Itu pertama kali aku terbangun bukan karena mimpi buruk atau alarm, tetapi karena wangi masakan. Aku tidur di ruang tengah—berbagi ruangan dengan dapur, berlapiskan kasur lipat dan selimut beraroma kapur barus. Belum sempat membuka mata, seseorang sudah berteriak di telingaku.
“BANGUUN, TUAN MAJIKANN!”
Aku membuka mata, tetapi rasanya lengket. Jadi, aku mengembalikan fokus dan berusaha melihat jam. Sayangnya, Rena menutup seluruh jarak pandang karena dia benar-benar, secara teknis, di depan mataku. “Ah, kau bangun!” serunya.
“Pemandangan indah di pagi yang cerah,” sambutku.
“Aku yakin kau melihatku sepanjang malam karena kau benar-benar tidak bisa bangun kecuali dengan ini.” Dia tersenyum di depan mataku. “Selamat pagi, Charlie. Mimpi indah semalam?”
“Lebih indah saat membuka mata.”
“Ya, ya, aku suka pujianmu.” Dia beranjak. “Cuci mukamu. Kau seri
Suasana Akademi Grinover masih diselimut duka. Jadi, tidak ada hal berarti yang terjadi selain sorot kebencian padaku yang semakin menguat. Aku dan Bu Hiroko sepakat tidak akan saling bicara selama beberapa waktu ke depan. Barangkali tidak ada yang mengira kami terlibat dalam kecelakaan, tetapi ketika kami bertemu, kami pasti tidak akan bisa menahan keinginan membicarakan kasus. Dan, ya, tentu saja itu pertama kalinya aku menjalani hari tanpa berkelahi.Aku sempat berselisih jalan dengan Regan Reeves. Raut wajahnya pucat, sorot matanya mati, jadi aku tahu dia hanya tidak menyadari keberadaanku. Tidak ada kejadian berarti yang membuatnya harus mencekikku karena aku tahu dia masih terbayang akan kematian Rena. Mengingat sebagian besar waktuku di sekolah juga selalu mengikuti Rena, kegiatanku jadi tidak terlalu berarti.Barangkali kejadian yang bisa kunikmati hanya periode fisika dari Sir Bram. Dia salah satu dewan guru yang tidak terlihat memberikan sorot kebencian, jadi
Sore itu, aku duduk di pinggir lapangan utama Akademi Grinover, tepat di bawah pohon ek. Ada pertandingan sepak bola antara Akademi Grinover dengan sekolah lain. Sebenarnya aku tidak terbiasa melihat sepak bola, tetapi angin sore itu terasa hangat. Jadi, aku tidak ingin kehilangan momen bersama angin.“... Kejar! Rebut bolanya!”Mereka cukup tangguh. Maksudku, tim musuh. Badannya relatif kekar, dan, anehnya, lincah. Sungguh tidak adil. Sebenarnya aku netral, aku tidak mau menjadi pendukung Akademi Grinover, apalagi musuhnya, tetapi saat kulihat Regan Reeves di lapangan, aku langsung memihak oposisi. Jadi, wahai musuh, berjuanglah. Kalau perlu, sikat habis saja bajingan berotot itu sampai babak belur.Pertandingan mulai sangat seru ketika pemain lawan berhasil lolos. Umpan jauh dilambungkan, dan pemain depan itu melesat cepat menjemput bola. Pemain belakang Akademi Grinover kacau. Salah satu dari mereka berlari mengejar bola. R
Aku kembali ke Rumah Pohon sebelum gelap.Dan tidak ada siapa pun. Kosong, seperti tidak ditinggali seseorang.Jadi, aku mengetuk dinding kayu. “Aku tahu kita butuh kode khusus agar kau tahu kalau yang masuk itu aku. Tapi pertama, kau bisa melihat ke luar dengan kamera pengawas. Nyalakan layar, kau bisa melihat apa pun. Kedua, Rumah Pohon punya kode akses. Kau harus tahu kode akses untuk masuk atau sengatan listrik bisa membunuhmu.”Terdengar seruan dari ruang kerja. “Kenapa. Kau. Tidak. Mengatakan. Itu. Dari. Kemarin?” Suaranya terdengar semakin dekat, dan dia muncul dari balik pintu ruang kerja. “Idiot!”“Sambutan yang baik.”“Aku bosan!”“Kecilkan suaramu.” Aku melempar tas—hampir ke ruang kerja, tetapi aku sadar kalau itu sudah jadi kamar Rena, jadi aku membuangnya ke sudut ruang tengah, membuatnya menabrak keras dinding kayu.Rena menatapku. &ldqu
Akhir pekan, aku mengisi jam kerja yang kujanjikan pada Kakek.Lebih tepatnya, tengah malam, aku ke toko kelontong dan mendapati Louist berdiri di luar toko menatap bintang. Tidak biasanya tengah malam begini dia ada di toko kelontong, tetapi kupikirkan kalau aku juga begitu.“Mau menangis?” sapaku. “Lebih baik di pundak Laura.”Dia menoleh, mendapatiku. Dalam detik itu juga, dia menyipitkan matanya. “Orang idiot macam apa yang keluar hutan tengah malam?”“Tidak bisa tidur.” Aku berdiri di sampingnya. “Rindu masa lalu?”“Apa urusannya?”“Tumben sekali kau tidak di gudang kontainer bau asam itu. Jadi, mungkin kau mengingat masa lalu karena kita pernah melakukan ini. Melihat langit dan tidak bicara apa pun.”Dia terdiam selama beberapa saat, sampai akhirnya berkata, “Aku benci melankolis sepertimu.” Dia beranjak masuk ke toko, tet
