Akademi Grinover itu mengerikan.
Selain harus menghadapi realita bahwa seisi sekolah membenciku karena riwayat keluargaku pemberontak, aku harus bertahan dengan surat ancaman yang kuterima setiap harinya. Satu-satunya hal baik yang kudapatkan hanya fakta bahwa aku mendapat empat kali kelas yang sama dengan Rena Lockwood—yang pada dasarnya juga merupakan hal mengerikan karena dia tidak pernah membuat semua menjadi lebih baik. Aku memang ingin bicara dengannya, tetapi dia selalu mengambil tempat duduk di belakangku, ketika semua orang memberi jarak dua bangku—yang secara teknis, membuat semua orang mengawasi gerak-gerik kami.
Jadi, meskipun dia duduk di sana, kami tidak pernah memiliki waktu untuk bicara. Aku tidak tahu apa motifnya, tetapi dia kelihatan ikut frustrasi.
Namun, pada akhirnya momentum itu datang ketika aku mendapat hukuman dari Pak Green, guru matematikaku, karena kedapatan melihat helikopter ketika dia mengoceh panjang lebar tentang persamaan diferensial. Begitu kelas berakhir, dia memintaku tetap tinggal hanya untuk memberitahuku bahwa aku kedapatan tugas merangkum Ensiklopedia Matematika Akademi Grinover.
“Selesaikan dalam dua hari,” katanya. “Tidak menerima keberatan.”
Aku tetap keberatan. “Bukannya ini keterlaluan?”
“Aku bukan tipe guru yang membedakan hukuman untuk muridku, Redrich. Kau harus belajar menghormati setiap guru di Akademi Grinover karena barangkali ketika kau berprasangka buruk, kau meninggalkan kesempatan untuk menjadi lebih baik. Hadiri setiap kelas, dan pastikan kau di dalamnya. Ini hukumanmu.”
Entah bagaimana ada bagian dari diriku yang senang menerima kata-kata itu—barangkali karena dia tidak takut denganku. “Baik, Sir.”
Maka ketika menunggu periode kelima, aku mengerjakannya. Aku tak habis pikir bagaimana hukuman ini setimpal dengan materi yang hanya dijelaskan selama lima puluh menit, tetapi aku melewati banyak halaman—yang kusadari mencapai halaman enam puluh saat mataku berkunang-kunang. Aku tergoda membantingnya. Kepalaku pusing. Sepertinya aku di ambang batas realitas saat terdengar suara:
“Mau kubantu?”
“Oh, tentu saja.” Aku mengangkat kepala, dan langsung tersentak. Saat itu juga aku mengerjapkan mata, tetapi sosok itu tidak berubah.
Rena Lockwood tertawa kecil. “Aku bukan hantu.”
“Oh,” aku berusaha mencari kata-kata, “hai. Kau di sini.”
“Aku selalu di sini karena tempat dudukku di belakangmu.”
“Kalau begitu kau seharusnya di belakangku.”
“Tapi aku berniat membantumu.” Dia melihat Ensiklopedia.
Aku menatapnya. Atau barangkali aku mencoba menatapnya. Dia memiliki aura intimidasi yang kuat sampai mataku sulit bertahan menatapnya tanpa merona. Aku tak pernah terlalu memerhatikannya karena kami tidak pernah bertautan mata sedekat ini, tetapi kusadari itu waktu yang tepat untuk menghentikan ruang dan waktu.
Dia cantik, tetapi dalam artian tertentu, dia manis. Dia kelihatan bak ilustrasi musim dingin yang sejuk dan membeku. Bola matanya hampir seperti kelabu yang berspektrum. Dan dalam momen kedekatan ini, aku menyadari sesuatu di balik senyum manisnya: matanya tidak pernah berbohong. Barangkali dia bagaikan sosok bidadari yang tidak bisa digapai karena status sosial atau barangkali perpaduan ekstrem antara rambut bergelombang dengan bola matanya membuat siapa pun merona dalam hitungan detik, tetapi caranya memandangku tidak lagi menghipnotis seakan dinding yang memisahkan dirinya telah memudar. Pada saat itulah, dia berubah menjadi sosok normal yang lemah, dan entah bagaimana, aku mengerti bahwa inilah Rena Lockwood.
“Aku tidak mau memicu masalah,” kataku.
“Hmm?” Dia mengulas senyum kecil. “Kau menyebutku masalah?”
“Maksudku, kau pasti tahu apa yang terjadi belakangan ini.”
“Kalau begitu kita tegaskan saja,” ucapnya. “Kau pembunuh berantai?”
Satu pertanyaan itu membuat kami saling memandang. Dan bukan hanya aku yang terkejut, tetapi semua yang mendengarnya. Semua orang menatap kami. Barangkali aku bisa menjawab apa pun. Terlepas dari siapa pembunuh berantai, aku mengenal sosok di balik itu, jadi, ya atau tidak—semua jawaban itu sama saja.
“Kau harus tahu perbedaan polos dengan nekat,” kataku.
“Aku bertanya ini bukan karena polos.”
“Karena kau berniat menjebakku?”
“Karena aku percaya kau bukan pembunuh berantai. Berhenti berpikiran buruk.”
Aku terdiam sejenak, lalu mulai menatap mata kelabunya. Aku cukup yakin dengan kemampuanku melihat kejujuran seseorang. Dan tampaknya aku sedikit iri karena kepercayaan yang ditunjukkan Rena Lockwood seperti tidak takut apa pun—termasuk aku, yang seharusnya dihindarinya.
“Kau tahu semua orang menjauhiku dan dewan guru juga—”
“Biar kuwakilkan jawabanmu,” potongnya. “Charlie Redrich bukan pembunuh berantai, dan aku orang pertama yang percaya itu.”
Aku menggeleng, hampir mendesis. “Kau bisa mendapat banyak masalah.”
“Siapa yang peduli?” Dia menyuruhku bergeser tempat duduk, dan entah bagaimana aku menurut. Jadi, dia duduk di sebelahku, mengambil selembar kertas, lalu menunjuk satu halaman. “Aku ambil yang ini, jadi kau ambil sebelahnya karena kita melakukannya bersama. Berapa halaman yang harus kau rangkum?”
Aku membalikkan halaman sampai akhir. “Kurasa sampai habis.”
“Bagus. Kita akan lembur sampai periode kelima dimulai.”
Aku tidak ingin terlalu peduli apakah badai akan datang untuk menonjokku karena sudah duduk bersama Rena Lockwood, tetapi kupikirkan itu memang akan terjadi, jadi aku mencoba meraih ketenangan. Aku melihatnya sungguhan menulis, dan, ya, saat itu juga aku melanjutkan tulisanku.
“Kenapa kau sering sekali berkelahi?” tanyanya.
“Sebenarnya itu pertanyaanku juga. Apa kau juga ingin menonjokku?”
“Aku temanmu.”
“Kedengarannya hebat. Aku Charlie Redrich. Kita belum kenalan.”
“Aku Rena.” Kami berjabat tangan, dan dia sedikit tertawa pada itu, meski tidak lama. “Aku sering mendengar tentangmu. Tapi tampaknya kau ini kutu buku.”
“Anak yang dirundung kebanyakan memang kutu buku.”
“Hm-mm,” gumamnya. “Buku apa yang sering kau baca?”
Aku merasa kalau pembicaraan ini terlalu basa-basi, tetapi kupikirkan bahwa secara teknis kami baru saja berkenalan. Jadi, aku mengikuti arus. “Akhir-akhir ini biografi Leonardo Da Vinci menarik perhatianku. Tidak terlalu menarik.”
“Kurasa itu cukup oke.”
Kami terdiam beberapa saat sampai aku mulai agak heran karena kupikir dia tipe yang suka tentang drama.
“Idiot,” katanya. “Aku suka filsafat. Aku mengalami banyak hal yang membuatku merenungi itu. Selama ini aku selalu ingin tahu. Jadi—eh, kau tidak masalah kalau aku bicara banyak?”
Aku terdiam. Aku berpikir kalau mungkin dia tidak butuh jawaban, tetapi dia mulai menatapku. “Kau mendengarku?” tanyanya.
“Oh, tentu. Lanjutkan saja. Buku ini mengacaukan pemahamanku tentang pythagoras. Tapi boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentang pythagoras? Aku bukan ahli—”
“Bukan. Kau tidak masalah bicara denganku?”
Dan dalam satu jeda singkat itu, dia tampak berbeda dengan biasanya. Dia ... terlihat sedikit lebih nyata. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi dalam momen itu, matanya mengarah ke mataku, tetapi tidak seperti menatapku.
Seperti menatapku dengan cara paling jauh.
Selang sedetik, dia tersenyum pilu. “Dinding dibuat bukan untuk melarang seseorang keluar. Tapi untuk melihat siapa yang peduli menghancurkan itu.”
Aku terdiam sejenak. “Kata-katamu bijak juga.”
Dan dia tertawa dengan cara yang manis. “Aku tidak sebijak Socrates, tapi itu yang kumaksud. Semua orang dikelilingi dinding, dan kurasa kau juga. Tapi aku tidak pernah membuat dinding. Dinding itu sudah ada jauh sebelum aku lahir. Dan, entahlah, aku tak merasa itu bisa hancur. Barangkali hanya aku sendiri yang cukup peduli menghancurkannya. Apa kau juga berpikir seperti itu?”
Aku menunggunya bicara lagi, dan jelas, dia menunggu balasanku. Jadi, aku bertanya, “Kenapa kau berpikir dindingmu harus hancur?”
“Menurutmu?”
Entah bagaimana aku memikirkannya. Namun, karena aku tidak terlalu tahu tentangnya, aku berhenti bicara.
Jadi, kami saling terdiam, dan aku tidak punya pilihan selain menatapnya. Dia tidak bicara apa pun seolah ingin memberitahuku melalui matanya.
“Intinya,” ujarnya, pada akhirnya, “aku ingin berteman normal denganmu. Tapi aku tahu kita hanya bisa seperti ini. Bicara filsuf, hal-hal remeh, atau aku yang membantu hukumanmu. Aku tahu dindingku sama dengan garis waktuku. Jadi, aku, kalau tiba waktunya itu hancur—” Dia menghentikan suaranya sendiri. “Maksudku, aku berpikir kalau tidak pernah terlahir seperti ini, kita pasti bisa bicara normal.”
Sekali pun aku tidak pernah memikirkan itu.
Aku tahu dia terganggu dengan masa lalu keluarga kami. Membayangkan ayahku dan kakeknya pernah berniat saling bunuh, kurasa aneh kalau kami bicara sangat normal seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku membencinya, dan dia juga membenciku. Masa depan itu yang seharusnya terwujud dalam kami sekarang.
Namun, aku mengingat senyum Mona Lisa yang murni dan sederhana. Lalu aku mengingat senyum Rena Lockwood di hari pertama kami bertemu. Senyum yang terlihat serupa, hanya saja dengan unsur yang terkesan menahan sesak. Maka mau tak mau aku membayangkannya. Barangkali Rena Lockwood juga mengalami beberapa hal yang tidak kumengerti. Lockwood itu arogan. Mereka bukan tipe yang memberi kasih sayang. Mereka hanya peduli pada orang yang ada di kasta yang sama. Posisi membuat mereka buta pada segala hal.
Jadi, di benakku yang terdalam, aku sepakat dengan Rena Lockwood.
Andai aku tidak terlahir seperti ini, barangkali aku akan lebih bahagia.
Istirahat makan siangku berakhir bagaikan neraka. Ketika aku tengah sibuk memegang sikat toilet, membersihkan ujung urinoar, seseorang—atau dua orang masuk dan segera menutup pintu. Aku menoleh, melihat Regan Reeves berdiri di dekatku. Belum sempat aku bereaksi, kepalan tangannya melesak kuat ke pipiku.Maka aku terbanting, menabrak dinding toilet, dan—hampir—membentur urinoar. Aku segera bangkit, tetapi Regan Reeves langsung mencengkeram kausku.“Kau berani mendekati Rena Lockwood?”“Apa urusanmu?” geramku.“Kau takkan berhenti berurusan denganku selama masih di sekolah ini.” Dia balas menggeram di mataku. Pipiku sakit, rasanya ingin terbatuk dengan sensasi membekas di pelupuk mata. Namun, aku perlu menahan tangannya yang mencekik. “Seharusnya kau tunduk, Bajingan Kecil. Kau pembunuh.”“Aku. Bukan. Pembunuh.”“Kau pasti berniat membunuh Rena.”D
Meskipun tinggal di Kawasan Normal, bisa dibilang tempat tinggalku cukup jauh dari pusat Kawasan Normal. Di hari Jumat sepulang sekolah, aku mengunjungi toko kelontong favoritku di Kawasan Normal. Bukan toko mewah yang dikelilingi kaca, melainkan ruangan bak gudang penyimpanan yang memiliki pintu kasa. Satu-satunya toko di Kawasan Normal yang pada dasarnya tidak menjual apa pun.Maksudku, Kawasan Normal tidak menerapkan sistem jual beli. Sebagian besar penduduknya adalah pencuri, perampok, preman, dan sebagian besar lainnya orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Jadi, jual beli di Kawasan Normal lebih cenderung ke arah pasar gelap—yang sama sekali tidak ingin kuketahui lokasi dan wujudnya. Mempertimbangkan itu, bisa dibilang toko kelontong bukan sembarang toko. Ini tempat anak-anak yang terlahir di Kawasan Normal memiliki harapan untuk tetap menyambung hidup.Itulah alasan mengapa aku dan Louist bisa selamat di Kawasan Normal.Pemiliknya seorang Kakek
Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat
Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan
Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir
Aku akan mengungkap satu rahasia besar: Rumah Pohon dulunya tempat persembunyian ayahku dan Erwin Hood. Kakak bilang, Erwin Hood memberi akses khusus agar Rumah Pohon hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Maka jelas, kakakku salah satunya. Dulu aku tidak memusingkan itu. Namun, setelah kakakku pergi dan aku tidak bisa kembali ke rumah, aku mulai memikirkan bagaimana cara mengaksesnya—dan ternyata sudah sejak lama Erwin Hood memberi kode akses padaku. Dia pernah memberiku hadiah kartu dengan susunan angka layaknya kata sandi. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk sadar bahwa itu kode akses.Maka dua tahun setelah kakakku tewas, aku mulai tinggal di Rumah Pohon.Louist tidak berniat tinggal satu atap denganku, dan aku juga tidak berniat. Dia hanya mengambil barang-barang penting seperti ranjang atau semacamnya.Maka bagian normal yang tersisa dari Rumah Pohon hanyalah tiga ruangan kecil: ruang tengah sekaligus dapur, ruang kerja, serta kamar mandi. Rua
Keesokan harinya, aku terlambat, itu wajar.Teman-teman kelasku mulai melontarkan isu kecelakaan di Area 3 Distrik Lockwood, kuakui itu wajar. Beberapa orang mulai mengucapkan bela sungkawa, lagi-lagi itu wajar. Tidak ada yang membicarakan bahwa itu Rena Lockwood, yah, itu wajar. Jasadnya terbakar. Aku cukup memerhatikan kelas pra-kalkulus, sepertinya itu wajar. Namun, ketika aku menoleh ke bangku belakang, mendapati bangku itu kosong, aku tahu itu janggal. Dia tidak lagi di sana.Maka di periode keenam, kejanggalan itu mencapai puncak.Seluruh murid dikumpulkan di aula. Hampir tiga ratus orang berkumpul di satu tempat dengan suara gaduh yang tumpang tindih. Aku duduk di kursi belakang, melihat podium di bagian panggung. Itu membuat beberapa orang bergumam penuh kecurigaan sampai Kepala Sekolah kami yang berjanggut putih naik ke podium. Sejujurnya kami jarang mendapati Kepala Sekolah di area sekolah. Dia terlalu sering kunjungan dinas sampai tidak di
Aku membawa kasur lipat, bantal, selimut, peralatan mandi, seperti handuk yang jauh lebih lembut dari milikku, sabun, sampo, kondisioner dan berbagai jenis kebutuhan primer yang setidaknya dibutuhkan perempuan seusiaku ke meja konter. Kurang lebih Kakek menganga tidak percaya. “Ini untuk gadis, Nak.”“Aku tahu. Berapa harga semua ini?”“Kau menghabiskan uang peninggalan orang tuamu.”“Katakan saja berapa, Kek.”Kakek mengambil katalog harga, memeriksa satu per satu barang. “Aku tidak percaya saat Laura bilang kau membawa gadis ke Rumah Pohon. Jadi, itu benar? Kau punya pacar baru?”“Bisa dibilang begitu.” Aku sibuk menghitung uang di dompet.“Ini hadiah untuknya? Kau tinggal bersama dengannya?”“Aku takkan memberi hadiah dari Kawasan Normal.”Kakek mengerutkan kening. “Kenapa?”“Sebenarnya aku menculik cewek
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak