Share

BAB 17

Penulis: Yuli Zaynomi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ya, aku rasa kau cukup tahu diri. Jadi sekarang pergilah, Giandra. Lupakan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Anggap kita tak pernah mengenal. Mari saling menghilang, dan tidak perlu saling menemukan satu sama lain selamanya. Jika pun kita harus bertemu, anggaplah yang kau temui itu Rindu yang baru, bukan Rindu si bodoh yang sudah kau rampas hak hidup dan juga kehormatannya di masa lalu. Rindu yang kau kenal sudah mati, dia tak akan pernah kau temui lagi di dunia ini."

"Rindu, izinkan aku mengenal Bintang lebih jauh."

Kulayangkan tatapan penuh kebencian pada makhluk di depanku. Apakah seluruh kalimatku tak bisa dia cerna dengan baik? Kurasa dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata itu mampu menangkap seluruh maksud perkataanku.

"Jangan memulai perdebatan lagi, Giandra. Bukankah kau tahu jawaban apa yang akan kukatakan atas permintaan bodohmu itu? Ingat, diammu saat orangtuamu menyuruhku menggugurkan kandunganku sama artinya dengan kau pun mengamini permintaan mereka. Kau setu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanie Abdullah
Sudahlah Rindu terima lah Satya , dia baik padamu dn menyayangi Bintang anakmu, lagi pula dngan adanya Satya akan ada pria yang melindungimu dari Giandra dn kroco kroconya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 18

    Eh? "Apa?" "Wangi mana antara Bintang dan Om Satya?" ulang Bintang. Refleks, seketika aku mengambil posisi duduk. "Bintang? Kok tanyanya seperti itu?" Aku menatap anakku tak percaya. "Kenapa, Ma? Bukankah Mama dan Om Satya akan menikah?" Kembali aku tertegun dengan pertanyaan anak sekecil itu. Mengapa Bintang tiba-tiba bertanya hal yang menurutku tak pantas itu? Dan soal menikah, mengapa pikiran itu melintas di pikirannya? "Ma, Bintang ingin punya Papa." Lirih, tapi cukup terdengar jelas di telingaku. Bintang meminta sesuatu yang membuatku terdiam, tak mampu berucap untuk menjawab pertanyaannya. "Bintang ingin sekolah dijemput Papa. Teman-teman Bintang bertanya, dimana Papa Bintang saat ini? Apakah dia bekerja jauh? Mengapa tak pernah menjemput Bintang di sekolah?" Kurasakan hatiku yang mulai gerimis. Aku tak mampu mencegah mataku yang mulai mengabur setelah mendengar pertanyaan anakku. "Bintang diledek teman-teman di sekolah?" tanyaku perlahan. Campur aduk kurasakan saat ini

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 19

    Kedatangan Tamu Tak Diundang Kutatap lekat-lekat barisan nomor yang begitu asing di ponselku. Kuputuskan untuk menggeser tombol warna hijau dan segera meletakkan benda itu di telinga kiriku. "Halo.""Wanita tak tahu diri, kau kira siapa berani menganggu suamiku? Kau kira dengan bersenjatakan anak yang tak jelas asal-usulnya itu bisa membuat Mas Ganin berpaling padamu? Cuih. Kau menjijikkan sekali, Rindu! Jangan harap kau akan hidup tenang setelah berani berbuat securang itu padaku! Mas Ganin tak akan mendatangi rumahmu kalau bukan kau yang mengundangnya, pelac*r!" Aku tertegun. Kupastikan suara siapa yang kudengar dengan kalimat sarkastiknya. Belum sempat membalas, kembali kudengar sumpah serapah dari wanita di seberang sana. "Apakah kau gat*l karena lama tak terjamah pria lain, hah? Hingga kau harus meracuni otak suamiku agar mendatangi rumahmu? Kau kira aman tak terpantau dari mataku?" Suara Aluna berteriak membabi buta. Kutarik napas perlahan, kutekan dadaku kuat-kuat hingga p

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 20

    "Gimana, sembuh?" tanyaku saat kulihat Satya berjalan tertatih dengan kruk di tangannya. Aku yang tengah berada di ruang pantry setengah berlari ke arah lelaki itu. "Gila sih, tinggal istirahat di rumah dulu sampai sembuh. Kau tak percaya padaku mengelola tempat ini sendiri?" Barisan gigi rapi lelaki di depanku terlihat begitu jelas. Kutarik kursi di meja sudut tempat favoritnya selama ini. Satya mengedarkan pandangannya ke penjuru tempat ini. "Mana Bintang?" tanyanya. "Baru masuk dan Bintang yang kau tanyakan?" balasku agak sewot. "Lalu kau ingin aku bertanya apa?kabarmu?" Aku memutar bola mata dengan malas. Mengapa dia bertanya demikian? "Aku rindu sekali dengan anak itu," ungkap Satya. Kuletakkan segelas air mineral di depan lelaki itu. "Minggu ini dia ada mid semester. Aku memintanya untuk istirahat di rumah. Jika dia kemari, aku khawatir tenaganya habis kesana kemari tak kenal lelah." Satya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Kulihat dia cukup kekusahan membuka air

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 21

    Orang-orang dari Masa LaluWanita dengan rambut sebahu dan sedikit bergelombang itu duduk di depanku. Warna bibirnya makin terlihat menyala terang berpadu dengan kulit wajahnya yang begitu terawat. Matanya sibuk menelisik setiap inci tubuhku, sesekali mengernyit keheranan saat netranya itu menangkap sesuatu yang dinilainya janggal. Seperti saat matanya itu melihat jam di pergelangan tanganku. Kuyakin dia yang paham mode akan begitu mudah menerka harga barang yang kukenakan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Seolah tak mampu melawan takdir, sela-sela jemari yang mulai keriput itu tetap menunjukkan usia asli pemiliknya. "Kelihatannya kau hidup begitu layak di sini." Ucapan itu keluar disertai seringai intimidasinya padaku. Aku diam, mencoba mendengar alasan yang membawanya kemari, menemui seseorang yang enam tahun lalu pernah dihinanya habis-habisan. Kuredam gejolak emosiku. Benci sekali rasanya, kehidupan yang mulai tertata rapi kembali berantakan karena pertemuan dengan orang-

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 22

    Sungguh, hinaan itu membuatku tak mampu berkutik. Tidak hanya menyangkal tuduhanku atas putranya, wanita angkuh itu pun menuduhkan hal yang begitu keji. Dan kedatangan wanita itu kemari mau tak mau membuka memori lama yang sejatinya sudah ingin kuhapus dari ingatanku. "Tentu saja baik. Seperti yang kau lihat," jawab ibu kandung Giandra. Aku tersenyum tanpa mengalihkan sedetik pun pandanganku dari wajahnya. Wajah yang terlihat awet muda karena perawatan ala sultan yang pasti dia lakukan hampir tiap bulan. "Ah, syukurlah. Aku lega mendengarnya," jawabku sedikit retoris. "Apakah kau berharap aku mati? Atau… hidup nelangsa setelah memberi pelajaran padamu?" Aku tergelak. "Anda lucu sekali, Bu. Lalu… Apa yang membawa Anda kemari? Sebentar, bisakah aku menebak?" kataku menggantung kalimat. "Apakah menantumu yang menyuruh ibu mertuanya kemari untuk menemuiku?" Kulihat tangan itu meremas tas warna hijau yang kuyakin sebagai tas edisi eksklusif sebuah produk impor ternama. "Apa kau yan

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 23

    Mencegah PertemuanHari ini sengaja aku menjemput Bintang di sekolahnya. Bu Raya—guru kelasnya—memintaku untuk hadir karena ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Tak masalah, mulai hari ini Satya sudah berangkat normal lagi ke restoran. Aku meminta izin padanya untuk datang telat sekaligus memberitahu alasannya. Kebetulan aku pun memiliki urusan di bagian tata usaha sekolah itu untuk membayar biaya kunjungan anak-anak TK ke sebuah gerai makanan siap saji. Acara yang rencananya akan dilaksanakan pekan depan itu cukup membuat Bintang antusias. Dengan mengenakan tunik polos warna mint dan pasmina warna senada kulangkahkan kaki di halaman sekolah yang nampak lengang. Anak tangga yang tidak terlalu tinggi pun memudahkan mereka masuk ke dalam ruangan dengan aman. Area halaman pun dilengkapi taman yang membuat suasana makin terasa segar. Kuedarkan pandangan ke sekitar bangunan. Gabungan antara warna putih yang netral serta detail batu bata pada dinding di sekitar eksteriornya mampu

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 24

    Kulihat Bu Raya mulai bereaksi. Dia mengangguk perlahan yang sontak membuat hatiku memanas. Kupalingkan wajah ke arah lain. Tak mungkin kulampiaskan kekesalanku pada wanita lembut di depanku. Semarahnya diriku, aku tak mungkin mempermalukan diriku sendiri dengan berbuat amoral. "Setelah kejadian itu, tiap Rabu dan Jumat Pak Giandra selalu kemari. Kami tak menaruh curiga, hingga sebuah pertanyaan terlontar dari anak-anak untuk Bintang." Bu Raya sedikit tertunduk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Anak-anak bertanya, apakah Pak dokter adalah ayah Bintang? Mereka berdua sangat mirip. Dan Bintang… dia terlihat terpukul sekali." AstaghfirullahItukah yang membuat Bintang akhir-akhir ini sering menanyakan soal kepergian ayahnya? Hingga membahas soal perkiraannya bahwa aku dan Satya akan menikah? Gusti, berapa berat kerja kepala anak sekecil itu menanggung pemikiran seperti orang dewasa? Aku bodoh, aku terlalu terhanyut dengan pekerjaanku hingga membuat Bintang sedikit terabaikan. Tak hanya

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 25

    Bidadari Tanpa Sayap Mataku tiba-tiba mengabur memandang jalanan sempit yang pernah menjadi saksi perjuanganku sekadar untuk menegakkan tubuh. Warteg tempat Bu Solihah itu kini sudah diambil alih keponakannya setelah wanita berhati mulia itu meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tepatnya seminggu sebelum Bintang lahir. Sungguh aku kehilangan bidadari nyata dalam dunia ini. Ingatanku bergerak cepat ke masa-masa itu. Aku yang kalut karena diusir Ayah dari rumah hanya mendekap tas gendong dengan beberapa potong baju di sebuah sudut terminal. Entah mengapa kakiku melangkah ke sana. Rasanya aku hampir putus asa saat itu. Uang yang kupegang tak lebih dari seratus ribu karena sudah kugunakan untuk mengangkot ke rumah Giandra yang akhirnya hanya berakhir kekecewaan. Bayangan bunuh diri sempat melintas beberapa kali. Namun kesadaran akan adanya kehidupan di rahimku membuatku segera menepis pikiran buruk itu. Tak mungkin membawanya mati dalam keadaan sehina itu. Tak mungkin pula aku haru

Bab terbaru

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 93

    "Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 92

    "Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 91

    “Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 90

    Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 89

    Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 88

    Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 87

    Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 86

    Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng

  • Anakku Tak Diakui Ayahnya    BAB 85

    “Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah

DMCA.com Protection Status