Home / Romansa / Anakku Tak Diakui Ayahnya / Kemarahan Rindu (2)

Share

Kemarahan Rindu (2)

Author: Yuli Zaynomi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

BAB 4

Kemarahan Rindu (2)

"Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku?

Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?"

Kutumpahkan segala sesak yang kutahan bertahun-tahun. Lelaki yang segala kemarahanku bermuara padanya. Giandra, lelaki yang lebih percaya pada orang tua dan juga temanku sendiri, Aluna. Dia gadis yang diam-diam menyukai kekasihku dan tega menghianati diriku dengan mendukung fitnah keji yang dilayangkan orang tua Giandra padaku.

"Kau masih ingat bukan, bagaimana kalimat orangtuamu padaku saat itu?" Aku mencoba mengingatkan kembali peristiwa itu.

"Kau percaya pada perkataan orangtuamu bahwa banyak lelaki yang juga menjamahku. Aluna, kau pun lebih percaya padanya. Dia mengungkap cerita busuk mengenai kebinalanku hasil karangannya padamu. Dan kau percaya, Giandra.

Kau lebih percaya padanya hanya karena menganggap satu kali kita melakukannya tak akan membuatku hamil! Kau mahasiswa kedokteran Giandra. Kau tahu itu bisa saja terjadi! Kau memang terkutuk, sama seperti kedua orangtuamu dan gadis penghianat itu!"

Giandra menyugar rambutnya kasar. Lelaki itu tak mampu menyangkal tuduhan yang kualamatkan padanya. Rasa perih yang kutahan bertahun-tahun menyeruak tanpa henti.

Bayangan aku diusir dari rumah yang menjadi saksi kehidupanku selama dua puluh tahun hidup. Terpisah dari ayah yang terpaksa mengusirku meski aku tahu semua ini pun tak lepas dari pengaruh istrinya. Aku tahu mata tua itu terluka melihat anak perempuan satu-satunya menyeret rangsel kusam karena tubuhnya sudah tak mampu memikul beban lagi.

Aku yang hanya menyimpan sisa uang sakuku itu mendatangi rumah Giandra dengan harapan dia dan orang tuanya luluh. Hingga penghinaan demi penghinaan yang kudapatkan disana. Giandra hanya mematung melihatku dari jarak kejauhan. Dia tak mendekatiku sama sekali.

Dia biarkan kedua orangtuanya memaki bahkan melontariku dengan kata-kata yang amat menyakitkan. Mereka mengataiku bahwa aku sengaja menjebak anak mereka hanya karena menolak uang puluhan juta untuk mengaborsi janin yang berada di perutku.

Giandra tak punya nyali. Lelaki itu berubah menjadi monster yang tak kukenal. Dia biarkan harga diri ini tercabik-cabik untuk kesekian kali. Tak ada lagi Giandra yang mengejarku dan menjanjikan tak akan ada masalah untuk kami ke depannya. Tak akan ada aral melintang bagi hubungan kami yang berasal dari kasta berbeda.

Bahkan lelaki itu memilih masuk ke dalam rumahnya tanpa berniat menemuiku yang dihadang orangtuanya. Nyatanya dia tak menyisakan sedikit pun rasa kasihan untukku.

Orangtuanya yang begitu angkuh menjegal langkahku untuk mendekati putra kebanggaan mereka.

"Maaf, Rindu. Aku merasa bersalah padamu. Aku benar-benar mencarimu selama ini. Tak kusangka aku menemukanmu disini," ucapnya tanpa memandang ke arahku.

"Ya, aku ikut menjadi tukang cuci piring di sebuah warteg milik seorang janda tanpa anak. Kukira stok orang baik di dunia ini sudah punah, ternyata masih bisa kutemui dari orang biasa sepertinya."

Wajah yang dulu begitu membuatku haru biru itu tertunduk penuh penyesalan. Sayangnya aku tak peduli, hatiku kebas tak tersentuh sedikit pun.

"Rindu… apakah Bintang anakku?"

Aku tersengal, dadaku terasa pecah saat dia mengucap hal itu.

"Kenapa? Kau merasa berdosa sekarang? Kau bisa melihat dengan matamu sendiri bukan? Wajah siapa yang tercetak jelas disana! Tapi sayangnya kau tak berhak memanggilnya anakmu. Tak akan kubiarkan seinci kulitnya pun tersentuh olehmu lagi! Jika kutahu kau dokter yang menangani anakku malam itu, aku tak akan rela Giandra! Aku tak akan ikhlas membiarkannya bertemu dengan lelaki tak punya hati sepertimu!"

