Ivy merasa seluruh tubuhnya terbakar. Sesuatu yang tak dimengerti olehnya sedang terjadi. "Lu-lucy, kenapa badanku mendadak panas?"
Adik tirinya itu hanya tersenyum tipis. "Itu karena kau belum pernah minum alkohol. Ini reaksi wajar, Ivy. Ayolah, kau memang lugu dan ... bodoh!"
"Tap-tapi, rasanya semakin panas dan aneh," keluh Ivy, lagi.
"Diamlah! Kau terlalu berisik. Ayo, kita sembunyi di kamar hotel yang disediakan Mike saja." Lucy merasa tak sabar langsung menarik tangan Ivy dengan keras.
Ivy yang tidak bisa membantah, terpaksa mengikuti semua keinginan Lucy. Ivy, si gadis bermata kehijauan itu, membantu di acara ulang tahun salah satu teman kampus. Menjadi pekerja katering panggilan dari pihak hotel tempat diselenggarakannya pesta.
Ternyata, Lucy datang sebagai tamu undangan. Ya, kenyataan hidup yang miris. Jika Lucy tampil memukau dengan gaun pesta berharga mahal, Ivy malah mengenakan seragam khas pekerja.
Kedatangan Lucy ke acara pesta itu punya dua tujuan berbeda. Karena itulah, gadis berambut tembaga itu harus bergerak cepat. Setengah gelas wine yang menjadi media pemulus tujuan, sudah berpindah ke lambung Ivy dan sedang bereaksi saat ini.
Lucy memastikan berkali-kali nomor kamar yang harus dituju. Tak lucu jika mereka salah kamar dan diusir begitu saja, kan?
"Lu-lucy, tolonglah. Tubuhku butuh air. Ya, ya, aku harus mandi di bawah shower atau berendam di bathtub." Ivy sampai harus memeluk tubuhnya dengan tangan yang bebas.
"Iya, Cerewet! Sebentar lagi kau akan mendapatkannya. Di kamar pinjaman itu, kau bebas melakukan apa saja." Lucy mendengkus keras.
"Tapi, pekerjaanku belum selesai. Aku tak mau dipotong gaji."
'Dasar bodoh! Sudah dalam kondisi seperti ini pun, masih sok profesional berkerja!' Lucy sengaja mencengkram erat telapak tangan Ivy.
"Awh, sakit, Lucy!"
"Makanya kau jangan bawel. Kau mau kita ketahuan dan diusir paksa, hah? Aku tak mau jadi bahan gosip di kampus." Lucy membentak kakak tirinya itu.
Ivy diam. Tak berani lagi melawan. Sampai akhirnya, langkah keduanya berhenti di sebuah kamar yang berada di posisi ujung. "Nah, ini dia. Kau ... masuklah. Mandi atau apalah."
"Lalu kau bagaimana?" Ivy masih sempat mencemaskan keadaan adik tirinya itu.
"Aku akan kembali ke pesta. Nanti setelah kau merasa nyaman, lanjutkan pekerjaanmu. Paham?" Lucy memasang wajah datar.
"Oke. To-tolong mintakan izin atas namaku." Ivy menjilati bibirnya berkali-kali. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat gelisah.
"Ya ya. Masuklah." Lucy mendorong tubuh Ivy setelah menekan passcode sesuai pesan masuk yang dikirimkan Payton.
Setelah Ivy masuk, Lucy merapikan rambut berwarna tembaga yang menjuntai lurus hingga sepunggung. Karena Lucy masih harus kembali ke acara pesta dengan penampilan terbaiknya.
Seiring langkah kaki Lucy yang menjauh, Ivy malah berdiri bingung di area foyer. 'Apa aku benar-benar boleh masuk ke ruangan milik orang lain? Bagaimana kalau aku dituduh sebagai pencuri?'
Ivy bimbang. Namun, rasa gelisah yang terus menyiksa itu membuatnya harus segera mandi untuk membersihkan diri. Maka, dengan agak mengendap-endap, Ivy menjelajahi kamar president suite itu.
Ditelannya ludah ketika melihat ranjang berukuran sangat besar dengan kelambu yang indah. Tak hanya itu, ada sofa bench dengan kain beludru berwarna emas yang sangat mewah.
"Astaga, aku tak datang ke tempat ini untuk mengagumi semua interiornya." Ivy menepuk kepalanya sendiri.
Dengan cepat, dia mencari keberadaan kamar mandi. Dan alangkah terkejutnya ketika melihat bilik kamar mandinya. Ruangan itu tidak menyisakan privasi sama sekali.
Seperti kotak kaca yang bisa dilihat dari penjuru mana pun dalam kamar ini. Ivy menelan ludah. "Aku harus bergerak cepat. Agar si pemilik kamar tidak sempat kembali ketika aku menggunakan fasilitas kamar ini."
Ivy pun bergegas menuju kamar mandi itu. Di depan pintu, Ivy menanggalkan semua pakaian yang melekat, lalu berdiri di bawah guyuran air dingin.
Tanpa disadarinya, ada laki-laki bertubuh besar yang masuk. Seringai nakal muncul ketika melihat sosok berlekuk indah itu sedang sibuk dengan air, dengan posisi tubuh menghadap ke dinding.
Laki-laki itu memposisikan diri tepat di belakang. Tanpa ingin mengulur waktu, direngkuhnya tubuh basah itu dalam dekapan.
Bagai tersengat listrik tegangan tinggi, Ivy langsung menjerit. Dicobanya untuk melepaskan diri dari lengan kokoh yang melingkar hingga ke perut. "Si-siapa kau? Lepaskan aku!"
Tawa mengejek langsung keluar dari mulut laki-laki yang sudah tak sanggup lagi menahan diri itu. "Kenapa? Bukannya kau sendiri yang datang dan masuk tanpa izin, hm?"
Ivy menangis. "Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin menumpang mandi saja."
Ivy tak menyangka kalau keinginannya untuk meredam gejolak membakar di sekujur tubuhnya itu, harus dibayar dengan sangat mahal. Lagipula suara laki-laki di belakangnya itu terdengar asing. Tidak seperti Mike, teman kuliahnya.
'Lucy pasti salah memilih kamar. Seharusnya, semua orang masih berpesta bersama, kan?' Ivy membatin panik dalam hati.
"Dalam kamusku, kesalahan harus dibayar dengan hukuman." Sayangnya, lelaki itu malah melakukan hal yang tak pernah dibayangkan Ivy sebelumnya. Jemari tangan itu malah mengelusi titik-titik sensitif yang membuat Ivy linglung.
Ivy sampai harus mengigit lidahnya agar tidak mendesah, ketika jemari lelaki asing itu menyentuh sesuatu di bawah sana. Dengan air mata yang masih terus mengalir, Ivy merasakan sensasi mengerikan.
"To-tolong, hentikan! Ak-aku hanya salah memasuki kamar, Tuan," pinta Ivy dengan suara memilukan.
Namun, sensasi yang tidak bisa hilang sedari tadi malah semakin menggila. Sekeras apa pun Ivy berusaha menolak, tubuhnya bereaksi berlawanan.
"Kau akan berterima kasih setelah ini, Cantik," bisik laki-laki bermata biru itu, parau.
Ivy tak tahu harus berbuat apa. Menangis keras pun tak ada artinya. Di satu sisi, dia tak terima dengan pelecehan yang sedang terjadi. Namun, di sisi lain, tubuhnya meminta lebih.
'Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada tubuhku? Kenapa aku bisa sampai merasakan sensasi aneh seperti ini?' Ivy seperti tak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak.
Apalagi ketika laki-laki itu dengan lihai memainkan peran, Ivy merasa penuh. Erangan yang sedari tadi ditahan, seakan-akan berlomba untuk dikeluarkan.
"Kau sudah cukup bersih." Laki-laki bertubuh besar itu dengan mudah menggendong Ivy tanpa melepaskan pelukan.
Keduanya saling mengunci tatapan. Ivy seperti terhipnotis. Dia malah terbius dengan mata sebiru lautan itu. Rahang kokoh yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Bibir merah agak tebal dan hidung dengan tulang pipi tinggi. Tampan.
Di atas kasur yang tadi sempat dikagumi Ivy, tubuhnya dibaringkan penuh perasaan. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh laki-laki itu sebelumnya.
Kegiatan panas itu berlanjut. Ivy sudah kehilangan kontrol atas diri. Tiba-tiba, laki-laki itu mengernyit heran. Ada sesuatu yang terasa mengganjal."Tu-tuan, ke-kenapa berhenti?" Ivy menatap heran. Tubuhnya terasa kehilangan sesuatu yang menipiskan nalar itu.
"Kau ... masih perawan?"
Ivy mengangguk gugup. Tatapan matanya berkabut. Seakan-akan memohon kepada laki-laki asing di atasnya itu untuk melanjutkan apa yang tertunda.Laki-laki itu menatap dingin. 'Kau yang datang menyerahkan diri. Semoga setelah ini, kau tidak bermain drama seolah-olah tersakiti.' Tak dihiraukannya wajah cantik bersemu kemerahan itu meringis dan menjerit karena sakit. Ivy yang masih dikepung sensasi membakar dari minuman bercampur obat afrodisiak itu, bingung mengartikan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya. Ingin menolak, tetapi tubuhnya bereaksi berbeda. Kegiatan panas itu terus berlanjut. Laki-laki itu tidak memberi kesempatan Ivy untuk beristirahat. Sampai akhirnya, Ivy kehilangan kesadaran. Ocean Aloysius, laki-laki yang memiliki tato harimau, di otot pejal perut bagian kanan itu, tersenyum puas. "Kenikmatan yang kau berikan, sebanding dengan harga yang aku bayar." Lelaki bermata sebiru lautan itu keluar. Ia duduk di area balkon. Menikmati kesunyian dini hari sambil merokok,
Sebelum menjadi sepasang kekasih, keduanya sudah bersahabat sejak bangku sekolah menengah. Seharusnya Brian hafal betul bagaimana karakter Ivy. Gadis cantik berpinggul ramping menggoda itu, menangis tergugu di sepanjang koridor menuju kamarnya. Ivy tampak kacau. Di kamarnya yang sangat sempit, Ivy duduk memeluk lutut. Tubuhnya berguncang keras. Suara ratapan tangisnya pun terdengar memilukan.Ivy tak habis pikir, bagaimana bisa dalam waktu singkat, kesialan menimpanya bertubi-tubi. Keperawanannya hilang dengan cara memalukan. Lalu Brian kedapatan hampir meniduri adik tirinya. "Rumah ini sudah lama berubah menjadi neraka. Tapi kali ini yang paling mengerikan." Ivy terisak-isak.Semua dimulai ketika Elisabeth mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Payton. Elisabeth stres berat. Bobot tubuhnya turun drastis. Apalagi ketika tanpa malu Payton dibawa pulang ke kediaman mereka dengan sepasang anaknya pula.Elisabeth jatuh sakit. Ivy yang saat itu masih duduk di bangku sekolah atas, menj
Sejak peristiwa pemenangan lelang gadis di malam dua bulan lalu, Ocean Aloysius Alexavier, tak pernah lagi berselera menghabiskan malam panjang bersama wanita bayaran.Setiap ingin menuntaskan dahaga, seleranya menguap walau wanita bayaran itu sudah dalam kondisi siap tempur. Bayangan wajah cantik gadis bermata kehijauan dengan rambut ikal berantakan, lengkap erangan sendu, terus menggema di kepalan Ocean.Sayang, Ocean kehilangan jejak dan petunjuk tentang siapa gadis yang mencuri uang seratus dollar miliknya pagi itu. Padahal Ocean dengan senang hati akan memandikan gadis itu dengan jutaan dollar jika saja ada malam-malam panas berikutnya. Bibir sensual yang merekah merah alami itu seakan-akan membiusnya agar tidak lagi sembarangan memagut milik jalang lain. Wajah sendu yang mengerang manja itu pun menari-nari di pelupuk mata Ocean."Pakailah bajumu. Aku berubah pikiran." Ocean mendengkus keras lalu berpindah ke sofa. Diteguknya wine untuk mengusir rasa kesal.Wanita bayaran yang s
Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi. Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu. Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa miris. "Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang."Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur. "Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya." "Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya."Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau di
Ketika Ivy baru saja kembali dari pekerjaan paruh waktu sepulang kuliah, tak sengaja mendengar obrolan Payton dan Lucy. "Pemberkatan pernikahan akan digelar minggu ini, Mama. Pestanya menyusul bulan depan. Bagaimana menurut Mama?" Lucy tampak semringah, sambil menggelayut manja di lengan Brian. "Terserah bagaimana baiknya saja. Di mana diadakan pestanya?" Payton tersenyum lebar. "Di rumah ini saja, Tante. Aku akan mengirimkan uang untuk biaya keseluruhannya. Atau Tante mau terima beres?" Brian menatap manis ke arah Lucy. Hati Ivy terasa seperti ditikam pisau. Di saat dirinya harus menyeimbangkan antara mencari uang untuk menghidupi diri, mengurus ayah, juga menjaga kandungan, Lucy mendapatkan semua dengan mudah. Jika biasanya Ivy bisa menahan diri, kali ini entah kenapa dia merasa begitu kesal. Apalagi ketika melihat bagaimana cara Brian mengusap lembut perut Lucy yang terekspos jelas itu. Lucy tanpa malu mengenakan tank top model crop top. 'Tuhan, ini tidak adil. Kenapa selalu a
Ivy tak peduli dengan apa yang didapatkan Lucy sebagai calon pengantin di keluarga Brian Ashley. Pun ketika semua atribut mewah pesta yang diselenggarakan di kediaman keluarga Ivy. Dia dikurung Payton di kamar sempit Alden. Namun, bukan Ivy namanya kalau tidak bisa mencoba untuk keluar. Mansion ini tempat tinggalnya sejak lahir. Sudah tentu Ivy hafal area yang tak diketahui Ibu dan saudari tirinya.Separuh mengendap, Ivy menelusuri lorong menuju taman belakang di mana pesta berlangsung. Gaunnya lusuh, penampilannya mirip pelayan kelas bawah.Lampu-lampu menghiasi taman yang luas itu. Kursi dan meja kayu disusun rapi lengkap dengan hidangan lezat. Sepanjang jalan menuju area yang dibuat menyerupai altar dikelilingi rangkaian bunga-bunga di mana Lucy dan Brian duduk dengan senyum semringah tercetak jelas. Dari tanaman yang dibentuk rimbun itu, Ivy mengintip dengan hati penuh luka. 'Kalian bersenang-senang di atas lukaku. Kalian makan dan minum, berpesta menggunakan kekayaan Ayah.' Di
Ivy terbangun karena suhu tubuhnya terasa sangat panas. Semalaman berbaring di dalam kamar mandi membuatnya menggigil. 'Pasti para pelayan sudah bangun. Aku harus keluar dari tempat ini.' Ivy mencoba untuk menggedor pintu dengan sisa tenaga yang ada."To-tolong. Siapa saja, tolong akun!" teriak Ivy.Tidak ada jawaban. Letak kamar mandi itu memang agak di belakang. Ivy terus mencoba dan berharap akan datang seseorang untuk mengeluarkannya.Brian yang diminta oleh Lucy mengambil makanan dari dapur mansion, tiba-tiba mendengar suara dari kamar mandi itu."Aneh, aku seperti mendengar suara dari pintu itu." Sebenarnya, Brian tersasar karena salah berbelok. Harusnya ke kanan, mantan kekasih Ivy itu malah ke kiri. "Tolong," rintih Ivy sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.Separuh ragu Brian mendekat ke arah pintu. "Aneh, kuncinya malah tergantung di sini." Brian mendekatkan telinganya ke arah pintu. Hening. Tidak terdengar suara apa pun. "Tidak mungkin mansion ini berhantu, kan?'Did
Mansion milik Alden pagi-pagi sudah dihebohkan dengan teriakan Lucy. Wanita manja yang tengah berbadan dua itu sibuk mencari ke mana suaminya.Namun, tak ada satu pun pelayan di mansion yang berhasil menemukan Brian.Lucy menepuk jidatnya. 'Dasar bodoh! Kau kan sudah menyadap lokasi di mana Brian berada.' Lucy berbalik, melangkah ke kamar untuk menyambar ponsel di atas nakas dan mengenakan cardigan selutut. Keningnya mengernyit ketika melihat di mana lokasi Brian berada. Sementara di rumah sakit, suster sudah membantu memindahkan Brian ke sofa. Ivy tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya terasa lemah dan tidak bisa banyak bergerak. Keduanya masih tertidur pulas ketika Lucy menerjang masuk. Dengan penuh drama, Lucy mengguncang bahu Brian. "Bangun! Brian, bangun!"Brian menatap nanar. Pengar menghantam kepalanya. Brian menelan ludah ketika menyadari di mana dirinya saat ini. "Lu-lucy, ke-kenapa kau ada di sini?" Lucy menangis keras. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau ada di kamar i
Ocean membimbing Ivy ke depan kaca. "Lihatlah. Betapa cantiknya wajah istriku."Ivy menggeleng. "Tidak. Kau memuji hanya untuk menyenangkan hatiku saja."Ocean mengecup pundak Ivy. "Kenapa bisa terpikir seperti itu, hm?""Entahlah. Mungkin karena beberapa bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kau bosan karena sudah terpisah sekian lama denganku." Sebenarnya, hati Ivy sakit saat mengutarakan rasa. Ocean tersenyum. "Apa kau ingin tau seberapa parahnya keadaanku saat kau pergi tanpa pesan?""Kau tampak baik-baik saja." Ivy masih bersikeras. Ocean menarik tubuh Ivy agar saling berhadapan. "Lihat baik-baik suamimu ini. Apa yang berubah sejak kau pergi, hm?"Ivy menelisik dengan teliti. "Kau lebih kurus. Cambangmu berantakan. Kau juga seperti lupa caranya bersisir dengan rapi.""Dan apa kau tak melihat kalau aku punya kantung mata?"Tatapan Ivy terkunci di sepasang bola mata sebiru lautan itu. "Apa kau tidak bisa tidur?"Ingin sekali Ocean mengigit bibir Ivy yang begitu ringan ber
Ocean menatap lembut. Jemarinya terulur untuk merapikan rambut Ivy, lalu diselipkan di belakang telinga. "Kau adalah hal paling luar biasa yang bisa mengubah sudut pandangku tentang cinta."Ivy tak mampu menahan semburat merah yang hadir akibat rasa jengah karena pujian itu. Isi kepala dan hatinya bertentangan. Kedua organ tubuh itu sedang melakukan tugasnya masing-masing."Katakan, Sayang. Apa yang terjadi sampai kau bisa mengikuti acara lelang itu?" Ocean ingin memperbaiki semua dari awal pertemuan mereka. Lalu Ivy pun bercerita tentang pekerjaan sampingan yang diambilnya setelah pulang kuliah, yakni menjadi petugas katering. Saat itu, adik tirinya datang sebagai tamu. Salah satu pelayan yang juga bekerja di sana, memberi Ivy minuman. Setelahnya tubuh Ivy terasa aneh. Ivy pun mengadukan hal itu ke Lucy, adik tirinya. Lalu dia dibimbing masuk ke kamar milik penyelenggara pesta, Mike.Ocean tahu ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. "Maaf, apa sebelum ini, kau pernah minu
Dokter sudah mengizinkan Ivy untuk pulang. Saat dia mengatakan harus mampir ke apartemen milik Joshua, Ocean hanya menggelengkan kepalanya. "Tapi barang bawaanku ada di sana, Ocean." Ivy hendak melepas seat beltnya."Aku sudah meletakkannya di bagasi belakang, Sayang. Kita hanya perlu pulang saja." Ocean berkata lembut. Sungguh, Ocean sudah berjanji akan benar-benar memperlakukan Ivy dengan sebaik-baiknya. Ocean berniat untuk membahas semua tentang masa lalu keduanya. Agar kelak tak akan ada lagi bahan bangkitan dari masa lalu. Ivy pun tak jadi membantah. Apalagi melihat sorot mata sebiru lautan itu begitu teduh menenangkan hati. Ivy terhipnotis."Kita belum boleh mengunjungi Kakek lagi. Dan sekarang, setiap aku dinas ke luar kota atau luar negeri, kau harus ikut."Nyali Ivy sudah tak seberani saat mengetahui kebenaran yang sengaja disembunyikan Ocean. Sekarang, dia hanya ingin hidup tenang sambil membesarkan anak dalam kandungan saja. Ke-empat orang itu berada di satu pesawat yan
Joshua tak menyangka kalau perempuan hamil yang menarik perhatiannya ternyata adalah istri konglomerat.Walau penampilan Ocean tampak dingin, tetap saja aura dirinya mampu mengintimidasi lawan bicara. "Maaf, aku tak tahu kalau Aurora punya suami. Dia sama sekali tidak pernah membahas tentang itu."Tanpa berkata apa-apa, Ocean mengeluarkan semua bukti. "Empat pekerjamu mengeroyok istriku. Seperti ini kondisinya sekarang."Joshua gusar bukan main. Apalagi melihat foto yang diam-diam diambil Ocean ketika pertama kali tiba di ruang pasien itu. "Ini ... astaga! Berengsek sekali.""Ya. Semua hanya karena kau memperlakukan istriku secara berlebihan di mata orang lain. Katakan, berapa yang harus aku bayar?" Kesombongan begitu kuat terpancar dari Ocean.Joshua tersenyum tipis. Lelaki di hadapan ini bukan sedang menantang harga dirinya sebagai atasan Ivy. Lelaki ini hanya sedang berusaha melindungi istrinya. "Tidak ada. Aku ikhlas melakukan hal itu. Dia adalah stafku yang berdedikasi tinggi."O
Masih dalam kondisi gemetaran, Ivy menekan tombol pemanggil suster. Tak lama kemudian, suster datang. "Ibu sudah siuman? Bagaimana? Apa yang Ibu rasakan?""Bayiku bagaimana?" Ivy tidak mencemaskan keadaannya. Masih ada yang jauh lebih penting."Bayi Ibu baik-baik saja. Luka lebam juga sudah diobati. Bukti visum juga sudah ada." Suster itu menatap iba. Paramedis yang menangani, mengira kalau Ivy menjadi korban perampokan."Boleh tolong ketikkan alamat lengkap rumah sakit ini? Keluargaku ingin berkunjung." Ivy menyodorkan ponsel berisi aplikasi pesan langsung ke nomor Charlotte."Oh, tentu saja boleh. Sebentar." Dengan sigap, suster membantu apa yang Ivy inginkan, lalu mengembalikan ponsel. "Terima kasih banyak, Suster. Maaf, di mana orang yang menolongku?""Beliau sudah pergi. Tapi dia meninggalkan nomor telepon. Nanti akan aku tanya di pihak resepsionis.""Baik. Sekali lagi terima kasih, Suster." Ivy mencoba tersenyum.Rahangnya masih terasa sakit. Pun lehernya agak nyeri. Cekikan di
Biasanya, Ivy selalu tersenyum ketika berpapasan dengan para pekerja di restoran itu. Namun, sejak kejadian dengan beberapa waiters dipecat sepihak oleh Joshua, lebih banyak yang melengos atau pura-pura tidak melihatnya.Ivy hanya bisa mengelus dada. Bersikap sabar ada semua cobaan yang sedang di jalaninya. Isi tahu ada janin yang harus ditanggung secara mental dan fisik. Sepulang kerja, Ivy menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu gerai salad. Lidahnya tiba-tiba menginginkan makanan itu. Ivy sampai membawa pulang satu pack salad untuk dimakan di apartemen.Karena lokasi gerai salad itu dekat dengan taman, Ivy menyempatkan diri untuk menikmati senja. Dia duduk di bangku taman yang kosong. Sembari menatap keindahan semesta, Ivy mengelus lembut perutnya. "Bayiku, sedang apa di sana? Kau suka dengan rasa salad yang tadi Mama makan?"Sesekali Ivy tersenyum. Di bayangannya, ada anak yang terlahir dari rahimnya lagi. Dia bisa melupakan kerinduan kepada Lake yang sampai sekarang pun
Ivy tak bisa lagi bersikap seperti biasa ke Joshua. Pun lelaki itu seperti sengaja menjaga jarak. Ivy berusaha bekerja sangat profesional. Jika harus bersinggungan dengan Joshua, Ivy memasang sikap sangat formal. Hal itu membuat Joshua berang. Sepulang dari memeriksa laporan cabang-cabang restoran, Joshua sengaja mampir ke unit apartemennya. Walau sudah hafal luar kepala passcode, tetap saja Joshua harus menekan bel. Demi kesopanan, pikirnya. Ivy muncul dengan tampilan gaun tidur bermotif bunga dengan panjang selutut. "Ah, ternyata Anda. Maaf kalau aku sudah bersiap untuk tidur."Joshua tersenyum canggung. "Ada hal yang mengganggu pikiranku. Jadi aku putuskan untuk mampir.""Oh, begitu? Silahkan masuk. Toh ini unit milik Anda sendiri." Ivy membukakan pintu selebar mungkin.Joshua masuk dan mencium aroma teh. "Kau menyeduh teh?""Ya. Agar pikiranku bisa lebih rileks. Mau aku buatkan juga?""Sepertinya masih ada stok kopi di lemari. Aku akan membuatnya sendiri." Joshua berjalan cepat
Joshua menempatkan diri sebagai lelaki yang siaga. Bukan hanya membantu Ivy berbenah, tetapi juga membawakan barang-barang itu ke apartemen. Sedikit banyak, hati Joshua iba melihat apa yang Ivy bawa. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan selayaknya orang pindah rumah. Pun sejak saat itu, kedekatan di antara keduanya terus terjalin. Membuat Ivy merasa begitu banyak berhutang budi. Semuanya mulai tampak berbeda. Saat Ivy berada di dalam salah satu bilik toilet, ada suara dari luar. "Kau tau kalau sekarang dia sudah tinggal bersama pemilik restoran ini.""Dia?" "Ya. Si Aurora. Apa mungkin bayi dalam kandungannya itu pun anaknya Tuan Joshua?"Ivy yang tadinya hendak keluar dari bilik toilet, langsung mematung. Rumor itu sangat oimengerikan. Tuduhan menyakitkan hati yang terkesan kalau Ivy adalah perempuan murahan. "Hush! Jangan menebar gosip. Kalau ternyata bukan, itu akan menjadi bumerang bagi mulutmu sendiri."Ivy tak bisa mengenali siapa saja yang ada di luar bilik toilet. Hanya
Sembari terisak-isak Ivy bercerita. Di seberang percakapan, Charlotte pun ikut menangis. "Katakan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte di antara derai air mata."Tidak ada. Tolong rahasiakan keberadaanku. Juga nomor ponsel baru ini." Ivy sudah merasa jauh lebih baik setelah bercerita pada sahabatnya."Tapi, Sayang, dia berhak tau dan kau kejar pertanggung jawaban." Charlotte masih berusaha melunakkan hati Ivy."Biarlah. Aku hanya ingin hidup berdua dengan bayi ini." Ivy menyeka air mata. "Maafkan karena aku mengganggu tidurmu.""Hei, apa kau tau kalau belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, hah? Aku terus teringat dan merindukanmu." Charlotte masih sempat mengomeli Ivy.Sungguh, Ivy merasa terharu. Disadarinya rasa rindu itu utuh untuk gadis cerewet yang dapat dibayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini. "Aku rindu. Aku tak bersemangat kuliah karena kau tak ada. Apa kau tak ingin mencicipi cheese pizza di kantin kampus?" Air liur Ivy muncul membayangkan keju