Seumur-umur, baru kali ini Ivy naik privat jet. Dengan sosok tampan yang duduk santai di hadapan sambil sibuk memantau tabletnya. Ivy suka melihat wajah serius Ocean. Dia tak merasa keberatan dengan kesibukan sang suami. Karena Ocean berjanji hanya sebentar saja mencuri waktu di momen bulan madu ini.Ocean mengenakan kaus berkerah berwarna navy. Satu warna dengan gaun semi formal yang Ivy kenakan. Satu hal lagi yang membuat Ivy cukup kagum, dirinya melenggang begitu saja tanpa perlu bersusah payah. Semua kebutuhan Ivy sudah disiapkan dalam koper dalam kondisi baru. Kentara sekali Ocean berusaha keras untuk memanjakan istrinya itu. Sebuah upaya yang sangat diacungi jempol oleh Jarret. Mengingat sang asisten pribadi lah yang sibuk menjemput semua pesanan sang Tuan.Ivy tak bosan menatap wajah tampan yang sangat serius bekerja itu. Sampai dia menyangga dagu dengan sebelah tangan. Ketika Ocean tanpa sengaja mengalihkan pandangan, keduanya bersitatap."Kenapa? Kau bosan menungguku?" Iv
Ivy menangis tanpa isakan di dalam kamar mandi. Pantas saja dia merasa seperti pernah mengenal cara sentuhan yang diberikan oleh Ocean. Kenapa dia sampai lupa satu hal paling penting dari lelaki yang pernah membuat janin tumbuh di rahimnya? Kemarin, dia memang melihat otot perut Ocean, tetapi tato itu masih tertutupi oleh handuk. Saat berhubungan untuk pertama kalinya setelah menikah, lampu redup membuatnya merasa nyaman. Tanpa menyadari kalau dirinya kembali terperosok dalam lubang yang sama. Sekarang, ketika pagi menjelang dan bias cahaya menembus sisi jendela yang tak tertutup rapat oleh gorden, Ivy melihat sendiri satu-satunya pertanda tentang malam itu. Ivy tak bisa lari. Karena letak pulau yang jauh dari keramaian. Ivy mengigit bibirnya kuat-kuat. "Apa yang harus aku lakukan? Kami baru kembali lusa nanti."Bagaimana Ivy bisa bersandiwara selama itu? Sementara di kepalanya semua adegan dari masa seperti potongan slide show yang diulang lagi. Pantas saja dia berkali-kali meras
Ocean tak habis pikir dengan pertanyaan Ivy. Memang ia menyembunyikan sesuatu tentang malam itu. Akan tetapi, Ivy juga melakukan hal yang sama, bukan?Lantas bagaimana dengan sikap polos Ivy yang seperti tidak pernah mengenal Ocean sebelumnya? Namun, lelaki yang sudah berganti status menjadi suami itu hanya menghela napas panjang. "Aku tak pernah serius pada satu perempuan. Masa laluku cukup rumit. Tapi yang jelas tidak akan ada gadis yang datang kepadaku untuk meminta pertanggungjawaban." Ocean berucap tegas. Ocean sepenuhnya sadar kalau hanya Ivy saja yang pernah ia datangi tanpa pengaman. Dan setelah itu, ia tidak pernah bersenang-senang dengan wanita mana pun lagi. Wajah Ivy semakin muram. 'Tentu saja tidak ada gadis yang akan mendatangimu untuk mendapatkan pertanggungjawaban. Karena bayi itu sudah tiada.'"Ayo, makan. Kau harus menikmati kebersamaan kita. Karena lusa kita kembali. Lalu aku akan disibukkan dengan urusan pekerjaan." Ocean menarik tangan Ivy agar segera bangkit d
Sungguh, dua hari bersama Ocean terasa begitu panjang dan menyiksa setelah Ivy mengetahui kebenarannya. Sekuat apa Ivy mencoba untuk berusaha normal, tetap saja ada gerakan halus sebagai penolakan.Ivy lega karena mereka sudah kembali ke penthouse. Ketika Ocean ingin pindah ke kediaman yang lain, Ivy menolak. Alasannya karena rumah baru pasti akan sangat kosong, jika hanya mereka berdua saja di dalamnya.Ivy tak bisa lagi menatap penthouse itu dengan perasaan yang sama. Semua kebahagiaan yang belakangan Ivy rasakan, seperti cemoohan nyata berdengung di telinga. "Sayang, mau ke mana?" tanya Ocean seraya bersedekap. "Ke kamar," jawab Ivy sambil menarik kopernya. Benda itu dibeli bersamaan dengan barang-barang di dalamnya. "Lantai dua, Sayang. Kamarmu bukan lagi yang kemarin." Ocean menangkap tangan Ivy. Ivy terdiam beberapa saat. "Oh, oke."Ivy sudah berpikir untuk mengikuti permainan Ocean sementara waktu. Sampai dia berhasil mencari celah untuk melarikan diri. "Istirahat saja. Na
Pagi-pagi buta, Ocean sudah bersiap-siap untuk pergi. Ivy yang begitu mudah terjaga karena terbiasa mengurusi orang sakit dan Lake, ikut terbangun."Maaf, aku membangunkanmu." Ocean yang tadinya sudah beringsut turun dari ranjang sehati-hati mungkin, langsung menunduk untuk mengecup kening Ivy. "Kau mau pergi?" tanya Ivy masih dengan sisa kantuk yang membuat kelopak matanya terasa berat. "Iya. Kakek menugaskan aku untuk memantau beberapa pekerjaan di kota Thunder." Ocean malah duduk di tepi ranjang. "Tapi, dua hari lagi, datanglah menyusulku. Kita lanjut bulan madu kedua."Rambut Ivy yang tampak berantakan juga wajah bantalnya membuat Ocean gemas. Betapa istrinya itu tampak sangat cantik alami dan menggemaskan."Tapi aku tak pernah ke kota itu." Ivy merapikan rambutnya. "Jarret akan menjemputmu nanti. Tak perlu banyak membawa pakaian. Nanti bisa dibeli di sana." "Sekarang, aku harus menyiapkan apa saja untukmu?" Ivy mengikat rambutnya tinggi, menampilkan leher jenjang kesukaan Oce
Ivy dan Charlotte menghabiskan malam di kamar tamu. Keduanya sibuk bergosip tentang semua yang terjadi belakangan ini. Termasuk Marion dan Lake."Tuan Jacob sama sekali tidak pernah kembali ke mansion itu. Jadi Bibi Anne hanya memasak makanan untuk para maid dan pekerja lainnya saja." Charlotte mulai menguap. "Kenapa kau cepat sekali mengantuk? Aku masih ingin mengobrol." Ivy tak ingin mengatakan kalau dirinya mengalami mimpi buruk akhir-akhir ini.Wajah tampan Ocean malah menjadi mengerikan di dalam mimpi itu. Bukan hanya itu saja, kematian bayi mereka pun membuat Ivy semakin dikejar rasa bersalah. "Besok saja. Kita bisa bolos ke kampus kalau kau masih sangat merindukan aku." Lagi-lagi Charlotte menguap lebar. "Dasar menyebalkan!" Ivy menarik selimutnya dan terpaksa ikut memejamkan mata.Sayangnya, entah ke mana perginya rasa kantuk itu. Ivy memutuskan untuk beringsut turun dari ranjang, berjalan naik ke kamar Ocean. Begitu menghirup aroma parfum yang tersisa di kamar, hati Ivy te
Ivy mengetikkan pesan singkat ke ponsel Ocean. Berisi keterangan kalau dia akan segera berangkat ke bandara bersama Gary. Tanpa menunggu jawaban, Ivy meletakkan ponsel itu di dalam box berukuran sedang. Di dalam box itu terdapat semua perhiasan, hadiah-hadiah mewah beserta kartu ATM pemberian Ocean. Ivy sama sekali tidak membawa apa-apa, termasuk cincin kawin.Berhubung semua pakaian lamanya sudah dibuang oleh Ocean, Ivy hanya membawa beberapa helai yang cukup sederhana. Semua uang tunai sudah disimpan Ivy dalam dompet berisi dokumen diri.Ponsel butut miliknya akan dipergunakan kembali. Agar Ivy masih bisa berkomunikasi dengan Charlotte menggunakan nomor baru. Ivy menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Berkali-kali. Lalu dia menarik koper itu sambil melihat sekeliling. "Selamat tinggal, kenangan manis. Aku tak berharap bisa kembali lagi ke tempat ini."Ivy sudah melepaskan cincin. Sebagai pertanda dia menyerah dengan pernikahan yang baru dilangsungkan itu.Dengan langkah r
Seperti kesetanan, Ocean mengamuk di kamarnya. Hatinya hancur melihat apa yang Ivy tinggalkan. Apalagi ketika melihat tulisan Ivy di secarik kertas sebagai pesan terakhir, beserta uang seratus dollar. "Kalau kau membaca surat ini, tandanya aku sudah pergi jauh. Jangan cari aku karena apa yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku kembalikan uang seratus dollar yang kemarin sempat aku pinjam. Beserta semua kepalsuan yang kau berikan. Terima kasih karena kau juga ikut andil dalam semua kehilangan dalam hidupku."Ocean terduduk pasrah di lantai berkarpet tebal itu. "Dia sudah tau semuanya. Kenapa kau tak mau membahasnya dulu, Sayang?"Lelaki itu patah hati. Rasa sakit yang ditinggalkan Ivy jauh lebih mengerikan. Daripada saat ia tersadar setelah malam panjang panas pertama bersama Ivy. Firasat buruk yang Ocean rasakan ternyata benar. Apalagi ketika menghubungi Charlotte yang juga tak tahu di mana keberadaan Ivy. Dunia Ocean gelap gulita dalam sekejap.Ocean menatap sedih bercampur