Aku berdiri kemudian memegang daun pintu. Kuarahkan dirinya untuk keluar.

"Kau hanya cukup tahu aku dan Bintang baik-baik saja. Nikmati rasa bersalahmu tanpa adanya pengampunan dariku. Resapi rasa sakit yang bertahun-tahun membentuk hatiku hingga sekeras batu. Kau akan merasakan bagaimana rasanya menjadi aku. Seperti mati terbunuh namun tetap hidup dalam sebuah penyesalan. Keluarlah, sebelum sisi jahat diriku mengusai seluruh tubuhku."

Giandra menatap lurus ke arah pintu. Sayangnya tatapan mata itu tak berani mengarahkan bidikannya ke mataku. Aku tahu, kemarahan yang membentuk diriku terlalu menakutkan untuk ditantang. Giandra berdiri dan beranjak dengan langkah tak bertenaga. Aku memalingkan wajah ke arah lain demi tak melihat tubuhnya dari jarak beberapa senti.

Lepas lelaki itu keluar melewati pintu rumahku, saat itu pula kudorong kuat benda berbentuk persegi panjang yang sedari tadi basah karena kupegang dengan tanganku yang berkeringat.

Bunyi dentuman yang cukup kuat cukup mewakili rasa marahku pada pemilik segala kesedihanku.

Entah berbentuk apapun, harusnya dia tak perlu hadir. Aku tak perlu susah payah membenahi moodku sepagi ini karena pertemuan ini. Aku benci diriku sendiri, meski otakku memerintah berkali-kali untuk memaafkannya, tetapi hatiku berontak. Dia tak siap dengan pengampunan untuk manusia-manusia itu. Terlebih untuk lelaki itu, yang karena cintaku terlalu uta telah membuat semua kebahagiaan terenggut paksa dariku.

Teruntuk masa lalu, berhentilah menepuk punggungku. Karena aku sudah tak ingin melihat ke belakang.

***

"Kenapa mukanya? Kusut amat!" Satya meletakkan secangkir kopi hitam di atas mejaku. Lelaki berlesung pipi dan beralis tebal itu memandangku dengan menopang dagunya. Lelaki yang tatapan matanya itu menggambar jelas apa yang ada dalam hatinya.

Aku menggeleng, tentu saja aku tak siap menceritakan semuanya. Meski sedikit banyak dia tahu masa lalu yang menimpaku, tetapi dia tak akan pernah mengoreknya jika bukan aku yang membukanya sendiri. Sebaik itu Satya, oleh karenanya aku selalu menyekat jarak darinya dengan batas tak kasat mata.

"Baik-baikin mood. Hari ini kita kedatangan investor untuk pembukaan kafe di kawasan Baturaden. Jangan sampai kita gagal karena wajahmu itu merusak aura positif yang susah payah kita bangun untuk restoran ini. Bukankah keinginanmu mendirikan kafe di sana?"

Ya, aku memang ingin sekali mendirikan kafe di kawasan Baturaden. Tempat yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kali saat datang di kota ini. Kubayangkan sebuah kafe dengan view mengarah langsung ke Kota Purwokerto. Hawa yang sejuk dengan pemandangan alam menakjubkan membuat anganku tak pernah lepas dari kota kecamatan di kaki Gunung Slamet itu.

"Jam berapa nanti? Aku masih punya waktu bukan untuk memperbaiki penampilanku?" tanyaku pada lelaki yang belum beranjak dari posisinya semua.

"Jam sebelas. Tersenyumlah, walau sedetik kau akan mampu memperbaiki semuanya."

Lelaki itu tersenyum hangat seperti biasanya. Bukan aku tak mampu menangkap sinyal di matanya, aku hanya takut dia kecewa dengan masa lalu yang belum sepenuhnya bisa kumaafkan. Dia berhak mendapatkan wanita yang lebih baik, bukan wanita sepertiku yang akan terus cacat karena tak mampu berdamai dengan masa lalu.

"Jika kau suka pelangi, maka buat hatimu untuk kuat melewati hujan dan badai, jangan terjebak terlalu di dalam derasnya air. Kau mampu melewati semuanya, Rindu."

Satya berjalan melewatiku hingga menyisakan aroma parfum mewah yang diam-diam menjadi candu untukku. Tetapi sekali lagi, batas tak kasat itu menyadarkanku bahwa dia ada dan akan tetap menjadi penghalang bagi kami. Entah sampai kapan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sitihasanah Titi
Rindu sama satya aja, jangan sama giandra lelaki brengsek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    Pertemuan Bintang dan Ayahnya

    BAB 5 Pertemuan Bintang dan Ayahnya Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya. "Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri. "Bintang cari apa?" Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya. "Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum te

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 6

    Pertemuan dengan Aluna"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu. Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini. Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu. "Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 7

    Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu.

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 8

    Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 9

    "Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 10

    Hanya Aku dan Bintang Aku datang ke restoran jam sebelas siang. Sebelumnya aku sudah meminta izin Satya untuk datang agak telat karena ada urusan di sekolah Bintang. Hari ini acara pembagian raport, jadi mau tidak mau aku harus menyempatkan diri mengambil laporan hasil belajar anakku selama setengah tahun terakhir. Tak mungkin aku meminta Mba Tini untuk mengambilkannya, hingga pengasuh anakku itu kuminta istirahat hari ini. Sedangkan Bintang sendiri kuajak ke restoran karena beberapa kali dia memintanya demikian. "Sepagi ini sudah ada yang ngapel. Apaan banget sih, Ndu!" ucap Satya dengan sorot mata penuh penghakiman namun dengan mimik yang dibuat lucu. Aku menautkan kedua alisku bermaksud mempertanyakan kalimatnya. Dengan gerakan dagunya dia menunjukkan salah satu sudut dimana seorang laki-laki duduk. Tentu saja membuatku sedikit bertanda tanya siapa yang sudah mendatangiku sepagi ini. "Bukan customer biasa, Sat?" tanyaku meletakkan tas selempang di ruanganku. Dia menggeleng sambi

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 11

    "Anakmu?" Dia menoleh ke arah Bintang yang tengah memainkan ponsel Satya, kebiasaan buruk yang berulang kali kucegah. Anakku dan Satya memiliki kebiasaan buruk yang susah kuingatkan. Mereka akan kompak memainkan perasaanku dengan sengaja menentang aturan yang kubuat. "Bodoh. Anak itu memang mirip dengan ayahnya. Kurasa dia akan benar-benar gila dengan rasa bersalah yang menghantuinya setelah ini." Mas Enggar tersenyum getir tanpa menatap mataku. Aku tahu baru saja dia mengumpat Giandra. "Laki-laki itu menemuiku. Dia yang mengatakan telah bertemu denganmu di kota ini. Awalnya aku tak percaya, Rindu. Tetapi dia meyakinkanku hingga mengirimi fotomu saat berada di depan restoran ini. Kurasa diam-diam dia mengambil gambarmu untuk meyakinkanku bahwa dia telah benar-benar menemukanmu." Aku mencengkeram ujung meja saat mendengar penjelasan Mas Enggar. Dari tadi aku ingin menanyakan dari mana dia mengetahui keberadaanku di sini. Bukan tanpa sebab, karena tak seorang pun dari keluargaku tahu

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 12

    Dunia yang SempitSesuai rencana hari ini aku akan kembali meninjau lokasi pembangunan di kawasan Baturraden. Sejak pertama aku ke kota ini, rasanya sulit sekali tak jatuh cinta pada tempat ini. Lokasinya yang berada di kaki Gunung Slamet membuat hawa sejuk mudah sekali dinikmati. Belum lagi lokasinya yang tak jauh dari pusat kota kabupaten Banyumas yang membuatnya menjadi tempat wisata yang cukup strategis. Oleh karenanya aku sangat serius untuk membuka kafe dengan konsep yang sudah kumatangkan betul apalagi saat aku bertemu investor yang siap menggelontorkan dananya untuk pembangunan kafe ini. Aku menekan tombol-tombol di ponselku untuk kembali menghubungi Satya. Entah sudah berapa kali aku menghubunginya dan belum sekalipun dia mengangkat panggilanku. Padahal kami sudah sepakat untuk bertemu di restoran taman tak jauh dari lokasi yang akan kami tinjau ulang. Sedangkan Pak Rama sendiri, dia sudah berkata dalam perjalanan ke tempat itu. Tak mungkin membuatnya menunggu. "Apakah dia

Latest chapter

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 93

    "Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 92

    "Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 91

    “Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 90

    Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 89

    Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 88

    Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 87

    Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 86

    Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 85

    “Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah

DMCA.com Protection Status