Begitu malam tiba, aku kelupaan satu hal yang harus kulakukan.Rena mengetuk dinding kayu berulang kali, bahkan hampir meninjunya. Aku bersimpuh di depannya, tidak bisa berkata apa-apa.“Tidak bisakah kau memberitahuku kalau ingin pergi?” Nada suaranya seperti ingin meremasku habis-habisan. “Kau pernah membayangkan bagaimana aku tidak menemukanmu di mana-mana sementara tempat ini tidak punya sesuatu yang bisa membuatku terhubung denganmu? Kamera pengawas—”“Maaf.”“Kalau saja aku tidak melihat kamera pengawas,” sergahnya, tidak peduli ucapanku, “orang idiot macam apa yang tengah malam pergi ke hutan?”Itu persis seperti yang dikatakan Louist. “Maaf.”“Dengar, aku yakin kau sudah terbiasa melakukan itu, keluar tengah malam atau semacamnya, tapi tidak bisakah kau memikirkanku? Tidak bisakah kau sedikit berpikir ada yang mencemaskanmu karena dia tidak ingin terj
Hari Minggu. Lagi-lagi mengisi jam kerja yang kujanjikan pada Kakek.Namun, hari itu tidak seindah kemarin.Baru aku duduk di meja konter, Kakek muncul dari belakangku dengan aura mengerikan. Dia menatapku tajam, dengan sorot mata berkilat seperti akan membuatku remuk. Dan benar, dia menggeram.“Nak, di mana Rena Lockwood sekarang?”Aku langsung beranjak—tentu saja terkejut—tetapi masih bisa memasang sikap defensif dan natural. “Maksudnya?”“Kecelakaan di Distrik Lockwood hampir membunuhmu dan Louist. Orang yang kalian ikuti di sana. Rena Lockwood.”“Rena Lockwood tewas di tempat,” tegasku.“Tidak ada gunanya berbohong, Nak.” Dalam momen itu, dia terlihat begitu mengerikan seolah aku melihat wujudnya yang pernah menjadi penguasa Kawasan Normal—alasan mengapa dia disegani penduduk Kawasan Normal.“Siapa yang di Rumah Pohon sekarang?”
Butuh beberapa lama untuk menenangkan Rena. Aku tidak pernah melihat orang mengalami gangguan kecemasan, tetapi mungkin dulu aku terlihat seperti itu—ketika mengetahui kakakku benar-benar tak lagi di sampingku dan menyadari bahwa dirinya berubah menjadi hantu masa lalu yang menyuruhku balas dendam.Begitu bisa mengendalikan diri, Rena tertidur di kursi depan sehingga tidak perlu mendengar suara-suara yang membangkitkan kenangan buruknya. Perjalanan kami sebenarnya tidak mencapai tiga puluh menit. Hanya sekitar lima belas menit karena aku harus mencari jalur yang setidaknya mulus agar tidak membangunkan Rena. Belum lagi, dengan mobil, kau tidak bisa menembus jalan pintas.Jadi, kami tiba di toko kelontong jauh lebih lama dari yang kupikirkan.Dan begitu sampai, kesialan langsung menghampiri kami.Aku menutup mata Rena, lalu entah bagaimana caranya—yang kuingat, aku segera menariknya melewati pintu kasa, langsung membawanya ke rak alat man
Sebenarnya aku sudah curiga ketika Kakek dan Rena tidak keluar dari ruang belakang hampir satu jam penuh, tetapi aku terus meladeni Louist tentang siapa yang paling cepat mendapatkan satu ember penuh untuk pertandingan adu pancing minggu depan dan tidak terasa dua jam sudah berlalu.Aku terkejut, dengan segera berpikir kalau Rena akan membenci sekaligus menghilangkan kepercayaannya padaku. Aku mendobrak masuk (sebenarnya aku membuka pintu secara perlahan) dan langsung mendapati ruangan sangat gelap.Ruang belakang memang gelap, hanya ada cahaya remang-remang karena semua aliran listrik mengarah ke bagian depan—tetapi itu tidak cukup membutakan mataku yang melihat Kakek duduk di sisi ranjang gantung, tepat memandang Rena yang berbaring. Dari sudut ini, aku melihat Kakek seperti bersimpati.“Apa yang terjadi?” tuntutku.Kakek menoleh. Aku tidak mampu melihat ekspresinya karena gelap, tetapi telingaku cukup jelas mendengar: “Dia butuh
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak