Share

Flashback

Author: Yuli Zaynomi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

BAB 2

Flashback

Gemetar tanganku memegang benda persegi panjang berwarna putih. Garis dua yang menyembul di salah satu permukaannya seperti garis kematian yang terpampang nyata di depan mataku. Garis kematian yang akan membunuh cita-cita dan senyuman orangtuaku. Seolah tak bertulang tubuhku luruh di atas lantai kamar mandi yang setengah basah.

Suara gedoran pintu dari ibu membuat kekuatanku yang semula raib kembali memenuhi setiap jengkal tubuhku. Aku tak mungkin terus-menerus seperti ini. Tak bisa kubayangkan wajah tua ayah setelah tahu anak perempuan kesayangannya melempar kotoran ke wajahnya seperti ini.

"Apakah sekarang kau punya hobi mencari inspirasi di kamar mandi? Menatapi jentik-jentik nyamuk hingga khayalanmu mengubah mereka menjadi ulat sutera bernilai jutaan rupiah?"

Suara sindiran ibu membuatku tersentak. Wanita yang entah kapan berkata manis padaku itu melotot seolah matanya hampir keluar. Aku terbiasa mendapati sikapnya seperti itu, apalagi setelah ayah telah memasuki masa pensiun. Dia tak pernah menghargai lelaki itu lagi. Apalagi padaku, bahkan suara omelannya bak sirine yang terus-menerus berputar tanpa ada tanda-tanda berhenti.

"Jangan banyak menghayal. Lekaslah lulus kuliah hingga uang nafkah ayahmu yang seuprit itu tak perlu dibagi-bagi lagi. Anak dan ayah sama-sama tak tahu diri. Uang tak seberapa masih maksa buat kuliah!"

Suaranya masih terdengar meski wanita itu tengah menuntaskan hasratnya di ruangan berukuran dua kali dua meter itu. Aku menarik napas perlahan, mencoba menenangkan hatiku karena perkataan dan juga benda kecil yang sudah kusembunyikan di saku bajuku. Dengan langkah pelan aku memasuki kamar pribadiku.

"Rindu, kau tak apa-apa? Wajahmu pucat, apakah kau sakit?" Suara ayah membuat pintu yang hampir kututup itu tertahan. Bilur panjang di pipi kirinya sebagai saksi perjuangan hidupnya yang tak ringan itu membuat hatiku tersayat. Aku sadar telah membuat luka lebih dalam dan panjang daripada bilur itu. Bahkan matanya yang menatapku penuh cinta membuat sumbatan kuat di saluran pernapasanku.

"Belilah vitamin di apotek, mungkin kau terlalu lelah dengan tugas kuliah yang sepertinya menyita sekali. Jangan sampai sakit, anak ayah harus sehat dan bahagia."

Deg.

Aku tersenyum sekilas sebelum pintu kamar tertutup sempurna. Aku tak ingin lelaki cinta pertamaku itu menyaksikan tetesan pertama air mata penyesalan dariku. Entah bagaimana jadinya jika dia tahu yang sebenarnya, aku telah mencederai kepercayaan dan harga dirinya sebagai seorang ayah.

Kupukul dadaku berulang kali. Kuharap sesak yang kurasa segera terurai. Kurutuki segala bentuk kebodohan yang sudah kulakukan. Rasa sesal yang tidak berguna sama sekali, apalagi kubayangkan wajah ibu tiriku yang akan makin membuatku tersudut.

Giandra,

Ya, lelaki itu! Dia lelaki yang harus kuhubungi dan tentu saja kumintai pertanggungjawaban. Mahasiswa kedokteran yang merupakan kakak kelasku saat aku SMA itu harus tahu benih kehidupan yang kini bersemayam di rahimku. Persetan soal cita-citanya, aku pun sudah tak mampu mengucap kata itu sekarang.

Cita-cita memberi hadiah ijazah sarjana pada ayah pupus sudah. Aku tak yakin setelah ini dia akan memenangkan perdebatan dengan ibu tiriku yang dari awal melarangku untuk kuliah. Gaji ayah yang hanya pensiunan penjaga sekolah dianggap tak akan pernah cukup untuk membiayai pendidikanku.

