Dalam perjalanan pulang, aku selalu melihat ke arah cincin batu Kecubung itu. Warna ungunya menghipnotis mataku, seolah ingin selalu kulihat."Kau percaya pada kata-katanya dan juga cincin itu, Artemis?"Aku hanya menghela napas panjang, lalu menatap ke arah Abdullah. Sebenarnya antara percaya dan tidak! Tapi siapa lagi yang bisa memberikan informasi tentang letak Nuuswantaara itu kalau bukan dari Anas."Bagaimana aku menjawab pertanyaanmu itu, Abdullah? Satu sisi aku membutuhkan informasi tentang tempat itu, sisanya aku harus membuktikan dulu baru percaya.""Hah! Kupikir kau orang yang mudah sekali percaya akan hal itu, Artemis!"Tangan Abdullah membuka pintu rumahnya sendiri, ia justru masuk belakangan dan mempersilahkan aku terlebih dahulu. Kami berdua sudah disambut oleh Emilia yang nampak lebih rapi penampilannya kali ini. Biasanya dia masih mengenakan apronnya dan sibuk melakukan sesuatu di dapur."Hei, kalian berdua sudah pulang? Baguslah! Aku butuh sesuatu lagi untuk membetulka
Hawa dingin mampu kulawan kali ini, hanya demi menyelematkan Dova. Rasanya sangat jauh untuk menuju ke markaa para penjarah itu. Sudah terasa bosan melihat hamparan pasir di tengah gelapnya malam ini. Hanya mengandalkan penerangan dari Jet Sky.Barulah semuanya berhenti dan sorot lampu mengarah pada satu batu besar. Seperti tebing batu yang pernah kulihat."Kau yakin tempatnya disini, Khamed?""Sangat yakin, Abdullah!""Bagaimana caranya kita masuk?"Memang nampak membingungkan, semuanya batu dan tak terlihat ada pintu masuknya. Abdullah mencoba berbagai cara dari mendorong, meninju dengan tangan siberkinetiknya, hingga menebaskan pedangnya. Namun sama sekali tak membuat batu dihadapan kami bergeser."Mungkin pintunya bukan ini, karena tak terlihat ada celah untuk membuatnya terbuka."Aku mencoba meraba dibagian depan batu ini. Memang nampaknya konyol, tapi aku yakin kalau ada pintunya pasti terdapat celah. Benar saja! Aku menemukan sedikit celah yang sangat rapi. Aku memanggil semuany
Uugh! Aku pingsan lagi setelah berhasil menyelamatkan Dova. Baru tersadar saat berada di tempat khusus yang mungkin ini adalah rumah sakit. Ah, aku tak tahu! Hanya diberi tahu oleh orang disekitarku. Mataku masih belum mampu untuk dibuka.Entah seberapa banyak pasir yang masuk ke dalam mata ini. Aku takut kalau tiba-tiba dibuka dan rasanya semakin pedih."Jangan, aku takut!""Hei, mau sampai kapan kau begitu? Dia yang ada didepanmu sudah berusaha untuk membantu mengelurkan pasir itu.""Ternyata Artemis itu aslinya penakut ya, Dova?""Terkadang dia takut dengan hal-hal yang remeh semacam ini, Abdullah!""Iya, baiklah! Dasar kalian berdua!"Aku kesal mendengar ocehan mereka berdua, ingin rasanya kulempar segenggam pasir ke arah mereka. Biar merasakan betapa pedihnya mata ini saat pasirnya masih ada. Terasa ada yang membantu membersihkan pasir dan sepertinya cepat sekali. Apa saat aku pingsan tadi dia sudah membersihkannya?"Coba buka perlahan matamu."Perihnya masih terasa namun mata ini
"Silahkan, Tuan! Duduklah dulu disini."Aku dan Dova hanya tersenyum canggung saja. Kami merasa culun disini. Semuanya ruangan di dalam tenda ini berisi laki-laki berbadan besar. Hanya satu perempuan tadi di bagian depan. Oh, tidak! Ternyata para perempuan menjadi pelayan disini."Astaga! Mereka berpakaian seksi semua!"Kutepok pantat Dova, dia sudah menjulurkan lidahnya tak tahan melihat keseksian perempuan disini. Apa ini semacam bar? Sejujurnya selama di dalam Dome aku tak pernah mendatangi tempat seperti klub malam yang dipenuhi robot perempuan seksi. Bedanya disini mereka manusia sungguhan."Itu bukannya Abdullah bukan?""Eh, iya itu memang Abdullah! Apa yang dia lakukan disana?"Kulihat Abdullah tertawa sambil memegang gelas antik berukiran bagus dengan warna emas. Tiba-tiba mereka semua berhenti tertawa, saat beberapa orang laki-laki masuk kesana. Ah, ya! Meski terdapat sekat kain disini tapi kami masih bisa melihat aktifitas apa yang mereka lakukan."Dia memukul sesuatu, sepert
