Enam tahun yang lalu.
Arvino berharap kalau semua itu hanya sebuah mimpi buruk saja.
Saat di suatu pagi ia terbangun dengan sang sekretaris yang tertidur di sampingnya. Polos, tanpa sehelai pun benang di tubuh mereka. Bersama dengan bayangan-bayangan liar dan bergairah antara mereka yang terjadi tadi malam.
“S-Semalam B-Bapak… memaksa saya. Padahal saya sudah menolak, tapi Bapak terus menahan saya sambil menciumi saya. Bapak kemudian membuka seluruh pakaian saya. S-Sehingga… sehingga….”
Ratu menjelaskan itu sambil menangis tersedu-sedu. Dia tampak gelisah. Sehingga membuat Vino berusaha untuk menenangkannya walau otaknya sendiri kacau.
Bagaimana mungkin semalam ia bisa semabuk itu padahal rasanya ia minum di batas yang wajar ia lakukan? Lalu kenapa ia sampai tak ingat apapun? Sejujurnya muncul juga kecurigaan kalau justru sang sekretaris malah menjebaknya.
Namun, untuk sesaat ia mengabaikan hal itu dulu. Ia mencoba untuk menenangkan Ratu dulu karena tentu Vino tak ingin dia terus-terusan menangis. Apalagi posisinya sekarang mereka sedang ada di kamar salah satu hotel di tempat pertemuannya dengan klien asal singapura.
“Tenanglah. Tidak akan terjadi apapun. Seperti yang kamu bilang tadi, kalau ini hanya kecelakaan.”
“T-Tapi bagaimana kalau ada yang tahu, Pak? Terutama… Anda kan baru saja menikah sekitar sebulan yang lalu. Lalu bagaimana kalau… bagaimana kalau saya—“
“Tidak. Itu tak akan terjadi.”
Vino dengan cepat menyela ucapan Ratu saat menyadari ke mana arah pembicaraan ini selanjutnya. Tidak, tidak. Hal semacam itu tak boleh terjadi. Ini memang salah, namun Vino pikir ini masih bisa diperbaiki. Selama ia tak mengulanginya dan tak memberi tahu pada istrinya Soraya, maka semua akan baik-baik saja. Jadi hal yang lebih buruk tidak boleh terjadi.
‘Lagipula tak mungkin. Kehamilan tak terjadi semudah itu. Apalagi semalam kami hanya melakukannya sekali.’
Vino berpikir begitu sambil memeluk tubuh Ratu untuk terus menenangkannya. Sambil terus mewanti-wanti kalau ia pasti akan bertanggungjawab atas hal yang mungkin terjadi atas kesalahan ini. Asalkan gadis itu mau menutup mulutnya pada siapapun – terutama kepada istrinya nan tercinta.
Maka kekacauan di hari itu bisa dibereskan setelah Ratu bisa ditenangkan. Gadis itu berpakaian sebelum kembali ke kamarnya, sementara Vino pun harus bersiap karena perlu mengejar penerbangan sekitar tiga jam lagi.
“A-Apa Anda jadi terbang ke Maldives setelah ini, Pak?” tanya Ratu sedikit ragu-ragu bertanya setelah kembali berpakaian.
“Ya,” sahut Vino tanpa melirik. Merasa sedikit tak nyaman membahas hal ini setelah apa yang terjadi. “Seperti rencana kamu kembalilah ke Jakarta duluan dan bawa barang-barang saya.”
“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.”
Ada perasaan bersalah di dada Vino saat melepas gadis itu ke luar kamar ini begitu saja. Sepertinya karena memang terpengaruh atas kekhilafan semalam. Namun, pria itu kembali dengan cepat menepis pemikiran itu. Ia berusaha untuk tidak memikirkan wanita selain istrinya, terutama karena rasa bersalah akibat kekeliruannya.
‘Ini hanya kesalahan yang terjadi sekali dan begitu saja. Aku hanya perlu melupakannya dan melanjutkan hidupku seperti seharusnya. Aku tak pernah mengkhianati Soraya sekalipun, jadi aku tak perlu memikirkannya lagi. Sebagai gantinya aku hanya perlu untuk lebih perhatian padanya untuk membayar satu kecerobohanku ini.’
***
Lalu beberapa jam setelahnya, Vino menemukan dirinya kembali ke tempat yang semestinya. Setelah berpisah selama tiga hari, ia akhirnya bisa melihat dan menyentuh istrinya lagi di sebuah rumah pantai sewaan mereka di kawasan Maldives ini. Tempat yang mereka pilih untuk berbulan madu setelah menundanya selama sebulan penuh.
Ia kembali mencumbui sosok yang seharusnya. Berusaha menghapus bekas-bekas sentuhan dengang sang sekertarisnya, kini bibirnya meraup mulut istrinya sedalam-dalamnya. Tak lupa juga tangannya terus menggerayangi tubuh molek sang istri. Yang perlahan-lahan mulai ia bebaskan dari gaun pantai berwarna hijau itu, agar bisa tampil polos untuknya.
“Tunggu, Mas. Tunggu.” Gadis itu terkekeh saat Vino menjadi tak sabaran. “Kamu kenapa sih? Kamu lebih nafsuan dari biasanya tahu nggak?”
Vino tersenyum pahit. Ia tak bisa bilang kalau alasannya begini karena merasa bersalah. Ia tak akan mengakui kalau semua ini dilakukannya untuk menghapus bekas dosa dan khilaf yang tertinggal di tubuhnya atas sentuhan terlarangnya dengan sang sekertaris di Singapura hampir dua malam yang lalu.
“Tentu saja aku merindukanmu, sayang.” Sebagai gantinya, Vino malah menggombal seperti itu. “Selain itu karena… ini adalah Maldives. Tempat yang selalu kita impikan. Aku senang karena akhirnya kita dapat ke mari untuk berbulan madu, setelah tertunda selama sebulan lebih karena kesibukanku setelah pernikahan kita.”
Soraya tampak semakin cantik saat dia tersenyum. Apalagi karena biasan keemasan dari lampu yang terpasang di rumah pantai ini, sehingga membuatnya tampak semakin bersinar di mata Vino.
Ya, begitulah Soraya di mata Vino. Sehingga itu sebabnya, ia langsung menikahinya setelah mereka berpacaran selama empat tahun lamanya. Bagi Vino Soraya adalah gadis terbaik yang ditemuinya di dunia ini. Dia wanita tercantik. Sehingga tak mungkin ia akan berbuat gila menduakannya dengan wanita manapun. Menjadi suaminya selama sebulan ini adalah lembaran hidup yang paling menyenangkan selama 26 tahun hidupnya.
‘Itu sebabnya Soraya tak boleh tahu soal kesalahanku itu. Aku tak mau dia sampai sedih dan salah paham padaku. Karena sungguh, semua itu kulakukan dengan tak sengaja. Aku tak akan pernah berselingkuh darinya – sampai kapanpun.’
“I love you, Aya….”
Pria itu berbisik mesra sambil merundukkan wajahnya lagi untuk menciumi lehernya yang jenjang dan seksi. Namun, tak seperti biasanya Soraya diam saja. Ia tak membalas ucapan cinta Vino seperti biasanya.
Vino mengangkat wajahnya lagi. Memandang heran perempuan itu, di mana ia hanya memasang ekspresi datar ke arah sang suami.
“Sayang, kenapa kamu diam saj—“
Vino kaget ketika sang istri menghimpun tenaganya lebih untuk mendorong tubuhnya. Lalu tak lama, perempuan itu memanjat ke atas tubuhnya. Dengan seksi dan menggoda menduduki pinggul suaminya itu.
“Apa-apaan ini? Tadi kamu bilang kalau aku terlalu bernafsu. Tapi sepertinya kamulah yang lebih liar daripada sebelumnya,” ucap Vino menahan senyum. Tadi ia sempat berusaha bangun, namun gadis itu melarangnya dengan menahan dadanya.
“Suamiku, kamu tahu sesuatu. Aku… punya kejutan buat kamu.”
“Kejutan? Kejutan apa?”
Bukannya menyahut, sang istri malah berusaha melepas resleting gaun di tubuhnya. Vino membantu menawarkan tangannya agar istrinya bisa melakukannya dengan lebih mudah.
Tada. Gaun itupun melorot dari tubuh sang istri. Menunjukkan sepasang dalaman hitam yang sukses membuat Vino menjilat bibirnya penuh nafsu.
“Sayang—“
“Tunggu, jangan pegang dulu.” Soraya mencegah tangan pria itu untuk meraih pinggangnya mendekat. “Kubilang dengar dulu aku bicara.”
Vino berusaha fokus terhadapnya. Walaupun pikirannya semakin tak karuan melihat tubuh seksi istrinya. “Ya. Aku dengarkan. Apa yang mau kamu katakan.”
Soraya kembali tak lantas menyahut. Dia tampak tersenyum merona dan malu-malu sejenak, sebelum akhirnya meraih salah satu tangan Vino. Tangannya itu lantas diarahkan ke perut datar sang wanita.
“Say hi pada calon anak kita yang telah berada di dalam perutku sejak dua minggu yang lalu.”
Mata Vino langsung melebar. Ia merasa tak yakin dengan apa yang ia dengar. “Sayang, jangan bilang kalau kamu….”
“Memang itulah yang ingin kukatakan, sayang. Aku hamil. Dokter sudah memastikan kalau aku tengah mengandung anak pertama kita.”
Tak terkira betapa senangnya Vino saat mendengar hal itu. Terutama saat ia terus menyentuh perut Soraya, lalu wanita itu tersenyum menahan haru kepadanya untuk memastikan kalau Vino sama sekali tak salah dengar.
***
‘NY. Ratu Adelia dipastikan tengah mengandung selama dua minggu.’
Vino tak tahu harus bereaksi seperti apa saat membaca surat hasil pemeriksaan itu. Di mana terlampir juga sebuah alat tes kehamilan di dalamnya. Dilayangkannya pandangan ke depannya, di mana Ratu tampak kembali menunduk sambil menangis tersedu-sedu.
“S-Saya minta maaf karena telah mengejutkan Anda, Pak. T-Tapi… saya nggak tahu harus mengatakannya kepada siapa lagi, sebab… saya takut mendengar pendapat mereka. Saya takut ditertawakan.”
Vino benar-benar kacau dan tak karuan. Namun, ia terus mencoba untuk berpikiran jernih.
“Kamu yakin ini anakku?”
“Saya hanya melakukannya dengan Anda!” Ratu berseru dengan sedikit tak terima saat mengatakannya. Kedua matanya tampak semakin merah dan basah. “L-Lagian usia kehamilannya kan pas dengan kejadian yang kita alami di Singapura.”
Vino mendesah berat. Langsung ia memegangi dahinya yang terasa pusing.
Astaga, hal yang paling ia takutkan dan selama dua minggu ini ia harapkan tidak terjadi nyatanya malah benar-benar menghampiri hidupnya. Bagaimana ini? Bagaimana mungkin ada wanita lain yang mengaku telah dihamili olehnya ketika baru dua minggu yang lalu saja ia dan sang istri merayakan kehadiran calon buah hati di dalam pernikahan mereka? Bagaimana caranya ia menghadapi ini semua?
***
Dua bulan setelah kehamilan Soraya.“Tada!!! Selamat menikmati!”Soraya tersenyum cerah sambil membuka tutup dari kotak bekal yang dibawakannya untuk sang suami. Dipamerkannya berbagai jenis makanan hasil olahannya yang memang khusus ia masakkan untuk menu makan siang Vino di hari itu.“Wah… menggugah selera banget ini. Aku yakin pasti rasanya enak,” ucap Vino langsung memuji masakan sang istri untuknya.“Tentu saja. Karena selain bahan makanan biasa, aku juga menaburkan bumbu kasih sayang di dalamnya. Kamu nggak akan menemui makanan seenak ini di restoran mewah sekalipun.”Dengan riang Vino menyantap makanan itu. Kalau boleh jujur sih rasanya biasa, sebab istrinya juga baru belajar memasak belakangan ini. Namun, fakta kalau semua ini disiapkan khusus untuknya sepertinya menjadikannya spesial. Apalagi karena istrinya yang sedang hamil ini tadi memberi kunjungan kejutan tepat di jam makan siang.“Tapi, Mas. Aku lihat sekretaris kamu baru lagi. Memangnya kemana sekretaris kamu yang lama
Pak Hardean Nicko Bentala tampak cukup terkejut saat mengetahui kalau putranya telah menghamili mantan sekretarisnya. Walau tampak sedikit menyayangkan karena Arvino telah ceroboh, namun pria itu sama sekali tak menyalahkannya.Justru, Hardean sebenarnya curiga kalau Vino telah dijebak oleh Ratu. Hal yang sebenarnya juga sering terpikirkan oleh Vino, namun akhirnya tak ia pikirkan lebih jauh karena sudah terlalu pusing dengan masalah yang ada. Untuk sementara Hardean menyuruh Vino untuk tetap merahasiakan hal ini dulu seraya mereka mencari jalan ke luar.Sampai ketika Arvino menemani istrinya untuk check-up kandungan saat usia kehamilan Soraya telah menginjak enam bulan.“Hal yang saya khawatirkan di awal sepertinya kian menjadi kenyataan, Bu,” kata Dokter kandungan langganan mereka sambil memandang monitor yang digunakan untuk mengecek kondisi di dalam rahim. “Bayi ibu terus bergerak terbalik atau sungsang di dalam perut Ibu. Kalau terus begini sepertinya akan sulit untuk dapat dilah
“Waktu cepat banget berlalunya ya, Mas? Nggak terasa udah sembilan bulan aja sejak aku hamil, serta hampir sepuluh bulan sejak kita menikah.”Arvino yang tengah mengupas buah mengalihkan pandangannya pada sang istri yang saat ini berbaring di brankar rumah sakit. Senyuman lembut diberikannya pada perempuan itu.“Iya. Aku juga mikir gitu. Terasa nggak nyata aja.”Ya, saat-saat mendebarkan itu akan segera tiba.Jadwal operasi caesar akan dijalani oleh istrinya itu besok pagi, sehingga sejak beberapa jam yang lalu mereka telah berada di rumah sakit. Untuk selanjutnya mereka akan menuruti instruksi dari petugas medis menjalani setiap rangkaian yang dianjurkan.Namun, tanpa sepengetahuan Soraya, tidak hanya itu saja yang tengah berlangsung.Nyatanya sejak semalam Ratu juga telah berada di rumah sakit ini, tepatnya tak jauh dari beberapa kamar yang ada di sini. Ratu akan melahirkan lebih dulu, sehingga nanti bayinya bisa langsung disatukan dengan anak yang akan dilahirkan oleh Soraya secara
“Gimana mungkin kamu masih saja sibuk bekerja padahal besok aku harus lahiran.”Soraya tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Kala sang suami tiba-tiba bilang padaanya kalau dia tak bisa tinggal malam ini akibat pekerjaan mendadak. Hal yang tentu saja karangan semata agar Arvino bisa memenuhi keinginan Ratu yang malam ini minta ditemani.“Aku minta maaf, sayang.” Vino berkata begitu sambil menggenggam jemari sang istri. “Aku sendiri juga nggak menyangka masalah ini akan muncul tiba-tiba seperti ini. Tapi aku janji sama kamu kalau aku akan menyelesaikan semuanya secepatnya. Sehingga aku bisa ada di sini dan menemani kamu saat nanti masuk dan keluar ruang operasi.”Soraya masih sedikit cemberut dan tampak tak senang. Arvino jadi semakin merasa bersalah dan sebenarnya tak mau meninggalkan sang istri, namun dia tak punya pilihan.“Udah. Biarkan suamimu pergi dulu, Nak. Yang penting kan dia ada di sini pas lahiran.” Dian, Maminya Soraya, akhirnya bersuara sambil mengusap bahu putrinya. “Ma
“Anak kamu laki-laki, Vin. Selamat.”Arvino membeku saat Dokter Gilang mengatakan hal itu begitu keluar dari ruang operasi. Matanya mengikuti seorang bayi yang masih basah yang digendong oleh seorang perawat. Di mana kini ia menangis dengan keras.‘Apa dia benar-benar anakku?’Dibiarkannya perawat itu membawa sang bayi ke ruangan khusus yang telah disiapkan. Nantinya bayi itu menunggu sampai Soraya pun melahirkan, sebelum kemudian dia akan digabungkan dengan bayi yang dilahirkan oleh sang istri.“Wanita itu gimana? Semua lancar, kan?” tanya Vino kemudian.“Ya. Dia baik-baik saja. Dia bahkan kuat menjalaninya dalam keadaan sadar. Oh ya, dia minta kamu untuk menemuinya.”Langkah Vino terasa berat. Sempat ia melirik pergelangan tangannya untuk mengecek waktu. Giliran Soraya kian mendekat.“Udah. Nggak perlu kamu temui kalau nggak mau, karena sekarang yang kita inginkan telah kita dapatkan. Kamu mau segera menemui Soraya, kan? Pergilah. Istri kamu pasti nungguin kamu,” kata Hardean, sang
Di satu titik Soraya membuka matanya. Saat dia melihat ke sekitarnya, dia menemukan orang-orang yang disayanginya berada di sana. Memandangnya dengan ekspresi setengah khawatir dan was-was.“Sayang, kamu udah bangun? Kamu bisa dengar aku?” sapa suaminya sambil mengusap salah satu pipinya.Namun, pikiran Soraya sudah langsung tertuju pada satu hal yang paling penting baginya saat ini. Sesuatu yang harus segera dia ketahui.“Gimana anak kita, Mas?” tanyanya dengan lemas karena masih pengaruh obat.“Anak kita lahir dengan selamat dan sehat sayang—““Anak kalian kembar!”Seruan Dian, Maminya Soraya itu membuatnya kian terjaga. Apalagi saat melihat ekspresi senang dan terharu dari anggota keluarganya yang lain.“K-Kembar?” tanyanya tak yakin.“Ya. Sepasang malah. Satu anak laki-laki dan satunya anak perempuan.”Di saat itu dia mendengar suara tangisan bayi yang mendekat. Hal yang disadarinya karena suaranya bukan hanya satu, tapi seperti dua bayi yang kompak menangis sekeras-kerasnya. Lant
Sekitar dua jam kemudian, Dokter Gilang tampak memasuki ruang inap Soraya. Kebetulan kini hanya tinggal mereka berdua saja di sana karena ketiga orang tua mereka telah pulang dulu untuk beristiarhat setelah tinggal di rumah sakit semalaman.“Selamat ya, Aya. Kamu sekarang resmi menjadi seorang Ibu. Mana anakmu juga kembar sepasang lagi,” ucap Dokter Gilang pada sang pasien istimewa.“Makasih, Om. Semua ini juga berkat pelayanan dari Om serta petugas medis lainnya.” Soraya tak bisa menyembunyikan senyuman sumringah di wajahnya. “Tapi sebenarnya ada yang membuatku heran, Om. Seingatku saat membaca beberapa artikel soal operasi caesar hingga konsultasi dengan dokter kandunganku, katanya aku nggak akan dibius sepenuhnya. Katanya hanya bagian bawah tubuhku saja yang dibius, sehingga aku bisa tetap terjaga selama prosesnya karena aku tidak akan merasakan sakit. Tapi kenapa tadi aku beneran dibuat nggak sadar, Om? Bangun-bangun aku udah melahirkan saja.”Pertanyaan jebakan itu membuat Arvino
“Selamat datang kembali di rumah kita!!!”Arvino tersenyum lebar sambil mengembangkan tangannya. Menyambut sang istri yang baru saja turun dari mobil dan melangkah memasuku pintu masuk utama di kediaman mereka.Ya. Hari ini setelah lima hari dirawat di rumah sakit, Soraya dan sepasang anak kembarnya diizinkan untuk pulang. Tentu saja sang suami kembali mengambil jadwal cuti di kantor demi mendampinginya.“Kamu pasti capek lama-lama berdiri, Ya. Ayo… duduk,” kata mertua wanitanya, Indah, seraya menggandeng sang menantu. Membantunya untuk mencapai tempat duduk terdekat.“Makasih, Ma. Aku udah merasa lebih baik kok, Ma. Jahitannya udah semakin mongering.”“Syukurlah.”Tak lama kemudian Vino kembali membawa bersama dengan dua perawat yang menggendong Nala dan Naka. Di mana kedua bayi itu tampak tertidur dengan tenang walau telah melakukan perjalanan pertama dari hidup mereka dari rumah sakit ke rumah.“Astaga, cucu-cucu kesayanganku akhirnya pulang ke rumah ini. Aku nggak sabar melihat tu