“Mengambil keputusan yang sama dengan dirimu?” Merry menyeringai sinis. Anggraini mengangguk mantap.“Ya, jika kau tahu tentang Mas Teguh yang sebenarnya mungkin kau akan bisa berpikir jernih bahwa berada di pernikahan yang sama dengannya bukanlah pilihan baik yang bisa kau bangga-banggakan.”“Maksudmu, kau menyuruh aku untuk bercerai dengan Mas Teguh juga jika tahu apa yang ingin kamu beritahu? Yang benar saja! Asal kau tahu, selamanya aku akan tetap setia pada Mas Teguh! Dan apa katamu tadi? Memberi tahuku sesuatu tentang Mas Teguh? Aku rasa itu tidak perlu! Aku sangat menjaga aib suamiku. Seharusnya kau juga begitu kan? Aku rasa dari hal ini pun sudah kelihatan siapa yang lebih pantas mendampingi Mas Teguh dan lebih menghormatinya,” balas Merry dengan marah.Anggraini menghela napas sambil berdecak. Sungguh cinta luar biasa yang berupaya ditunjukkan oleh Merry padanya. Dan sangat disayangkan cinta itu diberikan pada seorang Teguh yang Anggraini pikir tidak pantas mendapatkannya.T
"Kamu siap?” tanya Asyif.Anggraini menghela napas berat lalu mengangguk. Mereka sekarang ada di sebuah cafe yang tidak terlalu ramai dengan pengunjung. Keduanya mengambil tempat di pojok agar tidak terganggu lalu lalang pelayan ataupun pengunjung lain Setelah Anggraini menyatakan kesiapannya, Asyif pun memulai panggilan kepada sang ibu. Tidak lama panggilan itu pun tersambung, layar ponsel itu pun menampilkan sosok seorang perempuan berhijab.“Bagus, kamu akhirnya menelepon Ummi juga setelah kamu mengabaikan telepon dari Ummi berminggu-minggu.” Umminya Asyif langsung mengomel begitu dia melihat wajah putranya pada layar ponselnya.“Assalamualaikum, Ummi,” sapa Asyif cengengesan tidak mempedulikan omelan sang ibu.Ummi berdehem ketika menyadari kekhilafannya tidak mengucapkan salam terlebih dahulu.“Waalaikumsalam,” jawab Ummi membalas salam Asyif dengan ketus.“Ummi kenapa ngomel-ngomel terus sih? Cantiknya hilang nantu. Nanti cepat tua loh!” canda Asyif menggoda ibunya.Ummi mendeng
“Ya, dia instruktur senam, Ummi,” jawab Asyif tak mempedulikan tatapan protes Anggraini padanya.“Instruktur senam di mana? Saya juga member gym di Jakarta dan di Makassar loh. Senam wajib tiga kali seminggu,” ujar ibunya Asyif antusias.Seketika wanita itu sudah lupa hal apa yang membuatnya marah pada Asyif dan Anggraini tadi.“Oh gitu. Saya bekerja sebagai instruktur senam di Bandung sini juga belum lama ini,” jawab Anggraini sambil sesekali melirik pada Asyif.“Tapi kenapa Syanum ngomongnya lain pas kamu nginap di rumah anak saya kemarin ya? Katanya kamu pacarnya Asyif. Ya pasti saya makin marahlah karena belum tahu cerita yang sebenarnya,” kata Umminya Asyif lagi.“Ya, karena Syanum sama kayak Ummi pengen jodoh-jodohin saya sama orang yang dia kenal. Apalagi pas dia tahu saya kenal Anggraeni dia malah makin getol mau comblang-comblangin,” lanjut Asyif dengan cerita kebohongannya itu.“Tapi eh, kamu sama Syanum emang sedekat itu ya? Kok bisa dia ngajak kamu nginap di rumah?”“Dekat
“Kok Mas diam? Mas sama Anggraini mau cerai ya? Dia menggugat cerai Mas ya?” tanya Merry setelah beberapa saat dia menunggu tapi suaminya itu hanya diam saja.Teguh tersentak dari keterkejutannya.“Kamu kok bisa tahu tentang itu?” Teguh malah balik bertanya.Seumur pernikahannya dengan Merry tak pernah sekalipun ia mendengar istri keduanya itu menanyakan hal apapun tentang istri pertamanya. Bahkan menanyakan nama Anggraini sekalipun Merry tidak pernah. Tapi hari ini Merry menyebut dengan enteng nama Anggraini seolah dia telah lama mengenalnya. Ok, Teguh pikir untuk nama Anggraini, tak mengherankan jika Merry mengetahuinya karena dia sendiri memang sering tidak sengaja menyebut nama Anggraini di depan Merry. Bahkan untuk beberapa hal Teguh tidak sungkan bercerita soal istrinya itu pada Merry meski selama ini Merry tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada Anggraini entah itu karena dia sungkan atau memang enggan menyebut nama istri tuanya Teguh itu.Tapi sekarang dia tidak hanya
[Kita harus bertemu. Aku perlu bicara denganmu]Anggraini melirik sekilas pesan chat dari Teguh setelah beberapa kali pria yang masih berstatus suaminya itu berupaya meneleponnya namun Anggraini mengabaikannya begitu saja.Anggraini sudah menebak apa yang ingin Teguh bicarakan dengannya. Antara ini tentang masalah perceraian mereka atau kalau tidak tentang Merry yang telah menceritakan pada Teguh tentang perdebatan mereka kemarin. Anggraini enggan meladeninya.Namun rupanya Teguh tak semudah itu untuk menyerah. Pria itu terus meneleponnya, bahkan hingga Anggraini sekarang telah berada di depan studio senam tempat para member zumba telah menunggunya. Ya, Merry telah meminta kepada Pak Handoko untuk memindahkannya dari kelas senam ibu hamil ke kelas zumba dan belly dance. Selain dia enggan bertemu dengan Merry dalam kelas yang sama pada akhirnya Anggraini juga menyadari bahwa kelas hamil bukanlah bidan senang yang dia senangi. Dirinya senang menjadi instruktur senam zumba yang lebih ba
Beberapa hari setelah kejadian itu, Teguh masih saja berupaya untuk menemui Anggraini di gym tempat Anggraini bekerja. Kecuali ketika ada jadwal Merry untuk senam tentunya. Begitu pun hari ini, Teguh mengantar Merry dengan membawa Shakila juga. Sialnya, Anggraini harus bertemu dengan kedua orang itu. Teguh sengaja bersikap kalem dan tidak berupaya menegur dan mendatangi Merry seperti yang kemarin dilakukannya saat ia datang sendiri tanpa Merry. Saat ini ia seperti tidak pernah mengenal Anggraini hanya untuk menjaga perasaan Merry dan menghindari konflik besar di tempat itu.“Kila tunggu sebentar di sini sama ayah, ya? Bunda mau senam dulu biar adek bayinya sehat,” kata Merry berpamitan kepada putrinya sambil ia melirik pada Anggraini yang sedang absen tak jauh dari tempat mereka berada. Anggraini sebenarnya mendengar hal itu dan ia tahu Merry sengaja mengatakan itu dengan tujuan untuk menunjukkan pada dirinya bahwa dirinyalah orang yang telah menang atas pertikaian mereka kemarin. M
“Sudah, lepasin! Aku mau kerja!!” Teguh melepaskan Anggraini dengan kasar setelah membawa istrinya itu jauh dari keramaian. Mereka sekarang sedang berada tak jauh dari sisi belakang gedung.“Aku sudah cukup sabar menghadapi semua tingkahmu, Anggre. Kau jangan beralasan lagi sekarang. Kau sepertinya memang punya hubungan dengan Asyif, hmm? Katakan, di mana kau mengenalnya? Dan sejak kapan kau dan dia berselingkuh di belakangku!” bentak Asyif.Ingatannya saat pria yang pernah menjadi sahabatnya itu sedang menciium mesra istrinya di lobby hotel di Pangandaran kembali muncul di kepalanya. Padahal selama beberapa minggu ini dia telah berusaha keras untuk tidak mengingat hal itu lagi dan mencoba memaafkan Anggraini. Anggraini mendengus marah.“Kenapa kamu merasa terpicu, Mas? Jika kamu bisa mengkhianati aku, menurutmu kenapa aku tidak bisa melakukannya juga? Kenapa kau begitu percaya diri bahwa hanya kau yang boleh melakukannya?” tantang Anggraini.“Itu jelas bukan hal yang bisa kau samak
Teguh tidak bisa memungkiri bahwa adalah sangat wajar jika Anggraini sangat marah kepadanya. Teguh tidak bisa membatalkan apa yang sudah terjadi. Dia sudah terlanjur menikahi Merry dan kini sudah memiliki anak dengannya itu adalah sesuatu hal yang tidak mungkin lagi bisa dia ubah. Meskipun Shakila sebenarnya bukanlah putri kandungnya.Karena itu Teguh berpikir mungkin jika dia bisa benar-benar adil kepada Merry dan Anggraini mungkin Anggraini bisa mengubah keputusannya untuk menarik gugatannya terhadap Teguh. Apalagi, jika ini bukan tentang masalah anak.Anggraini pun perempuan bukan. Sedikit banyak di dalam dirinya pasti ada naluri keibuan seperti sikap yang dia lihat tadi terhadap Shakila. Meski selama ini Anggraini menerapkan prinsip childfree dalam kehidupannya, nyatanya sama seperti Teguh perempuan itu mungkin saja pada akhirnya ingin juga memiliki malaikat-malaikat imut yang menjelma sebagai manusia cilik. Mungkin Anggraini sebenarnya cemburu pada Merry dan sebenarnya Teguh juga
Dinda menangis keras saat Puspa meraihnya. Entah karena anak berusia satu tahun itu baru bangun atau memang karena dia takut pada sosok Puspa yang tidak familiar, Dinda terkejut saat dirinya langsung ditangkap oleh seorang nenek-nenek yang tidak dia kenal sebelumnya.“Cup! Cup! Jangan menangis, nenek akan membawamu dari sini, Ok? Tenang, tenang jangan menangis!” Puspa berusaha membujuk Dinda yang kini telah berada dalam gendongannya.Melihat putrinya sangat ketakutan, Anggraini merebut paksa Dinda dari Puspa. “Tolong pergi dari sini. Kau membuatnya takut,” desis Anggraini mencoba menahan sabar.“Kau jangan keterlaluan dan bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungnya. Kau tidak punya hak! Aku adalah nenek kandungnya. Dan aku ingin membawanya, aku ingin menjemput cucuku sekarang!”“Anda yang jangan keterlaluan! Ngomong-ngomong soal hak, anda yang tidak punya hak apa-apa terhadap mereka. Aku mengantongi ijin dari pemerintah untuk merawat mereka,” kata Anggraini.“Hah! Izin dari pemeri
Perempuan tua itu menerobos masuk tanpa menghiraukan Anggraini yang berdiri di pagar.“Mama! Tunggu dulu!”Anggraini berusaha mencegah mantan mertuanya itu untuk masuk ke rumahnya. Sebenarnya dia sendiripun sudah enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan Mama, namun untuk saat ini ia tidak punya waktu untuk memanggilnya dengan sebutan lain“Jangan halangi aku! Aku akan membawa dia dari sini!”Rupanya keributan di luar membuat Shakila yang sudah masuk ke dalam rumah kembali keluar untuk melihat apa yang terjadi. Demikian pula baby sitternya Dinda menyusul Shakila untuk melihat apa yang terjadi.“Di mana dia? Di mana cucuku!” teriaknya.Anggraini berjalan cepat dan menghalangi Puspa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia membentangkan tangannya lebar-lebar.“Stop! Cukup sampai di situ ya. Tolong bersopan santunlah saat hendak masuk ke rumah orang lain. Aku sangat menghormati tamu, tapi kalau sikap Mama seperti ini aku tidak akan segan-segan mengusir Mama dari rumah ini!” ancam Anggrain
“Kita sudah sampai!!!” seru Asyif yang baru saja mematikan mesin mobil.Shakila segera membukakan pintu mobil dengan lihai, pertanda dia telah biasa melakukannya. Terlihat gadis kecil itu begitu senang telah dibawa jalan-jalan oleh ayah bundanya.“Dih, main tinggal aja. Memang ayah nggak disayang dulu apa?” cibir Asyif pura-pura kecewa saat Shakila hendak langsung keluar.“Oh iya, lupa!” Shakila menepuk jidatnya dan langsung berbalik badan.Cup!! Ia segera mencium pipi Asyif.“Terima kasih jalan-jalannya, Ayah!” ucapnya.“Dan mainannya juga!” celutuk Anggraini mengingatkan Shakila agar tidak lupa mengucapkan terimakasih juga atas belanjaan mainan Anggraini yang seabrek.“Oh, iya! Lupa lagi. Terimakasih mainannya juga, Ayah!” ucapnya.Asyif mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengelus kepala anak itu.“Ya, nanti ajak adek main juga ya!” kata Asyif.“Hu’ uh!” jawab Shakila mengiyakan.Anak perempuan itu segera turun dari mobil setelah membawa beberapa mainan yang bisa dia bawa terlebi
“Kila, pulang yuk!” ajak Anggraini dengan nada sebal.Bagaimana dia tidak sebal, sedari tadi dia hanya mengikuti kedua orang itu keliling-keliling di Mall sekaligus menjadi tukang angkut barang-barang belanjaan Shakila yang sengaja dibelikan Asyif untuknya. Sementara kedua orang, bapak dan anak itu berjalan di depannya sambil tertawa cekikikan. Bukankah itu harusnya terbalik? Harusnya dia yang menuntun Shakila dan Asyif yang membawakan barang-barang belanjaan mereka. Dasar, sungguh tidak gentleman! gerutu Anggraini“Pulang? Yang benar aje, rugi dong!” sahut Asyif membuat Anggraini semakin lebih sebal lagi.“Nanti, Bun. Kita kan belum makan. Belum makan ice cream juga. Benar kan, Yah?” kata Shakila pada Asyif meminta dukungan dari Asyif.“Benar tuh. Bundamu tuh nggak tau. Lagian buat apa sih cepat-cepat pulang? Sudahlah, nikmati aja dulu. Lagian nggak tiap hari kan kita jalan-jalan begini?”Anggraini mendengus.“Bukannya apa-apa, ih. Dinda di rumah takutnya rewel gimana?” “Ada si Mba
“Kila, ada Bunda yang jemput tuh!”Shakila yang tengah bermain perosotan di halaman sekolah langsung menoleh ke arah gurunya, lalu melihat lagi ke arah yang ditunjuk ibu guru tersebut.Tak jauh dari sana ada Anggraini yang melambaikan tangan sambil berjalan ke arah mereka.“Bundaaaaa!!!” panggil bocah itu sambil buru-buru berlari ke arah Anggraini.Begitu sampai di dekat Anggraini, Shakila pun lantas menghambur ke pelukan Anggraini dan yang segera dibalas peluk pula oleh Anggraini.“Lama nunggu Bunda nggak?” tanya Anggraini.“Nggak kok. Kila baru aja pulang, kata Bu Guru, Kila main aja dulu sambil tungguin Bunda,” jawab gadis kecil itu.Anggraini tersenyum. Satu tahun lebih dia telah mengasuh anak itu beserta adiknya. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk pada tumbuh kembang mereka. Shakila sudah tidak lagi bicara cadel seperti dulu. Gadis kecil itu juga sudah tumbuh menjadi anak yang lebih ceria meninggalkan tampilan imutnya di tahun-tahun sebelumnya.Anggraini membungkukkan s
Anggraini bengong sesaat dengan secarik kertas berwarna putih di tangannya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Asyif.Pria ini entah bagaimana menyediakan diri untuk membantu Anggraini dan menemaninya dalam kepengurusan masalah Dinda yang sudah berlangsung selama beberapa hari itu. Kebetulan juga Sophia tidak bisa menemaninya hari ini.Anggraini menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengangguk. Hari ini dia pergi ke kantor catatan sipil untuk mencetak ulang kartu keluarganya sebagai syarat agar dia bisa membawa pulang kembali Dinda. Sebelum staf itu memberikan padanya Kartu Keluarga itu, setitik keinginan di hati Anggraini berharap bahwa Kartu Keluarga yang dia inginkan itu tidak mencetak nama Merry di sana. Walaupun sebelumnya dia sendiri sudah pernah ke sini untuk menanyakannya langsung. Dan ternyata benar, bahwa di Kartu Keluarga itu terpampang dengan nyata nama Merry dan putrinya. Dan sekarang Anggraini benar-benar memegang Kartu Keluarga itu dalam bentuk fisik.“Kartu keluarg
Sophia yang baru saja memesan makanan siap saji, saat membalikkan badannya heran karena tidak melihat Anggraini di meja yang tadi mereka telah pilih. Namun kemudian kebingungannya berubah menjadi keterkejutan saat melihat Anggraini ada di depan outlet sedang bertengkar dengan seseorang yang dia tidak kenal.“Itu anak saya, berikan dia pada saya!!” teriak perempuan itu dengan kencang sehingga pertengkaran mereka menarik perhatian banyak mata.Anggraini mengelak saat perempuan itu ingin mengambil kembali bayi yang berada dalam gendongannya.“Ini Dinda. Katakan, sebenarnya kamu ini siapa? Kamu siapanya dia? Mana Ibu Septi?” tanya Anggraini menyebutkan nama ibunya Merry.“Ape hal kau kata ni? Aku tak paham apa cakap kau tu. Kalau tak bagi anak aku sekarang juga, aku akan report kau ke polis!” ancamnya.Anggraini geleng-geleng kepala.“Sana laporkan saja! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku sudah mendengar apa yang kamu katakan di telepon. Kamu mau bawa dia ke negaramu, tapi kamu ti
“Jadi kamu yakin nggak mau balik lagi ke Jakarta?” tanya Sophia saat mereka sedang makan siang di kediaman orang tua Sophia di Jakarta.Anggraini mengangguk.“Ya, aku mau menetap di Bandung aja deh kayaknya. Soalnya kerjaanku juga di sana kan? Di sini juga aku kayak yang bingung mau ngapain,” kata Anggraini.Anggraini mengangguk.“Iya sih. Kalau di Jakarta membuat kamu nggak nyaman, sebaiknya ditinggalin aja. Tapi kalau aku boleh kasih saran meski kamu tinggal di Bandung, kamu nggak usah tinggal di rumah itu lagi. Jual aja tuh rumah. Pasti kamu juga nggak pengen teringat terus tentang mereka kan? Sudahlah, buka lembaran baru saja. Kalau kamu setuju, entar aku bantu jualkan rumah itu,” kata Sophia menjelaskan.Anggraini mengangguk.“Iya makanya itu aku lebih pilih ngontrak dulu sebelum aku dapat rumah baru. Entar kalau rumahnya laku dijual aku cari rumah lain aja,” jawab Anggraini terhadap saran sahabatnya itu.“Nah gitu donk! Jadi habis makan kita jadi ke pengadilan agama nih?” “Beso
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh keluarga Merry. Bahkan begitu mereka keluar dari dalam mobil, nenek Shakila yang juga merupakan ibu dari Merry itu langsung menyambut cucu-cucunya. “Kila, kamu sudah besar, Nak? Peluk nenek!” pinta wanita itu. Shakila mundur beberapa langkah dan kini bersembunyi di belakang tubuh Anggraini. Wanita itu menatap Anggraini. Tersungging seulas senyum di bibirnya. Entahlah, sekilas Anggraini merasa kalau senyum itu berbeda, menimbulkan kesan sinis. “Maaf, kamu istri pertamanya Teguh?” tanya wanita itu. Anggraini membenarkan meski dalam hati ia cukup terkejut mengetahui bahwa perempuan itu mengetahui bahwa dia adalah istri tua dari Teguh. “Iya, benar. Kenapa ibu tahu?” tanya Anggraini dengan nada sedikit tidak suka. Bagaimana tidak? Anggraini heran dengan kenyataan bahwa ibu ini seperti perempuan tidak tahu malu yang telah menikahkan putrinya pada suami orang lain. Bahkan Anggraini bisa melihat foto figura besar di ruang tamu rumah it