Share

7. GEDUNG LANGIT

last update Last Updated: 2020-12-24 14:43:47

Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.

“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.

Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”

Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   8. INSIDEN AREA 3 DISTRIK LOCKWOOD #1

    Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan

    Last Updated : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   9. INSIDEN AREA 3 DISTRIK LOCKWOOD #2

    Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir

    Last Updated : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   10. SEPTEMBER 2021, RUMAH POHON #1

    Aku akan mengungkap satu rahasia besar: Rumah Pohon dulunya tempat persembunyian ayahku dan Erwin Hood. Kakak bilang, Erwin Hood memberi akses khusus agar Rumah Pohon hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Maka jelas, kakakku salah satunya. Dulu aku tidak memusingkan itu. Namun, setelah kakakku pergi dan aku tidak bisa kembali ke rumah, aku mulai memikirkan bagaimana cara mengaksesnya—dan ternyata sudah sejak lama Erwin Hood memberi kode akses padaku. Dia pernah memberiku hadiah kartu dengan susunan angka layaknya kata sandi. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk sadar bahwa itu kode akses.Maka dua tahun setelah kakakku tewas, aku mulai tinggal di Rumah Pohon.Louist tidak berniat tinggal satu atap denganku, dan aku juga tidak berniat. Dia hanya mengambil barang-barang penting seperti ranjang atau semacamnya.Maka bagian normal yang tersisa dari Rumah Pohon hanyalah tiga ruangan kecil: ruang tengah sekaligus dapur, ruang kerja, serta kamar mandi. Rua

    Last Updated : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   11. KEBOHONGAN

    Keesokan harinya, aku terlambat, itu wajar.Teman-teman kelasku mulai melontarkan isu kecelakaan di Area 3 Distrik Lockwood, kuakui itu wajar. Beberapa orang mulai mengucapkan bela sungkawa, lagi-lagi itu wajar. Tidak ada yang membicarakan bahwa itu Rena Lockwood, yah, itu wajar. Jasadnya terbakar. Aku cukup memerhatikan kelas pra-kalkulus, sepertinya itu wajar. Namun, ketika aku menoleh ke bangku belakang, mendapati bangku itu kosong, aku tahu itu janggal. Dia tidak lagi di sana.Maka di periode keenam, kejanggalan itu mencapai puncak.Seluruh murid dikumpulkan di aula. Hampir tiga ratus orang berkumpul di satu tempat dengan suara gaduh yang tumpang tindih. Aku duduk di kursi belakang, melihat podium di bagian panggung. Itu membuat beberapa orang bergumam penuh kecurigaan sampai Kepala Sekolah kami yang berjanggut putih naik ke podium. Sejujurnya kami jarang mendapati Kepala Sekolah di area sekolah. Dia terlalu sering kunjungan dinas sampai tidak di

    Last Updated : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   12. SEPTEMBER 2021, RUMAH POHON #2

    Aku membawa kasur lipat, bantal, selimut, peralatan mandi, seperti handuk yang jauh lebih lembut dari milikku, sabun, sampo, kondisioner dan berbagai jenis kebutuhan primer yang setidaknya dibutuhkan perempuan seusiaku ke meja konter. Kurang lebih Kakek menganga tidak percaya. “Ini untuk gadis, Nak.”“Aku tahu. Berapa harga semua ini?”“Kau menghabiskan uang peninggalan orang tuamu.”“Katakan saja berapa, Kek.”Kakek mengambil katalog harga, memeriksa satu per satu barang. “Aku tidak percaya saat Laura bilang kau membawa gadis ke Rumah Pohon. Jadi, itu benar? Kau punya pacar baru?”“Bisa dibilang begitu.” Aku sibuk menghitung uang di dompet.“Ini hadiah untuknya? Kau tinggal bersama dengannya?”“Aku takkan memberi hadiah dari Kawasan Normal.”Kakek mengerutkan kening. “Kenapa?”“Sebenarnya aku menculik cewek

    Last Updated : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   13. SEPTEMBER 2021, RUMAH POHON #3

    Aku menghabiskan sepanjang malam di toko kelontong, menemani Louist yang membaca buku KUPAS HABIS HATI PEREMPUAN dan aku mengomentari sikap tak terduga itu sepanjang berada di sana. “Kau mau bermain cewek?”“Kurasa kau harus pulang sekarang,” katanya.“Kau mengusirku?”“Kau harus memastikan jasadnya sekarang.”“Itu hal mengerikan ketujuh yang kudengar hari ini.”Namun, aku sepakat dengan itu. Maksudku, aku harus segera pulang karena hanya ingin mendinginkan kepala di sini. Jadi, begitu menyelesaikan urusan ini-itu—bercanda dengan Kakek dan Louist—aku kembali ke Rumah Pohon.Maka kudapati Rumah Pohon gelap, seperti aku meninggalkannya di hari-hari normal. Aku menyalakan lampu, dan menyadari kasur lipat dan barang-barang yang kubeli lenyap tidak berbekas. Terakhir kali aku meninggalkannya, semua itu berserakan, tetapi kini, barang-barang itu menghilang.Aku me

    Last Updated : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   14. SEPTEMBER 2021, HARI KEDUA #1

    Itu pertama kali aku terbangun bukan karena mimpi buruk atau alarm, tetapi karena wangi masakan. Aku tidur di ruang tengah—berbagi ruangan dengan dapur, berlapiskan kasur lipat dan selimut beraroma kapur barus. Belum sempat membuka mata, seseorang sudah berteriak di telingaku.“BANGUUN, TUAN MAJIKANN!”Aku membuka mata, tetapi rasanya lengket. Jadi, aku mengembalikan fokus dan berusaha melihat jam. Sayangnya, Rena menutup seluruh jarak pandang karena dia benar-benar, secara teknis, di depan mataku. “Ah, kau bangun!” serunya.“Pemandangan indah di pagi yang cerah,” sambutku.“Aku yakin kau melihatku sepanjang malam karena kau benar-benar tidak bisa bangun kecuali dengan ini.” Dia tersenyum di depan mataku. “Selamat pagi, Charlie. Mimpi indah semalam?”“Lebih indah saat membuka mata.”“Ya, ya, aku suka pujianmu.” Dia beranjak. “Cuci mukamu. Kau seri

    Last Updated : 2021-01-19
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   15. SEPTEMBER 2021, HARI KEDUA #2

    Suasana Akademi Grinover masih diselimut duka. Jadi, tidak ada hal berarti yang terjadi selain sorot kebencian padaku yang semakin menguat. Aku dan Bu Hiroko sepakat tidak akan saling bicara selama beberapa waktu ke depan. Barangkali tidak ada yang mengira kami terlibat dalam kecelakaan, tetapi ketika kami bertemu, kami pasti tidak akan bisa menahan keinginan membicarakan kasus. Dan, ya, tentu saja itu pertama kalinya aku menjalani hari tanpa berkelahi.Aku sempat berselisih jalan dengan Regan Reeves. Raut wajahnya pucat, sorot matanya mati, jadi aku tahu dia hanya tidak menyadari keberadaanku. Tidak ada kejadian berarti yang membuatnya harus mencekikku karena aku tahu dia masih terbayang akan kematian Rena. Mengingat sebagian besar waktuku di sekolah juga selalu mengikuti Rena, kegiatanku jadi tidak terlalu berarti.Barangkali kejadian yang bisa kunikmati hanya periode fisika dari Sir Bram. Dia salah satu dewan guru yang tidak terlihat memberikan sorot kebencian, jadi

    Last Updated : 2021-01-22

Latest chapter

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   93. EPILOG

    18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   92. ABU PEMBAKARAN #3

    Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   91. ABU PEMBAKARAN #2

    Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   90. ABU PEMBAKARAN #1

    13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   89. SALAM TERAKHIR #3

    12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   88. SALAM TERAKHIR #2

    “Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   87. SALAM TERAKHIR #1

    11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   86. TAMAN HIJAU LOCKWOOD

    11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   85. MEMBARA #2

    Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak

DMCA.com Protection Status