Sarapan pagi ini sangat luar biasa! Sebab kali ini hanya disajikan roti panggang dengan isian telur mata sapi dan sausnya yang pedas. Se-pedas mulut Emilia yang sedari tadi mengomel pada suaminya sampai lupa kalau ada kami bertiga disini.Abdullah hanya bisa menundukkan kepala. Sifat garangnya kalah dengan istrinya yang bertubuh langsing itu. Aku memilih untuk menyeduh kopi hitam milikku sendiri. Serenada juga ikut menuangkan air panas dari pemanas air elektrik ke gelas berisi coklat bubuk miliknya."Kau lihat, itulah kekuatan perempuan yang sesungguhnya.""Huh! Mengomel pada suaminya saat pagi hari?""Bukan itu, Artemis! Maksudku....""Iya, ya. Sudah, kita pura-pura tak dengar saja."Akhirnya Abdullah bisa meminta Emilia untuk berhenti sejenak. Napas perempuan itu agak tersengal karena dia sedari tadi bicara tanpa jeda. Sialnya, kenapa rasa kopi ini jadi ikutan hambar. Rasanya sudah kuberi gula sedikit."Aku malu, ada mereka bertiga disini!""Kau tidak pernah malu untuk mengulang perg
"Kalau kalian tidak terburu untuk pergi meninggalkan El Savannah, aku bisa mengajarkan sesuatu padamu."Jari dari tangan siberkinetik Wahid menunjuk pada Dova. Dia jadi ikutan menunjuk pada dirinya sendiri. Kurasa tak masalah agak lama berada disini asalkan Dova bisa belajar lebih banyak pada Wahid. Keahliannya sangat dibutuhkan dalam perjalanan."Kau bagaimana Artemis?""Aku mau ikut menonton saja meski tak paham sih.""Kurasa ini tidak bisa satu hari, terserah kalau temanmu itu mau ikut terus. Sebab ada banyak hal yang mau aku ajarkan padamu dalam pembuatan senjata."Bahkan Wahid juga berjanji akan memberikan beberapa bahan yang bisa digunakan oleh Dova untuk merakit sendiri senjatanya. Dia sangat menyayangkan, kenapa dulu tak memikirkan hal ini dalam pembuatan SKYLAR. Tetapi setidaknya kami masih bisa bertahan jika terjadi serangan dadakan dengan adanya senjata didalam pesawat itu.***"Pacarmu yang bernama Serenada itu luar biasa! Semangatnya memang tinggi sekali.""Huh! Pacarku da
Tak terasa perjalanan dengan SKYLAR sudah berjalan dua hari. Sudah tidak ada lagi yang mencurigakan seperti burung, robot atau apapun itu yang mencoba mengintai kami. Aku dan Dova sudah tidur lebih dulu, kini gantian Serenada yang beristirahat."Mau sampai kapan kita akan dikejar oleh orang-orang dari dalam Dome?""Entahlah, Artemis! Sejujurnya aku sudah muak dengan mereka yang ada didalam Dome.""Ya, kita hidup dalam kepalsuan! Padahal Bumi tidak seperti yang kita bayangkan selama ini.""Sebentar lagi matahari terbit ya! Wah, gawat!""Ada apa, Dova?""Kita harus cari sumber air, persediaan air bersih didalam SKYLAR mulai menipis."Aku jadi teringat dengan kata-kata Rex, air bersih dan layak pakai bisa diambil dari sumber air yang di daratan saja. Jangan ambil air yang ada di laut karena rasanya asin. Sementara kami saat ini sedang terbang diatas perairan yang luas. Apa ini yang disebut laut?"Kita cari sumber air bersih dulu, aku akan coba.""Air seperti itu hanya ada di daratan saja.
Kurasa ceritanya hampir sama dengan El Savannah. Hanya saja tempat ini bukan hancur karena ledakan. Melainkan suhu ekstrim yang pernah terjadi di Bumi ini."Bahkan tempat tinggalku yang sekarang ini nyaris tak terjamah oleh manusia. Sebab mereka memilih tinggal di kota.""Lalu setelah terjadi bencana itu, bagaimana kondisinya sekarang?"Akira hanya memejamkan matanya sejenak sambil menghembuskan napas pelan. Banyak manusia yang tak bisa bertahan hidup. Kondisinya benar-benar kacau, bahkan seluruh keluarga besar Akira tak ada yang selamat. Beruntungnya dia sudah berada di distrik N-19 ini yang jauh dari pusat kota. Efek suhu ekstrim itu tak terlalu parah disini."Ya, banyak tanaman mati. Aku bertahan hidup di bawah tanah tadi dengan persediaan makanan yang ada.""Berarti tempat ini sempat kering tidak seperti sekarang ya!""Sekarang sudah jauh lebih baik menurutku. Ah, ya nama kalian siapa?"Seperti biasa setiap berpindah tempat rasanya kami harus memperkenalkan diri pada orang disini.