Tetapi ayah entah ratusan bahkan ribuan kali terus meyakinkan pada wanita itu bahwa dirinya sanggup melakukan pekerjaan lain demi cita-citaku harus terwujud. Ayah bahkan tak segan menjadi kuli bangunan agar asap dapur kami tetap mengepul, agar wanita yang menjadi istrinya selama sepuluh tahun itu tak banyak bercakap yang menusuk hati.

Hingga luka baret yang didapatnya saat bekerja di sebuah proyek membuat daging di pipinya itu terkikis dan harus mendapat belasan jahitan. Dan apa yang dilakukan ibu tiriku? Dia memakiku dengan kalimat yang tak manusiawi sedikitpun. Dia menganggap akulah orang yang pantas bertanggung jawab karena luka ayahku. Bahkan luka yang masih menganga itu mendapat perlakuan begitu kasar darinya.

Tapi kini apa yang sudah kulakukan? Ingatanku tertuju pada kejadian beberapa minggu lalu.

Sore itu Giandra bersikeras mengantarku pulang. Aku yang menolak mati-matian tak mampu melawan keinginannya. Sayangnya, di perjalanan pulang mendadak hujan turun begitu deras. Giandra tak membawa mantel di motornya. Dia mengajak pulang ke rumahnya dan beralasan akan mengganti kendaraan dengan mobilnya.

Aku menurut, karena memang tak ada niat sedikit pun untuk berbuat nista di rumah megah itu. Entah setan apa yang membisiki kami, peristiwa yang harusnya menjadi bagian terindah hadiah pernikahan bagi kedua pasangan sah itu terjadi.

Tak ada kenikmatan di dalamnya, karena semuanya didasari oleh ketakutan. Aku menangis tersedu mendapati tubuhku polos di atas pembaringan Giandra. Pun lelaki itu, wajahnya merah kacau penuh dengan penyesalan. Bahkan dia hampir menangis melihatku yang menangis tanpa henti.

Aku, si bodoh yang menyerahkan harga diriku pada laki-laki yang bahkan belum pernah bertemu dengan ayahku. Aku, wanita tak berharga diri yang mau diajak ke rumah laki-laki yang tidak ada hubungan kekerabatan apapun denganku. Aku, si bodoh yang sudah mencoreng aib dan membawa ayahku lebih dekat ke api neraka.

Sungguh, berhari-hari aku seperti orang linglung. Jika biasanya aku masih melawan jika ibu tiriku mengamuk atau berkata kasar, kali ini aku diam. Tentu saja sikap lemahku mendapat perhatian khusus dari wanita dengan bibir merah darah itu.

Hingga dia mengendus perubahan tubuhku. Wanita itu memaksaku menggunakan alat tes kehamilan untuk kedua kalinya. Bahkan dia memaksaku masuk ke dalam kamar mandi dan dipaksa menggunakan alat itu di depannya langsung.

Kulupakan sudah harga diri karena aku sendiri yang sudah menenggelamkannya ke lumpur kenistaan. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan membuka aibku di depan ayah yang saat itu baru saja pulang kerja menjadi buruh angkut di sebuah truk pasir.

Lelaki yang bahkan belum merasakan nikmatnya air putih membasahi kerongkongannya tak mampu menatap anak perempuannya. Tak ada tangis dari mata lelah itu, tetapi aku tahu segumpal hati miliknya hancur tak berbentuk.

Beberapa menit lamanya dia terdiam. Tak ada kalimat apapun yang keluar dari bibirnya yang menghitam. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Apa yang akan dia lakukan padaku setelah ini. Aku pasrah dengan nasibku setelah ini.

"Anakku adalah sebaik-baik anak. Tak pernah ada kesalahan fatal yang dibuatnya. Tak pernah ada rasa malu yang ditorehkan pada wajah ayahnya. Hidupnya hanya berisi kepatuhan pada titah orang tua.

Rindu adalah nama yang kusematkan pada anak kebanggaanku, namanya adalah cerminan bagaimana sang ayah mengharapkan dirinya memiliki hati selembut sang ibu dimana rasa indah itu bermuara. Rindu adalah cerminan harapan,agar dirinya mewarisi sikap lemah lembut wanita yang telah melahirkannya. Jika kau melakukan hal sekeji itu, maka Rinduku sudah pupus. Anakku sudah mati."

Aku luruh mendengar kalimat yang disyairkan ayahku. Kalimat yang dibentuk dari rasa kecewa sang ayah pada anak perempuan kebanggaannya. Aku tak berharga lagi baginya. Aku telah dianggap mati oleh lelaki yang seharusnya kuhadiahi ijazah sarjanaku. Aku telah mati, bahkan sebelum malaikat pencabut nyawa menghampiriku.

Detik itu, aku menanggung kegagalan dua hal sekaligus.

Gagal menjadi seorang wanita.

Dan gagal menjadi seorang anak perempuan.

Related chapters

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    Kemarahan Rindu

    BAB 3Kemarahan Rindu"Ma, Bintang nggak mau sama Mba Nini, maunya sama Mama." Anak lelakiku kembali merajuk, kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya saat aku tengah menyiapkan mobilku. Tubuhnya akan memeluk kakiku dengan erat, tak mengizinkanku beranjak sedikit pun. "Ma, Bintang ke sekolah sama Mama. Mama nggak boleh kerja hari ini," rajuknya dengan tangan makin erat memeluk kakiku. Jika seperti ini, aku luruh. Duduk di depannya. Menatap sepasang telaga bening milik separuh hidupku. "Mama harus kerja, kalau nggak kerja siapa yang mau bayar uang sekolah Bintang. Beli mainan Bintang, atau uang untuk jalan-jalan Bintang?" tanyaku berusaha berdiplomasi. Anakku tak mau menatap wajahku. Tentu saja aku tahu hatinya tengah bergejolak. Bintang anak yang cerdas, aku yakin dia akan paham jika kuberi pengertian seperti ini. "Tapi Bintang pengin ditemenin. Mama Rendra, Mama Tama, Mama Giska… mereka semua ada mamanya. Cuma aku saja yang sama Mba Tini. Mereka bilang Mamanya Bintang le

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    Kemarahan Rindu (2)

    BAB 4 Kemarahan Rindu (2) "Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku? Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?" Kutumpahkan segala sesak yang kutahan bertahun-tahun. Lelaki yang segala kemarahanku bermuara padanya. Giandra, lelaki yang lebih percaya pada orang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    Pertemuan Bintang dan Ayahnya

    BAB 5 Pertemuan Bintang dan Ayahnya Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya. "Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri. "Bintang cari apa?" Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya. "Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum te

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 6

    Pertemuan dengan Aluna"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu. Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini. Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu. "Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 7

    Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu.

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 8

    Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 9

    "Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 10

    Hanya Aku dan Bintang Aku datang ke restoran jam sebelas siang. Sebelumnya aku sudah meminta izin Satya untuk datang agak telat karena ada urusan di sekolah Bintang. Hari ini acara pembagian raport, jadi mau tidak mau aku harus menyempatkan diri mengambil laporan hasil belajar anakku selama setengah tahun terakhir. Tak mungkin aku meminta Mba Tini untuk mengambilkannya, hingga pengasuh anakku itu kuminta istirahat hari ini. Sedangkan Bintang sendiri kuajak ke restoran karena beberapa kali dia memintanya demikian. "Sepagi ini sudah ada yang ngapel. Apaan banget sih, Ndu!" ucap Satya dengan sorot mata penuh penghakiman namun dengan mimik yang dibuat lucu. Aku menautkan kedua alisku bermaksud mempertanyakan kalimatnya. Dengan gerakan dagunya dia menunjukkan salah satu sudut dimana seorang laki-laki duduk. Tentu saja membuatku sedikit bertanda tanya siapa yang sudah mendatangiku sepagi ini. "Bukan customer biasa, Sat?" tanyaku meletakkan tas selempang di ruanganku. Dia menggeleng sambi

Latest chapter

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 93

    "Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 92

    "Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 91

    “Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 90

    Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 89

    Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 88

    Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 87

    Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 86

    Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 85

    “Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah

DMCA.com Protection Status