidak bertemu, apa kamu merindukanku?"Rui dan Ando memutar bola matanya malas saat mendengar Jeslyn bertanya seperti itu tanpa rasa malu sedikit pun.Siapa pun bisa melihat jika Jeslyn memiliki ketertarikan pada Raffael. Tapi, cara gadis itu terlalu terang-terangan. Hingga terkadang orang-orang yang meli
"Kau ... apa yang kau katakan?!" pekik Syaqila, setelah sadar tentang apa yang baru saja Raffael katakan.Untungnya Theodore sudah pergi karena tak ingin menghadapi Raffael lebih lama. Bukan karena takut, tapi dia kesal dengan sikap Raffael yang lebih arogan darinya.Raffael tak menjawab dan hanya mengedikkan bahunya.Pesanan mereka akhirnya diantarkan. Raffael lebih memilih menikmati pesanannya daripada menanggapi Syaqila.Sikap Raffael jelas membuat Syaqila kesal. Padahal ia ingin membuat pria itu menjelaskan apa maksud perkataannya tadi pada Theodore.Tapi, karena sikap Raffael yang terlihat tidak peduli, Syaqila terpaksa bungkam untuk sementara. Ia memakan makanannya dengan ekspresi kusut.Tiba-tiba seseorang mendatangi meja mereka. Seorang wanita dengan gaun pendek ketat mendekat pada Raffael, tersenyum sensual."Tuan, sepertinya aku tidak asing denganmu."Raffael mendongak, menatap orang itu. Lalu tatapannya jatuh pada jari lentiknya yang dengan berani menyentuh bahunya. Padahal
Cuaca malam ini sangat buruk. Syaqila tak bisa tidur dengan nyenyak. Suara guntur di langit membuatnya terus tersentak dan bergemetar. Syaqila menyembunyikan tubuhnya di balik selimut, tapi hal itu tak banyak membantu. Ia masih dihantui rasa takut.Listrik tiba-tiba padam, di tengah hujan yang masih mengguyur dengan deras. Syaqila melompat dari ranjangnya dan bergegas keluar.Tujuannya adalah kamar yang tidak jauh letaknya dari kamarnya. Syaqila menggedor pintu itu cukup keras. Di ketakutan hingga tak bisa menunggu lama untuk seseorang di dalam sana membuka pintu untuknya."Raffael! Buka pintunya!" seru Syaqila.Raffael yang terusik karena suara berisik Syaqila sama sekali tak mendengarkan. Pria itu justru menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Kedatangan Syaqila pasti hanya untuk mengganggu ketenangannya."Raffael, kumohon biarkan aku masuk. Aku takut." Syaqila mulai menangis. Tubuhnya terduduk di lantai, memeluk lututnya, membenamkan wajahnya di antara lutut. Gadis itu terisak-i
Syaqila terkejut ketika mendapati orang tuanya pulang, ia langsung disambut pelukan ibunya yang tiba-tiba. Syaqila memang berharap akan segera berbaikan dengan ibunya. Tapi ia tak menyangka ibunya akan sadar secepat ini. Ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkan. Hingga Syaqila tak bisa untuk tidak merasa curiga. Rasanya seperti ada sesuatu yang salah."Syaqila." Utari memeluk putrinya erat, dan meneteskan air mata di matanya. "Maafkan mama, sayang. Maafkan mama."Mendengar suara tangis ibunya, Syaqila tak bisa memendam amarah lebih lama. Seketika hatinya menghangat mendengar perkataan maaf dari ibunya."Seharusnya aku percaya padamu. Bodohnya aku malah tidak mau mendengar penjelasanmu. Kau pantas membenci mama, Syaqila."Utari sadar ia sudah sabgat menyakiti putrinya itu. Karena itu ia tak akan meminta terlalu banyak. Dengan mengucapkan kata maaf pun Utari sudah merasa cukup. Memaafkan atau tidak itu adalah hak Syaqila sepenuhnya. Utari tidak akan memaksa Syaqila untuk melupakan kejadian
"Raffael."Raffael mengabaikan Jeslyn sejak tadi. Setelah kesalahan yang ia lakukan, Jeslyn sama sekali tak menunjukkan rasa bersalahnya. Bahkan, meski dia sudah mendapat hukuman atas tindakannya.Bukan berarti Raffael marah pada Jeslyn atau peduli pada Syaqila. Raffael hanya merasa jika tindakan Jeslyn kali ini cukup merugikannya. Karena itu ia merasa kesal."Raffael, jangan mengabaikanku terus seperti ini," rajuk Jeslyn, cemberut. "Memang apa salahku? Apakah ada dari sikapku yang membuatmu kesal? Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kamu berubah akhir-akhir ini."Ia sudah merasa cukup senang karena ia menjadi gadis beruntung yang bisa berhasil dekat dengan Raffael. Banyak orang yang merasa iri padanya. Karena itu Jeslyn bangga pada dirinya sendiri.Tapi, sikap Raffael kali ini bukan hanya membuatnya kesal tapi juga malu. Diam-diam banyak orang yang menertawakan Jeslyn karena Raffael mulai mengabaikannya. Jeslyn rasanya ingin mengutuk mereka yang tertawa di atas ketidaksenangannya.
"Kau selalu tampak menyedihkan."Syaqila tak bicara meski ucapan Raffael cukup membuatnya tertohok. Dia menyadari jika dirinya memang semenyedihkan itu. Dia tak pernah berharap jika dirinya akan selalu ditemukan dalam keadaan seperti ini oleh pria yang membencinya."Terlalu banyak orang yang membencimu. Sudah ku katakan padamu sebelumnya, berhati-hatilah," cecar Raffael, mengomeli perempuan di depannya. "Kau bertindak sangat ceroboh hari ini. Untuk apa membuat dirimu sendiri dalam bahaya hanya karena orang lain?""Aku ... mana mungkin diam saja saat melihat orang lain dalam kesulitan?" cicit Syaqila, membela diri."Ingat dirimu sewaktu kau dirundung oleh banyak orang. Apakah orang-orang di sekitarmu bergerak untuk menolongmu?" balas Raffael yang membuat Syaqila seketika terbungkam. "Tidak semua orang memiliki pemikiran bodoh sepertimu. Setidaknya mereka memikirkan tentang diri mereka sebelum memutuskan untuk menolong orang lain."Apa yang Raffael ucapkan benar. Namun Syaqila memiliki
Raffael mendengar jika Syaqila tengah sakit saat ini. Ia jadi berpikir, mungkin Syaqila terkejut karena kejadian yang menimpanya hari kemarin. Hal itu sangat wajar, semua perempuan akan merasakan hal yang sama.Tapi, di sini Raffael benar-benar merutuki sifat Syaqila yang tidak bisa tegar walau sedikit. Karena berkatnya, Raffael-lah yang diminta orang tuanya untuk menjaga bayi besar itu di rumah."Jangan memasang wajah seperti itu."Gadis yang bersembunyi di balik selimut itu menunjukkan setengah wajahnya, menyerukan protesan atas ekspresi Raffael yang tidak mengenakan.Raffael rasanya ingin membalas dengan kata-kata sarkas yang biasa ia ucapkan. Tapi, kali ini dia menahannya. Pria itu hanya menghembuskan napas dengan kasar."Sebegitu bencinyakah kau padaku?" tanya Syaqila. Perempuan itu mulai menunjukkan wajahnya, dan duduk di ranjangnya. Menunjukkan wajah cemberut. "Padahal aku sedang sakit sekarang.""Diamlah," ketus Raffael. Saat mendengar Syaqila bicara, dia justru semakin kesal.
"Ka-kamu serius?"Syaqila hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Dia sudah tidak banyak berharap, karena kebencian Raffael yang sulit disurutkan meski Syaqila sudah berkali-kali meminta maaf. Lantas, kenapa tiba-tiba pria itu menyetujui untuk berdamai dengannya?"Ya."Pria itu mengangguk tanpa keraguan sedikit pun. Dia terlihat lebih santai dari biasanya. Tatapannya pun tak sedingin sebelumnyaDari sana Syaqila menyadari jika Raffael tidak bercanda sama sekali."Tapi, apa alasanmu?" Syaqila tidak mungkin percaya begitu saja, di saat Raffael sudah terlalu sering menolak ajakannya mentah-mentah.Syaqila memang berharap. Tapi dia lebih pesimis, melihat bagaimana pria di depannya itu begitu membencinya sejak kemarin. Lantas, apa yang membuat pria itu tiba-tiba berubah pikiran?"Kurasa ... mungkin, karena kau terlalu membosankan." Raffael menjawab dengan ringan. Pria itu bersandar dan melipat kedua tangannya di dada. Dia merasa sudah cukup untuk bermain-main. Ia terlalu berekspekt