Beranda / Romansa / Angkasa Merah di Kota Kertas / 1. 2021, AKADEMI GRINOVER #1

Share

1. 2021, AKADEMI GRINOVER #1

last update Terakhir Diperbarui: 2020-12-23 18:37:43

Aku sempat berdebat kecil dengan Louist karena melakukan rencana gegabah—masuk ke Akademi Grinover—jadi kupikir kami akan mengakhiri itu dengan adu tonjok, tetapi tidak kusangka ternyata Louist mengerti.

“Kau idiot. Jadi, jangan melakukan kesalahan sedikit pun.”

“Yang tidak sekolah biasanya lebih idiot,” balasku.

Jadi, waktu itu hari Senin. Aku sempat berpikir tidak akan menghadiri upacara penerimaan, tetapi di sanalah aku. Berdiri di depan gedung Akademi Grinover yang kelihatan jauh dari bayanganku. Barangkali aku terkagum-kagum dengan kebodohan Lockwood. Maksudku—iya, ini akan terdengar kurang ajar, tetapi wujud Akademi Grinover sulit untuk kupercaya.

Aku berusaha berpikir wajar melihat air mancur memiliki relief bertuliskan Lockwood. Maka seharusnya bukan hal aneh melihat jalan terlihat bak trotoar dengan lampu-lampu khas mirip lampion. Dinding sekolahnya berlapiskan marmer putih. Nuansa kelasnya mirip teater—tempat duduk yang semakin ke belakang semakin ke atas. Keramiknya licin seolah terbuat dari bahan kelas atas yang harus selalu bersih. Segalanya tampak dalam nuansa kerajaan yang fiktif.

Jelas ini bukan tempat bagi penduduk Kawasan Normal yang kumuh.

Jadi, bukan hal aneh kalau di periode istirahat makan siang, tiga orang yang sepertinya kakak kelas sudah berdiri di depanku, membawa senjata yang tampak bisa membuatku babak belur. Pemukul bisbol, sapu, dan pipa yang entah dari mana asalnya. Mereka berdiri, memelototiku yang duduk di bawah pohon ek pinggir lapangan sepak bola. 

“Charlie Redrich, bukan?” 

Aku menghela napas kecil, menutup buku. “Benar. Ada urusan apa?”

“Tidak perlu bertingkah sopan, brengsek.” Dia mencengkeram kaus—atau leherku, lalu memaksaku berdiri. Belum sampai sedetik sejak aku bangkit, mereka sudah menabrakkan punggungku ke pohon ek. “Kau tentunya tahu siapa ayahku.”

Aku menahan lengannya agar tidak terlalu mencekik.

“Untuk apa aku tahu ayahmu?” kataku, sempat membalas.

“Aku Regan Reeves. Tapi kau tidak perlu repot mengingatnya karena kau akan dikeluarkan. Ingat saja kalau ayahmu membunuh ayahku, dan ini bukti dendamku padamu.”

Dia mulai kuat mencekikku sampai napasku sedikit tersendat.

Semestinya aku membela. Ini hari pertamaku sekolah, bukan hal lucu kalau sudah mendapat peringatan karena berkelahi. Namun, beberapa murid sekitar mulai membentuk kerumunan kecil, menyaksikan adegan yang barangkali akan berakhir adu tonjok. Aku pemberontak. Mereka Lockwood. Semestinya wajar mereka memusuhiku. Namun, melihat raut mukanya yang penuh aura membunuh, mau tak mau aku mengayunkan kakiku, menendang tepat ke perutnya.

Kakiku melesak cukup dalam. Dan dia terkejut, mengerang, terhempas kecil ke belakang. Punggungnya membungkuk, tangannya memegang perut, mata babinya membelalak—tepat padaku ketika aku mulai terbatuk-batuk.

“Brengsek!” pekiknya.

Dia mengepalkan tangan, lalu menarik kuat sikunya ke belakang sebelum mulai melompat. Tolakan dari kakinya membuat kecepatannya bertambah. Matanya melotot penuh aura kebencian yang terlihat akan menghajar hidungku.

Secara naluri, tubuhku bergerak ke samping, menghindari amukan kepalan tangannya. Dia meninju udara kosong, dan sentakan itu membuatnya terjungkal. Beberapa orang di kerumunan tertawa. Tampaknya dia malu. Jadi, dia segera ambil posisi dan menerjang kembali dengan tonjokan andalannya. 

Sayangnya, dia naif. Serangannya hanya lurus—itu tidak terlalu mengancam mengingat keseharianku di Kawasan Normal adalah perebutan makanan dengan tinju. Dulu.

Aku kembali menghindar, lalu segera mengambil posisi sepertinya.

Tampaknya aku menang. Tanganku mengepal—tepat di samping tubuhnya yang berusaha menahan keseimbangan. Dia terkejut. Belum sempat dia bereaksi, tonjokanku sudah melesak ke pipinya persis seperti petinju yang menyerang dengan uppercut. Rasanya seperti menonjok gigi dengan serangan penuh. Itu kena dengan sangat telak. 

“AKH!” erangnya. Dia terjungkal sampai menabrak pohon ek.

Kemudian segaris cairan merah keluar dari mulutnya.

“Darah!” pekik seseorang. “Dia membuatnya berdarah!”

Kerumunan semakin ramai. Murid yang sebenarnya tidak di sekitar lapangan mendekat. Belum sempat aku menyesal, seseorang terlihat menyerbu dari kerumunan. “BRENGSEK!” Dia mengarahkan kepalannya lalu—buk!

Aku menahan kepalannya, menatapnya tajam.

Tampaknya dia tahun pertama sepertiku. Dia terkejut, berusaha segera menarik lengannya seolah aku bisa melambatkan waktu. Namun, dia lemah dan aku lebih kuat. Aku memikirkan apa yang bisa kulakukan padanya, ketika melihat matanya mulai mengeluarkan air. Jadi, aku menarik tangan dan dia segera tunggang-langgang kembali ke kerumunan. 

“IBLIS!” pekiknya. “TANGANKU PATAH!”

Aku bisa saja membuat itu sungguhan, tetapi aku menatap Regan Reeves. Dia terduduk di bawah pohon ek, membuka mulutnya, sementara dua orang temannya berusaha membuatnya baik-baik saja. 

“Sampah,” kata salah satu temannya. “Kau memang pembunuh.”

“Sekolah takkan menerima pembunuh.”

“Mana ada pembunuh mengaku pembunuh.”

Aku hampir membalas, tetapi suara seseorang memotong dari kerumunan. Sir Bram—wakil kepala sekolah—membelah kerumunan. Dia melihat kami dan tidak begitu terkejut. Matanya berulang kali melngamati Regan Reeves, dua orang temannya, lalu padaku, lalu kembali melihat Regan Reeves. Tampaknya dia berhasil menemukan darah di mulut Regan Reeves.

“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya.

“Dia menonjok Regan Reeves!” bentak salah satu temannya menunjukku.

“Dan kau berniat mengeroyokku.”  Aku menunjuk pipa dan pemukul bisbol. “Kalau mau latihan bisbol, jangan bawa pipa!”

Sir Bram menghela napas. Kupikir dia akan menegur mereka, tetapi tidak. “Itu tindakan tidak terpuji, Redrich. Dan itu berlaku untuk kalian. Apa yang kalian lakukan dengan pemukul bisbol dan pipa itu?”

“Dia tidak seharusnya di sini!” sergah Regan Reeves.

“Memangnya apa yang kau lakukan di sini, Redrich?”

“Seharusnya membaca buku.”

“Baiklah.” Sir Bram tampak kecewa. “Istirahat makan siang sudah selesai dan itu artinya semua orang harus kembali ke kelasnya. Reeves, pergi ke UKS, dan jangan sampai aku melihatmu berkelahi. Redrich, pergi temui Bu Hiroko di ruang konseling. Dia punya banyak nasihat yang berguna untukmu.” Sir Bram mendapati kerumunan masih padat. “Kenapa kalian masih di sini? Istirahat makan siang sudah selesai!”

Kerumunan berjalan pergi. Beberapa saling berbisik yang kurang lebih mempertanyakan keberpihakan Pak Bram. 

Aku baru mau mengikuti, ketika Sir Bram memanggil. “Redrich.”

Aku berhenti. “Ya, Sir?”

Aku belum pernah mengenal Sir Bram sebelum menginjakkan kaki di sini, maka itu berarti kalau aku merasa terintimidasi melihat matanya yang berkilat bak sedang menahanku. “Kau harus menjaga perilakumu di sini. Akademi Grinover tidak pernah menerima murid non-Lockwood sejak empat tahun lalu, dan itu berarti kalau kau murid pertama yang mendapatkan itu. Kau mengerti maksudku?”

“Saya tidak mengerti maksud non-Lockwood.”

“Bukan simpatisan Lockwood,” koreksinya. “Mungkin tidak semua yang di sini mendukung Lockwood, tapi kau, jelas menentang mereka.”

“Tapi mereka menyebutku pembunuh.”

“Dan bukankah itu yang kau katakan padaku? Bahwa kau tidak akan peduli disebut pembunuh?”

Aku terdiam. Itu benar. Aku memang mengatakan itu.

“Sejauh apa pun kau melangkah di sini,” katanya, “ingatan mereka tentang keluargamu tidak bisa hilang. Kalau kau memang bukan pembunuh, buktikan juga dengan perilakumu. Jangan sampai aku mendengarmu membuat masalah lagi. Kau harus temui Bu Hiroko karena dia pasti menunggumu dengan banyak kata-kata.”

"Tapi semua orang takut karena mengiraku pembunuh."

"Kalau kau tertekan dengan itu, berarti kau merasa sebagai pembunuh. Kalau kau memang bukan pembunuh, jangan biarkan perasaan itu mengekangmu. Buktikan ke mereka."

Dia menepuk pundakku, lalu meninggalkanku dengan sebongkah amarah. Itu logika yang konyol. Tentu saja mereka menjauhiku. Siapa yang mau berurusan dengan pembunuh?

Barangkali aku memang tahu posisiku. Lockwood sebagai pemenang dari era pemberontakan bebas mengubah sejarah dan mengukir namanya sebagai kebenaran. Namun, aku tahu apa yang terjadi pada keluargaku—bagaimana ayah dan kakak terbunuh. Aku tahu apa yang terjadi pada ibuku, meski itu hanya sebatas asumsi. Hanya saja, semua jelas. Lockwood adalah kaum penguasa yang harus disingkirkan. 

Kugumamkan sesuatu tentang kesabaranku, ketika mataku mendapati sosok perempuan di antara kerumunan yang berjalan. Bukan karena dia berjalan dengan gaya yang seksi dan memikat, tetapi karena dari semua orang yang berjalan menuju gedung utama, dia berdiri, menatap tepat ke arahku seolah menanti mataku untuk mendapatinya. Maka aku menemukannya dan kami bertautan mata.

Rena Lockwood. Cucu target terbesar Louist, Tracy Lockwood.

Sebenarnya aku tidak masalah dengan sorot mata kebencian, tetapi setelah merasakan itu selama beberapa jam, aku merasa bahwa mendapati sorot mata tulus adalah hal paling tabu yang bisa kudapatkan. Namun, itu terjadi. Rena Lockwood menatapku dengan sorot tulus yang bercampur aduk. Raut mukanya terlihat begitu dalam sampai segala hal terkesan kosong. Dia seperti lega, atau takut, atau bahkan keduanya. Aku tidak mengerti mengapa bisa memikirkan itu, tetapi dengan nuansa yang dia pancarkan, aku seperti melihat dinding tinggi tengah mengelilinginya.

Maksudku, kami sudah sering bertemu dalam satu hari ini—setelah upacara penerimaan, atau saat kami menuju kelas pertama kami. Dia terkenal, atau setidaknya, kecantikan membuatnya terkenal. Hidup sebagai eksistensi cucu orang yang berkuasa sudah sewajarnya memiliki penampilan yang enak dipandang. Dan, tentu saja wajar dia menghindariku. Jadi, aku tidak mengerti mengapa dia memandangku dengan cara seperti itu. Dari semua kepalsuan yang dia tampilkan selama beberapa jam ini, itu pertama kali aku melihatnya tanpa topeng tebal.

Matanya berkaca-kaca dengan senyum kecil bak busur cupid.

Dan mengarah tepat kepadaku.

Tidak ada orang lain yang memerhatikan. Setidaknya, itu yang kupikirkan. Namun, selang beberapa saat, terdengar gumaman. “Astaga. Lihat. Malaikat Tak Bersayap tersenyum padaku.”

“Apa?" sahut seseorang. "Di mana dia?”

Dan kusadari ini. Tidak ada yang menyadari keberadaan dinding pada Rena Lockwood karena tidak seorang pun memikirkan itu. Tidak ada yang berpikir bisa menggapainya karena jati dirinya sebagai cucu orang paling penting. Hanya saja, dari sisi pemberontak selalu ada sesuatu yang bisa dilihat dari sekadar posisi dan martabat.

Namun, meski aku tahu itu, ada fakta yang melekat dalam diri kami. Perbedaan di antara kami memang selebar jarak antara langit dengan bumi.

Bab terkait

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   2. 2021, AKADEMI GRINOVER #2

    Bu Hiroko memiliki kelas yang harus dia masuki di periode setelah istirahat makan siang. Jadi, kelas konseling dimulai seusai jam sekolah. Aku duduk di sofa ketika mendapati guru pra-kalkulus melewati tempatku duduk.“Senang melihatmu mendapat bimbingan, Redrich.”“Bisakah Bapak Tua sopan pada murid bimbinganku?” sergah Bu Hiroko.“Apa?” Dia menyalak Bu Hiroko.“Ada berbagai alternatif sapaan yang bisa dikatakan pada murid baru, yang secara kebetulan mendapat masalah karena kakak kelasnya yang kurang ajar. Jadi, bisakah seorang guru memerhatikan cara bicara pada muridnya?”“Itu membuktikan dia tidak pantas bersekolah—”“Itu dia. Bisakah kita tidak membedakan murid Akademi Grinover?”Mereka saling membalas, dan dalam kurun tiga menit, aku merasa canggung dengan bulu kuduk aktif karena menjadi topik perdebatan dua dewan guru. Dan Bu Hiroko menang karena lawan

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-23
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   3. 2021, RUMAH POHON

    Aku tahu bayangan itu tidak bisa pergi karena pada senin malam, aku kembali mengalami mimpi buruk yang luar biasa mengerikan. Kakak berdiri menungguku, lagi-lagi dengan kepala penuh darah. Aku tidak ingat apa yang terjadi, tetapi tepat sebelum terbangun, aku merasakan sesak yang luar biasa sampai napasku tertahan.Maka begitu aku terbangun, benakku segera kacau sejadi-jadinya. Napasku kacau dan seluruh tubuhku sudah diselimuti keringat. Jantungku berdebar-debar sampai gemetar menguasai seluruh benakku. Lagi-lagi dan lagi. Aku selalu tidak bisa mengakhiri mimpi tanpa air mata. Rasanya aneh, sesak, dan menjengkelkan dalam satu waktu. Mengapa Kakakku selalu kembali?Aku ingat suara terakhirnya. Kota Kertas. Dan satu-satunya yang kutahu tentang itu hanya permainan VR yang dikembangkan Erwin Hood. Permainan simulasi kehidupan yang tokoh utamanya merupakan anak petani, hidup di desa terpencil sampai akhirnya merantau ke kota yang ternyata penuh pelik. Gabungan misteri dengan

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-23
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   4. AGUSTUS 2021, RENA LOCKWOOD #1

    Akademi Grinover itu mengerikan.Selain harus menghadapi realita bahwa seisi sekolah membenciku karena riwayat keluargaku pemberontak, aku harus bertahan dengan surat ancaman yang kuterima setiap harinya. Satu-satunya hal baik yang kudapatkan hanya fakta bahwa aku mendapat empat kali kelas yang sama dengan Rena Lockwood—yang pada dasarnya juga merupakan hal mengerikan karena dia tidak pernah membuat semua menjadi lebih baik. Aku memang ingin bicara dengannya, tetapi dia selalu mengambil tempat duduk di belakangku, ketika semua orang memberi jarak dua bangku—yang secara teknis, membuat semua orang mengawasi gerak-gerik kami.Jadi, meskipun dia duduk di sana, kami tidak pernah memiliki waktu untuk bicara. Aku tidak tahu apa motifnya, tetapi dia kelihatan ikut frustrasi.Namun, pada akhirnya momentum itu datang ketika aku mendapat hukuman dari Pak Green, guru matematikaku, karena kedapatan melihat helikopter ketika dia mengoceh panjang lebar tenta

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   5. AGUSTUS 2021, RENA LOCKWOOD #2

    Istirahat makan siangku berakhir bagaikan neraka. Ketika aku tengah sibuk memegang sikat toilet, membersihkan ujung urinoar, seseorang—atau dua orang masuk dan segera menutup pintu. Aku menoleh, melihat Regan Reeves berdiri di dekatku. Belum sempat aku bereaksi, kepalan tangannya melesak kuat ke pipiku.Maka aku terbanting, menabrak dinding toilet, dan—hampir—membentur urinoar. Aku segera bangkit, tetapi Regan Reeves langsung mencengkeram kausku.“Kau berani mendekati Rena Lockwood?”“Apa urusanmu?” geramku.“Kau takkan berhenti berurusan denganku selama masih di sekolah ini.” Dia balas menggeram di mataku. Pipiku sakit, rasanya ingin terbatuk dengan sensasi membekas di pelupuk mata. Namun, aku perlu menahan tangannya yang mencekik. “Seharusnya kau tunduk, Bajingan Kecil. Kau pembunuh.”“Aku. Bukan. Pembunuh.”“Kau pasti berniat membunuh Rena.”D

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   6. TOKO KELONTONG

    Meskipun tinggal di Kawasan Normal, bisa dibilang tempat tinggalku cukup jauh dari pusat Kawasan Normal. Di hari Jumat sepulang sekolah, aku mengunjungi toko kelontong favoritku di Kawasan Normal. Bukan toko mewah yang dikelilingi kaca, melainkan ruangan bak gudang penyimpanan yang memiliki pintu kasa. Satu-satunya toko di Kawasan Normal yang pada dasarnya tidak menjual apa pun.Maksudku, Kawasan Normal tidak menerapkan sistem jual beli. Sebagian besar penduduknya adalah pencuri, perampok, preman, dan sebagian besar lainnya orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Jadi, jual beli di Kawasan Normal lebih cenderung ke arah pasar gelap—yang sama sekali tidak ingin kuketahui lokasi dan wujudnya. Mempertimbangkan itu, bisa dibilang toko kelontong bukan sembarang toko. Ini tempat anak-anak yang terlahir di Kawasan Normal memiliki harapan untuk tetap menyambung hidup.Itulah alasan mengapa aku dan Louist bisa selamat di Kawasan Normal.Pemiliknya seorang Kakek

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   7. GEDUNG LANGIT

    Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   8. INSIDEN AREA 3 DISTRIK LOCKWOOD #1

    Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-24
  • Angkasa Merah di Kota Kertas   9. INSIDEN AREA 3 DISTRIK LOCKWOOD #2

    Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir

    Terakhir Diperbarui : 2020-12-24

Bab terbaru

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   93. EPILOG

    18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   92. ABU PEMBAKARAN #3

    Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   91. ABU PEMBAKARAN #2

    Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   90. ABU PEMBAKARAN #1

    13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   89. SALAM TERAKHIR #3

    12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   88. SALAM TERAKHIR #2

    “Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   87. SALAM TERAKHIR #1

    11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   86. TAMAN HIJAU LOCKWOOD

    11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   85. MEMBARA #2

    Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak

DMCA.com Protection Status