Home / Romansa / Andai Semua Berbeda / 2. Janji Adalah Janji

Share

2. Janji Adalah Janji

Author: Ayunina Sharlyn
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Arnon memandang pada Fea. Mata mereka bertemu, beradu, dan saling menatap. Fea paling sulit melihat Arnon begini dekat dan tajam. Jantungnya berdegup semakin cepat saja.

"Apa maksud kamu?" Arnon yang semula tersenyum, berubah seketika. Senyum menghilang dari bibir tipis itu, berganti tatapan kesal.

"Kamu sudah hidup dengan baik sekarang. Kamu punya usaha mulai besar, ada banyak yang bisa membantu kamu. Kamu tidak lagi sakit, tidak perlu aku temani minum obat. Kamu bisa lakukan semua sendiri. Jadi, aku sudah memenuhi janjiku, Arnon." Fea meneguhkan hatinya mengatakan ini.

Meskipun tidak mudah. Dia juga tidak ingin jauh dari Arnon. Dia masih suka menatap cowok itu dari jauh, melihatnya memasak, tersenyum dan sesekali tertawa lebar.

Tapi Fea juga tidak sanggup lagi terus melihat Arnon bersama wanita-wanita. Fea tidak pernah berhasil membuat Arnon berhenti bermain dengan mereka. Buat Arnon, dia menikmati hidupnya seperti itu. Fea tidak bisa lagi begini.

Ddrrtt ... HP Arnon bergetar. Arnon meraih ponsel yang tergeletak di meja.

"Yes, Honey? Ya, hampir siap. Tentu saja." Arnon menerima telpon dari wanitanya.

Fea menunduk, menarik nafas dalam. Ingin sekali dia segera pergi.

"Sorry, aku sedang sedikit kesal ... Tidak, tentu bukan karena kamu, Honey. Oke ... See you soon." Arnon menutup telpon.

Fea berbalik, lebih baik dia pergi. Urusannya sudah selesai.

"Fernita!" Suara Arnon menghentikan langkah Fea. Arnon akan memanggilnya dengan nama utuh kalau cowok itu sedang kesal.

Fea memutar badannya. Dia melihat Arnon yang memasang wajah geram.

"Kamu merusak suasana hatiku. Aku akan menemui kamu nanti." Pandangan tajam itu, membuat Fea sedih. Dia makin tidak paham Arnon rasanya.

"Terserah," ucap Fea lirih, lalu dia melanjutkan langkah kakinya menuju ke kamarnya.

Kamar Fea ada di seberang taman belakang rumah besar keluarga Hendrawan. Berjejer dengan kamar lain, kamar para pekerja di rumah ini. Dulu, Fea sekamar dengan neneknya, Nenek Ellina. Hingga Fea masuk SMA, nenek meninggalkannya, sendirian.

Fea tetap mengabdi pada keluarga Hendrawan, majikan neneknya. Keluarga kaya raya yang punya beberapa perusahaan, tapi yang penuh drama cinta dan perebutan harta itu.

Masuk ke dalam kamar, Fea menangis. Dia duduk di depan meja rias, dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Air mata tak bisa dia tahan lagi. Perih, pedih, itu yang dia rasa.

Hingga beberapa lama, Fea mulai bisa menenangkan dirinya. Dia mengambil gelas air mineral, meminumnya hingga gelas itu kosong.

"Arnon, andai aku ga pernah janji sama kamu ... Andai aku ga bilang iya yang kamu katakan ... Ah, aku mungkin sudah bersama pria yang mencintaiku, aku bahagia dengan apa yang aku miliki sekarang." Hati Fea berbisik.

Dan ingatannya kembali membawa dia pada kenangan masa kecilnya, saat pertama dia masuk ke rumah keluarga Hendrawan, melihat Arnon kecil yang malang.

*

"Kita sampai, Sayang. Nenek tinggal di sini." Nenek Ellina tersenyum pada Fea.

Hari itu Fea tiba di rumah keluarga Hendrawan. Dia baru saja naik kelas 4 SD, hampir sepuluh tahun usianya. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, nenek datang mengikuti pemakaman, lalu membawa Fea bersamanya.

Fea memandang sekeliling. Dia sampai melongo memandang rumah besar, sangat besar, indah dan mewah. Ada taman luas dan cantik. Dengan area bermain di sana. Seperti ada di istana saja.

"Nek, beneran nenek tinggal di sini?" Fea masih mengedarkan pandangannya penuh kekaguman.

"Iya. Kakek juga dulu kerja di sini. Tapi kakek sudah ke surga, Nenek tetap kerja di sini. Fea pasti senang. Ya?" Nenek memeluk Fea sambil tersenyum manis.

"Iya. Kayak rumah di tivi-tivi itu. Aku pikir rumah besar gitu cuma ada di film. Ternyata Nenek tinggal di rumah sebesar ini. Wahh ..." Fea melebarkan bibirnya.

"Aku ga mau!!" Terdengar suara teriakan anak kecil.

Fea menoleh ke arah suara itu. Nenek Ellina pun melihat ke arah yang sama. Seorang bocah laki-laki kira-kira seusia Fea, berlari ke arah taman, menjauhi dua wanita yang ada di belakangnya.

"Aku ga suka obat!" Anak itu berteriak lagi.

"Tuan Muda, ini ga pahit. Nanti dikasih minum air gula. Ya? Biar Tuan Muda sembuh!" Salah satu wanita itu membujuk bocah tampan di depannya, yang bersiap hendak lari lagi.

"Nek, itu siapa?" Fea bertanya. Dia merasa aneh, bocah itu takut minum obat.

"Tuan Muda Arnon. Arnon Brilliant Hendrawan. Dia sakit dan harus terus minum obat. Makanya dia bosan, pasti marah-marah kalau disuruh minum obat." Nenek Ellina menjelaskan.

"Ooo ..." Fea manggut-manggut.

"Ayo, Nenek kenalkan sama Tuan Muda." Nenek Ellina mengajak Fea mendekat ke taman, ke tempat Arnon.

Bocah itu naik di atas perusutan, tidak mau turun.

"Tuan Muda!" panggil Nenek Ellina.

Anak kecil tampan dengan pakaian keren itu menoleh, melihat Nenek Ellina dan Fea yang berjalan mendekat. Matanya langsung tertuju pada Fea.

"Turun sini!" Nenek Ellina melambai, meminta Arnon turun dari perusutan.

Arnon menurut. Dia turun dengan merosot. Lalu mendekat pada Nenek Ellina.

"Tin, minum obatnya sebentar lagi, ya? Nanti aku ajak Tuan Muda ke dalam." Nenek Ellina bicara pada Titin, pengasuh Arnon.

"Iya, Nek." Titin kembali ke rumah, diikuti temannya yang juga masih di situ.

Arnon melihat pada Fea. Dia menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki. Fea dengan rambut panjang kecoklatan, terurai hingga di punggungnya. Wajahnya merah, penuh keringat di dahinya.

"Kamu siapa?" tanya Arnon.

"Ini cucu Nenek, Tuan Muda. Namanya Fernita. Tapi biasa dipanggil Fea. Dia akan tinggal di sini temani Nenek. Bisa jadi teman Tuan Muda juga." Nenek Ellina mengenalkan Fea pada Arnon.

"Oo ..." Arnon membulatkan mulutnya masih memandang Fea.

"Halo, Tuan Muda." Fea menyapa, sedikit kikuk.

"Hai," jawab Arnon datar.

"Tuan Muda, nanti boleh kasih tunjuk Fea seluruh kompleks rumah ini. Biar dia tidak kesasar kalau mau ke ruangan yang dia cari." Nenek Ellina melihat Arnon.

"Hm, oke. Ayo!" Arnon mengangguk, dia bersiap melangkah pergi.

"Tuan Muda, tunggu sebentar." Nenek Ellina memanggil lagi.

"Hah? Kenapa?" tanya Arnon.

"Keliling area rumah ini perlu tenaga ekstra. Jadi kita ke rumah dulu, yuk. Fea perlu minum, Tuan Muda juga perlu obatnya, biar ga sakit kalau abis keliling rumah." Ini cara Nenek Ellina membujuk Arnon.

"Hm? Oke." Lagi Arnon mengangguk.

Mereka pun berjalan menuju ke dalam rumah, lewat pintu samping ke dapur.

*

"Huuffhh ..." Fea mengusap rambutnya ke belakang. "Kamu selalu tampan, Arnon. Sejak aku melihat kamu waktu itu, aku suka memandang kamu."

Fea melihat dirinya di cermin. Dia cantik, bahkan beberapa teman mengatakan dia sangat cantik. Tetapi itu tidak bisa membuat Arnon memandang dirinya. Sampai kapanpun Arnon memberi batas, Fea adalah sahabat buatnya.

Tidak mungkin Fea meminta lebih, dia hanya pembantu rumah keluarga Hendrawan. Dia bisa tinggal, sekolah, karena mereka berbaik hati, bahkan setelah Nenek Ellina pergi untuk selamanya.

Fea melangkah ke atas kasurnya. Dia memilih berbaring saja, meredakan pilu yang masih mendera di hatinya. Entah karena lelah badannya atau letih jiwanya, tidak lama Fea tertidur.

Tok tok tok!!

Fea tersentak. Pintu kamarnya diketuk. Cepat dia bangun dan melihat ke jam dinding. Jam sembilan lewat.

"Fea!" Suara Arnon, di depan pintu.

Fea cepat turun dari kasur dan segera membuka pintu. Arnon di sana, memandang dengan mata tajam padanya.

"Kamu tidak menjawab telpon, kamu benar-benar ingin aku marah?!" Arnon bicara dengan nada sangat kesal.

"Aku ..."

"Janji adalah janji. Sampai kapanpun kamu harus tetap di sini. Kamu dengar?!" Makin tajam tatapan Arnon dan juga nada suaranya meninggi.

Degupan di hati Fea seketika kembali menderu.

Related chapters

  • Andai Semua Berbeda   3. Ungkapan Isi Hati

    Setelah Fea mendengar yang Arnon katakan, Fea ingin menangis. Tapi dia mencoba menahan saja agar butiran bening itu tidak menitik di kedua pipinya. Arnon tidak juga mengerti dirinya, tidak peduli yang Fea rasa. Fea kali ini harus bisa tegas, harus bisa membela dirinya di hadapan Arnon."Bisakah kita duduk dan bicara? Aku minta jangan dengan emosi." Fea membesarkan hatinya.Arnon memandang Fea. Lalu dia mengangguk. "Oke, kita bicara."Arnon melangkah meninggalkan kamar Fea. Fea mengikuti Arnon, menuju ke taman. Sisa pertemuan dengan Widya masih di sana. Meja yang ditata cantik dan romantis. Hanya peralatan makan sudah tidak ada lagi. Para pelayan sudah membereskan semuanya.Arnon duduk di kursi cantik, menunggu Fea. Fea maju beberapa langkah, dia duduk di depan Arnon. Meja di hadapan mereka dengan bunga hias di atas meja. Mawar merah dan putih, manis. Tapi tidak membuat hati Fea lebih baik."Apa yang kamu mau katakan?"

  • Andai Semua Berbeda   4. Gadis Cantik Kesayangan Arnon

    Malam makin larut. Sudah lewat jam sepuluh malam, Fea duduk menunggu di taman itu, sendiri. Dingin terasa sesekali menusuk kulitnya karena angin menerpa. Fea menangkupkan kedua tangannya seperti memeluk diri sendiri.Dia melihat ke arah ruangan Arnon, pria itu ada di sana memasak sesuatu buat Fea. Entah apa yang dia siapkan, Fea tidak ada bayangan. Setelah pembicaraan tadi, Fea masih sedikit resah. Pada akhirnya kembali dia mengalah, mengikuti apa yang Arnon mau.Arnon muncul dengan nampan di tangannya. Dua cangkir cantik dengan satu piring tertutup ada di atas nampan itu. Dengan senyum manisnya Arnon berjalan mendekati Fea."Oke ... It is ready for a beautiful lady. Please ..." Arnon meletakkan nampan di atas meja, tepat di depan Fea."Apa ini?" Fea memandang Arnon.Arnon menarik kursi agar lebih dekat duduk di sebelah Fea. "Bukalah."Fea tersenyum. Dia angkat penutup piring itu."Taarraaa!" ucap A

  • Andai Semua Berbeda   5. Bingkisan Cinta Buat Fea

    Fea melirik Rania yang asyik menggoda Fea karena dapat kiriman kotak cantik itu."Bingkisan cinta? Ngomong ngasal, kan?" tukas Fea. Tangan gadis itu membuka pita yang melilit manis di kotak merah marun. Lalu Fea membuka penutup kotak itu.Di dalamnya, jam tangan manis. Kecil, berwarna silver. Ada permata di beberapa titik, bagus sekali. Dan pasti sangat mahal."Astaga! Fea, ini berapa duit? Itu pasti dari Irvan. Beneran dia cinta kamu, Fe." Rania langsung yakin kalau kotak itu kiriman Irvan.Fea juga hampir yakin. Karena beberapa kali Irvan melakukan ini. Dia pernah mengirim bunga dan coklat. Lalu juga dia mengirim tas cantik dan elegan. Lain waktu datang kiriman bros dan jepitan rambut indah. Tapi kali ini, jam tangan itu, pasti sangat mahal.Fea melihat ada kertas putih terlipat di dalam kotak. Saat Fea mengangkatnya, harum terasa menyeruak ke hidung Fea dari kertas imut itu. Fea membuka kertas itu dan membacanya.&nb

  • Andai Semua Berbeda   6. Arnon yang Terus Terluka

    Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup."Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu."Arnon!" sentak Arnella kesal."Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar."Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? M

  • Andai Semua Berbeda   7. Kencan Pertama, Benarkah?

    Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan

  • Andai Semua Berbeda   8. Kenapa Denganmu, Arnon?

    Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi."Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah.Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon."Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai."Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pu

  • Andai Semua Berbeda   9. Permintaan Fea

    Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi?"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea."Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji m

  • Andai Semua Berbeda   10. Bicara Pria dengan Pria

    Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah

Latest chapter

  • Andai Semua Berbeda   Extra Part - The Double Twins

    Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba

  • Andai Semua Berbeda   235. Andai Semua Berbeda

    Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa

  • Andai Semua Berbeda   234. Senyum Berubah Menjadi Rasa Cemas

    Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu

  • Andai Semua Berbeda   233. Jangan Lepaskan

    Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"

  • Andai Semua Berbeda   232. Tumpeng Buat Tinah

    Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.

  • Andai Semua Berbeda   231. Tak Mudah Menyelami Hati

    "Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t

  • Andai Semua Berbeda   230. Kejutan Kawan Lama

    Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di

  • Andai Semua Berbeda   229. Permohonan Maaf Herni, Kepedihan Liani

    "Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g

  • Andai Semua Berbeda   228. Bukan Seperti yang Dibayangkan

    Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b

DMCA.com Protection Status