BAB 1
Pertemuan yang MenyesakkanSetengah berlari aku masuk ke ruang IGD rumah sakit. Kugendong Bintang--anakku yang berusia lima tahun sambil berteriak meminta pertolongan. Aku tak peduli malam begitu larut, hingga sebagian besar mereka nakes yang bertugas jaga terlelap di meja mereka masing-masing. Bahkan seorang perawat laki-laki berbadan tambun tertidur di kursi yang ditata hingga pas untuk menopang tubuhnya."Anak saya kejang, tolong!" ucapku setengah berteriak. Mereka yang sudah terbiasa menghadapi peristiwa seperti ini dengan sigap meraih anakku dan membaringkannya di atas kasur pasien."Tenang, Bu. Ibu tunggu di luar," ucap seorang perawat dengan kerudung lebar menjuntai menutupi hampir setengah tubuhnya. Aku beringsut mundur, sadar diri kepanikanku membawa dampak buruk bagi mereka yang butuh konsentrasi tinggi saat memberikan pertolongan untuk Bintang.Aku menjatuhkan tubuhku di kursi tunggu berbahan stainless yang terletak di depan ruangan IGD. Panik, takut dan banyak sekali pikiran buruk yang menghampiriku. Bintang satu-satunya anakku terbaring lemah menghadapi penyakitnya sendirian.Aku merasa gagal menjadi seorang ibu. Kusalahkan diriku yang selama ini sibuk dengan pekerjaan, membangun kerajaan bisnis, berusaha menebus kesalahan masa lalu yang bukan hanya diriku saja yang sebenarnya bersalah. Bahkan tanpa kusadari rasa dendam yang semula tak nampak kini terasa menyumbat seluruh aliran darahku.Aku berusaha membuktikan pada orang-orang itu bahwa aku sudah mampu berdiri setegak ini. Tetapi aku lupa bahwa anakku butuh perhatian lebih yang kadang hanya menguasai sebagian kecil waktu dan tenagaku yang tersisa.Aku merasa menjadi seorang ibu yang bodoh, mengorbankan waktu membersamai tumbuh kembang anakku untuk sebuah pembuktian yang sebenarnya bisa saja kukesampingkan.Lamunanku terhenti saat seorang perawat membuka tirai yang menutupi ranjang pasien tempat Bintangku dibaringkan. Segera kulihat keadaan anak lelakiku itu. Wajahnya masih pucat dan lemah. Kesadarannya mulai kembali meski terlihat bingung dimana dirinya sekarang berada."Bintang…" Aku memeluknya dengan erat. Kutumpahkan rasa bersalahku tepat di bahu kecil itu. Tangisku membuat guncangan hebat di tubuh kami. Rasanya aku telah melewati lorong panjang hingga kutemukan dirinya lagi dalam keadaan baik-baik saja."Bintang lelah, Ma," ucapnya. Aku mengurai pelukanku."Bintang istirahat, Mama temui dokter dulu, Sayang." Kuusap lembut rambut anakku. Anak lelakiku itu mengangguk patuh dan membaringkan tubuhnya lagi di atas ranjang. Tak lama kulihat dia memejamkan mata kembali.Kutuju ruang nakes yang hanya berbentuk ruangan kubikal berdinding kaca. Seorang laki-laki dengan seragam dokter menarik perhatianku. Wajahnya yang tertunduk dengan lembaran kertas di tangan tetap meyakinkan diriku dengan sosok yang masih kukenali.Ragu, aku berusaha menyadarkan lelaki itu dengan keberadaanku di depannya."Maaf, apakah anak saya bisa langsung pulang, Dok?" tanyaku sambil menatap lelaki yang bola matanya membesar saat menyadari keberadaanku. Aku yakin dengan pemilik mata itu, meski kacamata dan masker medis menutupi sebagian besar wajahnya.Beberapa saat kami terdiam, hanya suara erangan dari sudut ruangan yang berasal dari pasien lanjut usia yang terlihat kepayahan sekadar menarik napas."Tunggu beberapa jam lagi, Bu. Kita harus mengobservasi apakah kejang akan berulang dalam beberapa waktu kedepan. Apakah kejadian ini sering terjadi?"Suaranya membuat lututku lemas tak bertenaga. Rasanya aku ingin luruh ke lantai dan mengumpat sejadi-jadinya pada laki-laki di depanku. Meski kuyakin dia pun sama-sama syok dan tak menyangka pertemuan ini, tapi karena profesinya dia tetap bersikap selayaknya seorang dokter pada orang tua pasiennya."Tidak. Baru sekali ini. Karena panik saya bawa kemari."Aku berbalik tanpa mengucapkan Terima kasih padanya. Kutekan dadaku yang bergemuruh hebat menahan marah. Kulangkahkan kaki secepat mungkin mendekati ranjang Bintang untuk memastikan dia baik-baik saja sementara saat kutinggal menyelesaikan administrasi rumah sakit.Dengan jantung yang berdetak tak berirama serta tubuh yang bergetar hebat, aku memaksa diriku untuk segera menyelesaikan urusanku di tempat ini. Kurutuki diriku yang harus memilih rumah sakit ini untuk memeriksakan Bintang. Tak ada pilihan lain, memang tempat inilah yang paling dekat dengan tempat tinggalku.Hanya kebetulan saja harus bertemu dengan lelaki itu yang kuyakin tak akan melepaskanku begitu saja setelah ini. Kutarik napasku yang terasa tersumbat di saluran pernapasan. Luka yang lama sudah kupendam dan kuobati dengan sendirinya kembali menganga karena pertemuan singkat dengan pemberi luka itu.Hingga pagi menjelang Bintang terlelap dan kejangnya tidak berulang. Perawat yang memeriksa memberi sinyal bahwa aku boleh membawa anakku pulang setelah menyesaikan administrasi.Tak butuh waktu lama, aku menyelesaikan segala urusan yang dibutuhkan rumah sakit sebagai prosedur penanganan pasien. Aku kembali mendekati ranjang Bintang dan menggendongnya meski sedikit kerepotan. Kulangkahkan kaki tanpa peduli tatapan penuh selidik lelaki yang duduk di ruangan kacanya ke arahku.Yang ada di benakku hanya keluar secepatnya dari ruangan ini tanpa memikirkan beban dua puluh kilogram di tubuhku. Bahkan tawaran kursi roda untuk membawa Bintang ke mobil dari salah satu perawat pun kutolak demi ingin segera terbebas dari tempat ini.Erangan kecil dari bibir anakku membuatku mengusap tengkuknya perlahan. Aku yakin apa yang dia lewati hari ini cukup menguras energinya.Susah payah kukeluarkan kunci mobil dari dompet yang kupegang."Biar kubantu," ucap seseorang dari arah belakang. Tanpa menunggu jawabanku dia mengambil alih kunci dan membukakan pintu mobil untukku. Aku tak bisa menolak, kubaringkan Bintang di kursi sebelah kemudian dan memasangkan seatbelt di tubuhnya. Kuambil kunci dari tangan lelaki itu dan membuka pintu sebelahnya tanpa satu kata pun keluar dari mulutku."Dia… anakmu?" tanyanya dengan mata penuh penghakiman. Aku menarik napas cukup lama dan menghembuskannya cepat.Kuputuskan untuk menutup pintu tetapi nahas lelaki itu menahan tangannya hingga pintu tak tertutup sempurna. Kugigit bibirku cukup keras tak peduli gigiku akan membuat luka berdarah disana."Rindu!"Aku mendongak menantang sepasang mata yang dulu pernah kucinta segenap jiwa raga. Rasa cinta yang akhirnya membuat segumpal daging bernama hati menjadi keras dan membatu karena permainan takdir yang menimpaku. Susah payah aku melupakan sosoknya, memaafkan semesta dan berdamai dengan diriku sendiri, tetapi kini pembuat luka itu berdiri nyata di depan mataku."Rindu, apakah dia anakmu?" ulangnya lagi. Airmata yang sekuat tenaga kutahan akhirnya luruh tak terbendung."Iya. Dia anakku. Kenapa? Kau merasa mengenal wajah kecil itu?" tanyaku dengan suara bergetar dan pandangan mata mengabur. Lelaki itu menyugar rambutnya kasar. Wajahnya terlihat pucat. Aku melihat sebongkah luka bersemayam di kilat matanya. Aku tersenyum miris."Rindu… apakah… apakah anak itu… ""Bintang anakku. Hanya anakku. Kenapa? Lepaskan tanganmu, Giandra. Atau kau akan menanggung malu karena kabar seorang dokter yang mengganggu pasien rumah sakit dimana dia bertugas akan segera beredar luas!"Tangan itu lepas setelah beberapa saat aku mengucapkan kalimat penuh ancaman. Aku yakin sebagai seorang dokter dia sangat memperdulikan nama baiknya. Sama seperti kedua orang tuanya yang demi nama baik tanpa ragu menjadikan seorang gadis kehilangan keluarga dan juga harapannya.BAB 2Flashback Gemetar tanganku memegang benda persegi panjang berwarna putih. Garis dua yang menyembul di salah satu permukaannya seperti garis kematian yang terpampang nyata di depan mataku. Garis kematian yang akan membunuh cita-cita dan senyuman orangtuaku. Seolah tak bertulang tubuhku luruh di atas lantai kamar mandi yang setengah basah. Suara gedoran pintu dari ibu membuat kekuatanku yang semula raib kembali memenuhi setiap jengkal tubuhku. Aku tak mungkin terus-menerus seperti ini. Tak bisa kubayangkan wajah tua ayah setelah tahu anak perempuan kesayangannya melempar kotoran ke wajahnya seperti ini. "Apakah sekarang kau punya hobi mencari inspirasi di kamar mandi? Menatapi jentik-jentik nyamuk hingga khayalanmu mengubah mereka menjadi ulat sutera bernilai jutaan rupiah?" Suara sindiran ibu membuatku tersentak. Wanita yang entah kapan berkata manis padaku itu melotot seolah matanya hampir keluar. Aku terbiasa mendapati sikapnya seperti itu, apalagi setelah ayah telah memasu
BAB 3Kemarahan Rindu"Ma, Bintang nggak mau sama Mba Nini, maunya sama Mama." Anak lelakiku kembali merajuk, kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya saat aku tengah menyiapkan mobilku. Tubuhnya akan memeluk kakiku dengan erat, tak mengizinkanku beranjak sedikit pun. "Ma, Bintang ke sekolah sama Mama. Mama nggak boleh kerja hari ini," rajuknya dengan tangan makin erat memeluk kakiku. Jika seperti ini, aku luruh. Duduk di depannya. Menatap sepasang telaga bening milik separuh hidupku. "Mama harus kerja, kalau nggak kerja siapa yang mau bayar uang sekolah Bintang. Beli mainan Bintang, atau uang untuk jalan-jalan Bintang?" tanyaku berusaha berdiplomasi. Anakku tak mau menatap wajahku. Tentu saja aku tahu hatinya tengah bergejolak. Bintang anak yang cerdas, aku yakin dia akan paham jika kuberi pengertian seperti ini. "Tapi Bintang pengin ditemenin. Mama Rendra, Mama Tama, Mama Giska… mereka semua ada mamanya. Cuma aku saja yang sama Mba Tini. Mereka bilang Mamanya Bintang le
BAB 4 Kemarahan Rindu (2) "Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku? Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?" Kutumpahkan segala sesak yang kutahan bertahun-tahun. Lelaki yang segala kemarahanku bermuara padanya. Giandra, lelaki yang lebih percaya pada orang
BAB 5 Pertemuan Bintang dan Ayahnya Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya. "Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri. "Bintang cari apa?" Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya. "Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum te
Pertemuan dengan Aluna"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu. Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini. Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu. "Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu
Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu.
Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota
"Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah