Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.
Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi.
Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu.
Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa miris.
"Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang.
"Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur.
"Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya."
"Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya.
"Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau dihukum hanya karena berbaik hati kepadamu." Riddle mengibaskan tangannya.
"Sedikit saja, Tuan. Aku mohon," pinta Ivy. Ada dorongan kuat dari dalam perut yang membuatnya sampai memaksa seperti itu.
Riddle berdecak kesal. Melihat tatapan memelas Ivy, bohong besar kalau nalurinya tak tersentuh. Dilema. Namun, entah kenapa, Riddle beranjak mengambil mangkuk porselen berukuran kecil.
Riddle menuangkan sup kaldu itu ke dalam mangkuk. Beberapa potong daging sapi pun ikut dimasukkan ke dalam mangkuk. "Pergilah. Bawa segera. Aku tak akan berbaik hati untuk yang kedua kalinya."
Air mata Ivy sampai menetes. "Terima kasih, Tuan." Diambilnya mangkuk itu dengan tangan gemetar lalu bergegas pergi menjauh.
Riddle menatap semuanya dengan hati yang berkecamuk. "Semoga saja aku tak dihukum hanya karena bersifat selayaknya manusia."
Ivy menuju kamar di mana Alden berada. Gadis itu tak akan sanggup makan sup lezat sendirian. Dia selalu mendahulukan kepentingan ayahnya.
"Ayah, ayo makan. Aku bawakan sup kaldu yang enak sekali," ucap Ivy.
Alden membuka mata. Susah payah dicobanya untuk tersenyum. Laki-laki paruh baya itu tahu bagaimana sulitnya mereka mendapatkan makanan di rumah sendiri.
Dengan telaten Ivy menyuapi ayahnya. Alden menggerakkan kepala, menandakan sudah selesai. Walau sup itu sangat lezat dan mereka jarang mencicipinya, Alden harus berbagi dengan sang putri.
"Ayah sudah kenyang? Aku boleh makan sup ini?" tanya Ivy dengan mata yang berbinar-binar.
Alden menggerakkan mata. Ivy mengucapkan terima kasih lalu menyantap sup yang tersisa. Tanpa sadar, dielusnya lembut perut yang terlalu ramping itu.
Alden melihat semua tingkah natural Ivy. Rasa sakit menghantam kepala melihat gadisnya hidup sangat kesusahan.
"Aku belum bisa mengembalikan mangkuk ke dapur. Takut ketahuan Tante. Apalagi sup itu dibuat khusus untuk kehamilan Lucy," gumam Ivy.
Alden mendengar semuanya. Tentu saja terkejut karena selama ini, Lucy dan Lucas begitu dimanjakan. Apalagi ketika Alden masih sehat, kedua anak bawaan istri barunya itu, menjadi prioritas utama.
Sementara putri kandungnya harus menerima ketidakadilan yang secara tak langsung disetujui Alden. Sekarang, menyesal sampai bersimbah darah pun tak ada gunanya. Tubuhnya sudah cacat, tak berguna sama sekali. Malah menjadi beban untuk putrinya yang sempat disia-siakan.
Dan Lucy yang selama ini tak sungkan menggelayut manja itu, hamil? Alden ngeri mendengarnya. Hatinya langsung merapal doa agar Ivy tidak pernah melakukan hal yang sama. Hamil sebelum menikah.
Senyum semringah Ivy karena berhasil mencicipi sup kaldu itu menghilang. Perutnya seperti diaduk-aduk. Mual.
"Ay-ayah, maaf. Aku harus ke kamar mandi. Perutku mual sekali." Ivy mengeluarkan suara seperti hendak muntah.
Entah kenapa, firasat Alden berubah buruk. Napasnya berat. Ketakutannya muncul. 'Tidak. Putriku gadis baik-baik. Dia hanya kelelahan, masuk angin atau hanya tak biasa makan makanan enak seperti dulu.'
Ivy berlari menuju kamar mandi yang ada di ujung koridor. Isi perutnya berlomba-lomba minta dikeluarkan. Tubuhnya terasa lemas.
Ivy sampai terduduk lemah tak jauh dari pintu kamar mandi. Lucy yang sudah selesai makan melihat bagaimana payahnya kondisi Ivy.
