Lamat-lamat kudengar suara berisik dari arah depan rumah. Aku terkejut saat melihat jam dinding yang menunjuk angka setengah enam pagi. Astaga! Aku hampir melewatkan waktu sholatku. Tanpa berpikir dua kali aku segera ke kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian sholat dengan sedikit tergesa. Kurasa efek teramat lelah membuatku tak mampu mendengar suara adzan subuh. Tiba-tiba hatiku kembali gerimis. Bayangan wajah Ayah dangan kopyah usangnya melintas di kepalaku. Baju koko putih entah dari lebaran berapa tahun yang lalu selalu setia menemani langkah lelaki itu menunaikan kewajibannya. Sungguh aku merasa sangat kecewa pada diriku sendiri. Demi mewujudkan cita-citaku entah harus berapa ratus kali dia selalu mengabaikan kepentingannya. Tak pernah kulihat ada baju baru yang melekat di tubuh tuanya. Uang pensiunan yang tak seberapa didekap erat ibu tiriku tanpa bisa disentuh oleh tangan lelaki itu. Untuk menyekolahkanku Ayah mengandalkan tenaganya yang sudah ringkih itu menjadi buruh k
Lelaki Tak Tahu DiriBetapa kaget diriku saat seorang laki-laki tanpa memakai baju hingga memperlihatkan tato di punggungnya tengah tertidur di atas kasur yang tadi kugunakan. Teriakanku tak memberi reaksi apapun pada tubuh kekar di atas ranjang itu. "Kenapa? Ada apa?" Bu Solihah nampak pucat saat mendekati tubuhku. Matanya menatap ke arah yang sama denganku, dimana seorang lelaki masih terlelap dalam tidurnya. "Astaghfirullah!" Bu Solihah beranjak mendekat ke arah ranjang. Dilemparkannya kaos yang terletak di sudut ranjang ke atas tubuh lelaki itu. "Mas, Mas Satya! Bangun. Kenapa nggak bilang dulu mau kemari?" Nampak tangan Bu Sol menggoyangkan tubuh lelaki yang akhirnya kutahu bernama Satya. Lelaki itu menggeliat, hingga kemudian dia mengambil posisi duduk. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Pakai bajunya!" perintah Bu Sol padanya. Dengan ekor mataku kulihat Satya memakai kaos yang semula teronggok di sudut kasur. "Kenapa tiba-tiba kemari?" tanya wanita itu lagi.
"Pak Rama bilang pembangunan akan mulai dilaksanakan minggu depan," ucap Satya saat aku menyesap kopi pertamaku sambil memandang krisan warna oranye yang kuletakkan di dekat tempat cuci tangan. Kabar yang disampaikan Satya membuatku hampir berjingkat bahagia. "Dia ingin kita pun hadir di peletakan batu pertama di sana." Satya benar-benar totalitas memberikan informasi yang membahagiakan. Jika dia seorang wanita, sudah pasti kupeluk lelaki itu begitu erat karena rasa bahagiaku. "Pak Rama benar-benar serius dengan proyek kerja sama ini. Dia berharap kita pun akan total memberikan sentuhan tempat itu sesuai proposal yang sudah disepakati bersama." Aku mengangguk mantap. Rasanya ada sesuatu yang meletup-letup di dalam dadaku. "Benarkah? Kapan dia memberitahumu? Mengapa aku tak dengar langsung?" tanyaku bertubi-tubi. Satya tersenyum lebar. Dia yang mengenakan sweater warna mocca dan denim jeans terlihat begitu casual dengan tampilannya kali ini. "Kemarin dia kemari. Saat kau ke sekolah
Kedatangan Ibu Tiri "Alhamdulillah kamu sehat, Rindu!" Sebuah tangisan dari seorang wanita yang memakai gamis lusuh membuatku bergeming di tempatku berdiri. Tanpa aba-aba, wanita yang akhirnya kuketahui adalah ibu tiriku memeluk kakiku, bersimpuh dengan tangisan yang menggema di ruang tamu rumahku. Wanita yang pernah mengukir lara di masa laluku itu meraung seolah tengah menumpahkan duka yang tak mampu ditahan dadanya. "Rindu, ibu khawatir sekali dengan kehidupanmu setelah kau pergi dari rumah," ucapnya di sela tangisan. Aku masih diam, mencoba menyadarkan diri pada keadaan di depanku. "Maaf, Rindu. Ibu tak bisa mencegah ayahmu mengusirmu dari rumah. Ya Allah… tiap malam aku menangis memikirkan kehidupan yang kau jalani di luar sana. Maaf Rindu… aku sangat menyesal tak mampu membelamu… ." Tangisan kembali kencang, dan justru membuatku muak. Mana mungkin aku percaya dengan apa yang dia katakan? Bahkan aku pun tahu dia bekerja sama dengan Aluna untuk memfitnahku. Dia memotretku dia
"Dan satu lagi, kalau Ibu bukan orang lain, mengapa dengan tega kau membuat persekongkolan jahat dengan Aluna?!" Wanita itu makin pucat pasi mendengar kalimatku yang pasti amat memojokkannya. Dia tertunduk, entah karena marah atau malu bahwa kebobrokannya berhasil kukuliti bersih. Hei, apa dia kira aku sudah melupakan segalanya? Dia kira aku sudah memaafkan kejahatannya? "Maaf, Rindu. Ibu terpaksa. Aluna memberi iming-iming uang saat itu." Jawabannya memang sesuai dugaanku. Segala kecurangan wanita bergelar ibu tiriku itu tak jauh-jauh dari persoalan uang. Entah setan apa yang bersemayam di otaknya hingga rasa kemanusiannya terpangkas habis demi lembaran-lembaran rupiah. Sungguh, dadaku hampir meledak saat ini. Apalagi melihatnya yang mulai berkaca-kaca saat menatapku. Aku terenyuh? Jangan harap. Hatiku kebas, tak mampu lagi menerima segala bentuk permintaan maaf bahkan sekadar penyesalan sekalipun! "Kau sungguh berubah, Rindu." "Ibu adalah salah satu orang yang berhasil meng
Sekalian saja kucecar wanita di depanku ini. Tak kupedulikan wajahnya yang mulai merah paham khasnya saat tengah emosi. Kurasa kalimatku cukup memberi pukulan-pukulan telak pada dirinya. "Tentu saja Ibu tak puas jika tak melihat langsung sendiri." Ucapannya membuatku pura-pura mengerti dan percaya dengan apa yang dia katakan. Bukan aku bodoh, aku mampu menebak tujuan apa yang membuat lintah ini mendekat pada daging segar yang kini tersedia begitu mudah di rumahku. Aku tahu kemana pikirannya berlabuh. Aku tersenyum licik. Aku tidak ingin kalah dengan wanita ini. Dia yang dulu memperlakukanku bak binatang tak akan mendapatkan penghormatan apapun di rumahku. Aku tak bodoh, tak mungkin lupa juga dengan tiap detil perlakuannya padaku. "Apakah sang pemberi info tak menjelaskan pekerjaan apa yang kutekuni akhir-akhir ini?" Sengaja kutekan kata sang pemberi info pada kalimatku. Aku hanya mengarah pada dua orang itu yang telah memberi info padanya. "Rindu, kau… kau… tidak melakoni perkerja
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah