Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.
Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu. Aku tersenyum sambil memajukan bibirku. "Biasanya kaya up*l, nempel terus." Aku tergidik dengan perumpaan yang dipakai oleh wanita tinggi semampai itu. Tubuhnya yang proporsional dengan wajah oriental membuat wanita ini terlihat begitu memikat. "Apaan sih, kenapa mesti memakai kata up*l coba? Jorok Mba Dena!" Aku meninju pelan lengannya. Kudengar tawa renyah wanita itu. Tak lama aku diajak masuk ke ruangan kerjanya yang berada di lantai dua butik miliknya. Kagumku bertambah melihat bangunan lantai dua yang direnovasi belum lama. Bagian belakang diperluas dengan memanfaatkan sisa tanah yang ada. Mba Dena benar-benar tak main-main memajukan bisnisnya ini. Beruntung semua ide dan keinginan wanita itu didukung pula oleh keluarganya, terutama sang suami, pemilik beberapa counter handphone terkemuka di kota ini. "Mba. Gila ini, habis berapa renovasi beginian?" tanyaku yang masih terheran. Wanita itu tersenyum simpul menanggapi pertanyaanku. "Nggak banyak. Cukuplah, daripada duit lakiku diambil semua sama gund*knya, mending kumanfaatkan dulu buat jaga-jaga. Misalnya memperbesar butik seperti ini, Ndu." Aku makin tercengang dengan jawaban wanita itu. Kupastikan apa yang kudengar barusan bukan kekeliruan."Kenapa kaget? Wajarlah namanya lelaki. Usaha maju, istri mandiri, anak-anak sehat dan pintar , keluarga bahagia. Ehh.. Ada aja blangsaknya. Namanya cobaan hidup, pasti tiap orang punya kan, Ndu?" ucap Mba Dena mengambil beberapa contoh gambar pakaian yang akan kupesan. Sesaat kemudian dia memberikannya padaku yang masih bergeming di tempatku berdiri. "Nggak usah kaget. Dah cepet milih mau yang gimana modelnya. Bahan brokat prancis 'kan?" Aku mengangguk karena bahan sudah kutentukan jauh-jauh hari. Untuk model memang kuserahkan sesuai rancangan Mba Dena. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan seluruh rancangan yang dibuatnya. "Yang ini, Mba. Cuma bagian bagian dada jangan terlalu diekspos. Toh nanti kututup dengan pasminaku." Aku menunjuk model yang mencuri perhatianku. Mba Dena mengangguk dan menandai pesananku."Mba, yang tadi serius?" tanyaku. Wanita itu melipat dahinya sebelum tertawa jenaka. "Serius. Mas Anton main gila sama salah satu pegawai di counter. Awalnya dia main rapi, entah berapa lama aku kecolongan. Yang jelas suatu ketika ponsel yang biasa dia gunakan itu tertinggal, akhirnya aku bisa melihat semuanya. Tahu apa yang kurasakan saat itu? Aku merasa jadi wanita paling tolol sedunia. Bisa-bisanya mereka sudah menikah, si sund*l itu bahkan sedang hamil sekarang. Dan yang lebih bikin sakit hatiku berlipat-lipat, pernikahan mereka disaksikan oleh keluarga besar Mas Anton. Selama ini mereka tahu dan membiarkan perselingkuhan Mas Anton. Tahu alasannya apa? Mereka bilang aku tak cakap mengurus suami. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Lalu apakah mereka lupa, darimana Mas Anton mendapatkan modal hingga usahanya sebesar ini? Keringatkulah yang dipakai, Rindu. Ish, kalau ingat itu semua rasanya aku ingin meninju ibu mertuaku yang entah dimana otaknya diletakan sekarang. Kesal aku sama mereka. Minta cerai sekarang ya aku sayang dong, hartanya belum kukuras semuanya. Enak saja, lagi kere aku yang ikut banting tulang, giliran kaya raya aku mau disisihkan. Kusabarkan saja dulu,kalau udah dapat banyak baru kulepas. Nggak sudi juga barengan suami sama orang lain. Pikiranku kaya rebutan barang bekas gitu. Ogah!" Dadaku mendadak sesak membayangkan menjadi Mba Dena. Kehidupannya yang kulihat begitu mapan dan nyaman, siapa yang tahu kemelut di dalamnya? Bahkan masalah yang dia hadapi bukan hal remeh temeh, ini masalah keutuhan rumah tangganya. Bukan main Mba Dena masih bisa berdiri setegar ini sekarang. Apa yang menimpa Mba Dena membuat mataku terbuka lebar. Setiap orang mempunyai masalah, tinggal bagaimana cara kita menghadapi dan berjuang menaklukannya. Sejauh ini Mba Dena berhasil menurutku. "Mba Den…" panggil sebuah suara dari depan pintu. Aku yang tengah memangku katalog model kebaya lantas menoleh ke sumber suara. Mataku membola memandang siapa sosok wanita yang memanggil Mba Dena dengan begitu akrab. Begitu pun dia, yang bahkan kedua alisnya tersentak bersamaan saat mendapatiku berada di ruangan yang sama dengannya. Lututku gemetar dengan kedua telapak tangan yang mendadak berkeringat. Mengapa pertemuan dengan orang-orang dari masa lalu yang ingin kuhilangkan ini begitu tiba-tiba dan beruntun?Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota
"Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar
Hanya Aku dan Bintang Aku datang ke restoran jam sebelas siang. Sebelumnya aku sudah meminta izin Satya untuk datang agak telat karena ada urusan di sekolah Bintang. Hari ini acara pembagian raport, jadi mau tidak mau aku harus menyempatkan diri mengambil laporan hasil belajar anakku selama setengah tahun terakhir. Tak mungkin aku meminta Mba Tini untuk mengambilkannya, hingga pengasuh anakku itu kuminta istirahat hari ini. Sedangkan Bintang sendiri kuajak ke restoran karena beberapa kali dia memintanya demikian. "Sepagi ini sudah ada yang ngapel. Apaan banget sih, Ndu!" ucap Satya dengan sorot mata penuh penghakiman namun dengan mimik yang dibuat lucu. Aku menautkan kedua alisku bermaksud mempertanyakan kalimatnya. Dengan gerakan dagunya dia menunjukkan salah satu sudut dimana seorang laki-laki duduk. Tentu saja membuatku sedikit bertanda tanya siapa yang sudah mendatangiku sepagi ini. "Bukan customer biasa, Sat?" tanyaku meletakkan tas selempang di ruanganku. Dia menggeleng sambi
"Anakmu?" Dia menoleh ke arah Bintang yang tengah memainkan ponsel Satya, kebiasaan buruk yang berulang kali kucegah. Anakku dan Satya memiliki kebiasaan buruk yang susah kuingatkan. Mereka akan kompak memainkan perasaanku dengan sengaja menentang aturan yang kubuat. "Bodoh. Anak itu memang mirip dengan ayahnya. Kurasa dia akan benar-benar gila dengan rasa bersalah yang menghantuinya setelah ini." Mas Enggar tersenyum getir tanpa menatap mataku. Aku tahu baru saja dia mengumpat Giandra. "Laki-laki itu menemuiku. Dia yang mengatakan telah bertemu denganmu di kota ini. Awalnya aku tak percaya, Rindu. Tetapi dia meyakinkanku hingga mengirimi fotomu saat berada di depan restoran ini. Kurasa diam-diam dia mengambil gambarmu untuk meyakinkanku bahwa dia telah benar-benar menemukanmu." Aku mencengkeram ujung meja saat mendengar penjelasan Mas Enggar. Dari tadi aku ingin menanyakan dari mana dia mengetahui keberadaanku di sini. Bukan tanpa sebab, karena tak seorang pun dari keluargaku tahu
Dunia yang SempitSesuai rencana hari ini aku akan kembali meninjau lokasi pembangunan di kawasan Baturraden. Sejak pertama aku ke kota ini, rasanya sulit sekali tak jatuh cinta pada tempat ini. Lokasinya yang berada di kaki Gunung Slamet membuat hawa sejuk mudah sekali dinikmati. Belum lagi lokasinya yang tak jauh dari pusat kota kabupaten Banyumas yang membuatnya menjadi tempat wisata yang cukup strategis. Oleh karenanya aku sangat serius untuk membuka kafe dengan konsep yang sudah kumatangkan betul apalagi saat aku bertemu investor yang siap menggelontorkan dananya untuk pembangunan kafe ini. Aku menekan tombol-tombol di ponselku untuk kembali menghubungi Satya. Entah sudah berapa kali aku menghubunginya dan belum sekalipun dia mengangkat panggilanku. Padahal kami sudah sepakat untuk bertemu di restoran taman tak jauh dari lokasi yang akan kami tinjau ulang. Sedangkan Pak Rama sendiri, dia sudah berkata dalam perjalanan ke tempat itu. Tak mungkin membuatnya menunggu. "Apakah dia
Senyumnya yang mengembang sempurna bertolak belakang dengan diriku. Menarik sudut bibir pun aku tak mampu. Bukan aku tak tahu rasa apa yang dia simpan di dalam hatinya untukku. Semua terpancar dengan begitu nyata. Bahkan orang-orang yang baru pertama melihat kami pun akan dengan mudah menebaknya. "Sat, kau tahu bukan apa yang akan kukatakan? Berapa kali aku harus mengatakan hal yang sama padamu?" Aku menunduk, memainkan jemariku yang justru seketika dingin melihat tatapan hangat lelaki itu. "Aku siap menunggu, sungguh." Aku menggeleng. Rasanya apa yang akan dia lakukan hanya sia-sia. Aku tak mau membuatnya menghabiskan waktu untuk hal yang tidak ada gunanya sama sekali. "Tidak. Jangan, Satya. Aku sudah tahu ujung cerita ini kemana. Hanya kecewa yang akan kau temui di sana. Jangan membebani hidupmu dengna mencintai orang yang salah.""Kau bukan Tuhan, Rindu." "Maaf, jangan membuatku mengambil keputusan lain. Aku bisa saja memilih pergi daripada membuat hidupmu yang sudah banyak me
Bisakah Hati Memilih? "Maaf, Mbak Rindu. Aku tak tahu kau jadi datang, oleh karenanya kedua teman lamaku ini kuminta duduk bersama denganku," ucapnya lagi. Aku berusaha tersenyum meski begitu canggung. "Kenalkan, ini Giandra, dia adik sepupu sahabatku. Belum lama dia bertugas di sini. Dan ini istrinya, Aluna. Kebetulan sekali kami bertemu di sini." Pak Rama lanjut memperkenalkan kedua orang yang sejatinya sudah amat kukenal. "Kudengar dia tinggal di komplek perumahan Permata. Bukankah kau juga tinggal di sana , Mbak Rindu?" Pertanyaan Pak Rama membuatku terkesiap. Begitu pula dengan kedua manusia itu. Kurasa wajah mereka pun lebih pucat dari wajahku. Aku berusaha tersenyum. "Benarkah? Kalau begitu kita tetangga." Aku berusaha bersikap sewajar mungkin. Kulihat Aluna, wanita ular itu, meremas tas mahalnya. Entah mengapa aku mulai menikmati pemandangan ini dan merasa wajah-wajah pucat itu cukup menghiburku. "Baiklah. Kau tak keberatan bukan mereka ikut bergabung di meja kita? Kurasa