"Apa kau sakit?"
Ivy mendongak. Lucy tampak sangat cantik dengan balutan dress selutut berbahan katun dengan motif kupu-kupu kecil itu. "Entahlah. Perutku rasanya seperti diaduk-aduk."
Lucy mengulurkan tangan. "Ayo, ke kamarku. Aku punya obatnya."
Sebenarnya, Ivy sudah berjanji untuk menjaga jarak dengan Lucy. Karena menduga kalau penyebab semua kesialan yang menimpanya bertubi-tubi itu adalah ulah dari si adik tiri. Hanya saja, Ivy tak punya bukti.
"Ivy! Jangan melamun. Kau ini, selalu saja membuatku kesal! Aku sedang hamil dan tak baik bagi bayiku kalau aku marah-marah." Lucy mengomel panjang lalu meninggalkan Ivy yang menatap kaget.
"Iya." Ivy mencoba untuk bangkit dan menyusul Lucy.
Rasa rindu berbalut sedih menyergap Ivy ketika melihat isi kamar Lucy. Dahulu, ruangan yang ditempati Lucy adalah kamarnya. Namun, Lucy merengek memintanya kepada Alden dan dikabulkan.
"Tunggu sebentar," ucap Lucy. Dengan cepat, ditariknya laci nakas untuk mengeluarkan sesuatu untuk diserahkan ke Ivy.
Ivy mengernyit heran melihat benda yang disodorkan Lucy. "Apa ini?"
"Alat penguji kehamilan. Kau pasti membutuhkannya."
"Jangan gila, Lucy! Aku tak mungkin sedang hamil," bantah Ivy bercampur ngeri.
"Oh, ya sudah. Aku hanya mencoba berbaik hati. Kalau kau tak mau, buang saja. Pergilah! Aku ngantuk." Lucy mendorong tubuh Ivy lalu gegas menutup pintu, dengan separuh membanting.
Ivy berdiri di depan pintu kamar itu. Gamang. Berbagai pertanyaan menjejali kepalanya. Butuh waktu sekian menit sampai akhirnya Ivy berjalan kembali menuju kamar mandi.
Ivy mengikuti semua petunjuk yang ada di bungkus alat itu. Jantungnya bekerja sangat keras ketika menunggu hasilnya.
Dua garis dengan tanda merah yang samar. "I-ini ... artinya aku ... hamil?"
Ivy terduduk ngeri sambil menggenggam hasil tesnya itu. Bayangan tentang masa depan yang akan semakin suram langsung muncul. Hidupnya saat ini saja sudah cukup sulit.
"Bagaimana bisa aku merawat ayah dan bayi di saat bersamaan? Sedangkan untuk sekadar makan saja, aku seperti pengemis di rumah sendiri."
Ivy keluar dari kamar mandi itu dengan kepala yang sangat berat. Dia memilih untuk meratapi nasib di kamarnya saja.
Berbagai pertanyaan dan pemikiran menjejali kepala Ivy. Bagaimana membiayai kuliah dalam kondisi hamil? Karena hamil pun membutuhkan biaya yang tak sedikit.
"Ayah pasti kecewa karena aku tak bisa menjaga kehormatan. Aku harus apa?" Ivy memeluk tubuhnya.
Bayangan laki-laki bermata sebiru lautan itu membayang. "Di mana aku harus mencari keberadaan ayah dari janin ini? Apa aku harus kembali ke hotel itu untuk bertanya siapa dia?"
Ivy menggeleng. "Tidak. Dia sepertinya bukan tipe laki-laki yang mau bertanggung jawab. Dia pemaksa! Dan belum tentu mau terlibat."
Ivy tahu jalannya pasti akan sangat berliku dan terjal. Belum lagi membayangkan bagaimana reaksi ayahnya juga Payton. Namun, Ivy tak sanggup jika harus menyingkirkan janin tak berdosa itu dari rahimnya.
Ivy memantapkan hati. "Sesulit apa pun ke depannya nanti, aku akan mempertahankan janin ini."
Bulir bening mengalir turun membasahi pipi tirus Ivy. Dielusnya lembut perut yang berisi janin itu. "Bertahanlah di dalam sana, Nak. Tumbuh jadi anak yang kuat. Ada Mommy di sini."
Ketika Ivy baru saja kembali dari pekerjaan paruh waktu sepulang kuliah, tak sengaja mendengar obrolan Payton dan Lucy. "Pemberkatan pernikahan akan digelar minggu ini, Mama. Pestanya menyusul bulan depan. Bagaimana menurut Mama?" Lucy tampak semringah, sambil menggelayut manja di lengan Brian. "Terserah bagaimana baiknya saja. Di mana diadakan pestanya?" Payton tersenyum lebar. "Di rumah ini saja, Tante. Aku akan mengirimkan uang untuk biaya keseluruhannya. Atau Tante mau terima beres?" Brian menatap manis ke arah Lucy. Hati Ivy terasa seperti ditikam pisau. Di saat dirinya harus menyeimbangkan antara mencari uang untuk menghidupi diri, mengurus ayah, juga menjaga kandungan, Lucy mendapatkan semua dengan mudah. Jika biasanya Ivy bisa menahan diri, kali ini entah kenapa dia merasa begitu kesal. Apalagi ketika melihat bagaimana cara Brian mengusap lembut perut Lucy yang terekspos jelas itu. Lucy tanpa malu mengenakan tank top model crop top. 'Tuhan, ini tidak adil. Kenapa selalu a
Ivy tak peduli dengan apa yang didapatkan Lucy sebagai calon pengantin di keluarga Brian Ashley. Pun ketika semua atribut mewah pesta yang diselenggarakan di kediaman keluarga Ivy. Dia dikurung Payton di kamar sempit Alden. Namun, bukan Ivy namanya kalau tidak bisa mencoba untuk keluar. Mansion ini tempat tinggalnya sejak lahir. Sudah tentu Ivy hafal area yang tak diketahui Ibu dan saudari tirinya.Separuh mengendap, Ivy menelusuri lorong menuju taman belakang di mana pesta berlangsung. Gaunnya lusuh, penampilannya mirip pelayan kelas bawah.Lampu-lampu menghiasi taman yang luas itu. Kursi dan meja kayu disusun rapi lengkap dengan hidangan lezat. Sepanjang jalan menuju area yang dibuat menyerupai altar dikelilingi rangkaian bunga-bunga di mana Lucy dan Brian duduk dengan senyum semringah tercetak jelas. Dari tanaman yang dibentuk rimbun itu, Ivy mengintip dengan hati penuh luka. 'Kalian bersenang-senang di atas lukaku. Kalian makan dan minum, berpesta menggunakan kekayaan Ayah.' Di
Ivy terbangun karena suhu tubuhnya terasa sangat panas. Semalaman berbaring di dalam kamar mandi membuatnya menggigil. 'Pasti para pelayan sudah bangun. Aku harus keluar dari tempat ini.' Ivy mencoba untuk menggedor pintu dengan sisa tenaga yang ada."To-tolong. Siapa saja, tolong akun!" teriak Ivy.Tidak ada jawaban. Letak kamar mandi itu memang agak di belakang. Ivy terus mencoba dan berharap akan datang seseorang untuk mengeluarkannya.Brian yang diminta oleh Lucy mengambil makanan dari dapur mansion, tiba-tiba mendengar suara dari kamar mandi itu."Aneh, aku seperti mendengar suara dari pintu itu." Sebenarnya, Brian tersasar karena salah berbelok. Harusnya ke kanan, mantan kekasih Ivy itu malah ke kiri. "Tolong," rintih Ivy sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.Separuh ragu Brian mendekat ke arah pintu. "Aneh, kuncinya malah tergantung di sini." Brian mendekatkan telinganya ke arah pintu. Hening. Tidak terdengar suara apa pun. "Tidak mungkin mansion ini berhantu, kan?'Did
Mansion milik Alden pagi-pagi sudah dihebohkan dengan teriakan Lucy. Wanita manja yang tengah berbadan dua itu sibuk mencari ke mana suaminya.Namun, tak ada satu pun pelayan di mansion yang berhasil menemukan Brian.Lucy menepuk jidatnya. 'Dasar bodoh! Kau kan sudah menyadap lokasi di mana Brian berada.' Lucy berbalik, melangkah ke kamar untuk menyambar ponsel di atas nakas dan mengenakan cardigan selutut. Keningnya mengernyit ketika melihat di mana lokasi Brian berada. Sementara di rumah sakit, suster sudah membantu memindahkan Brian ke sofa. Ivy tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya terasa lemah dan tidak bisa banyak bergerak. Keduanya masih tertidur pulas ketika Lucy menerjang masuk. Dengan penuh drama, Lucy mengguncang bahu Brian. "Bangun! Brian, bangun!"Brian menatap nanar. Pengar menghantam kepalanya. Brian menelan ludah ketika menyadari di mana dirinya saat ini. "Lu-lucy, ke-kenapa kau ada di sini?" Lucy menangis keras. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau ada di kamar i
Tidak ada hal yang mudah untuk dijalani oleh Ivy. Dalam keadaan hamil, dia harus tetap tegak dan waras menjalani hari. Ivy juga tetap pergi berkuliah dan bekerja paruh waktu.Kondisi kehamilannya pun sering menjadi bahan olokan dan cibiran. Sangat berbanding terbalik dengan Lucy yang disayang dan penuh kemudahan.Dengan alasan morning sickness yang mengganggu, Lucy tidak melanjutkan pendidikan. Tentu saja Ivy merasa sedih. Di saat dia pun hamil, tetapi masih harus tetap beraktivitas dan bekerja layaknya gadis normal.Ivy baru saja mendapatkan bis yang membawanya ke kafe tempatnya bekerja. Ivy meringis karena merasakan kram di perutnya. "Ssh." Ivy memejamkan mata sambil mengelus lembut perutnya yang mulai membuncit. Seorang nenek tua di sebelahnya menatap cemas. "Kau kenapa, Nona?"Ivy membuka mata lalu menoleh. "Aku tidak apa-apa, Nenek. Hanya sedikit kram saja.""Ah, pasti rasanya tidak nyaman." Wanita berusia senja itu tersenyum sedih.Ivy balas tersenyum. "Aku pikir semua perempu
Alden ingin menolak semua yang biasa dilakukan Ivy dalam mengurusinya. Namun, tidak bisa. Lagipula siapa lagi yang bisa diharapkan bisa mengurusi sama telatennya seperti Ivy?Selama hidupnya terpuruk, Payton malah meludahi dan mengatakan umpatan kasar juga kotor. Seakan-akan membalaskan semua dendam yang selama ini tanpa sadar dipupuk oleh Alden sendiri.Jadi, Alden hanya bisa menatap datar ke wajah putrinya. Walau terselip rasa marah, tetapi Alden bisa apa? Tak sedikit pun perlakuan Ivy berubah untuknya.'Apa laki-laki itu menolak untuk bertanggung jawab? Jadi kau terpaksa bertahan hidup di mansion yang tak ada ubahnya seperti neraka ini?' Alden mengerjapkan mata, berusaha menekan perasaan yang bergejolak hebat akibat pemikiran mendadak itu.Alden membuang rasa marahnya. Karena mendadak berpikir kemungkinan terburuk. 'Bagaimana kalau ternyata Ivy adalah korban pelecehan? Ya Tuhan, malangnya nasib putriku.'Air matanya mengalir perlahan. Ivy yang sedang sibuk mondar-mandir menyiapkan
Untung saja Sandy menyelamatkan Ivy dari sosok pengunjung kafe yang sok akrab itu. Bagaimana tidak, laki-laki itu dengan sangat percaya diri mendadak ingin menyentuh Ivy. Seumur-umur menjadi pelayan di kafe, baru kali ini ada yang berbuat sok akrab begitu dengan Ivy. Untungnya, Ivy bisa menguasai diri dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. "Jangan takut, Ivy. Kalau kita tidak menanggapi, lelaki mata keranjang yang coba-coba menebar umpan, mereka pasti akan mundur sendiri." Sandy mengelus lengan Ivy."Iya. Leb-lebih baik kita kembali bekerja saja." Ivy masih dalam kondisi terkejut akibat sikap laki-laki tadi. Selama ini, sebisa mungkin Ivy menghindari interaksi dengan orang-orang. Terjadi sejak Payton masuk menjadi perampas kebahagiaan hidup Ivy. Gadis berambut ikal kecokelatan dengan manik mata berwarna kehijauan itu, menjadi semakin tertutup.Wajar jika dia sangat terkejut dengan sikap pengunjung kafe itu. Dess longgar yang dikenakannya tampak begitu kebesaran di t
