"Emilia istriku! Aku pulaang...!""Kau bawa satu orang lagi, Suamiku?""Ya, dia masih teman dari dua orang tadi."Dova langsung melambaikan tangannya saat melihatku. Dia memasukkan sejenis makanan ringan ke dalam mulutnya, nampak pipinya menggembul. Serenada langsung memanggilku agar ikut bergabung bersamanya di meja makan. Dia juga sedang asik memilih dari sekian banyak makanan yang dihidangkan."Kau pasti lapar, Artemis! Makanlah dulu ya! Dua temanmu itu sudah makan duluan."Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan langsung bergabung dengan mereka. Emilia, istri dari Abdullah itu menawarkanku hendak minum apa. Tentu saja apalagi kalau bukan kopi hitam. Emilia hanya tersenyum lembut dan kembali sibuk di dapur."Nah, kalian bertiga makanlah yang banyak ya!""Terima kasih!""Tapi, Abdullah apa ini tidak berlebihan?""Ah, tidak! Kami memiliki budaya untuk menyambut tamu dengan baik. Lagipula ini adalah bentuk permintaan maafku untuk kalian juga."Makanan yang disajikan begitu banyak sam
Abdullah menawarkanku apakah mau menghisap shisha? Ya, masih metode merokok juga menggunakan semacam pipa air dengan ruang asap, mangkuk, pipa dan selang. Ternyata metode ini sudah ada sejak lama dan terus dipertahankan oleh orang-orang di El Savannah hingga tahun 2050."Aku tidak merokok, Abdullah.""Oh, baiklah! Tidak masalah, Artemis. Sebenarnya aku masih penasaran dengan kekuatanmu yang luar biasa hebat itu."Sebenarnya aku agak malu disebut begitu. Bagaimana aku menjelaskan hal itu padanya. Padahal saat melawannya, aku dalam kondisi tak dapat mengendalikan badanku sendiri."Aku malah masih bersalah dengan temanmu yang sempat kulempar sampai menabrak dinding Dome itu.""Oh, Khamed maksudmu? Dia sama kuatnya denganku. Jangan selalu merasa seperti itu, Artemis. Khamed juga sudah membaik kondisinya.""Kekuatan itu juga baru kusadari ada dalam tubuhku. Rupanya itu juga dimiliki oleh ayahku.""Tunggu! Jadi, selama ini kau tak hidup dengan ayahmu si Alexander itu?"Hanya gelengan kepala
Abdullah tidak main-main kali ini. Ia terus menggandeng tanganku seperti anaknya sendiri yang takut kalau menghilang di pasar ini. Aku sebenarnya malah ingin tahu apakah orang itu sungguhan gila atau hanya orang-orang di El Savannah saja yang mengiranya begitu."Itu nama yang haram disebut disini!""Apa itu haram?""Eh, maksudku kau jangan coba menyebut nama itu lagi. Termasuk mendekati si gila Anas! Kecuali kau mau ikutan gila sepertinya.""Dia memang benar gila atau kalian yang mengiranya seperti itu?"Sejenak kami berdua berhenti, nampak Abdullah kesal sekali. Hanya dengusan kecil yang ditunjukkannya dan kami berjalan lagi pulang ke rumahnya. Astaga! Aku malah jadi penasaran kalau begini."Emilia sayaaang! Lihatlah! Aku membeli banyak di pasar hari ini.""Suamiku, apa kau lupa kalau ada bahan makanan yang sudah habis di lemari pendingin?""Aha! Tentu saja aku ingat, Emilia-ku!"Abdullah menunjukkan sekantong bahan yang dimaksud oleh Emilia. Istrinya itu hanya tersenyum dan mengambil
"Berterimakasihlah pada Emilia istriku itu, Artemis! Aku tidak akan melakukan ini kalau bukan desakan darinya.""Ya, aku sudah mengucapkan terima kasih tadi dengannya."Abdullah hanya melirikku dan dia menekan bel didekat pintu rumah seseorang. Bel disini tidak memakai sensor dan masih menggunakan tombol biasa. Sebab menurut Abdullah tidak terlalu bagus, apalagi sensor sangat sensitif dan disini tempatnya sempit. Bisa jadi setiap orang lewat dan tak sengaja terkena sensor akan membuat bel-nya berbunyi."Ah, kau sudah datang rupanya! Masuklah dulu, Abdullah! oh, ya kau juga... siapa namamu?""Artemis.""Ya, masuklah dulu Artemis. Adikku sedang memandikan ayahku."Orang yang menyambutku tadi bernama Al. Dia memang selalu khas memakai penutup kepala bernama Sorban dengan bulu hewan yang indah diatasnya."Al dan El itu kembar. Kau bisa membedakannya dengan Sorban mereka. Al memakai Sorban dengan hiasan bulu diatasnya, sedangkan adiknya El sangat menyukai permata. Ia akan memakai Sorban den