Satya mengangguk menjawab pertanyaanku. Dengan memperhatikan tangan kanannya dia memberikan penjelasan padaku. "Ada dislokasi di sekitar bahu. Tak terlalu serius, hanya saja memang harus diperbaiki." Aku menautkan kedua alisku sambil bergidik ngeri. Nyeri yang dirasakan Satya seolah tersalurkan padaku. Kusentuh lengannya perlahan. "Apakah sakit?" Lelaki itu tertawa lirih. "Oleh karenanya aku tak ingin memberitahumu. Aku lupa memberitahu Pak Rama untuk merahasiakan ini dari. Bodoh sekali aku ini." Satya seolah menertawakan dirinya sendiri. "Aku tahu kau takut sekali mendengar kata operasi bukan? Apalagi adegan berdarah-darah yang pasti membuatmu tak bisa tidur semalaman. Aku masih ingat bagaimana kau muntah-muntah hingga syok melihat Denta yang jarinya teriris pisau di restoran. Apalagi setelah kuberitahu aku kecelakaan. Aku tak ingin membuatmu tak nyaman, Rindu." Aku tertunduk. Di saat seperti ini pun Satya masih memikirkan traumaku. Terkadang aku membenci sekali perlakuan berl
"Lekas pulang atau kau tidur di luar!" ketusku. Tawa Satya kembali berderai. Laki-laki itu masih sempat-sempatnya menggodaku. Bahkan dia merebahkan tubuhnya di sisiku dan bersiap menarik tubuhku jika aku tak segera menghalaunya. "Minggir. Kau bau asap. Aku tak suka!" sungutku. Kini tawa Satya berhenti. Dia memaksa membalikkan tubuhku hingga menghadapnya. Mata beriris coklat itu sejenak menghipnotisku. "Hei, aneh sekali. Kau sedang datang tamu bulanan? " Pertanyaan Satya sukses membuatku tercengang. Ya, seharusnya aku sudah kedatangan tamu bulananku. Tak biasanya jadwal menstruasiku yang rutin itu mundur hingga hampir dua minggu. "Kenapa wajahmu?" tanya Satya sambil mengacak gemas rambutku. Aku menatapnya dengan sedikit tegang. "Kenapa?" ulangnya. "Aku belum menstruasi bulan ini." Jawabanku membuat tangan Satya berhenti seketika. Dia mengambil posisi duduk seraya menarik tubuhku untuk menghadapnya langsung. "Apakah artinya aku akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan wajah b
"Kenapa?" Anak lelakiku menggeleng. Kurasa keterikatan batin itu nyata adanya. Bintang terlihat amat kehilangan meski bibirnya tak berucap apapun. Kupeluk anakku cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tangan kekar mengusap punggungku dengan lembut. Kulepaskan pelukanku pada Bintang dan menoleh ke arah belakang. Satya tersenyum. "Kamu tahu kami di sini?" tanyaku dengan suara sedikit serak. Satya yang langsung mengambil alih tangan Bintang menjawab pertanyaanku tanpa menoleh ke arahku. "Ayahnya Bintang yang ngasih tahu. Bahkan dia meminta izin padaku sebelum meminta kalian bertemu. Aku siapa hingga dia meminta izin terlebih dahulu padaku, bukan?" Satya yang memakai kaus polos warna putih lagi-lagi menutup kepalanya dengan topi warna navy. Bintang nampak sumringah bertemu laki-laki itu. "Jadi kapan Bintang bisa tidur bertiga dengan kalian?" Aku tercengang dengan pertanyaan anakku. Darimana dia mengetahui kosakata semacam itu?"Bintang?" Aku mencoba mengorek informasi darinya. Sayang
“Izinkan aku bersikap selayaknya seorang ayah pada anaknya. Sekali ini saja,” ucap lirih Giandra dengan penuh pengharapan. Mata itu memandangku dengan tatapan sendu. Laki-laki yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya. Dapat kulihat dengan jelas kantung mata yang membuatnya terlihat sedikit pucat. Apakah hidupnya sekacau ini sekarang? Sementara Bu Pertiwi–ibunya, memandang anakku dengan mata berkaca-kaca. Siapapun akan sepakat bahwa wanita itu tengah didera kesedihan yang begitu dalam. Jemarinya terlihat meremas satu sama lain. Tak ada lagi tampilan glamour khas penampilannya selama ini. Aku dilanda perang batin tak berkesudahan selama semalaman tadi. Kalimat Mas Enggar mengenai permintaan Giandra tak bisa kuabaikan begitu saja. Benar kata dia, aku harus ikhlas dengan semua yang sudah menimpaku. Mungkin dengan memaafkan lelaki itu maka hidupku akan lebih ringan ke depannya. Aku tak perlu menanggung beban berat karena rasa sakit hati yang berlarut-larut. “Aku tak mungkin menyakiti
Seketika pandanganku mengarah pada Bintang yang kini masih asyik dengan sekotak frenchfries di hadapannya. Lagi-lagi aku mengaminkan kalimat Mas Enggar. "Paling tidak belajarlah darinya. Harta, jabatan, kekuasaan, bahkan keluarga yang mereka agungkan hingga menolak kehadiranmu yang dianggap tak setara itu kini hanya bersisa puing-puing tak berharga sama sekali. Keluarga Prihandono terpecah, siapa yang menyangka hal itu?" Ya, aku mendengar berita kebangkrutan usaha keluarga itu dari media online yang kubaca. Meski tak berarti aku senang mendengarnya, tetapi rasanya ada kepuasan tersendiri melihat apa yang mereka sombongkan itu tumbang satu persatu. "Kau tahu, ada hal yang jauh lebih mengerikan yang selama ini keluarga Prihandono itu tutup-tutupi dari orang lain." Tiba-tiba aku tergidik ngeri. Bisakah aku mencegah Mas Enggar menjelaskan secara detil apa maksudnya yang dikatakannya? Cukup sudah kenyataan mengerikan yang disimpan oleh keluarga Satya. Mengenai keluarga Giandra, aku ben
Permintaan Terakhir "Laki-laki yang baik. Kelihatannya dia bertanggung jawab. Tetapi …." "Apakah kau tak akan mendapat kesulitan nanti? Latar belakang keluarga kita berbeda. Jarak itu tak akan terkikis sekalipun kita berusaha sekuat tenaga," lanjut Mas Enggar. Wajah lelaki itu menyiratkan keresahan yang amat. Meski sesekali senyum itu terbit di bibirnya, namun sekian lama hidup berdampingan dengannya aku masih paham jika ada hal berat yang menggelayuti pikirannya. Aku paham dengan kekhawatiran itu. Kekhawatiran itu pula yang sempat menghantuiku. Tetapi melihat bagaimana Satya yang gigih meyakinkanku, menerima berbagai jenis penolakanku, semua itu luruh. Tak hanya sekali aku menolaknya, bahkan berkali-kali. Nyatanya lelaki itu bergeming di tempatnya berdiri. Tak ada yang membuatnya surut mundur karena perlakuanku. Dia tetap bertahan dengan apa yang dia yakini. Bukankah tak seharusnya aku berlaku sekejam itu dengan terus-menerus mengabaikannya?"Satya lelaki yang baik, dia bisa me
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kurasa aku sudah membuat seseorang menunggu kami di kafe rooftop yang sudah kami sepakati. Bintang yang duduk di sebelah kursi kemudi yang kini kududuki nampak antusias melihat mobil kami membelah jalanan yang terasa lancar meski di tengah-tengah suasana malam minggu.Aku berusaha mencairkan suasana hatiku dengan mengalunkan lagu yang kini tengah digandrungi kembali setelah diaransemen ulang oleh penciptanya. Penyanyi ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta yang menyanyikannya ulang pun cukup piawai menyanyikan lagu hingga tak kalah dengan penyanyi aslinya.Sesampai di parkiran aku pun langsung menuntun Bintang ke meja dengan nomor yang sudah diberitahukan padaku. Kulangkahkan kaki di antara meja-meja yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Kurasa kafe ini memang menawarkan kenyamanan hingga privasi yang lebih terjaga.Kueratkan genggaman tanganku pada tangan Bintang. Ini kali pertama dia datang kemari, k
Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah