Bu Hiroko memiliki kelas yang harus dia masuki di periode setelah istirahat makan siang. Jadi, kelas konseling dimulai seusai jam sekolah. Aku duduk di sofa ketika mendapati guru pra-kalkulus melewati tempatku duduk.
“Senang melihatmu mendapat bimbingan, Redrich.”
“Bisakah Bapak Tua sopan pada murid bimbinganku?” sergah Bu Hiroko.
“Apa?” Dia menyalak Bu Hiroko.
“Ada berbagai alternatif sapaan yang bisa dikatakan pada murid baru, yang secara kebetulan mendapat masalah karena kakak kelasnya yang kurang ajar. Jadi, bisakah seorang guru memerhatikan cara bicara pada muridnya?”
“Itu membuktikan dia tidak pantas bersekolah—”
“Itu dia. Bisakah kita tidak membedakan murid Akademi Grinover?”
Mereka saling membalas, dan dalam kurun tiga menit, aku merasa canggung dengan bulu kuduk aktif karena menjadi topik perdebatan dua dewan guru. Dan Bu Hiroko menang karena lawan bicaranya pergi, membanting keras pintu sampai Bu Hiroko berteriak, “Pelan-pelan kalau menutup pintu, Dasar Pemabuk Tua Bangka!”
Tidak terdengar balasan sampai aku berkomentar, “Bu Hiroko bisa dipecat kalau bicara seperti itu.”
“Terima kasih peringatannya, tapi kalau mereka berniat melakukannya aku pasti sudah dipecat sejak lama.” Dia meneguk air, lalu duduk di sofa depanku. “Hari pertama. Apa yang terjadi sampai kau membuat gusi Regan Reeves berdarah?”
“Dia mencekikku."
“Berbahaya juga. Berapa orang yang melihat itu?”
“Eh,” aku segera meningat-ingat, “aku sedang membaca, lalu dia muncul bersama dua temannya sambil membawa senjata, lalu dia mencekikku, mengumpat keluargaku sambil membahas masa lalu, dan aku memukul pipinya.”
“Berapa orang yang melihatnya?” ulang Bu Hiroko.
Gagal. Aku berpikir bisa membuatnya bersimpati. Aku yakin Regan Reeves sudah bercerita macam-macam. Namun, aku tak ingat berapa orang di sekitar lapangan sepak bola. “Banyak yang lalu-lalang, jadi ... aduh, berapa, ya?”
Bu Hiroko menghela napas. “Oke. Keberatan dengan membersihkan toilet?”
“Bukan skors?”
“Aku berusaha menjauhkanmu dari skors dan kau meminta skors?”
“Maksudku, aku suka membersihkan toilet.”
Bu Hiroko menulis di lembaran, yang kuketahui sebagai lembaran hukuman guru konseling. “Sebulan penuh. Ini setimpal dengan skors.”
Aku menyesal sudah mengatakannya.
“Kau mengerti situasinya, kan?” tanyanya, sembari memberikan lembaran.
“Kalau aku menjadi petugas kebersihan baru di Akademi Grinover?” Aku mengambil pena, menandatangani lembaran. “Kurasa hukuman mencuci piring selama jam makan siang jauh lebih bermoral dari ini.”
“Maksudku,” sela Bu Hiroko, “Lockwood, dan lain-lain.”
Aku langsung mengangkat kepala. “Kenapa dengan Lockwood?”
Bu Hiroko mendesis. Dia memintaku melihat barisan foto yang terpampang di atas bilik konseling. Jadi, aku menoleh dan mendapati barisan bingkai yang indah. Campuran emas dan perak. Ada potret beberapa murid Akademi Grinover di sana.
“Murid bermasalah? Oke. Aku tahu bakal ada di—”
Minat bicaraku langsung hilang.
Bukan karena melihat seseorang yang begitu kurang ajar, tetapi karena aku seharusnya tahu apa yang dimaksud Bu Hiroko. Aku menatap salah satu foto yang berada pada posisi paling jelas seolah Bu Hiroko mengatur agar selalu menghadapnya. Foto gadis cantik berambut cokelat dengan senyum miring yang khas. Tulisan di bawah foto itu bertuliskan: KETUA OSIS.
“Aku tidak punya fotonya yang seperti ini,” kataku. “Kurasa aku mau minta kopiannya. Bisa aku dapat satu?”
“Bukan itu yang ingin kukatakan,” desisnya.
“Aku tahu. Alasanku masuk ke sekolah ini, bukan?”
Aku meneguk air di ujung meja, menunggu Bu Hiroko menjawab, tetapi kusadari air mukanya sudah mewakili jawabannya. Aku sempat mengedarkan pandangan, bersikap awas kalau seseorang menguping pembicaraan kami, dan kusadari Bu Hiroko tidak akan membicarakan ini kalau ada orang lain di ruang konseling.
“Ada dua hal,” kataku. “Pertama, karena ini sekolah lama kakakku. Dia mantan Ketua OSIS, jadi aku berpikir kalau mungkin ada beberapa dewan guru yang masih mendukung gerakannya. Seperti Bu Hiroko. Kedua, dan yang paling penting, adalah karena Rena Lockwood juga masuk sekolah ini.”
Bu Hiroko kelihatan sudah menduga itu. “Dari mana—”
“Aku selalu menyelidikinya. Rena Lockwood. Tapi sulit menemukan informasi tentangnya. Jadi, aku berpikir kalau dengan masuk sekolah yang sama bisa membuatku bicara langsung dengannya.”
“Untuk?”
“Memastikan gerakanku selanjutnya.”
“Dan apa tepatnya gerakanmu selanjutnya?”
Aku mengangkat bahu. “Tidak bisa kukatakan.”
Bu Hiroko kelihatan kecewa karena memukul pelan mejanya. “Jadi, itu alasanmu mendesak Sir Bram menerimamu di sini? Kupikir kau tergugah dengan pendidikan—tapi apa yang kau tawarkan padanya sebagai ganti menerimamu?”
“Lockwood bisa mengawasiku selama di sekolah.”
Tentu saja Bu Hiroko terkejut. “Kau menjual dirimu ke Lockwood?”
“Sebagai pembuktian kalau aku bukan pembunuh berantai. Aku benar-benar bukan pembunuh berantai. Bu Hiroko tahu itu, bukan?—Tidak. Biarkan aku mengatakan semuanya. Selama empat tahun ini aku tidak pernah terlibat bunuh-membunuh yang dilakukan Kawasan Normal. Dan aku tahu betul kematian kakak membuat Bu Hiroko sangat terpukul—tapi apa Bu Hiroko lupa denganku?” Tanpa sadar aku sudah berdiri, menuntut Bu Hiroko. “Aku juga terpukul—bahkan aku yang seharusnya paling terpukul. Tapi kenapa Bu Hiroko tidak membawaku pergi? Kenapa Bu Hiroko membiarkan bocah dua belas tahun terombang-ambing di area paling mengerikan di Sandover? Bu Hiroko tidak peduli denganku? Bu Hiroko tahu semuanya, kan? Tentang Lockwood dan apa pun itu. Tapi kenapa selama ini Bu Hiroko diam saja?”
Sungguh, semua ucapan itu keluar dengan nada lebih tinggi dari yang kubayangkan. Begitu aku menyadarinya, aku sudah menatap mata Bu Hiroko yang mulai bergetar—seolah rangkaian pertanyaan itu membangkitkan ingatannya tentang empat tahun lalu.
“Maaf,” kataku, kembali duduk.
“Kau harus tahu kalau aku peduli denganmu,” sergah Bu Hiroko.
“Oke.”
Aku tidak punya kata-kata lain yang bisa mewakili perasaanku. Dan kalau berusaha meluapkannya, aku pasti kembali menyalahkan Bu Hiroko. Mungkin Bu Hiroko bukan keluargaku, tetapi dia merawat kakakku—dan tentunya aku—ketika kakakku bersekolah di Akademi Grinover. Tentu saja aku marah ketika dia tidak lagi mempedulikanku begitu kakakku terbunuh.
“Jadi, biar kupastikan lagi,” katanya. “Kau mengincar Rena Lockwood?”
“Bukan hanya aku.” Dan setelah beberapa saat, kusadari aku mengucapkan hal yang tidak seharusnya kukatakan. “Maksudku, iya.”
Namun, terlambat. “Bukan hanya aku?”
“Baiklah. Kawasan Normal. Pemberontak.”
“Mereka ada di sini?”
“Tidak. Tapi mereka juga mengincarnya. Maksudku, mereka itu kumpulan pembunuh. Dan salah satunya teman baikku—tapi aku bukan salah satunya. Hanya teman baik karena ... siapa lagi yang bisa menjadi temanku selain pembunuh? Jadi, tentu saja Rena Lockwood selalu diincar. Aku justru memastikan dia baik-baik saja.”
Bu Hiroko semakin tidak mengerti. “Baik-baik saja? Apa maksudmu?”
Suasana hatiku sudah memburuk. Jadi, aku menghela napas, mengatakannya dalam satu kalimat penuh tanpa jeda. “Genosida. Mereka berniat membunuh Rena Lockwood dalam waktu dekat.”
Bu Hiroko terdiam, seperti berada dalam ambang tidak percaya dan trans.
Aku tahu bayangan itu tidak bisa pergi karena pada senin malam, aku kembali mengalami mimpi buruk yang luar biasa mengerikan. Kakak berdiri menungguku, lagi-lagi dengan kepala penuh darah. Aku tidak ingat apa yang terjadi, tetapi tepat sebelum terbangun, aku merasakan sesak yang luar biasa sampai napasku tertahan.Maka begitu aku terbangun, benakku segera kacau sejadi-jadinya. Napasku kacau dan seluruh tubuhku sudah diselimuti keringat. Jantungku berdebar-debar sampai gemetar menguasai seluruh benakku. Lagi-lagi dan lagi. Aku selalu tidak bisa mengakhiri mimpi tanpa air mata. Rasanya aneh, sesak, dan menjengkelkan dalam satu waktu. Mengapa Kakakku selalu kembali?Aku ingat suara terakhirnya. Kota Kertas. Dan satu-satunya yang kutahu tentang itu hanya permainan VR yang dikembangkan Erwin Hood. Permainan simulasi kehidupan yang tokoh utamanya merupakan anak petani, hidup di desa terpencil sampai akhirnya merantau ke kota yang ternyata penuh pelik. Gabungan misteri dengan
Akademi Grinover itu mengerikan.Selain harus menghadapi realita bahwa seisi sekolah membenciku karena riwayat keluargaku pemberontak, aku harus bertahan dengan surat ancaman yang kuterima setiap harinya. Satu-satunya hal baik yang kudapatkan hanya fakta bahwa aku mendapat empat kali kelas yang sama dengan Rena Lockwood—yang pada dasarnya juga merupakan hal mengerikan karena dia tidak pernah membuat semua menjadi lebih baik. Aku memang ingin bicara dengannya, tetapi dia selalu mengambil tempat duduk di belakangku, ketika semua orang memberi jarak dua bangku—yang secara teknis, membuat semua orang mengawasi gerak-gerik kami.Jadi, meskipun dia duduk di sana, kami tidak pernah memiliki waktu untuk bicara. Aku tidak tahu apa motifnya, tetapi dia kelihatan ikut frustrasi.Namun, pada akhirnya momentum itu datang ketika aku mendapat hukuman dari Pak Green, guru matematikaku, karena kedapatan melihat helikopter ketika dia mengoceh panjang lebar tenta
Istirahat makan siangku berakhir bagaikan neraka. Ketika aku tengah sibuk memegang sikat toilet, membersihkan ujung urinoar, seseorang—atau dua orang masuk dan segera menutup pintu. Aku menoleh, melihat Regan Reeves berdiri di dekatku. Belum sempat aku bereaksi, kepalan tangannya melesak kuat ke pipiku.Maka aku terbanting, menabrak dinding toilet, dan—hampir—membentur urinoar. Aku segera bangkit, tetapi Regan Reeves langsung mencengkeram kausku.“Kau berani mendekati Rena Lockwood?”“Apa urusanmu?” geramku.“Kau takkan berhenti berurusan denganku selama masih di sekolah ini.” Dia balas menggeram di mataku. Pipiku sakit, rasanya ingin terbatuk dengan sensasi membekas di pelupuk mata. Namun, aku perlu menahan tangannya yang mencekik. “Seharusnya kau tunduk, Bajingan Kecil. Kau pembunuh.”“Aku. Bukan. Pembunuh.”“Kau pasti berniat membunuh Rena.”D
Meskipun tinggal di Kawasan Normal, bisa dibilang tempat tinggalku cukup jauh dari pusat Kawasan Normal. Di hari Jumat sepulang sekolah, aku mengunjungi toko kelontong favoritku di Kawasan Normal. Bukan toko mewah yang dikelilingi kaca, melainkan ruangan bak gudang penyimpanan yang memiliki pintu kasa. Satu-satunya toko di Kawasan Normal yang pada dasarnya tidak menjual apa pun.Maksudku, Kawasan Normal tidak menerapkan sistem jual beli. Sebagian besar penduduknya adalah pencuri, perampok, preman, dan sebagian besar lainnya orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Jadi, jual beli di Kawasan Normal lebih cenderung ke arah pasar gelap—yang sama sekali tidak ingin kuketahui lokasi dan wujudnya. Mempertimbangkan itu, bisa dibilang toko kelontong bukan sembarang toko. Ini tempat anak-anak yang terlahir di Kawasan Normal memiliki harapan untuk tetap menyambung hidup.Itulah alasan mengapa aku dan Louist bisa selamat di Kawasan Normal.Pemiliknya seorang Kakek
Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat
Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan
Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir
Aku akan mengungkap satu rahasia besar: Rumah Pohon dulunya tempat persembunyian ayahku dan Erwin Hood. Kakak bilang, Erwin Hood memberi akses khusus agar Rumah Pohon hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Maka jelas, kakakku salah satunya. Dulu aku tidak memusingkan itu. Namun, setelah kakakku pergi dan aku tidak bisa kembali ke rumah, aku mulai memikirkan bagaimana cara mengaksesnya—dan ternyata sudah sejak lama Erwin Hood memberi kode akses padaku. Dia pernah memberiku hadiah kartu dengan susunan angka layaknya kata sandi. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk sadar bahwa itu kode akses.Maka dua tahun setelah kakakku tewas, aku mulai tinggal di Rumah Pohon.Louist tidak berniat tinggal satu atap denganku, dan aku juga tidak berniat. Dia hanya mengambil barang-barang penting seperti ranjang atau semacamnya.Maka bagian normal yang tersisa dari Rumah Pohon hanyalah tiga ruangan kecil: ruang tengah sekaligus dapur, ruang kerja, serta kamar mandi. Rua
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak