Saat itu Desember 2017.
Distrik Lockwood baru terbentuk, tetapi sudah hampir menguasai seluruh Sandover. Itu tiga bulan setelah kematiannya, tiga bulan setelah hidupku hancur, tiga bulan setelah aku berusaha bertahan hidup di Kawasan Normal—menumpang makan di segala tempat, tidur di tengah hujan deras atau terik matahari, dan seorang diri layaknya penderitaan tiada akhir. Aku merasa semua ini sudah tidak ada artinya. Maka di tengah hujan deras itu, aku duduk di ayunan yang terlantar dan mulai memikirkannya. Pilihan yang lebih baik untukku: pergi menyusul kakakku.
Dan dia di sana. Louist Hood. Berdiri di tengah taman yang penuh lumpur. Di tangannya terdapat rangkaian besi—yang agaknya seperti rakitan aneh. Kami bertemu pandang. Dan aku ingat hanya menatapnya kosong. Dalam suatu masa yang membuatku sulit memerhatikan, tiba-tiba dia sudah menghampiriku, berdiri sangat dekat dengan mata hijau cerah yang tajam.
“Kau Charlie Redrich. Putra Lewis Redrich, dokter jenius itu.”
“Kau Louist Hood,” balasku. “Putra Erwin Hood. Pencipta Kota Kertas.”
“Aku tahu kakakmu dibunuh mereka," katanya tiba-tiba. "Sebagai penyebar fitnah kejam tentang Lockwood. Ayah kita yang memulai semua ini. Pemberontakan.” Dia mencengkeram bahuku, seolah memastikan aku benar-benar mendengarnya. “Kita harus membalasnya. Lockwood.”
Aku menggeleng. Aku ingat kalau sudah sangat lelah. Aku tidak pernah bisa lolos dari bayangan mimpi buruk itu. Detik-detik saat peluru menembus kepalanya—darah segar yang mengalir dari kepalanya—semua itu selalu kembali di setiap malamku. Aku tidak pernah bisa tidur tenang. Segalanya terasa menyesakkan. Jelas, aku tidak lagi mau berurusan dengan itu.
Namun, sekarang, anak—yang jelas-jelas seusiaku ini—mulai membual soal pemberontakan. Kurasa aku akan tertawa. Jadi, aku menatapnya, berniat tertawa di matanya. Namun, saat itu terjadi, sorot mata hijau cerahnya membuatku bungkam.
“Aku pasti membunuh Lockwood.”
Dan hanya dalam satu sentakan itu, tubuhku bergetar. Aku tidak mengerti, tetapi kakiku mulai mengambil beberapa langkah kecil ke belakang.
Dan dia mendekatiku lagi. “Kita akan membalas dendam, untuk orang tua kita, untuk semua orang yang tersingkirkan, kita harus melanjutkan obor pergolakan.”
“Tidak.”
Benakku dikuasai perasaan yang tidak kupahami. Itu membuat tubuhku menjadi kaku. Dan ingatanku kembali. Aku melihat keramaian. Penuh sesak. Dan seseorang. Kakakku. Dan darah. Dan teriakannya padaku. Dan suara kecilnya yang menggema—semua kengerian itu kembali menguasaiku. Kata-kata terakhirnya, dan senyum hangatnya.
Aku berjalan semakin mundur, dan kakiku tersandung. Aku terjatuh, menatap tepat ke mata tajam Louist. Dan air mataku keluar. Louist mengerikan. Dia seperti akan membunuhku. Aku ingat kalau saat itu memang berniat mengakhiri hidup, tetapi aku terlambat menyadari bahwa kematian itu jauh lebih mengerikan yang kupikirkan.
Dan entah bagaimana, melihatku seperti itu emosi Louist tersulut. Rongsokan itu dibantingnya, dan dia mencengkeram kausku, berteriak tepat di depan mataku. “Jadi kau hanya bisa menangis setelah mereka membantai keluargamu? Jangan lari, Pengecut!”
Kepalannya menonjok keras pipiku. Kepalaku menabrak lumpur, dan benakku mulai terguncang sejadi-jadinya. Pipiku sakit, tetapi itu tidak sebanding dengan perasaan takut yang menyelimutiku. Barangkali aku dendam, tetapi apa yang bisa kulakukan? Ayah, Ibu, Kakak—semua meninggalkanku. Apa yang kupikirkan hanya bagaimana caraku bertahan di esok hari. Aku tidak punya apa-apa untuk diperjuangkan lagi.
“Aku tahu tentangmu.” Louist melepas cengkeraman. “Mereka bilang aku anak iblis. Aku harus dibunuh. Aku tidak layak hidup. Tapi apa yang mereka tahu? Aku tidak mau hidupku dikendalikan Lockwood lagi. Aku ini ancaman. Aku harus seperti ayah. Aku harus menunjukkan kalau membiarkanku hidup adalah kesalahan terbesar Lockwood. Dan—kau harusnya seperti itu. Kau harus melawan. Buktikan kau layak hidup.”
Aku terdiam, tidak mampu mengatakan apa-apa.
“Mereka menuntut kita," desaknya. "Penduduk Kawasan Normal. Kau pikir, kenapa mereka membiarkanmu menumpang? Kenapa mereka memberimu makan bahkan ketika mereka sulit mendapatkannya? Kenapa mereka bersikap baik padamu yang jelas-jelas hanya orang asing? Charlie, mereka percaya! Keluargamu berulang kali mengguncang Lockwood. Kita harapan pemegang obor pergolakan.”
Aku tidak ingin mengerti, tetapi semua itu benar. Aku tahu itu.
Maka kami termenung, terdiam dalam keheningan yang membeku. Rintik hujan berada di antara kami. Dan pada momen yang dingin itu, aku menatap Louist yang menatap riak air. Kusadari memang dia berbeda. Dia tidak akan membuat rongsokan itu kalau bercanda.
“Kau serius akan membunuh Lockwood?” tanyaku.
“Pasti.”
“Kalau begitu, aku tidak ikut." Louist menatapku, tetapi tidak terlihat akan protes. "Aku takkan membunuh. Takkan pernah. Tapi mungkin kau benar. Kakakku menurunkan itu. Obor pergolakan. Jadi aku pasti balas dendam. Sama sepertimu.”
Louist terdiam.
Pada momen itu, aku tahu kami sepakat mengobarkan pergolakan. Namun, masalah yang muncul saat itu: aku yang berusia dua belas tahun, bersama putra teman ayahku yang seharusnya tengah menginjak tangga dunia remaja, justru ikut dalam arus pemberontakan. Dari segala kemungkinan yang ada, titik itulah yang justru berperan penting dalam mengubah sepanjang sisa umurku.
Maka setelah hari itu, kami menyelidiki Lockwood. Pimpinan tertingginya, Tracy Lockwood, adalah wali kota yang berkuasa penuh selama dua dekade. Aku tahu ada banyak orang yang berniat menjatuhkannya. Namun, dia penguasa tunggal yang tidak tersentuh. Kawasan Normal buktinya. Pemberontak dibunuh, dan anggota keluarga mereka dibuang jauh dari pemukiman kota. Mereka hanya menumpuk batu di sepanjang sisa hidupnya dan tidak seorang pun penduduk Distrik Lockwood yang tahu tentang itu.
Empat tahun berlalu sejak pertemuanku dengan Louist. Distrik Lockwood telah meluas, menguasai seluruh kota dan dihuni simpatisan Lockwood yang mendukung penuh Tracy Lockwood sebagai penguasa tunggal. Tidak ada yang tahu bahwa Lockwood telah menguasai Sandover. Tujuh belas petingginya menduduki parlemen, mengendalikan pergerakan serta hukum kota dari balik layar. Tidak ada kebenaran. Keadilan hilang. Dan hanya pemberontak yang tahu—si buangan yang kumuh, terbelakang, dan penuh sampah di Kawasan Normal.
Banyak yang terjadi dalam hidupku selama empat tahun terakhir. Sebagai eksistensi yang pernah mengguncang Lockwood, aku tak pernah lagi menginjakkan kaki di Distrik Lockwood. Namun, pada tahun ini, 2021, semua penantianku terjawab. Aku berhasil diterima di Akademi Grinover, SMA bergengsi yang berada dalam genggaman Distrik Lockwood. Aku berhasil masuk ke sarang musuh.
Sementara itu, Louist tidak pernah sekolah. Dia benar-benar melakukannya. Pembunuhan pada Lockwood. Terhitung sejak Januari 2019 hingga saat ini, Juni 2021—ada sembilan kasus pembunuhan yang terjadi pada petinggi Lockwood di parlemen—bukti bahwa dia menjalankan rencana genosidanya. Hanya butuh waktu empat tahun, dan dia berhasil menyempurnakannya.
Ini rangkaian teror.
Sebagai bentuk balas dendam karena Lockwood selalu merenggut apa yang kami sebut harapan. Lockwood itu bengis, keji, dan layak untuk dihancurkan.
Teror masih berlanjut. Dan kami tidak sendirian.
Aku sempat berdebat kecil dengan Louist karena melakukan rencana gegabah—masuk ke Akademi Grinover—jadi kupikir kami akan mengakhiri itu dengan adu tonjok, tetapi tidak kusangka ternyata Louist mengerti.“Kau idiot. Jadi, jangan melakukan kesalahan sedikit pun.”“Yang tidak sekolah biasanya lebih idiot,” balasku.Jadi, waktu itu hari Senin. Aku sempat berpikir tidak akan menghadiri upacara penerimaan, tetapi di sanalah aku. Berdiri di depan gedung Akademi Grinover yang kelihatan jauh dari bayanganku. Barangkali aku terkagum-kagum dengan kebodohan Lockwood. Maksudku—iya, ini akan terdengar kurang ajar, tetapi wujud Akademi Grinover sulit untuk kupercaya.Aku berusaha berpikir wajar melihat air mancur memiliki relief bertuliskan Lockwood. Maka seharusnya bukan hal aneh melihat jalan terlihat bak trotoar dengan lampu-lampu khas mirip lampion. Dinding sekolahnya berlapiskan marmer putih. Nuansa kelasnya mirip teater&m
Bu Hiroko memiliki kelas yang harus dia masuki di periode setelah istirahat makan siang. Jadi, kelas konseling dimulai seusai jam sekolah. Aku duduk di sofa ketika mendapati guru pra-kalkulus melewati tempatku duduk.“Senang melihatmu mendapat bimbingan, Redrich.”“Bisakah Bapak Tua sopan pada murid bimbinganku?” sergah Bu Hiroko.“Apa?” Dia menyalak Bu Hiroko.“Ada berbagai alternatif sapaan yang bisa dikatakan pada murid baru, yang secara kebetulan mendapat masalah karena kakak kelasnya yang kurang ajar. Jadi, bisakah seorang guru memerhatikan cara bicara pada muridnya?”“Itu membuktikan dia tidak pantas bersekolah—”“Itu dia. Bisakah kita tidak membedakan murid Akademi Grinover?”Mereka saling membalas, dan dalam kurun tiga menit, aku merasa canggung dengan bulu kuduk aktif karena menjadi topik perdebatan dua dewan guru. Dan Bu Hiroko menang karena lawan
Aku tahu bayangan itu tidak bisa pergi karena pada senin malam, aku kembali mengalami mimpi buruk yang luar biasa mengerikan. Kakak berdiri menungguku, lagi-lagi dengan kepala penuh darah. Aku tidak ingat apa yang terjadi, tetapi tepat sebelum terbangun, aku merasakan sesak yang luar biasa sampai napasku tertahan.Maka begitu aku terbangun, benakku segera kacau sejadi-jadinya. Napasku kacau dan seluruh tubuhku sudah diselimuti keringat. Jantungku berdebar-debar sampai gemetar menguasai seluruh benakku. Lagi-lagi dan lagi. Aku selalu tidak bisa mengakhiri mimpi tanpa air mata. Rasanya aneh, sesak, dan menjengkelkan dalam satu waktu. Mengapa Kakakku selalu kembali?Aku ingat suara terakhirnya. Kota Kertas. Dan satu-satunya yang kutahu tentang itu hanya permainan VR yang dikembangkan Erwin Hood. Permainan simulasi kehidupan yang tokoh utamanya merupakan anak petani, hidup di desa terpencil sampai akhirnya merantau ke kota yang ternyata penuh pelik. Gabungan misteri dengan
Akademi Grinover itu mengerikan.Selain harus menghadapi realita bahwa seisi sekolah membenciku karena riwayat keluargaku pemberontak, aku harus bertahan dengan surat ancaman yang kuterima setiap harinya. Satu-satunya hal baik yang kudapatkan hanya fakta bahwa aku mendapat empat kali kelas yang sama dengan Rena Lockwood—yang pada dasarnya juga merupakan hal mengerikan karena dia tidak pernah membuat semua menjadi lebih baik. Aku memang ingin bicara dengannya, tetapi dia selalu mengambil tempat duduk di belakangku, ketika semua orang memberi jarak dua bangku—yang secara teknis, membuat semua orang mengawasi gerak-gerik kami.Jadi, meskipun dia duduk di sana, kami tidak pernah memiliki waktu untuk bicara. Aku tidak tahu apa motifnya, tetapi dia kelihatan ikut frustrasi.Namun, pada akhirnya momentum itu datang ketika aku mendapat hukuman dari Pak Green, guru matematikaku, karena kedapatan melihat helikopter ketika dia mengoceh panjang lebar tenta
Istirahat makan siangku berakhir bagaikan neraka. Ketika aku tengah sibuk memegang sikat toilet, membersihkan ujung urinoar, seseorang—atau dua orang masuk dan segera menutup pintu. Aku menoleh, melihat Regan Reeves berdiri di dekatku. Belum sempat aku bereaksi, kepalan tangannya melesak kuat ke pipiku.Maka aku terbanting, menabrak dinding toilet, dan—hampir—membentur urinoar. Aku segera bangkit, tetapi Regan Reeves langsung mencengkeram kausku.“Kau berani mendekati Rena Lockwood?”“Apa urusanmu?” geramku.“Kau takkan berhenti berurusan denganku selama masih di sekolah ini.” Dia balas menggeram di mataku. Pipiku sakit, rasanya ingin terbatuk dengan sensasi membekas di pelupuk mata. Namun, aku perlu menahan tangannya yang mencekik. “Seharusnya kau tunduk, Bajingan Kecil. Kau pembunuh.”“Aku. Bukan. Pembunuh.”“Kau pasti berniat membunuh Rena.”D
Meskipun tinggal di Kawasan Normal, bisa dibilang tempat tinggalku cukup jauh dari pusat Kawasan Normal. Di hari Jumat sepulang sekolah, aku mengunjungi toko kelontong favoritku di Kawasan Normal. Bukan toko mewah yang dikelilingi kaca, melainkan ruangan bak gudang penyimpanan yang memiliki pintu kasa. Satu-satunya toko di Kawasan Normal yang pada dasarnya tidak menjual apa pun.Maksudku, Kawasan Normal tidak menerapkan sistem jual beli. Sebagian besar penduduknya adalah pencuri, perampok, preman, dan sebagian besar lainnya orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Jadi, jual beli di Kawasan Normal lebih cenderung ke arah pasar gelap—yang sama sekali tidak ingin kuketahui lokasi dan wujudnya. Mempertimbangkan itu, bisa dibilang toko kelontong bukan sembarang toko. Ini tempat anak-anak yang terlahir di Kawasan Normal memiliki harapan untuk tetap menyambung hidup.Itulah alasan mengapa aku dan Louist bisa selamat di Kawasan Normal.Pemiliknya seorang Kakek
Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat
Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri
11 Desember. Pukul 17.57Aku bilang ke Rena kalau mau jalan-jalan sore menuju gelap, dan—secara teknis—mengajaknya, tetapi dia bilang, “Aku harus mengurus administrasi.”“Sekolah?”“Rumah sakit,” gumamnya, seperti enggan. “Kondisinya buruk.”Aku ingin bilang kalau tidak akan ada yang terjadi pada Tracy Lockwood, tetapi benakku melarangku bicara.Dan Rena mengerti. “Tenanglah. Kita bisa jalan-jalan kapan saja.”“Rasanya tidak sopan bilang begini. Tapi—”“Kami hanya berikatan darah, Charlie. Tapi apa yang ada pada kami sudah tidak ada. Maksudku... kau tahu apa yang kubilang. Kalau memang ada yang bisa mengurusnya, dengan senang hati aku menyerahkan itu.”Kupikirkan begitu saja kalau Rena tidak mau berurusan lagi dengan segala hal tentang keluarganya. “Mau kutemani?”Dia tersenyum. “Kita punya banyak hal y
11 Desember. Sabtu pagi.Aku berniat keluar—untuk pertama kali dari rumah Tokio Eki Furuzawa. Saat itu masih pukul tujuh. Dan Rena menghentikanku tepat di pintu keluar.“Mau ke mana?” tanyanya, dengan mata menahan kantuk.“Tumben melihatmu bangun siang,” kataku.“Mau ke mana?” ulangnya, tidak peduli.“Jalan-jalan sebentar. Cuci mata. Mau ikut?”Dia tak menjawab, hanya terdiam, sebelum akhirnya bicara, “Kemarin aku menemui kakek. Dia belum siuman, tapi Olso Bertoin menitip pesan untukmu.”“Untukku?”“Ada yang menunggumu. Di tempat yang hanya kau yang tahu.”***Pagi itu cuacanya tidak terlalu buruk, yang dalam artian lain juga tak terlalu baik. Cerah berawan. Tidak terlalu terik dan tak terlalu mendung. Cuaca yang cocok untuk berjalan-jalan dan merefleksikan diri.Sebenarnya aku punya gagasan pulang ke rumah, melihat mu
Malam itu juga Tokio Eki Furuzawa mengajakku pesta minum kopi di sudut rumahnya—paling sudut, memang. Area yang tak terjangkau Rena—yang menurut keterangan Tokio Eki Furuzawa, ruangannya berada di sudut berseberangan. Kami duduk di gubuk kecil. Tanaman hias mengelilingi kami. Dan malam terasa tenang.“Kau tukang onar nomor satu, Sobat Kecil.” Dia memuji. “Bersulang.”Kami bersulang dengan cangkir kopi.“Aku tak mengira kasus berakhir seperti ini.” Dia menyalakan cerutu. “Tapi Malvia Lockwood masih dalam pencarian meski pengikutnya diasingkan. Tapi itu tidak mengubah ketegangan yang terjadi. Polisi perlu dirombak.”“Karena itu kau langsung mengamankan Rena kemari,” kataku.“Orie Cottland juga kabur.” Tokio Eki Furuzawa mengembuskan asap. “Dia pasti dapat ganjarannya. Omong-omong, bagaimana traumamu?”“Sudah pergi ke ahli. Lumayan membantu. Ak