Dalam perjalanan pulang, aku selalu melihat ke arah cincin batu Kecubung itu. Warna ungunya menghipnotis mataku, seolah ingin selalu kulihat."Kau percaya pada kata-katanya dan juga cincin itu, Artemis?"Aku hanya menghela napas panjang, lalu menatap ke arah Abdullah. Sebenarnya antara percaya dan tidak! Tapi siapa lagi yang bisa memberikan informasi tentang letak Nuuswantaara itu kalau bukan dari Anas."Bagaimana aku menjawab pertanyaanmu itu, Abdullah? Satu sisi aku membutuhkan informasi tentang tempat itu, sisanya aku harus membuktikan dulu baru percaya.""Hah! Kupikir kau orang yang mudah sekali percaya akan hal itu, Artemis!"Tangan Abdullah membuka pintu rumahnya sendiri, ia justru masuk belakangan dan mempersilahkan aku terlebih dahulu. Kami berdua sudah disambut oleh Emilia yang nampak lebih rapi penampilannya kali ini. Biasanya dia masih mengenakan apronnya dan sibuk melakukan sesuatu di dapur."Hei, kalian berdua sudah pulang? Baguslah! Aku butuh sesuatu lagi untuk membetulka
Hawa dingin mampu kulawan kali ini, hanya demi menyelematkan Dova. Rasanya sangat jauh untuk menuju ke markaa para penjarah itu. Sudah terasa bosan melihat hamparan pasir di tengah gelapnya malam ini. Hanya mengandalkan penerangan dari Jet Sky.Barulah semuanya berhenti dan sorot lampu mengarah pada satu batu besar. Seperti tebing batu yang pernah kulihat."Kau yakin tempatnya disini, Khamed?""Sangat yakin, Abdullah!""Bagaimana caranya kita masuk?"Memang nampak membingungkan, semuanya batu dan tak terlihat ada pintu masuknya. Abdullah mencoba berbagai cara dari mendorong, meninju dengan tangan siberkinetiknya, hingga menebaskan pedangnya. Namun sama sekali tak membuat batu dihadapan kami bergeser."Mungkin pintunya bukan ini, karena tak terlihat ada celah untuk membuatnya terbuka."Aku mencoba meraba dibagian depan batu ini. Memang nampaknya konyol, tapi aku yakin kalau ada pintunya pasti terdapat celah. Benar saja! Aku menemukan sedikit celah yang sangat rapi. Aku memanggil semuany
Uugh! Aku pingsan lagi setelah berhasil menyelamatkan Dova. Baru tersadar saat berada di tempat khusus yang mungkin ini adalah rumah sakit. Ah, aku tak tahu! Hanya diberi tahu oleh orang disekitarku. Mataku masih belum mampu untuk dibuka.Entah seberapa banyak pasir yang masuk ke dalam mata ini. Aku takut kalau tiba-tiba dibuka dan rasanya semakin pedih."Jangan, aku takut!""Hei, mau sampai kapan kau begitu? Dia yang ada didepanmu sudah berusaha untuk membantu mengelurkan pasir itu.""Ternyata Artemis itu aslinya penakut ya, Dova?""Terkadang dia takut dengan hal-hal yang remeh semacam ini, Abdullah!""Iya, baiklah! Dasar kalian berdua!"Aku kesal mendengar ocehan mereka berdua, ingin rasanya kulempar segenggam pasir ke arah mereka. Biar merasakan betapa pedihnya mata ini saat pasirnya masih ada. Terasa ada yang membantu membersihkan pasir dan sepertinya cepat sekali. Apa saat aku pingsan tadi dia sudah membersihkannya?"Coba buka perlahan matamu."Perihnya masih terasa namun mata ini
"Silahkan, Tuan! Duduklah dulu disini."Aku dan Dova hanya tersenyum canggung saja. Kami merasa culun disini. Semuanya ruangan di dalam tenda ini berisi laki-laki berbadan besar. Hanya satu perempuan tadi di bagian depan. Oh, tidak! Ternyata para perempuan menjadi pelayan disini."Astaga! Mereka berpakaian seksi semua!"Kutepok pantat Dova, dia sudah menjulurkan lidahnya tak tahan melihat keseksian perempuan disini. Apa ini semacam bar? Sejujurnya selama di dalam Dome aku tak pernah mendatangi tempat seperti klub malam yang dipenuhi robot perempuan seksi. Bedanya disini mereka manusia sungguhan."Itu bukannya Abdullah bukan?""Eh, iya itu memang Abdullah! Apa yang dia lakukan disana?"Kulihat Abdullah tertawa sambil memegang gelas antik berukiran bagus dengan warna emas. Tiba-tiba mereka semua berhenti tertawa, saat beberapa orang laki-laki masuk kesana. Ah, ya! Meski terdapat sekat kain disini tapi kami masih bisa melihat aktifitas apa yang mereka lakukan."Dia memukul sesuatu, sepert