"Gerakan yanog beresiko pada kehamilan …" gumam Anggraini.Ia mengetik kata-kata yang baru saja diucapkannya itu pada keyboard laptopnya dan menekan 'Enter'. Lalu aplikasi Google pun dengan pintarnya mencarikan hasil dari kata kunci yang diketiknya itu."Olahraga kardio berat, gym …" Anggraini membaca beberapa hasil pencariannya sambil geleng-geleng kepala. Saat ini ia sedang merencanakan sesuatu yang jahat pada istri muda suaminya itu. Sesuatu yang membuat wanita keguguran dan kalau bisa berdampak wanita itu tak bisa lagi hamil setelahnya.Namun setelah membaca beberapa artikel, tak ada gerakan senam yang beresiko untuk ibu hamil yang bisa ia selipkan di sesi senam yang akan ia instruksikan untuk hari senin.Anggraini lagi-lagi geleng-geleng kepala. Ini agak sedikit sulit. Ia yang telah menjadi instruktur kelas hamil tidak mungkin sekonyong-konyong memasukkan olahraga kardio pada gerakan senamnya. Akan terasa janggal juga jika ia membawa peserta senamnya untuk nge-gym di ftness cent
Hari ini adalah hari yang dijadwalkan oleh Anggraini untuk memulai menjalankan rencananya terhadap suaminya dan Merry. Hal yang paling utama adalah memenuhi rumah yang baru saja dibelinya dengan perabotan rumah dan beberapa alat studio.Di saat ia sedang menurunkan barang-barang itu, seseorang yang diharapkannya memanggil nama panggilannya ketika sedang berada di gymnasium."Sis! Sis Tari!"Anggraini menyunggingkan senyum tipis sebelum menoleh."Hei, Bun?" sahut Anggraini seolah terkejut ketika melihat keberadaan Merry di sana. "Bunda Merry?" Anggraini mengulangi pertanyaannya seakan ingin meyakinkan diri sendiri bahwa dia tidak salah orang.Merry kali ini benar-benar keluar dari pagar mendatangi Anggraini."Sis Tari pindah ke sini?" tanya Merry bingung.Anggraini memasang ekspresi tak kalah bingung."Iya, Bun. Bunda tinggal di sini?" tanyanya sambil melihat Merry dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.Merry mengangguk. "Mau bikin sanggar senam di sini, Sist?" tanyanya sambil menun
Childfree (22)"Wow, bagus juga hasilnya kalau sudah ditata seperti ini, ya?" Merry melihat takjub sekeliling rumah tetangga barunya. Di lantai bawah rumah ini terdiri dari kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Sedangkan bagian atas rumah itu terlihat los tanpa sekat yang sekarang dijadikan Anggraini seperti studio."Humm, nggak nyangka akhirnya selesai juga. Untung aku dibantu sama beberapa teman dan para pekerja bongkar muat itu," kata Anggraini sambil duduk selonjoran di lantai.Merry begitu penasaran dengan rumah baru instruktur senamnya itu. "Aku lihat ke balkon boleh ya?" pintanya pada Anggraini.Anggraini mengangguk. Lalu tanpa menunggu lama lagi Merry segera ke balkon atau teras lantai dua rumah itu. "Wow keren sekali. Perlu nggak sih aku ngajak teman-teman lain di gymnasium untuk pindah senam ke sini?" "Nggak usah dulu kayaknya. Aku nggak enak juga sama Pak Handoko kalau narik anggota D'goal untuk ikut senam ke tempat aku," kata Anggraini.Puas melihat pemandangan
"Berpaling?" gumam Anggraini seolah pada diri sendiri.Merry mengangguk hati-hati. Jujur saja ia takut Anggraini merasa tersinggung, namun untungnya saja wanita itu malah tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Merry mengernyitkan keningnya."Ya? Kamu nggak takut suamimu berpaling?" tanyanya ulang."Nggaklah, untuk apa takut? Kalau memang dia mau berpaling tidak akan ada yang bisa menghalangi itu sekalipun kami punya anak. Memangnya kamu sendiri yakin dengan memiliki anak suami tidak akan selingkuh?" Anggraini bertanya balik pada Merry.Merry mengangkat pundaknya."Mungkin tidak, namun misalpun suami berpaling pada wanita yang lain, masih ada anak yang akan jadi pelipur lara untuk kita. Mungkin pendapat ini tidak akan selaras dengan orang-orang yang punya prinsip childfree tapi bagi sebagian orang khususnya ibu, kehadiran anak jauh lebih berharga dibandingkan dengan keberadaan suami. Bahkan saat kita tua, akan ada anak yang akan mengurus kita," kata Merry tenang dan terlihat seperti 'm
"Maaf nih, Tar. Rumahku agak sedikit berantakan. Padahal tadi aku sudah sempatin untuk beberes. Pasti kerjaannya Shakila lagi nih. Hufft … nasib … nasib. Beginilah kalau jadi ibu rumah tangga. Baru diberesin dikit eh si bocil sudah berantakin lagi," keluh Merry sambil memungut beberapa boneka yang tergeletak di lantai.Anggraini tidak merespon. Ia bahkan tidak mendengar Merry sedang mengajaknya bicara saat ini. Matanya terpaku pada figura foto pengantin itu.Diamnya Anggrini membuat Merry spontan mencari keberadaan instruktur senam yang dia ketahui bernama Tari itu. Melihat Anggraini yang sedang menatap lekat ke arah foto pernikahannya membuat Merry mundur kembali menghampiri Anggraini."Itu foto pernikahanku. Jelek ya?" tanyanya meminta pendapat Anggraini.Anggraini tersentak dalam lamunannya. Ia sempat tergagap sebentar sebelum ia berhasil menguasai dirinya. Untungnya Merry tidak menaruh curiga pada ekspresi yang sempat ditunjukkannya tadi."Hmm? Apa tadi?""Aku tanya, aku di foto
"Temanmu yang mana? Siapa emangnya?" Di ujung telepon sana, Teguh mengernyitkan keningnya mendengar permintaan Anggraini raini yang meminta dirinya menebak di rumah siapa wanita itu saat ini."Ciee … yang penasaran!"Teguh geleng-geleng kepala mendengar sahutan Anggraini yang terdengar tidak masuk akal. Tadi disuruh tebak, giliran ditanya siapa malah ngeledekin. Ngeselin nggak sih?"Nggak penasaran. Terserah kamu mau di rumah temanmu yang mana. Yang penting jangan aneh-aneh," kata Teguh memperingatkan.Anggraini mendengus dalam hati. "Perasaan aku nggak pernah aneh-aneh deh. Mas kali yang suka aneh-aneh di pintu belakangku," Anggraini balik menuduh."Hufft!! Ngejawab terus. Tinggal jawab iya aja nggak bisa apa?""Iya, iya. Bisa. Aku jawab iya sekarang. Puas?" "Kacangnya sudah selesai aku goreng semua nih. Ini nggak kebanyakan apa?" tanya Merry tiba-tiba.Refleks Anggraini langsung menutup ponselnya dengan tangan. Jangan sampai Teguh bisa mendengar suara Merry. Bisa berabe nanti."H
"Sekali lagi aku minta maaf ya karena sudah teleponan tidak sopan begitu di area rumahmu," ucap Anggraini meminta maaf pada Merry.Bukannya langsung menjawab, Merry malah memandang Anggraini dengan tatapan menggoda untuk membuat Anggraini salah tingkah."Ih, apaan kamu ngelihat aku kayak begitu? Aku serius minta maaf nih. Aku benar-benar nggak enak sama kamu," desak Anggraini salah tingkah.Kali ini Merry tertawa terbahak-bahak melihat upayanya membuat Anggraini salah tingkah berhasil."Cie, yang mesra-mesraan secara virtual. Tenang aja. Aku paham kok. Paham banget malah. Aku juga LDR soalnya. Hihihi, aku jadi kepo nih. Kamu sama suami kamu kalau lagi kangen suka berhubungan 'itu' by phone nggak?" tanya Merry tanpa terduga oleh Anggraini sama sekali.Anggraini sangat mengerti maksud dari pertanyaan Merry itu. Yang dia tidak mengerti bisa-bisanya Merry menanyakan hal seprivat itu itu padanya. Padahal Anggraini pikir selama ini sosok Merry adalah seorang wanita yang kalem."Nggak. Suam
Oh, jadi makhluk seperti inilah yang kamu inginkan ada di sisimu dan menjadi penyemangatmu, ya Mas? batin Anggraini.Saat ini dirinya sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar Shakila. Bocah itu sendiri sudah berada di dalam bathtub khusus anak sambil melihat pada Anggraini dengan wajah menyelidik."Ante, kenapa cuma beldili saja? Katanya mo mandiin Qila?" tanyanya dengan lidah cadelnya.Anggraini melihat Shakila lekat-lekat. Senyum jahat tersungging di bibirnya. Namun Anggraini juga salut pada bocah ini. Sedikitpun Shakila tak terlihat takut padanya. Padahal kata orang konon anak kecil sangat perasa. Mereka bisa membedakan mana orang jahat mana orang baik. Tapi tunggu, tunggu. Anggraini tidak merasa kalau dia jahat walaupun dia mengakui secara sadar bahwa ia sedang berniat jahat saat ini."Ante tidak bisa bicala ya? Qila aja umulnya masih segini bisa bicala," oceh bocil itu lagi sambil menunjukkan beberapa ruas jari-jarinya.Tanpa sadar Anggraini tertawa
Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya.“Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya.Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar.“Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!”“Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini.“Hah! Izin dari pemeri
Perempuan tua itu menerobos masuk tanpa menghiraukan Anggraini yang berdiri di pagar.“Mama! Tunggu dulu!”Anggraini berusaha mencegah mantan mertuanya itu untuk masuk ke rumahnya. Sebenarnya dia sendiripun sudah enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan Mama, namun untuk saat ini ia tidak punya waktu untuk memanggilnya dengan sebutan lain“Jangan halangi aku! Aku akan membawa dia dari sini!”Rupanya keributan di luar membuat Shakila yang sudah masuk ke dalam rumah kembali keluar untuk melihat apa yang terjadi. Demikian pula baby sitternya Dinda menyusul Shakila untuk melihat apa yang terjadi.“Di mana dia? Di mana cucuku!” teriaknya.Anggraini berjalan cepat dan menghalangi Puspa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia membentangkan tangannya lebar-lebar.“Stop! Cukup sampai di situ ya. Tolong bersopan santunlah saat hendak masuk ke rumah orang lain. Aku sangat menghormati tamu, tapi kalau sikap Mama seperti ini aku tidak akan segan-segan mengusir Mama dari rumah ini!” ancam Anggrain
“Kita sudah sampai!!!” seru Asyif yang baru saja mematikan mesin mobil.Shakila segera membukakan pintu mobil dengan lihai, pertanda dia telah biasa melakukannya. Terlihat gadis kecil itu begitu senang telah dibawa jalan-jalan oleh ayah bundanya.“Dih, main tinggal aja. Memang ayah nggak disayang dulu apa?” cibir Asyif pura-pura kecewa saat Shakila hendak langsung keluar.“Oh iya, lupa!” Shakila menepuk jidatnya dan langsung berbalik badan.Cup!! Ia segera mencium pipi Asyif.“Terima kasih jalan-jalannya, Ayah!” ucapnya.“Dan mainannya juga!” celutuk Anggraini mengingatkan Shakila agar tidak lupa mengucapkan terimakasih juga atas belanjaan mainan Anggraini yang seabrek.“Oh, iya! Lupa lagi. Terimakasih mainannya juga, Ayah!” ucapnya.Asyif mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengelus kepala anak itu.“Ya, nanti ajak adek main juga ya!” kata Asyif.“Hu’ uh!” jawab Shakila mengiyakan.Anak perempuan itu segera turun dari mobil setelah membawa beberapa mainan yang bisa dia bawa terlebi
“Kila, pulang yuk!” ajak Anggraini dengan nada sebal.Bagaimana dia tidak sebal, sedari tadi dia hanya mengikuti kedua orang itu keliling-keliling di Mall sekaligus menjadi tukang angkut barang-barang belanjaan Shakila yang sengaja dibelikan Asyif untuknya. Sementara kedua orang, bapak dan anak itu berjalan di depannya sambil tertawa cekikikan. Bukankah itu harusnya terbalik? Harusnya dia yang menuntun Shakila dan Asyif yang membawakan barang-barang belanjaan mereka. Dasar, sungguh tidak gentleman! gerutu Anggraini“Pulang? Yang benar aje, rugi dong!” sahut Asyif membuat Anggraini semakin lebih sebal lagi.“Nanti, Bun. Kita kan belum makan. Belum makan ice cream juga. Benar kan, Yah?” kata Shakila pada Asyif meminta dukungan dari Asyif.“Benar tuh. Bundamu tuh nggak tau. Lagian buat apa sih cepat-cepat pulang? Sudahlah, nikmati aja dulu. Lagian nggak tiap hari kan kita jalan-jalan begini?”Anggraini mendengus.“Bukannya apa-apa, ih. Dinda di rumah takutnya rewel gimana?” “Ada si Mba
“Kila, ada Bunda yang jemput tuh!”Shakila yang tengah bermain perosotan di halaman sekolah langsung menoleh ke arah gurunya, lalu melihat lagi ke arah yang ditunjuk ibu guru tersebut.Tak jauh dari sana ada Anggraini yang melambaikan tangan sambil berjalan ke arah mereka.“Bundaaaaa!!!” panggil bocah itu sambil buru-buru berlari ke arah Anggraini.Begitu sampai di dekat Anggraini, Shakila pun lantas menghambur ke pelukan Anggraini dan yang segera dibalas peluk pula oleh Anggraini.“Lama nunggu Bunda nggak?” tanya Anggraini.“Nggak kok. Kila baru aja pulang, kata Bu Guru, Kila main aja dulu sambil tungguin Bunda,” jawab gadis kecil itu.Anggraini tersenyum. Satu tahun lebih dia telah mengasuh anak itu beserta adiknya. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk pada tumbuh kembang mereka. Shakila sudah tidak lagi bicara cadel seperti dulu. Gadis kecil itu juga sudah tumbuh menjadi anak yang lebih ceria meninggalkan tampilan imutnya di tahun-tahun sebelumnya.Anggraini membungkukkan s
Anggraini bengong sesaat dengan secarik kertas berwarna putih di tangannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Asyif.Pria ini entah bagaimana menyediakan diri untuk membantu Anggraini dan menemaninya dalam kepengurusan masalah Dinda yang sudah berlangsung selama beberapa hari itu. Kebetulan juga Sophia tidak bisa menemaninya hari ini.Anggraini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengangguk. Hari ini dia pergi ke kantor catatan sipil untuk mencetak ulang kartu keluarganya sebagai syarat agar dia bisa membawa pulang kembali Dinda. Sebelum staf itu memberikan padanya Kartu Keluarga itu, setitik keinginan di hati Anggraini berharap bahwa Kartu Keluarga yang dia inginkan itu tidak mencetak nama Merry di sana. Walaupun sebelumnya dia sendiri sudah pernah ke sini untuk menanyakannya langsung. Dan ternyata benar, bahwa di Kartu Keluarga itu terpampang dengan nyata nama Merry dan putrinya. Dan sekarang Anggraini benar-benar memegang Kartu Keluarga itu dalam bentuk fisik.“Kartu keluarg
Sophia yang baru saja memesan makanan siap saji, saat membalikkan badannya heran karena tidak melihat Anggraini di meja yang tadi mereka telah pilih. Namun kemudian kebingungannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Anggraini ada di depan outlet sedang bertengkar dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Itu anak saya, berikan dia pada saya!!” teriak perempuan itu dengan kencang sehingga pertengkaran mereka menarik perhatian banyak mata.Anggraini mengelak saat perempuan itu ingin mengambil kembali bayi yang berada dalam gendongannya.“Ini Dinda. Katakan, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu siapanya dia? Mana Ibu Septi?” tanya Anggraini menyebutkan nama ibunya Merry.“Ape hal kau kata ni? Aku tak paham apa cakap kau tu. Kalau tak bagi anak aku sekarang juga, aku akan report kau ke polis!” ancamnya.Anggraini geleng-geleng kepala.“Sana laporkan saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan di telepon. Kamu mau bawa dia ke negaramu, tapi kamu ti
“Jadi kamu yakin nggak mau balik lagi ke Jakarta?” tanya Sophia saat mereka sedang makan siang di kediaman orang tua Sophia di Jakarta.Anggraini mengangguk.“Ya, aku mau menetap di Bandung aja deh kayaknya. Soalnya kerjaanku juga di sana kan? Di sini juga aku kayak yang bingung mau ngapain,” kata Anggraini.Anggraini mengangguk.“Iya sih. Kalau di Jakarta membuat kamu nggak nyaman, sebaiknya ditinggalin aja. Tapi kalau aku boleh kasih saran meski kamu tinggal di Bandung, kamu nggak usah tinggal di rumah itu lagi. Jual aja tuh rumah. Pasti kamu juga nggak pengen teringat terus tentang mereka kan? Sudahlah, buka lembaran baru saja. Kalau kamu setuju, entar aku bantu jualkan rumah itu,” kata Sophia menjelaskan.Anggraini mengangguk.“Iya makanya itu aku lebih pilih ngontrak dulu sebelum aku dapat rumah baru. Entar kalau rumahnya laku dijual aku cari rumah lain aja,” jawab Anggraini terhadap saran sahabatnya itu.“Nah gitu donk! Jadi habis makan kita jadi ke pengadilan agama nih?” “Beso
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it