Senyumnya yang mengembang sempurna bertolak belakang dengan diriku. Menarik sudut bibir pun aku tak mampu. Bukan aku tak tahu rasa apa yang dia simpan di dalam hatinya untukku. Semua terpancar dengan begitu nyata. Bahkan orang-orang yang baru pertama melihat kami pun akan dengan mudah menebaknya. "Sat, kau tahu bukan apa yang akan kukatakan? Berapa kali aku harus mengatakan hal yang sama padamu?" Aku menunduk, memainkan jemariku yang justru seketika dingin melihat tatapan hangat lelaki itu. "Aku siap menunggu, sungguh." Aku menggeleng. Rasanya apa yang akan dia lakukan hanya sia-sia. Aku tak mau membuatnya menghabiskan waktu untuk hal yang tidak ada gunanya sama sekali. "Tidak. Jangan, Satya. Aku sudah tahu ujung cerita ini kemana. Hanya kecewa yang akan kau temui di sana. Jangan membebani hidupmu dengna mencintai orang yang salah.""Kau bukan Tuhan, Rindu." "Maaf, jangan membuatku mengambil keputusan lain. Aku bisa saja memilih pergi daripada membuat hidupmu yang sudah banyak me
Bisakah Hati Memilih? "Maaf, Mbak Rindu. Aku tak tahu kau jadi datang, oleh karenanya kedua teman lamaku ini kuminta duduk bersama denganku," ucapnya lagi. Aku berusaha tersenyum meski begitu canggung. "Kenalkan, ini Giandra, dia adik sepupu sahabatku. Belum lama dia bertugas di sini. Dan ini istrinya, Aluna. Kebetulan sekali kami bertemu di sini." Pak Rama lanjut memperkenalkan kedua orang yang sejatinya sudah amat kukenal. "Kudengar dia tinggal di komplek perumahan Permata. Bukankah kau juga tinggal di sana , Mbak Rindu?" Pertanyaan Pak Rama membuatku terkesiap. Begitu pula dengan kedua manusia itu. Kurasa wajah mereka pun lebih pucat dari wajahku. Aku berusaha tersenyum. "Benarkah? Kalau begitu kita tetangga." Aku berusaha bersikap sewajar mungkin. Kulihat Aluna, wanita ular itu, meremas tas mahalnya. Entah mengapa aku mulai menikmati pemandangan ini dan merasa wajah-wajah pucat itu cukup menghiburku. "Baiklah. Kau tak keberatan bukan mereka ikut bergabung di meja kita? Kurasa
Satya mengangguk menjawab pertanyaanku. Dengan memperhatikan tangan kanannya dia memberikan penjelasan padaku. "Ada dislokasi di sekitar bahu. Tak terlalu serius, hanya saja memang harus diperbaiki." Aku menautkan kedua alisku sambil bergidik ngeri. Nyeri yang dirasakan Satya seolah tersalurkan padaku. Kusentuh lengannya perlahan. "Apakah sakit?" Lelaki itu tertawa lirih. "Oleh karenanya aku tak ingin memberitahumu. Aku lupa memberitahu Pak Rama untuk merahasiakan ini dari. Bodoh sekali aku ini." Satya seolah menertawakan dirinya sendiri. "Aku tahu kau takut sekali mendengar kata operasi bukan? Apalagi adegan berdarah-darah yang pasti membuatmu tak bisa tidur semalaman. Aku masih ingat bagaimana kau muntah-muntah hingga syok melihat Denta yang jarinya teriris pisau di restoran. Apalagi setelah kuberitahu aku kecelakaan. Aku tak ingin membuatmu tak nyaman, Rindu." Aku tertunduk. Di saat seperti ini pun Satya masih memikirkan traumaku. Terkadang aku membenci sekali perlakuan berl
Genderang Perang "Siapa Satya? Lelaki yang biasa bersamamu itu? Yang selalu menempel pada Bintang dan memposisikan dirinya seperti seorang ayah baginya?" Giandra berdiri di depan pintu rumahku, berucap dengan matanya yang merah mengisyaratkan api yang berkobar di dalam sana. Luar biasa sekali beraninya dia menumpahkan amarahnya seolah semua ini adalah urusan yang harus diketahui betul olehnya. Aku tersenyum sinis, hanya menaikkan salah satu sudut bibirku pada lelaki tak tahu malu di depanku. Kaca mata yang bertengger di atas hidungnya tak mampu menghalau semburat rasa yang seharusnya tak perlu dia tampakkan. "Atas dasar apa kau tak punya malu menanyakan hal tersebut padaku?" Mata lelaki itu terbuka lebar. Kurasa kalimatku cukup memberi pukulan telak untuknya. Aku kembali menyeringai. "Jangan lupa posisimu, Giandra. Kita berdua bukan siapa-siapa. Tak ada ikatakan apapun yang membuatmu berhak ikut campur dalam urusanku." Datar, namun kurasa cukup mampu membuat lelaki di depanku in
"Ya, aku rasa kau cukup tahu diri. Jadi sekarang pergilah, Giandra. Lupakan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Anggap kita tak pernah mengenal. Mari saling menghilang, dan tidak perlu saling menemukan satu sama lain selamanya. Jika pun kita harus bertemu, anggaplah yang kau temui itu Rindu yang baru, bukan Rindu si bodoh yang sudah kau rampas hak hidup dan juga kehormatannya di masa lalu. Rindu yang kau kenal sudah mati, dia tak akan pernah kau temui lagi di dunia ini." "Rindu, izinkan aku mengenal Bintang lebih jauh." Kulayangkan tatapan penuh kebencian pada makhluk di depanku. Apakah seluruh kalimatku tak bisa dia cerna dengan baik? Kurasa dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata itu mampu menangkap seluruh maksud perkataanku. "Jangan memulai perdebatan lagi, Giandra. Bukankah kau tahu jawaban apa yang akan kukatakan atas permintaan bodohmu itu? Ingat, diammu saat orangtuamu menyuruhku menggugurkan kandunganku sama artinya dengan kau pun mengamini permintaan mereka. Kau setu
Eh? "Apa?" "Wangi mana antara Bintang dan Om Satya?" ulang Bintang. Refleks, seketika aku mengambil posisi duduk. "Bintang? Kok tanyanya seperti itu?" Aku menatap anakku tak percaya. "Kenapa, Ma? Bukankah Mama dan Om Satya akan menikah?" Kembali aku tertegun dengan pertanyaan anak sekecil itu. Mengapa Bintang tiba-tiba bertanya hal yang menurutku tak pantas itu? Dan soal menikah, mengapa pikiran itu melintas di pikirannya? "Ma, Bintang ingin punya Papa." Lirih, tapi cukup terdengar jelas di telingaku. Bintang meminta sesuatu yang membuatku terdiam, tak mampu berucap untuk menjawab pertanyaannya. "Bintang ingin sekolah dijemput Papa. Teman-teman Bintang bertanya, dimana Papa Bintang saat ini? Apakah dia bekerja jauh? Mengapa tak pernah menjemput Bintang di sekolah?" Kurasakan hatiku yang mulai gerimis. Aku tak mampu mencegah mataku yang mulai mengabur setelah mendengar pertanyaan anakku. "Bintang diledek teman-teman di sekolah?" tanyaku perlahan. Campur aduk kurasakan saat ini
Kedatangan Tamu Tak Diundang Kutatap lekat-lekat barisan nomor yang begitu asing di ponselku. Kuputuskan untuk menggeser tombol warna hijau dan segera meletakkan benda itu di telinga kiriku. "Halo.""Wanita tak tahu diri, kau kira siapa berani menganggu suamiku? Kau kira dengan bersenjatakan anak yang tak jelas asal-usulnya itu bisa membuat Mas Ganin berpaling padamu? Cuih. Kau menjijikkan sekali, Rindu! Jangan harap kau akan hidup tenang setelah berani berbuat securang itu padaku! Mas Ganin tak akan mendatangi rumahmu kalau bukan kau yang mengundangnya, pelac*r!" Aku tertegun. Kupastikan suara siapa yang kudengar dengan kalimat sarkastiknya. Belum sempat membalas, kembali kudengar sumpah serapah dari wanita di seberang sana. "Apakah kau gat*l karena lama tak terjamah pria lain, hah? Hingga kau harus meracuni otak suamiku agar mendatangi rumahmu? Kau kira aman tak terpantau dari mataku?" Suara Aluna berteriak membabi buta. Kutarik napas perlahan, kutekan dadaku kuat-kuat hingga p
"Gimana, sembuh?" tanyaku saat kulihat Satya berjalan tertatih dengan kruk di tangannya. Aku yang tengah berada di ruang pantry setengah berlari ke arah lelaki itu. "Gila sih, tinggal istirahat di rumah dulu sampai sembuh. Kau tak percaya padaku mengelola tempat ini sendiri?" Barisan gigi rapi lelaki di depanku terlihat begitu jelas. Kutarik kursi di meja sudut tempat favoritnya selama ini. Satya mengedarkan pandangannya ke penjuru tempat ini. "Mana Bintang?" tanyanya. "Baru masuk dan Bintang yang kau tanyakan?" balasku agak sewot. "Lalu kau ingin aku bertanya apa?kabarmu?" Aku memutar bola mata dengan malas. Mengapa dia bertanya demikian? "Aku rindu sekali dengan anak itu," ungkap Satya. Kuletakkan segelas air mineral di depan lelaki itu. "Minggu ini dia ada mid semester. Aku memintanya untuk istirahat di rumah. Jika dia kemari, aku khawatir tenaganya habis kesana kemari tak kenal lelah." Satya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Kulihat dia cukup kekusahan membuka air
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah