Sejak peristiwa pemenangan lelang gadis di malam dua bulan lalu, Ocean Aloysius Alexavier, tak pernah lagi berselera menghabiskan malam panjang bersama wanita bayaran.
Setiap ingin menuntaskan dahaga, seleranya menguap walau wanita bayaran itu sudah dalam kondisi siap tempur. Bayangan wajah cantik gadis bermata kehijauan dengan rambut ikal berantakan, lengkap erangan sendu, terus menggema di kepalan Ocean.
Sayang, Ocean kehilangan jejak dan petunjuk tentang siapa gadis yang mencuri uang seratus dollar miliknya pagi itu. Padahal Ocean dengan senang hati akan memandikan gadis itu dengan jutaan dollar jika saja ada malam-malam panas berikutnya.
Bibir sensual yang merekah merah alami itu seakan-akan membiusnya agar tidak lagi sembarangan memagut milik jalang lain. Wajah sendu yang mengerang manja itu pun menari-nari di pelupuk mata Ocean.
"Pakailah bajumu. Aku berubah pikiran." Ocean mendengkus keras lalu berpindah ke sofa. Diteguknya wine untuk mengusir rasa kesal.
Wanita bayaran yang sudah menunggu lama kesempatan untuk bisa melayani Ocean, menatap kesal. Sudah dilakukannya pose menantang dengan lingerie tipis seksi menggoda, mangsa di hadapannya malah mengusir tanpa berminat lebih lanjut.
Merasa tertantang, didatanginya laki-laki yang memasang wajah dingin itu. "Tuan, apakah tubuhku ini tak mampu membuat Anda tertarik?" Jemari lentik itu langsung merambat naik ke arah pangkal paha Ocean.
Ocean menangkap jemari yang lancang itu. Ocean meletakkan gelas sloki berisi wine, lalu dicengkeramnya dagu runcing wanita bertubuh sintal itu. "Apa kau sudah sangat ingin digagahi? Baiklah. Akan aku kabulkan."
Seringai nakal muncul di wajah wanita bayaran itu. "Dengan senang hati aku akan memuaskan Tuan."
Ocean menghempaskan dagu runcing itu. Ditekannya tombol ponsel. "Masuklah."
Hanya beberapa menit kemudian, Jarret Rodriguez, asisten pribadi Ocean, masuk. "Perintah, Tuan."
Tatapan mata Ocean mengunci ke arah wanita bayaran itu. "Dia butuh pemuasan. Berikan sampai dia lupa caranya berjalan!"
Mata keabuan itu membelalak ngeri, tubuhnya langsung gemetar dan bersujud. "Tolong, Tuan. Maafkan aku. Jangan. Aku ... aku pulang saja."
Ocean mendengkus. "Aku sudah berbaik hati memberimu bonus. Pergunakan sebelum aku murka dan memintanya untuk melenyapkanmu."
Tanpa belas kasihan, Jarret meraih tubuh seksi yang nyaris terekspos sempurna itu dalam panggulannya. Mirip seperti memanggul karung beras, enteng saja asisten pribadi itu melakukannya.
Jeritan keras dan pukulan yang mendarat di punggung Jarret tak terasa sama sekali. Tubuh kekar itu benar-benar keras dan liat.
Di ruang bawah tanah, gadis itu dilemparkan ke ranjang penyiksaan. "Jangan pernah berpikir untuk lari!"
Wanita bayaran itu melanggarnya. Ditangkapnya kaki Jarret. "Tolong, ampuni aku, Tuan. Aku hanya ingin melayani Tuan saja."
Air matanya mengalir deras. Make up yang tadinya sempurna untuk memikat hati pejantan, sudah berantakan. Belum lagi rambutnya sudah seperti singa.
"Bukannya Tuan sudah berbaik hati memuaskan keinginanmu? Tunggulah sebentar lagi." Dengan satu kali sentakan keras, Jarret membuat wanita itu terjengkang.
Pintu kayu itu pun ditutup. Selang beberapa menit kemudian, masuklah satu laki-laki berwajah masam untuk melaksanakan perintah dari bos mereka.
Jarret kembali mendatangi kamar tuannya. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan untuk masuk, lelaki bertubuh tinggi besar itu menunggu perintah.
"Kenapa sulit sekali mencari siapa gadis yang bersamaku malam itu?" Ocean menyesap wine nya.
"Maaf, Tuan. Aku sudah melacak data sampai ke agensi penyelenggara acara, nama yang didaftarkan palsu." Jarret menunduk.
"Bagaimana bisa?" Ocean meremas gelas sloki itu.
"Nama dan identitasnya ketika dilacak merupakan milik gadis yang sudah lama mati."
"Berengsek!" Ocean langsung mengentakkan gelas itu ke meja. "Cari dia, Jarret! Ke ujung dunia mana pun, temukan gadis itu!"
Tadinya, Ocean ingin langsung mencari siapa sebenarnya gadis yang menarik perhatiannya itu. Namun, Ferdinand Sky Alexavier, kakeknya, menugaskannya untuk segera mendatangi kota Light Queen.
Ada agenda jual-beli tanah ribuan hektar yang hendak dijadikan sebagai perkebunan anggur. Salah satu bisnis keluarga Alexavier, bergerak di bidang budidaya anggur hingga menjadi minuman beralkohol berharga mahal.
Ada juga kebun cokelat yang dipegang oleh Jacob Alvonsius Leight, sepupu kandung Ocean. Anak dari putri sulung Ferdinand.
Ocean dan Jacob. Dua laki-laki itu memang bersaing ketat memperebutkan posisi penerus klan mafia Alexavier. Jika Ocean masih betah menebar pesona dan benih ke sembarang wanita, Jacob sudah bertaubat dan menikahi wanita berdarah bangsawan pula, Marion Green.
Ferdinand sedang menantikan kehadiran cicit yang akan diwariskan banyak sekali kemewahan. Laki-laki berusia senja itu berharap banyak dari Ocean. Karena Ocean satu-satunya cucu berdarah Alexavier, keturunan langsung dari Dominic Thunder, putra bungsu Ferdinand.
Hanya saja, Ferdinand tak bisa langsung menyerahkan kekuasaan pada Ocean, mengingat ada hati yang harus dijaganya. Ferdinand tak mau menyakiti putrinya, ibu kandung Jacob.
"Apa kita akan kembali ke Brightstorm dalam waktu dekat, Tuan?"
"Belum, Jarret. Kakek masih belum memerintahku lagi. Urusan tanah pun masih belum selesai, kan." Ocean kembali menyesap winenya.
"Baik, Tuan. Permisi."
"Cari gadis itu. Jangan berhenti sampai kau berhasil menemukannya," pungkas Ocean.
"Siap, Tuan."
Sementara itu, di kamar sempit bekas gudang perkakas , Ivy berbaring lemah. Sudah sejak pagi, dia memuntahkan isi perut. Sampai tenaganya nyaris tak tersisa.
"Aku tak punya persediaan obat. Pasti ini karena aku sering terlambat makan." Ivy meringis menahan rasa enek yang tersisa di pangkal tenggorokannya.
Sejak peristiwa kelam itu, Ivy bertekad untuk mengubur semua kenangan buruk dengan mengambil kerja paruh waktu lebih banyak. Dia butuh uang lebih untuk membayar perawat. Agar ayahnya bisa sembuh.
Sungguh miris karena semua harta yang seharusnya dimiliki Ivy, malah sudah berpindah tangan dengan mudah ke Payton. Tanpa sisa. Bahkan untuk sekadar makan saja, jatah Ivy jauh lebih menyedihkan ketimbang pelayan di rumah.
Ivy sering hanya makan sup encer yang dingin dan sekerat roti dengan irisan daging super tipis. Baginya tak mengapa, asalkan ayahnya bisa makan dengan layak. Tidak mewah seperti hidangan spesial lengkap seperti dahulu. Di mana ada menu pembuka, menu utama dan pencuci mulut.
Koki dan pekerja lama yang setia pada keluarga, sudah dipecat Payton. Sekarang yang tersisa di rumah megah itu hanyalah pelayan-pelayan baru pencari muka. Karena tak ingin dibuang tanpa gaji oleh wanita licik itu, tentu saja.
Ivy kembali bergegas turun. Tubuhnya bersimpuh di depan ember besi. Ivy kembali muntah. "Ya Tuhan, aku tak bisa mengambil pekerjaan hari ini. Bisa-bisa nanti aku pingsan di dalam kereta bawah tanah."
Ivy mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada untuk membawa ember itu. Dia harus mencuci bersih ember sebelum Payton mengamuk.
Ketika langkah kakinya hampir sampai di depan kamar Lucy, terdengar suara teriakan kegirangan. "Ah, Sayang. Aku hamil. Kita akan segera menikah resmi, bukan?"
"Tentu saja. Aku akan bertanggung jawab pada bayi itu. Kau akan segera menjadi Nyonya Brian Ashley, Sayang."
Spontan, ember yang dipegang Ivy jatuh ke lantai dan menimbulkan suara nyaring. Tak hanya itu, isinya pun berceceran di lantai.
Lucy yang merasa terganggu langsung keluar dengan wajah kesal. Namun, kegembiraannya muncul melihat Ivy dengan gemetar sibuk membereskan kekacauan itu.
Lucy menyenggol tubuh Ivy sampai tersungkur dalam genangan bekas muntahan itu. "Oopst, aku tak sengaja. Astaga, Kakak, kau tampak menyedihkan. Seperti biasanya."
Brian yang menyusul kemudian menatap dengan iba. Namun, tak mungkin ditolongnya gadis yang sudah mengkhianatinya itu.
Lucy yang melihat Brian keluar, langsung menghampiri untuk menggelayut manja. "Maaf, Sayang. Ivy tak sengaja menumpahkan isi ember itu."
Brian masih marah kepada Ivy. Hatinya masih terluka parah, karena menganggap Ivy-lah yang lebih dahulu berkhianat. Agar makin menabur garam di luka hati Ivy, Brian merangkul pinggang Lucy. "Biarkan saja! Dia memang gadis ceroboh dan tak tahu diri."
Masih dengan menatap datar, Brain tanpa sungkan menggendong Lucy kembali ke kamar. Ivy yang masih bersimpuh dengan rambut dan tubuh lengket berbau, sudah kehilangan kemampuan untuk menangisi nasibnya lagi.
Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi. Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu. Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa miris. "Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang."Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur. "Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya." "Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya."Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau di
Ketika Ivy baru saja kembali dari pekerjaan paruh waktu sepulang kuliah, tak sengaja mendengar obrolan Payton dan Lucy. "Pemberkatan pernikahan akan digelar minggu ini, Mama. Pestanya menyusul bulan depan. Bagaimana menurut Mama?" Lucy tampak semringah, sambil menggelayut manja di lengan Brian. "Terserah bagaimana baiknya saja. Di mana diadakan pestanya?" Payton tersenyum lebar. "Di rumah ini saja, Tante. Aku akan mengirimkan uang untuk biaya keseluruhannya. Atau Tante mau terima beres?" Brian menatap manis ke arah Lucy. Hati Ivy terasa seperti ditikam pisau. Di saat dirinya harus menyeimbangkan antara mencari uang untuk menghidupi diri, mengurus ayah, juga menjaga kandungan, Lucy mendapatkan semua dengan mudah. Jika biasanya Ivy bisa menahan diri, kali ini entah kenapa dia merasa begitu kesal. Apalagi ketika melihat bagaimana cara Brian mengusap lembut perut Lucy yang terekspos jelas itu. Lucy tanpa malu mengenakan tank top model crop top. 'Tuhan, ini tidak adil. Kenapa selalu a
Ivy tak peduli dengan apa yang didapatkan Lucy sebagai calon pengantin di keluarga Brian Ashley. Pun ketika semua atribut mewah pesta yang diselenggarakan di kediaman keluarga Ivy. Dia dikurung Payton di kamar sempit Alden. Namun, bukan Ivy namanya kalau tidak bisa mencoba untuk keluar. Mansion ini tempat tinggalnya sejak lahir. Sudah tentu Ivy hafal area yang tak diketahui Ibu dan saudari tirinya.Separuh mengendap, Ivy menelusuri lorong menuju taman belakang di mana pesta berlangsung. Gaunnya lusuh, penampilannya mirip pelayan kelas bawah.Lampu-lampu menghiasi taman yang luas itu. Kursi dan meja kayu disusun rapi lengkap dengan hidangan lezat. Sepanjang jalan menuju area yang dibuat menyerupai altar dikelilingi rangkaian bunga-bunga di mana Lucy dan Brian duduk dengan senyum semringah tercetak jelas. Dari tanaman yang dibentuk rimbun itu, Ivy mengintip dengan hati penuh luka. 'Kalian bersenang-senang di atas lukaku. Kalian makan dan minum, berpesta menggunakan kekayaan Ayah.' Di
Ivy terbangun karena suhu tubuhnya terasa sangat panas. Semalaman berbaring di dalam kamar mandi membuatnya menggigil. 'Pasti para pelayan sudah bangun. Aku harus keluar dari tempat ini.' Ivy mencoba untuk menggedor pintu dengan sisa tenaga yang ada."To-tolong. Siapa saja, tolong akun!" teriak Ivy.Tidak ada jawaban. Letak kamar mandi itu memang agak di belakang. Ivy terus mencoba dan berharap akan datang seseorang untuk mengeluarkannya.Brian yang diminta oleh Lucy mengambil makanan dari dapur mansion, tiba-tiba mendengar suara dari kamar mandi itu."Aneh, aku seperti mendengar suara dari pintu itu." Sebenarnya, Brian tersasar karena salah berbelok. Harusnya ke kanan, mantan kekasih Ivy itu malah ke kiri. "Tolong," rintih Ivy sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.Separuh ragu Brian mendekat ke arah pintu. "Aneh, kuncinya malah tergantung di sini." Brian mendekatkan telinganya ke arah pintu. Hening. Tidak terdengar suara apa pun. "Tidak mungkin mansion ini berhantu, kan?'Did
Mansion milik Alden pagi-pagi sudah dihebohkan dengan teriakan Lucy. Wanita manja yang tengah berbadan dua itu sibuk mencari ke mana suaminya.Namun, tak ada satu pun pelayan di mansion yang berhasil menemukan Brian.Lucy menepuk jidatnya. 'Dasar bodoh! Kau kan sudah menyadap lokasi di mana Brian berada.' Lucy berbalik, melangkah ke kamar untuk menyambar ponsel di atas nakas dan mengenakan cardigan selutut. Keningnya mengernyit ketika melihat di mana lokasi Brian berada. Sementara di rumah sakit, suster sudah membantu memindahkan Brian ke sofa. Ivy tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya terasa lemah dan tidak bisa banyak bergerak. Keduanya masih tertidur pulas ketika Lucy menerjang masuk. Dengan penuh drama, Lucy mengguncang bahu Brian. "Bangun! Brian, bangun!"Brian menatap nanar. Pengar menghantam kepalanya. Brian menelan ludah ketika menyadari di mana dirinya saat ini. "Lu-lucy, ke-kenapa kau ada di sini?" Lucy menangis keras. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau ada di kamar i
Tidak ada hal yang mudah untuk dijalani oleh Ivy. Dalam keadaan hamil, dia harus tetap tegak dan waras menjalani hari. Ivy juga tetap pergi berkuliah dan bekerja paruh waktu.Kondisi kehamilannya pun sering menjadi bahan olokan dan cibiran. Sangat berbanding terbalik dengan Lucy yang disayang dan penuh kemudahan.Dengan alasan morning sickness yang mengganggu, Lucy tidak melanjutkan pendidikan. Tentu saja Ivy merasa sedih. Di saat dia pun hamil, tetapi masih harus tetap beraktivitas dan bekerja layaknya gadis normal.Ivy baru saja mendapatkan bis yang membawanya ke kafe tempatnya bekerja. Ivy meringis karena merasakan kram di perutnya. "Ssh." Ivy memejamkan mata sambil mengelus lembut perutnya yang mulai membuncit. Seorang nenek tua di sebelahnya menatap cemas. "Kau kenapa, Nona?"Ivy membuka mata lalu menoleh. "Aku tidak apa-apa, Nenek. Hanya sedikit kram saja.""Ah, pasti rasanya tidak nyaman." Wanita berusia senja itu tersenyum sedih.Ivy balas tersenyum. "Aku pikir semua perempu
Alden ingin menolak semua yang biasa dilakukan Ivy dalam mengurusinya. Namun, tidak bisa. Lagipula siapa lagi yang bisa diharapkan bisa mengurusi sama telatennya seperti Ivy?Selama hidupnya terpuruk, Payton malah meludahi dan mengatakan umpatan kasar juga kotor. Seakan-akan membalaskan semua dendam yang selama ini tanpa sadar dipupuk oleh Alden sendiri.Jadi, Alden hanya bisa menatap datar ke wajah putrinya. Walau terselip rasa marah, tetapi Alden bisa apa? Tak sedikit pun perlakuan Ivy berubah untuknya.'Apa laki-laki itu menolak untuk bertanggung jawab? Jadi kau terpaksa bertahan hidup di mansion yang tak ada ubahnya seperti neraka ini?' Alden mengerjapkan mata, berusaha menekan perasaan yang bergejolak hebat akibat pemikiran mendadak itu.Alden membuang rasa marahnya. Karena mendadak berpikir kemungkinan terburuk. 'Bagaimana kalau ternyata Ivy adalah korban pelecehan? Ya Tuhan, malangnya nasib putriku.'Air matanya mengalir perlahan. Ivy yang sedang sibuk mondar-mandir menyiapkan
Untung saja Sandy menyelamatkan Ivy dari sosok pengunjung kafe yang sok akrab itu. Bagaimana tidak, laki-laki itu dengan sangat percaya diri mendadak ingin menyentuh Ivy. Seumur-umur menjadi pelayan di kafe, baru kali ini ada yang berbuat sok akrab begitu dengan Ivy. Untungnya, Ivy bisa menguasai diri dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. "Jangan takut, Ivy. Kalau kita tidak menanggapi, lelaki mata keranjang yang coba-coba menebar umpan, mereka pasti akan mundur sendiri." Sandy mengelus lengan Ivy."Iya. Leb-lebih baik kita kembali bekerja saja." Ivy masih dalam kondisi terkejut akibat sikap laki-laki tadi. Selama ini, sebisa mungkin Ivy menghindari interaksi dengan orang-orang. Terjadi sejak Payton masuk menjadi perampas kebahagiaan hidup Ivy. Gadis berambut ikal kecokelatan dengan manik mata berwarna kehijauan itu, menjadi semakin tertutup.Wajar jika dia sangat terkejut dengan sikap pengunjung kafe itu. Dess longgar yang dikenakannya tampak begitu kebesaran di t
Ocean membimbing Ivy ke depan kaca. "Lihatlah. Betapa cantiknya wajah istriku."Ivy menggeleng. "Tidak. Kau memuji hanya untuk menyenangkan hatiku saja."Ocean mengecup pundak Ivy. "Kenapa bisa terpikir seperti itu, hm?""Entahlah. Mungkin karena beberapa bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kau bosan karena sudah terpisah sekian lama denganku." Sebenarnya, hati Ivy sakit saat mengutarakan rasa. Ocean tersenyum. "Apa kau ingin tau seberapa parahnya keadaanku saat kau pergi tanpa pesan?""Kau tampak baik-baik saja." Ivy masih bersikeras. Ocean menarik tubuh Ivy agar saling berhadapan. "Lihat baik-baik suamimu ini. Apa yang berubah sejak kau pergi, hm?"Ivy menelisik dengan teliti. "Kau lebih kurus. Cambangmu berantakan. Kau juga seperti lupa caranya bersisir dengan rapi.""Dan apa kau tak melihat kalau aku punya kantung mata?"Tatapan Ivy terkunci di sepasang bola mata sebiru lautan itu. "Apa kau tidak bisa tidur?"Ingin sekali Ocean mengigit bibir Ivy yang begitu ringan ber
Ocean menatap lembut. Jemarinya terulur untuk merapikan rambut Ivy, lalu diselipkan di belakang telinga. "Kau adalah hal paling luar biasa yang bisa mengubah sudut pandangku tentang cinta."Ivy tak mampu menahan semburat merah yang hadir akibat rasa jengah karena pujian itu. Isi kepala dan hatinya bertentangan. Kedua organ tubuh itu sedang melakukan tugasnya masing-masing."Katakan, Sayang. Apa yang terjadi sampai kau bisa mengikuti acara lelang itu?" Ocean ingin memperbaiki semua dari awal pertemuan mereka. Lalu Ivy pun bercerita tentang pekerjaan sampingan yang diambilnya setelah pulang kuliah, yakni menjadi petugas katering. Saat itu, adik tirinya datang sebagai tamu. Salah satu pelayan yang juga bekerja di sana, memberi Ivy minuman. Setelahnya tubuh Ivy terasa aneh. Ivy pun mengadukan hal itu ke Lucy, adik tirinya. Lalu dia dibimbing masuk ke kamar milik penyelenggara pesta, Mike.Ocean tahu ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. "Maaf, apa sebelum ini, kau pernah minu
Dokter sudah mengizinkan Ivy untuk pulang. Saat dia mengatakan harus mampir ke apartemen milik Joshua, Ocean hanya menggelengkan kepalanya. "Tapi barang bawaanku ada di sana, Ocean." Ivy hendak melepas seat beltnya."Aku sudah meletakkannya di bagasi belakang, Sayang. Kita hanya perlu pulang saja." Ocean berkata lembut. Sungguh, Ocean sudah berjanji akan benar-benar memperlakukan Ivy dengan sebaik-baiknya. Ocean berniat untuk membahas semua tentang masa lalu keduanya. Agar kelak tak akan ada lagi bahan bangkitan dari masa lalu. Ivy pun tak jadi membantah. Apalagi melihat sorot mata sebiru lautan itu begitu teduh menenangkan hati. Ivy terhipnotis."Kita belum boleh mengunjungi Kakek lagi. Dan sekarang, setiap aku dinas ke luar kota atau luar negeri, kau harus ikut."Nyali Ivy sudah tak seberani saat mengetahui kebenaran yang sengaja disembunyikan Ocean. Sekarang, dia hanya ingin hidup tenang sambil membesarkan anak dalam kandungan saja. Ke-empat orang itu berada di satu pesawat yan
Joshua tak menyangka kalau perempuan hamil yang menarik perhatiannya ternyata adalah istri konglomerat.Walau penampilan Ocean tampak dingin, tetap saja aura dirinya mampu mengintimidasi lawan bicara. "Maaf, aku tak tahu kalau Aurora punya suami. Dia sama sekali tidak pernah membahas tentang itu."Tanpa berkata apa-apa, Ocean mengeluarkan semua bukti. "Empat pekerjamu mengeroyok istriku. Seperti ini kondisinya sekarang."Joshua gusar bukan main. Apalagi melihat foto yang diam-diam diambil Ocean ketika pertama kali tiba di ruang pasien itu. "Ini ... astaga! Berengsek sekali.""Ya. Semua hanya karena kau memperlakukan istriku secara berlebihan di mata orang lain. Katakan, berapa yang harus aku bayar?" Kesombongan begitu kuat terpancar dari Ocean.Joshua tersenyum tipis. Lelaki di hadapan ini bukan sedang menantang harga dirinya sebagai atasan Ivy. Lelaki ini hanya sedang berusaha melindungi istrinya. "Tidak ada. Aku ikhlas melakukan hal itu. Dia adalah stafku yang berdedikasi tinggi."O
Masih dalam kondisi gemetaran, Ivy menekan tombol pemanggil suster. Tak lama kemudian, suster datang. "Ibu sudah siuman? Bagaimana? Apa yang Ibu rasakan?""Bayiku bagaimana?" Ivy tidak mencemaskan keadaannya. Masih ada yang jauh lebih penting."Bayi Ibu baik-baik saja. Luka lebam juga sudah diobati. Bukti visum juga sudah ada." Suster itu menatap iba. Paramedis yang menangani, mengira kalau Ivy menjadi korban perampokan."Boleh tolong ketikkan alamat lengkap rumah sakit ini? Keluargaku ingin berkunjung." Ivy menyodorkan ponsel berisi aplikasi pesan langsung ke nomor Charlotte."Oh, tentu saja boleh. Sebentar." Dengan sigap, suster membantu apa yang Ivy inginkan, lalu mengembalikan ponsel. "Terima kasih banyak, Suster. Maaf, di mana orang yang menolongku?""Beliau sudah pergi. Tapi dia meninggalkan nomor telepon. Nanti akan aku tanya di pihak resepsionis.""Baik. Sekali lagi terima kasih, Suster." Ivy mencoba tersenyum.Rahangnya masih terasa sakit. Pun lehernya agak nyeri. Cekikan di
Biasanya, Ivy selalu tersenyum ketika berpapasan dengan para pekerja di restoran itu. Namun, sejak kejadian dengan beberapa waiters dipecat sepihak oleh Joshua, lebih banyak yang melengos atau pura-pura tidak melihatnya.Ivy hanya bisa mengelus dada. Bersikap sabar ada semua cobaan yang sedang di jalaninya. Isi tahu ada janin yang harus ditanggung secara mental dan fisik. Sepulang kerja, Ivy menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu gerai salad. Lidahnya tiba-tiba menginginkan makanan itu. Ivy sampai membawa pulang satu pack salad untuk dimakan di apartemen.Karena lokasi gerai salad itu dekat dengan taman, Ivy menyempatkan diri untuk menikmati senja. Dia duduk di bangku taman yang kosong. Sembari menatap keindahan semesta, Ivy mengelus lembut perutnya. "Bayiku, sedang apa di sana? Kau suka dengan rasa salad yang tadi Mama makan?"Sesekali Ivy tersenyum. Di bayangannya, ada anak yang terlahir dari rahimnya lagi. Dia bisa melupakan kerinduan kepada Lake yang sampai sekarang pun
Ivy tak bisa lagi bersikap seperti biasa ke Joshua. Pun lelaki itu seperti sengaja menjaga jarak. Ivy berusaha bekerja sangat profesional. Jika harus bersinggungan dengan Joshua, Ivy memasang sikap sangat formal. Hal itu membuat Joshua berang. Sepulang dari memeriksa laporan cabang-cabang restoran, Joshua sengaja mampir ke unit apartemennya. Walau sudah hafal luar kepala passcode, tetap saja Joshua harus menekan bel. Demi kesopanan, pikirnya. Ivy muncul dengan tampilan gaun tidur bermotif bunga dengan panjang selutut. "Ah, ternyata Anda. Maaf kalau aku sudah bersiap untuk tidur."Joshua tersenyum canggung. "Ada hal yang mengganggu pikiranku. Jadi aku putuskan untuk mampir.""Oh, begitu? Silahkan masuk. Toh ini unit milik Anda sendiri." Ivy membukakan pintu selebar mungkin.Joshua masuk dan mencium aroma teh. "Kau menyeduh teh?""Ya. Agar pikiranku bisa lebih rileks. Mau aku buatkan juga?""Sepertinya masih ada stok kopi di lemari. Aku akan membuatnya sendiri." Joshua berjalan cepat
Joshua menempatkan diri sebagai lelaki yang siaga. Bukan hanya membantu Ivy berbenah, tetapi juga membawakan barang-barang itu ke apartemen. Sedikit banyak, hati Joshua iba melihat apa yang Ivy bawa. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan selayaknya orang pindah rumah. Pun sejak saat itu, kedekatan di antara keduanya terus terjalin. Membuat Ivy merasa begitu banyak berhutang budi. Semuanya mulai tampak berbeda. Saat Ivy berada di dalam salah satu bilik toilet, ada suara dari luar. "Kau tau kalau sekarang dia sudah tinggal bersama pemilik restoran ini.""Dia?" "Ya. Si Aurora. Apa mungkin bayi dalam kandungannya itu pun anaknya Tuan Joshua?"Ivy yang tadinya hendak keluar dari bilik toilet, langsung mematung. Rumor itu sangat oimengerikan. Tuduhan menyakitkan hati yang terkesan kalau Ivy adalah perempuan murahan. "Hush! Jangan menebar gosip. Kalau ternyata bukan, itu akan menjadi bumerang bagi mulutmu sendiri."Ivy tak bisa mengenali siapa saja yang ada di luar bilik toilet. Hanya
Sembari terisak-isak Ivy bercerita. Di seberang percakapan, Charlotte pun ikut menangis. "Katakan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte di antara derai air mata."Tidak ada. Tolong rahasiakan keberadaanku. Juga nomor ponsel baru ini." Ivy sudah merasa jauh lebih baik setelah bercerita pada sahabatnya."Tapi, Sayang, dia berhak tau dan kau kejar pertanggung jawaban." Charlotte masih berusaha melunakkan hati Ivy."Biarlah. Aku hanya ingin hidup berdua dengan bayi ini." Ivy menyeka air mata. "Maafkan karena aku mengganggu tidurmu.""Hei, apa kau tau kalau belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, hah? Aku terus teringat dan merindukanmu." Charlotte masih sempat mengomeli Ivy.Sungguh, Ivy merasa terharu. Disadarinya rasa rindu itu utuh untuk gadis cerewet yang dapat dibayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini. "Aku rindu. Aku tak bersemangat kuliah karena kau tak ada. Apa kau tak ingin mencicipi cheese pizza di kantin kampus?" Air liur Ivy muncul membayangkan keju