Tiba di titik awal cerita.“Mama, Mama kenapa? Kenapa Mama ninggalin Naka di sana?”Lamunan Soraya buyar saat Nala menanyakan itu padanya. Karena pikiran yang tengah kacau, dia sampai tak menyadari kalau kini dia telah berada di kamar dengan menarik Nala bersamanya. Dia bahkan juga refleks mengunci pintu agar Vino tak menyusulnya ke sini.Dialihkannya pandangan pada sang putri, di mana gadis itu memandangnya dengan heran dan penasaran. Ekspresinya tampak polos bertanya-tanya, bercampur dengan rasa khawatir entah kepada Mamanya ini atau pada saudara – yang dia pikir – kembarannya.‘Tapi Naka….’Bisikan itu muncul di dadanya, bersama dengan rasa sesak. Sekilas dia ingat betapa antusiasnya bocah itu hendak menunjukkan gambar padanya, yang kemudian berubah jadi kecewa saat Soraya mengabaikannya dan hanya membawa pergi Nala, dia bahkan ingat panggilan sedih bocah itu kepadanya.Hatinya hancur sekali. Di satu sisi dia menyalahkan dirinya karena berlaku sekeras itu kepada bocah yang tak tahu
“Ini hasil pemeriksaan lab atas nama Alfarizky Evander, Pak.”Evan menerima amplop kuning dari petugas lab di Rumah Sakit Cahaya Medika itu. Dilayangkannya senyuman pada perempuan muda itu.“Terima kasih ya, Sus.”“Sama-sama, Pak.”Dengan langkah yang sedikit berat, Evan pun bergerak menuju sebuah bangku yang terletak tak jauh dari meja front office rumah sakit tadi. Dia pun mengeluarkan surat yang ada di dalamnya. Lantas matanya dengan cepat meringkas setiap kalimat yang terpampang di sana.Subjek A, Alfarizky Evander, didiagnosis memiliki gejala penyakit Thalasemia yang diturunkan dari Objek Pembanding B atas nama Evalina Megita selaku ibu biologis dari Subjek A.Helaan napas berat pun semakin terlihat di wajah pria itu. Kepalanya tampak tertunduk dengan cukup dalam dan bersedih.‘Malang sekali sih kamu, Nak. Kamu terlahir ke dunia tanpa ibu, lalu sekarang juga divonis penyakit seperti ini. Dan, sayang… tidak, kuharap kamu di atas sana tidak menyalahkan dirimu juga atas semua yang t
Keadaan kediaman Bentala benar-benar terasa sangat berbeda hari ini. Karena sosok Soraya yang biasanya paling aktif mengisi rumah ini dengan kehebohannya, kini malah mengurung dirinya selama berjam-jam di dalam kamar. Tentu saja seketika langsung mengambil alih keceriaan dari orang-orang yang ada di dalamnya.“Mama kenapa masih nggak keluar kamar lalu nggak ikut makan malam dengan kita sih? Kan aneh kalau kita makan duluan kayak gini.”Seluruh perhatian semua orang beralih pada si bungsu Naka yang mengomel dari tempat duduknya. Yang langsung disambut helaan napas berat dan prihatin dari para manusia dewasa.“Tch, kan tadi Kakak udah bilang kalau Mama itu lagi sedih karena teman perempuannya menipu dia. Sehingga itu sebabnya Mama tadi hanya membawa Kakak pergi saja untuk membahas percakapan antara sesama perempuan.” Nala menyahut dengan polosnya. “Kamu kan tadi bilang kalau kamu mengerti dan nggak marah sama Mama karena nyuekin kamu. Kok sekarang udah merengek lagi.”“Naka nggak mereng
“Apa, Pa? Nala dan Naka nggak boleh sekolah dulu? Kenapa, Pa?”Dengan ekspresi yang sangat kecewa, Nala menanyakan itu kepada sang ayah. Tepat setelah Arvino mengatakan sebuah perubahan baru terkait pendidikan kedua buah hatinya.“Hm… bukannya nggak boleh, sayang. Tapi… tapi….” Sambil memutar otak, Vino curi-curi pandang pada Indah yang duduk di seberang meja. Di mana perempuan itu tampak juga memasang ekspresi serius seperti dirinya. “Tapi… kalian hanya rehat sejenak. Karena seperti yang kalian tahu kan, Mama… saat ini sedang nggak enak badan. Jadi kalian lebih baik temani sampai menunggu Mama pulih dulu ya, sayang. Nantinya… kalian bisa sekolah lagi.”Kedua bocah itu serempak saling bertatapan. Lalu kemudian menghela napas dengan berat.“Memangnya apa sakit Mama parah? Apa Mama akan sakit lama?” Nakalah yang saat ini bertanya dengan gelisah. “Lalu kenapa Mama masih tidak ikut sarapan dengan kita hari ini dan harus diantarkan oleh Bibi ke kamar? Mama sebenarnya sakit apa? Kenapa Mama
Salah satu Asisten Rumah Tangga yang sedang membersihkan rumah langsung mendongakkan kepala saat mendengar suara pintu kamar majikannya yang terbuka. Membuatnya menghentikan langkah sejenak, lalu melirik ke arah sana. Matanya tampak membesar saat dilihatnya Soraya menampakkan dirinya dari sana setelah mengunci pintu selama sekitar tiga hari.“Nyonya, akhirnya Anda keluar kamar juga? Apa Anda baik-baik saja?” Walaupun perhatiannya langsung tertuju pada penampilan Soraya yang tampak rapi seakan hendak pergi ke luar. “A-Anda mau ke mana, Nyonya?”“Di mana anak-anak, Bi?” tanya Soraya dengan ekspresi yang terlihat muram. Rona wajahnya juga terlihat sedikit pucat dan tak secerah biasanya.“Mereka ada di belakang sama Ibu, Nyah. Apa perlu perlu saya panggilkan --““Tidak perlu.” Soraya menyela sebelum wanita itu bergerak. “Saya mau pergi. Baguslah kalau mereka ada di belakang, sehingga mereka mungkin nggak akan menyadarinya.”“Tapi, Nyah….”Perempuan paruh baya itu tak bisa menyelesaikan uc
Selesai makan siang bersama Evan, barulah Soraya memeriksa ponsel yang selalu dia bisukan. Matanya kembali menangkap nama-nama familier yang berusaha untuk menghubunginya – suaminya, ibu mertuanya, hingga para Asisten Rumah Tangga. Soraya juga melihat ada banyak pesan dan chat dari mereka, namun dia memilih untuk tak membaca mereka semua.‘Mereka mungkin mengabariku bagaimana Nala dan Naka menangis karena tadi kutinggal. Biarlah dulu. Kuharap mereka mengerti kalau aku masih butuh waktu sebelum mengambil keputusanku tentang semua ini.’Dilayangkannya pandangan menuju sekitaran restoran yang mulai kembali lengang setelah habis jam makan siang. Sama seperti Evan yang telah pamit sejak sekitar sepuluh menit yang lalu, setelah mereka berbicara sejenak tentang semua yang terjadi. Menyisakan dirinya sendiri yang kembali merasa kehilangan arah akan hidupnya sendiri.‘Apa yang harus kulakukan, ya tuhan? Aku harus bagaimana?’“Mbak, akhirnya kamu bisa juga ya menerima kenyataan setelah mengurun
Pelayan tadi pun pergi setelah meletakkan minuman pesanan Ratu. Kembali menyisakan dua wanita yang terus menunjukkan tatapan tajam dan membunuh terhadap satu sama lain. Untunglah mereka menyewa tempat di sudut restoran yang juga sepi, sehingga sepertinya tak ada yang mendengar ujaran penuh aib yang terus tersampaikan.“Berhentilah memutar narasi, Ratu. Kamu pikir saya bodoh sehingga bisa kamu sudutkan seperti ini? Kamu pikir saya nggak tahu apa niatan utama kamu?” Soraya kembali bersuara tak lama kemudian. “Kalau kamu pikir kamu bisa menghasut saya agar meninggalkan Mas Vino hanya untuk keuntungan kamu, kamu salah besar. Sebab apapun yang terjadi nanti, apapun keputusan saya soal pernikahan kami, semua itu nggak akan ada hubungannya dengan kamu. Saya sendiri yang akan memastikan kalau kamu tidak akan mendapatkan hal yang kamu inginkan.”“Jadi tebakan saya benar, kan? Mbak akan tetap bertahan dan menempel pada Mas Vino bahkan setelah mengetahui semua ini?” Ratu kembali tertawa sinis pa
Selesai menghadiri rapat penting dengan pihak direksi, Vino langsung memeriksa ponselnya. Dia ingin tahu apakah Indah dan orang rumah telah berhasil mendapatkan kabar soal keberadaan Soraya yang tadi siang pergi begitu saja tanpa bilang-bilang.“Masih belum?”Vino mengerang setelah mendapat chat dari sang ibu. Dicobanya lagi untuk menghubungi nomor ponsel itu, namun lagi-lagi panggilannya tak diangkat sama sekali. Tiga kali seperti itu.“Plis, sayang. Aku tahu kalau kamu lagi marah dan semuanya adalah kesalahanku. Tapi… tapi kamu juga nggak seharusnya melampiaskannya seperti ini. Oke, aku mengerti kalau kamu masih belum bisa menghadapi anak-anak. Aku pahami kalau kamu pergi diam-diam tanpa sepengetahuan mereka. Tapi kamu sekarang ada di mana? Apa yang kamu lakukan? Aku benar-benar takut kamu celaka karena tak bisa mengendalikan emosi kamu.”Sayangnya dia hanya bisa mengatakan itu pada ruang hampa di sekitarnya. Karena lagi-lagi Soraya menolak untuk berbicara dengannya.Hingga tak lama