“Apa, Pa? Nala dan Naka nggak boleh sekolah dulu? Kenapa, Pa?”Dengan ekspresi yang sangat kecewa, Nala menanyakan itu kepada sang ayah. Tepat setelah Arvino mengatakan sebuah perubahan baru terkait pendidikan kedua buah hatinya.“Hm… bukannya nggak boleh, sayang. Tapi… tapi….” Sambil memutar otak, Vino curi-curi pandang pada Indah yang duduk di seberang meja. Di mana perempuan itu tampak juga memasang ekspresi serius seperti dirinya. “Tapi… kalian hanya rehat sejenak. Karena seperti yang kalian tahu kan, Mama… saat ini sedang nggak enak badan. Jadi kalian lebih baik temani sampai menunggu Mama pulih dulu ya, sayang. Nantinya… kalian bisa sekolah lagi.”Kedua bocah itu serempak saling bertatapan. Lalu kemudian menghela napas dengan berat.“Memangnya apa sakit Mama parah? Apa Mama akan sakit lama?” Nakalah yang saat ini bertanya dengan gelisah. “Lalu kenapa Mama masih tidak ikut sarapan dengan kita hari ini dan harus diantarkan oleh Bibi ke kamar? Mama sebenarnya sakit apa? Kenapa Mama
Salah satu Asisten Rumah Tangga yang sedang membersihkan rumah langsung mendongakkan kepala saat mendengar suara pintu kamar majikannya yang terbuka. Membuatnya menghentikan langkah sejenak, lalu melirik ke arah sana. Matanya tampak membesar saat dilihatnya Soraya menampakkan dirinya dari sana setelah mengunci pintu selama sekitar tiga hari.“Nyonya, akhirnya Anda keluar kamar juga? Apa Anda baik-baik saja?” Walaupun perhatiannya langsung tertuju pada penampilan Soraya yang tampak rapi seakan hendak pergi ke luar. “A-Anda mau ke mana, Nyonya?”“Di mana anak-anak, Bi?” tanya Soraya dengan ekspresi yang terlihat muram. Rona wajahnya juga terlihat sedikit pucat dan tak secerah biasanya.“Mereka ada di belakang sama Ibu, Nyah. Apa perlu perlu saya panggilkan --““Tidak perlu.” Soraya menyela sebelum wanita itu bergerak. “Saya mau pergi. Baguslah kalau mereka ada di belakang, sehingga mereka mungkin nggak akan menyadarinya.”“Tapi, Nyah….”Perempuan paruh baya itu tak bisa menyelesaikan uc
Selesai makan siang bersama Evan, barulah Soraya memeriksa ponsel yang selalu dia bisukan. Matanya kembali menangkap nama-nama familier yang berusaha untuk menghubunginya – suaminya, ibu mertuanya, hingga para Asisten Rumah Tangga. Soraya juga melihat ada banyak pesan dan chat dari mereka, namun dia memilih untuk tak membaca mereka semua.‘Mereka mungkin mengabariku bagaimana Nala dan Naka menangis karena tadi kutinggal. Biarlah dulu. Kuharap mereka mengerti kalau aku masih butuh waktu sebelum mengambil keputusanku tentang semua ini.’Dilayangkannya pandangan menuju sekitaran restoran yang mulai kembali lengang setelah habis jam makan siang. Sama seperti Evan yang telah pamit sejak sekitar sepuluh menit yang lalu, setelah mereka berbicara sejenak tentang semua yang terjadi. Menyisakan dirinya sendiri yang kembali merasa kehilangan arah akan hidupnya sendiri.‘Apa yang harus kulakukan, ya tuhan? Aku harus bagaimana?’“Mbak, akhirnya kamu bisa juga ya menerima kenyataan setelah mengurun
Pelayan tadi pun pergi setelah meletakkan minuman pesanan Ratu. Kembali menyisakan dua wanita yang terus menunjukkan tatapan tajam dan membunuh terhadap satu sama lain. Untunglah mereka menyewa tempat di sudut restoran yang juga sepi, sehingga sepertinya tak ada yang mendengar ujaran penuh aib yang terus tersampaikan.“Berhentilah memutar narasi, Ratu. Kamu pikir saya bodoh sehingga bisa kamu sudutkan seperti ini? Kamu pikir saya nggak tahu apa niatan utama kamu?” Soraya kembali bersuara tak lama kemudian. “Kalau kamu pikir kamu bisa menghasut saya agar meninggalkan Mas Vino hanya untuk keuntungan kamu, kamu salah besar. Sebab apapun yang terjadi nanti, apapun keputusan saya soal pernikahan kami, semua itu nggak akan ada hubungannya dengan kamu. Saya sendiri yang akan memastikan kalau kamu tidak akan mendapatkan hal yang kamu inginkan.”“Jadi tebakan saya benar, kan? Mbak akan tetap bertahan dan menempel pada Mas Vino bahkan setelah mengetahui semua ini?” Ratu kembali tertawa sinis pa
Selesai menghadiri rapat penting dengan pihak direksi, Vino langsung memeriksa ponselnya. Dia ingin tahu apakah Indah dan orang rumah telah berhasil mendapatkan kabar soal keberadaan Soraya yang tadi siang pergi begitu saja tanpa bilang-bilang.“Masih belum?”Vino mengerang setelah mendapat chat dari sang ibu. Dicobanya lagi untuk menghubungi nomor ponsel itu, namun lagi-lagi panggilannya tak diangkat sama sekali. Tiga kali seperti itu.“Plis, sayang. Aku tahu kalau kamu lagi marah dan semuanya adalah kesalahanku. Tapi… tapi kamu juga nggak seharusnya melampiaskannya seperti ini. Oke, aku mengerti kalau kamu masih belum bisa menghadapi anak-anak. Aku pahami kalau kamu pergi diam-diam tanpa sepengetahuan mereka. Tapi kamu sekarang ada di mana? Apa yang kamu lakukan? Aku benar-benar takut kamu celaka karena tak bisa mengendalikan emosi kamu.”Sayangnya dia hanya bisa mengatakan itu pada ruang hampa di sekitarnya. Karena lagi-lagi Soraya menolak untuk berbicara dengannya.Hingga tak lama
Berbicara dengan Vino adalah resolusi yang akhirnya harus Soraya lakukan. Walaupun sebenarnya dia masih belum siap untuk bertemu lagi dengan pria itu, namun sepertinya ini sudah tak bisa ditunda lagi. Apalagi karena kebetulan mereka juga ada di luar rumah. Sehingga kalaupun bertengkar nanti yang pasti tidak akan didengar langsung oleh anak-anak.Sehingga itu sebabnya dia memutuskan untuk mendatangi sebuah unit apartemen yang merupakan aset pribadinya. Unit itu biasanya dia kontrakkan, namun kebetulan tengah kosong selama beberapa bulan ini. Sehingga sepertinya itu adalah tempat yang tepat untuk membicarakan masalah pribadi seperti ini.Suasana ruangan yang kotor dan penuh debu sama sekali tak mengusiknya. Soraya memutuskan untuk menempati kursi di balkon, sambil kemudian mengeluarkan ponselnya. Akhirnya setelah mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Vino selama beberapa hari ini, dia melemparkan feedback untuk pertama kalinya.[Temui aku di unit apartemen milikku yang lama di Vict
“Nek, gimana, Oma? Apa Papa berhasil bertemu Mama? Lalu apa Papa berhasil bawa Mama pulang, Oma?”Untuk kesekian kalinya kedu bocah itu bertanya padanya tentang Soraya. Di mana mereka terus menatapnya dengan sorot mata penuh harap dan bertanya-tanya. Menandakan betapa besar kejadian ini mengguncang mereka.Lalu sayangnya, Indah tak pernah bisa berbuat banyak. Pada awalnya dia memberikan beberapa alasan kebohongan untuk menenangkan mereka. Kini seiring waktu berjalan di mana tak ada kebar baik, semua itu mulai mereka ragukan.“Kita tunggu saja ya, sayang --““Mau tunggu sampai kapan, Oma? Sekarang udah sore, tapi Mama belum juga pulang. Gimana kalau Mama nggak pulang? Gimana kalau Mama nggak makan malam? Nala takut Mama kenapa-napa.” Bocah perempuan itu kembali menangis sambil menarik-narik rok neneknya. “Ayo, Oma. Ayo telepon Papa. Kalau enggak suruh polisi buat nyariin Mama.”Masalahnya kini nomor ponsel Vino ikut-ikutan tak bisa dihubungi. Pria itu tak mengangkat panggilannya lagi s
“Itu sepertinya Tuan dan Nyonya yang pulang.”Mendengar penuturan dari salah satu Asisten Rumah Tangga itu, si kembar langsung melompat turun dari tempat duduknya. Lantas berlari-lari kecil menuju pintu masuk utama di rumah tersebut. Sementara itu Indah mengiringi mereka dengan langkah pelan.“Anak-anak, jangan lari-larian. Ntar kalian jatuh.”Namun, tentu anak-anak itu tak mau mendengarkan. Mereka sudah menunggu kabar kepulangan ibu mereka sejak beberapa jam yang lalu. Belum lagi karena nyatanya mereka tidak pernah melihat wajah Soraya selama sekitar tiga hari lamanya.Benar saja. Ketika mereka sampai di depan pintu, terlihat Soraya yang baru saja menuruni mobilnya. Sementara itu di belakangnya Vino juga tampak baru sampai dengan mobil yang berbeda.“Mama!”Kedua bocah itu berhamburan ke dalam pelukan Soraya. Wanita itu tak sepenuhnya siap sebenarnya, namun dia refleks berlutut untuk menyambut mereka di dalam pelukannya. Merasakan bagaimana naluri keibuan yang susah payah dia tahan s