Ketika terbangun, Ivy merasa tubuhnya nyeri. "Ssh, aduhh." Lebih terkejutnya lagi ketika menyadari perutnya sudah kempes. Akan tetapi, tidak ada keberadaan siapa pun di sebelahnya. "Perutku ... apa aku sudah melahirkan? Lalu di mana anakku?"Ruangan itu sepi. Seperti ruangan rawat dengan selang infus yang tertancap di nadi Ivy. Ditahannya rasa pusing yang masih tersisa, lalu Ivy mencoba untuk duduk.Baru hendak bangkit dari posisi rebah saja, rasa sakit seketika menghantam perutnya. "Arggh. Sakitt."Air matanya berlinang. Nyeri tak tertahankan itu terasa sangat menyiksa. "Di mana anakku? Bayiku, apa dia baik-baik saja?"Ivy tak tahu di mana keberadaannya saat ini. Dia terus menangis sampai terdengar suara pintu yang dibuka. "Tan-tante, di mana anakku?" Payton yang mengenakan gaun serba hitam itu hanya menatap datar. "Jangan banyak bergerak dulu. Kau baru bisa belajar berjalan besok."Tindakan operasi yang dilakukan tanpa seizin Ivy, terjadi di bawah permintaan Payton. Namun, ruanga
Ocean membimbing Ivy ke depan kaca. "Lihatlah. Betapa cantiknya wajah istriku."Ivy menggeleng. "Tidak. Kau memuji hanya untuk menyenangkan hatiku saja."Ocean mengecup pundak Ivy. "Kenapa bisa terpikir seperti itu, hm?""Entahlah. Mungkin karena beberapa bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kau bosan karena sudah terpisah sekian lama denganku." Sebenarnya, hati Ivy sakit saat mengutarakan rasa. Ocean tersenyum. "Apa kau ingin tau seberapa parahnya keadaanku saat kau pergi tanpa pesan?""Kau tampak baik-baik saja." Ivy masih bersikeras. Ocean menarik tubuh Ivy agar saling berhadapan. "Lihat baik-baik suamimu ini. Apa yang berubah sejak kau pergi, hm?"Ivy menelisik dengan teliti. "Kau lebih kurus. Cambangmu berantakan. Kau juga seperti lupa caranya bersisir dengan rapi.""Dan apa kau tak melihat kalau aku punya kantung mata?"Tatapan Ivy terkunci di sepasang bola mata sebiru lautan itu. "Apa kau tidak bisa tidur?"Ingin sekali Ocean mengigit bibir Ivy yang begitu ringan ber
Ocean menatap lembut. Jemarinya terulur untuk merapikan rambut Ivy, lalu diselipkan di belakang telinga. "Kau adalah hal paling luar biasa yang bisa mengubah sudut pandangku tentang cinta."Ivy tak mampu menahan semburat merah yang hadir akibat rasa jengah karena pujian itu. Isi kepala dan hatinya bertentangan. Kedua organ tubuh itu sedang melakukan tugasnya masing-masing."Katakan, Sayang. Apa yang terjadi sampai kau bisa mengikuti acara lelang itu?" Ocean ingin memperbaiki semua dari awal pertemuan mereka. Lalu Ivy pun bercerita tentang pekerjaan sampingan yang diambilnya setelah pulang kuliah, yakni menjadi petugas katering. Saat itu, adik tirinya datang sebagai tamu. Salah satu pelayan yang juga bekerja di sana, memberi Ivy minuman. Setelahnya tubuh Ivy terasa aneh. Ivy pun mengadukan hal itu ke Lucy, adik tirinya. Lalu dia dibimbing masuk ke kamar milik penyelenggara pesta, Mike.Ocean tahu ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. "Maaf, apa sebelum ini, kau pernah minu
Dokter sudah mengizinkan Ivy untuk pulang. Saat dia mengatakan harus mampir ke apartemen milik Joshua, Ocean hanya menggelengkan kepalanya. "Tapi barang bawaanku ada di sana, Ocean." Ivy hendak melepas seat beltnya."Aku sudah meletakkannya di bagasi belakang, Sayang. Kita hanya perlu pulang saja." Ocean berkata lembut. Sungguh, Ocean sudah berjanji akan benar-benar memperlakukan Ivy dengan sebaik-baiknya. Ocean berniat untuk membahas semua tentang masa lalu keduanya. Agar kelak tak akan ada lagi bahan bangkitan dari masa lalu. Ivy pun tak jadi membantah. Apalagi melihat sorot mata sebiru lautan itu begitu teduh menenangkan hati. Ivy terhipnotis."Kita belum boleh mengunjungi Kakek lagi. Dan sekarang, setiap aku dinas ke luar kota atau luar negeri, kau harus ikut."Nyali Ivy sudah tak seberani saat mengetahui kebenaran yang sengaja disembunyikan Ocean. Sekarang, dia hanya ingin hidup tenang sambil membesarkan anak dalam kandungan saja. Ke-empat orang itu berada di satu pesawat yan
Joshua tak menyangka kalau perempuan hamil yang menarik perhatiannya ternyata adalah istri konglomerat.Walau penampilan Ocean tampak dingin, tetap saja aura dirinya mampu mengintimidasi lawan bicara. "Maaf, aku tak tahu kalau Aurora punya suami. Dia sama sekali tidak pernah membahas tentang itu."Tanpa berkata apa-apa, Ocean mengeluarkan semua bukti. "Empat pekerjamu mengeroyok istriku. Seperti ini kondisinya sekarang."Joshua gusar bukan main. Apalagi melihat foto yang diam-diam diambil Ocean ketika pertama kali tiba di ruang pasien itu. "Ini ... astaga! Berengsek sekali.""Ya. Semua hanya karena kau memperlakukan istriku secara berlebihan di mata orang lain. Katakan, berapa yang harus aku bayar?" Kesombongan begitu kuat terpancar dari Ocean.Joshua tersenyum tipis. Lelaki di hadapan ini bukan sedang menantang harga dirinya sebagai atasan Ivy. Lelaki ini hanya sedang berusaha melindungi istrinya. "Tidak ada. Aku ikhlas melakukan hal itu. Dia adalah stafku yang berdedikasi tinggi."O
Masih dalam kondisi gemetaran, Ivy menekan tombol pemanggil suster. Tak lama kemudian, suster datang. "Ibu sudah siuman? Bagaimana? Apa yang Ibu rasakan?""Bayiku bagaimana?" Ivy tidak mencemaskan keadaannya. Masih ada yang jauh lebih penting."Bayi Ibu baik-baik saja. Luka lebam juga sudah diobati. Bukti visum juga sudah ada." Suster itu menatap iba. Paramedis yang menangani, mengira kalau Ivy menjadi korban perampokan."Boleh tolong ketikkan alamat lengkap rumah sakit ini? Keluargaku ingin berkunjung." Ivy menyodorkan ponsel berisi aplikasi pesan langsung ke nomor Charlotte."Oh, tentu saja boleh. Sebentar." Dengan sigap, suster membantu apa yang Ivy inginkan, lalu mengembalikan ponsel. "Terima kasih banyak, Suster. Maaf, di mana orang yang menolongku?""Beliau sudah pergi. Tapi dia meninggalkan nomor telepon. Nanti akan aku tanya di pihak resepsionis.""Baik. Sekali lagi terima kasih, Suster." Ivy mencoba tersenyum.Rahangnya masih terasa sakit. Pun lehernya agak nyeri. Cekikan di
Biasanya, Ivy selalu tersenyum ketika berpapasan dengan para pekerja di restoran itu. Namun, sejak kejadian dengan beberapa waiters dipecat sepihak oleh Joshua, lebih banyak yang melengos atau pura-pura tidak melihatnya.Ivy hanya bisa mengelus dada. Bersikap sabar ada semua cobaan yang sedang di jalaninya. Isi tahu ada janin yang harus ditanggung secara mental dan fisik. Sepulang kerja, Ivy menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu gerai salad. Lidahnya tiba-tiba menginginkan makanan itu. Ivy sampai membawa pulang satu pack salad untuk dimakan di apartemen.Karena lokasi gerai salad itu dekat dengan taman, Ivy menyempatkan diri untuk menikmati senja. Dia duduk di bangku taman yang kosong. Sembari menatap keindahan semesta, Ivy mengelus lembut perutnya. "Bayiku, sedang apa di sana? Kau suka dengan rasa salad yang tadi Mama makan?"Sesekali Ivy tersenyum. Di bayangannya, ada anak yang terlahir dari rahimnya lagi. Dia bisa melupakan kerinduan kepada Lake yang sampai sekarang pun
Ivy tak bisa lagi bersikap seperti biasa ke Joshua. Pun lelaki itu seperti sengaja menjaga jarak. Ivy berusaha bekerja sangat profesional. Jika harus bersinggungan dengan Joshua, Ivy memasang sikap sangat formal. Hal itu membuat Joshua berang. Sepulang dari memeriksa laporan cabang-cabang restoran, Joshua sengaja mampir ke unit apartemennya. Walau sudah hafal luar kepala passcode, tetap saja Joshua harus menekan bel. Demi kesopanan, pikirnya. Ivy muncul dengan tampilan gaun tidur bermotif bunga dengan panjang selutut. "Ah, ternyata Anda. Maaf kalau aku sudah bersiap untuk tidur."Joshua tersenyum canggung. "Ada hal yang mengganggu pikiranku. Jadi aku putuskan untuk mampir.""Oh, begitu? Silahkan masuk. Toh ini unit milik Anda sendiri." Ivy membukakan pintu selebar mungkin.Joshua masuk dan mencium aroma teh. "Kau menyeduh teh?""Ya. Agar pikiranku bisa lebih rileks. Mau aku buatkan juga?""Sepertinya masih ada stok kopi di lemari. Aku akan membuatnya sendiri." Joshua berjalan cepat
Joshua menempatkan diri sebagai lelaki yang siaga. Bukan hanya membantu Ivy berbenah, tetapi juga membawakan barang-barang itu ke apartemen. Sedikit banyak, hati Joshua iba melihat apa yang Ivy bawa. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan selayaknya orang pindah rumah. Pun sejak saat itu, kedekatan di antara keduanya terus terjalin. Membuat Ivy merasa begitu banyak berhutang budi. Semuanya mulai tampak berbeda. Saat Ivy berada di dalam salah satu bilik toilet, ada suara dari luar. "Kau tau kalau sekarang dia sudah tinggal bersama pemilik restoran ini.""Dia?" "Ya. Si Aurora. Apa mungkin bayi dalam kandungannya itu pun anaknya Tuan Joshua?"Ivy yang tadinya hendak keluar dari bilik toilet, langsung mematung. Rumor itu sangat oimengerikan. Tuduhan menyakitkan hati yang terkesan kalau Ivy adalah perempuan murahan. "Hush! Jangan menebar gosip. Kalau ternyata bukan, itu akan menjadi bumerang bagi mulutmu sendiri."Ivy tak bisa mengenali siapa saja yang ada di luar bilik toilet. Hanya
Sembari terisak-isak Ivy bercerita. Di seberang percakapan, Charlotte pun ikut menangis. "Katakan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte di antara derai air mata."Tidak ada. Tolong rahasiakan keberadaanku. Juga nomor ponsel baru ini." Ivy sudah merasa jauh lebih baik setelah bercerita pada sahabatnya."Tapi, Sayang, dia berhak tau dan kau kejar pertanggung jawaban." Charlotte masih berusaha melunakkan hati Ivy."Biarlah. Aku hanya ingin hidup berdua dengan bayi ini." Ivy menyeka air mata. "Maafkan karena aku mengganggu tidurmu.""Hei, apa kau tau kalau belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, hah? Aku terus teringat dan merindukanmu." Charlotte masih sempat mengomeli Ivy.Sungguh, Ivy merasa terharu. Disadarinya rasa rindu itu utuh untuk gadis cerewet yang dapat dibayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini. "Aku rindu. Aku tak bersemangat kuliah karena kau tak ada. Apa kau tak ingin mencicipi cheese pizza di kantin kampus?" Air liur Ivy muncul membayangkan keju