Di kamar president suite yang dijadikan sebagai kamar pengantin itu, Ivy menatap bayangan wajahnya.Masih tak percaya dirinya sudah resmi menjadi Nyonya Ocean Aloysius Alexavier. Setelah pesta pernikahan sederhana ala taman yang dilangsungkan di mansion utama milik keluarga Alexavier, tibalah saatnya untuk beristirahat.Ivy mengenang saat dengan lantangnya Ocean mengucap sumpah janji pernikahan yang disaksikan oleh para kerabat terdekat. Lalu ketika dinyatakan sah sebagai suami istri, Ocean memagut bibirnya di depan semua tamu, kaki Ivy benar-benar kehilangan daya tumpu.Ocean langsung menggendong Ivy keluar dari gereja. Mereka memasuki mobil khusus pengantin, menuju ke kediaman keluarga Alexavier. Sepanjang perjalanan, Ocean sibuk menuntaskan kerinduannya kepada Ivy.Ivy sampai harus di make up ulang karena lipstik dan wajahnya berantakan karena ulah Ocean. Mengingat semua itu, rasanya Ivy ingin menggulung dirinya dalam selimut saja. Lalu di acara pesta taman itu, Ocean tak sungkan
Seumur-umur, baru kali ini Ivy naik privat jet. Dengan sosok tampan yang duduk santai di hadapan sambil sibuk memantau tabletnya. Ivy suka melihat wajah serius Ocean. Dia tak merasa keberatan dengan kesibukan sang suami. Karena Ocean berjanji hanya sebentar saja mencuri waktu di momen bulan madu ini.Ocean mengenakan kaus berkerah berwarna navy. Satu warna dengan gaun semi formal yang Ivy kenakan. Satu hal lagi yang membuat Ivy cukup kagum, dirinya melenggang begitu saja tanpa perlu bersusah payah. Semua kebutuhan Ivy sudah disiapkan dalam koper dalam kondisi baru. Kentara sekali Ocean berusaha keras untuk memanjakan istrinya itu. Sebuah upaya yang sangat diacungi jempol oleh Jarret. Mengingat sang asisten pribadi lah yang sibuk menjemput semua pesanan sang Tuan.Ivy tak bosan menatap wajah tampan yang sangat serius bekerja itu. Sampai dia menyangga dagu dengan sebelah tangan. Ketika Ocean tanpa sengaja mengalihkan pandangan, keduanya bersitatap."Kenapa? Kau bosan menungguku?" Iv
Ivy menangis tanpa isakan di dalam kamar mandi. Pantas saja dia merasa seperti pernah mengenal cara sentuhan yang diberikan oleh Ocean. Kenapa dia sampai lupa satu hal paling penting dari lelaki yang pernah membuat janin tumbuh di rahimnya? Kemarin, dia memang melihat otot perut Ocean, tetapi tato itu masih tertutupi oleh handuk. Saat berhubungan untuk pertama kalinya setelah menikah, lampu redup membuatnya merasa nyaman. Tanpa menyadari kalau dirinya kembali terperosok dalam lubang yang sama. Sekarang, ketika pagi menjelang dan bias cahaya menembus sisi jendela yang tak tertutup rapat oleh gorden, Ivy melihat sendiri satu-satunya pertanda tentang malam itu. Ivy tak bisa lari. Karena letak pulau yang jauh dari keramaian. Ivy mengigit bibirnya kuat-kuat. "Apa yang harus aku lakukan? Kami baru kembali lusa nanti."Bagaimana Ivy bisa bersandiwara selama itu? Sementara di kepalanya semua adegan dari masa seperti potongan slide show yang diulang lagi. Pantas saja dia berkali-kali meras
Ocean tak habis pikir dengan pertanyaan Ivy. Memang ia menyembunyikan sesuatu tentang malam itu. Akan tetapi, Ivy juga melakukan hal yang sama, bukan?Lantas bagaimana dengan sikap polos Ivy yang seperti tidak pernah mengenal Ocean sebelumnya? Namun, lelaki yang sudah berganti status menjadi suami itu hanya menghela napas panjang. "Aku tak pernah serius pada satu perempuan. Masa laluku cukup rumit. Tapi yang jelas tidak akan ada gadis yang datang kepadaku untuk meminta pertanggungjawaban." Ocean berucap tegas. Ocean sepenuhnya sadar kalau hanya Ivy saja yang pernah ia datangi tanpa pengaman. Dan setelah itu, ia tidak pernah bersenang-senang dengan wanita mana pun lagi. Wajah Ivy semakin muram. 'Tentu saja tidak ada gadis yang akan mendatangimu untuk mendapatkan pertanggungjawaban. Karena bayi itu sudah tiada.'"Ayo, makan. Kau harus menikmati kebersamaan kita. Karena lusa kita kembali. Lalu aku akan disibukkan dengan urusan pekerjaan." Ocean menarik tangan Ivy agar segera bangkit d
Sungguh, dua hari bersama Ocean terasa begitu panjang dan menyiksa setelah Ivy mengetahui kebenarannya. Sekuat apa Ivy mencoba untuk berusaha normal, tetap saja ada gerakan halus sebagai penolakan.Ivy lega karena mereka sudah kembali ke penthouse. Ketika Ocean ingin pindah ke kediaman yang lain, Ivy menolak. Alasannya karena rumah baru pasti akan sangat kosong, jika hanya mereka berdua saja di dalamnya.Ivy tak bisa lagi menatap penthouse itu dengan perasaan yang sama. Semua kebahagiaan yang belakangan Ivy rasakan, seperti cemoohan nyata berdengung di telinga. "Sayang, mau ke mana?" tanya Ocean seraya bersedekap. "Ke kamar," jawab Ivy sambil menarik kopernya. Benda itu dibeli bersamaan dengan barang-barang di dalamnya. "Lantai dua, Sayang. Kamarmu bukan lagi yang kemarin." Ocean menangkap tangan Ivy. Ivy terdiam beberapa saat. "Oh, oke."Ivy sudah berpikir untuk mengikuti permainan Ocean sementara waktu. Sampai dia berhasil mencari celah untuk melarikan diri. "Istirahat saja. Na
Pagi-pagi buta, Ocean sudah bersiap-siap untuk pergi. Ivy yang begitu mudah terjaga karena terbiasa mengurusi orang sakit dan Lake, ikut terbangun."Maaf, aku membangunkanmu." Ocean yang tadinya sudah beringsut turun dari ranjang sehati-hati mungkin, langsung menunduk untuk mengecup kening Ivy. "Kau mau pergi?" tanya Ivy masih dengan sisa kantuk yang membuat kelopak matanya terasa berat. "Iya. Kakek menugaskan aku untuk memantau beberapa pekerjaan di kota Thunder." Ocean malah duduk di tepi ranjang. "Tapi, dua hari lagi, datanglah menyusulku. Kita lanjut bulan madu kedua."Rambut Ivy yang tampak berantakan juga wajah bantalnya membuat Ocean gemas. Betapa istrinya itu tampak sangat cantik alami dan menggemaskan."Tapi aku tak pernah ke kota itu." Ivy merapikan rambutnya. "Jarret akan menjemputmu nanti. Tak perlu banyak membawa pakaian. Nanti bisa dibeli di sana." "Sekarang, aku harus menyiapkan apa saja untukmu?" Ivy mengikat rambutnya tinggi, menampilkan leher jenjang kesukaan Oce
Ivy dan Charlotte menghabiskan malam di kamar tamu. Keduanya sibuk bergosip tentang semua yang terjadi belakangan ini. Termasuk Marion dan Lake."Tuan Jacob sama sekali tidak pernah kembali ke mansion itu. Jadi Bibi Anne hanya memasak makanan untuk para maid dan pekerja lainnya saja." Charlotte mulai menguap. "Kenapa kau cepat sekali mengantuk? Aku masih ingin mengobrol." Ivy tak ingin mengatakan kalau dirinya mengalami mimpi buruk akhir-akhir ini.Wajah tampan Ocean malah menjadi mengerikan di dalam mimpi itu. Bukan hanya itu saja, kematian bayi mereka pun membuat Ivy semakin dikejar rasa bersalah. "Besok saja. Kita bisa bolos ke kampus kalau kau masih sangat merindukan aku." Lagi-lagi Charlotte menguap lebar. "Dasar menyebalkan!" Ivy menarik selimutnya dan terpaksa ikut memejamkan mata.Sayangnya, entah ke mana perginya rasa kantuk itu. Ivy memutuskan untuk beringsut turun dari ranjang, berjalan naik ke kamar Ocean. Begitu menghirup aroma parfum yang tersisa di kamar, hati Ivy te
Ivy mengetikkan pesan singkat ke ponsel Ocean. Berisi keterangan kalau dia akan segera berangkat ke bandara bersama Gary. Tanpa menunggu jawaban, Ivy meletakkan ponsel itu di dalam box berukuran sedang. Di dalam box itu terdapat semua perhiasan, hadiah-hadiah mewah beserta kartu ATM pemberian Ocean. Ivy sama sekali tidak membawa apa-apa, termasuk cincin kawin.Berhubung semua pakaian lamanya sudah dibuang oleh Ocean, Ivy hanya membawa beberapa helai yang cukup sederhana. Semua uang tunai sudah disimpan Ivy dalam dompet berisi dokumen diri.Ponsel butut miliknya akan dipergunakan kembali. Agar Ivy masih bisa berkomunikasi dengan Charlotte menggunakan nomor baru. Ivy menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Berkali-kali. Lalu dia menarik koper itu sambil melihat sekeliling. "Selamat tinggal, kenangan manis. Aku tak berharap bisa kembali lagi ke tempat ini."Ivy sudah melepaskan cincin. Sebagai pertanda dia menyerah dengan pernikahan yang baru dilangsungkan itu.Dengan langkah r
Ocean membimbing Ivy ke depan kaca. "Lihatlah. Betapa cantiknya wajah istriku."Ivy menggeleng. "Tidak. Kau memuji hanya untuk menyenangkan hatiku saja."Ocean mengecup pundak Ivy. "Kenapa bisa terpikir seperti itu, hm?""Entahlah. Mungkin karena beberapa bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kau bosan karena sudah terpisah sekian lama denganku." Sebenarnya, hati Ivy sakit saat mengutarakan rasa. Ocean tersenyum. "Apa kau ingin tau seberapa parahnya keadaanku saat kau pergi tanpa pesan?""Kau tampak baik-baik saja." Ivy masih bersikeras. Ocean menarik tubuh Ivy agar saling berhadapan. "Lihat baik-baik suamimu ini. Apa yang berubah sejak kau pergi, hm?"Ivy menelisik dengan teliti. "Kau lebih kurus. Cambangmu berantakan. Kau juga seperti lupa caranya bersisir dengan rapi.""Dan apa kau tak melihat kalau aku punya kantung mata?"Tatapan Ivy terkunci di sepasang bola mata sebiru lautan itu. "Apa kau tidak bisa tidur?"Ingin sekali Ocean mengigit bibir Ivy yang begitu ringan ber
Ocean menatap lembut. Jemarinya terulur untuk merapikan rambut Ivy, lalu diselipkan di belakang telinga. "Kau adalah hal paling luar biasa yang bisa mengubah sudut pandangku tentang cinta."Ivy tak mampu menahan semburat merah yang hadir akibat rasa jengah karena pujian itu. Isi kepala dan hatinya bertentangan. Kedua organ tubuh itu sedang melakukan tugasnya masing-masing."Katakan, Sayang. Apa yang terjadi sampai kau bisa mengikuti acara lelang itu?" Ocean ingin memperbaiki semua dari awal pertemuan mereka. Lalu Ivy pun bercerita tentang pekerjaan sampingan yang diambilnya setelah pulang kuliah, yakni menjadi petugas katering. Saat itu, adik tirinya datang sebagai tamu. Salah satu pelayan yang juga bekerja di sana, memberi Ivy minuman. Setelahnya tubuh Ivy terasa aneh. Ivy pun mengadukan hal itu ke Lucy, adik tirinya. Lalu dia dibimbing masuk ke kamar milik penyelenggara pesta, Mike.Ocean tahu ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. "Maaf, apa sebelum ini, kau pernah minu
Dokter sudah mengizinkan Ivy untuk pulang. Saat dia mengatakan harus mampir ke apartemen milik Joshua, Ocean hanya menggelengkan kepalanya. "Tapi barang bawaanku ada di sana, Ocean." Ivy hendak melepas seat beltnya."Aku sudah meletakkannya di bagasi belakang, Sayang. Kita hanya perlu pulang saja." Ocean berkata lembut. Sungguh, Ocean sudah berjanji akan benar-benar memperlakukan Ivy dengan sebaik-baiknya. Ocean berniat untuk membahas semua tentang masa lalu keduanya. Agar kelak tak akan ada lagi bahan bangkitan dari masa lalu. Ivy pun tak jadi membantah. Apalagi melihat sorot mata sebiru lautan itu begitu teduh menenangkan hati. Ivy terhipnotis."Kita belum boleh mengunjungi Kakek lagi. Dan sekarang, setiap aku dinas ke luar kota atau luar negeri, kau harus ikut."Nyali Ivy sudah tak seberani saat mengetahui kebenaran yang sengaja disembunyikan Ocean. Sekarang, dia hanya ingin hidup tenang sambil membesarkan anak dalam kandungan saja. Ke-empat orang itu berada di satu pesawat yan
Joshua tak menyangka kalau perempuan hamil yang menarik perhatiannya ternyata adalah istri konglomerat.Walau penampilan Ocean tampak dingin, tetap saja aura dirinya mampu mengintimidasi lawan bicara. "Maaf, aku tak tahu kalau Aurora punya suami. Dia sama sekali tidak pernah membahas tentang itu."Tanpa berkata apa-apa, Ocean mengeluarkan semua bukti. "Empat pekerjamu mengeroyok istriku. Seperti ini kondisinya sekarang."Joshua gusar bukan main. Apalagi melihat foto yang diam-diam diambil Ocean ketika pertama kali tiba di ruang pasien itu. "Ini ... astaga! Berengsek sekali.""Ya. Semua hanya karena kau memperlakukan istriku secara berlebihan di mata orang lain. Katakan, berapa yang harus aku bayar?" Kesombongan begitu kuat terpancar dari Ocean.Joshua tersenyum tipis. Lelaki di hadapan ini bukan sedang menantang harga dirinya sebagai atasan Ivy. Lelaki ini hanya sedang berusaha melindungi istrinya. "Tidak ada. Aku ikhlas melakukan hal itu. Dia adalah stafku yang berdedikasi tinggi."O
Masih dalam kondisi gemetaran, Ivy menekan tombol pemanggil suster. Tak lama kemudian, suster datang. "Ibu sudah siuman? Bagaimana? Apa yang Ibu rasakan?""Bayiku bagaimana?" Ivy tidak mencemaskan keadaannya. Masih ada yang jauh lebih penting."Bayi Ibu baik-baik saja. Luka lebam juga sudah diobati. Bukti visum juga sudah ada." Suster itu menatap iba. Paramedis yang menangani, mengira kalau Ivy menjadi korban perampokan."Boleh tolong ketikkan alamat lengkap rumah sakit ini? Keluargaku ingin berkunjung." Ivy menyodorkan ponsel berisi aplikasi pesan langsung ke nomor Charlotte."Oh, tentu saja boleh. Sebentar." Dengan sigap, suster membantu apa yang Ivy inginkan, lalu mengembalikan ponsel. "Terima kasih banyak, Suster. Maaf, di mana orang yang menolongku?""Beliau sudah pergi. Tapi dia meninggalkan nomor telepon. Nanti akan aku tanya di pihak resepsionis.""Baik. Sekali lagi terima kasih, Suster." Ivy mencoba tersenyum.Rahangnya masih terasa sakit. Pun lehernya agak nyeri. Cekikan di
Biasanya, Ivy selalu tersenyum ketika berpapasan dengan para pekerja di restoran itu. Namun, sejak kejadian dengan beberapa waiters dipecat sepihak oleh Joshua, lebih banyak yang melengos atau pura-pura tidak melihatnya.Ivy hanya bisa mengelus dada. Bersikap sabar ada semua cobaan yang sedang di jalaninya. Isi tahu ada janin yang harus ditanggung secara mental dan fisik. Sepulang kerja, Ivy menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu gerai salad. Lidahnya tiba-tiba menginginkan makanan itu. Ivy sampai membawa pulang satu pack salad untuk dimakan di apartemen.Karena lokasi gerai salad itu dekat dengan taman, Ivy menyempatkan diri untuk menikmati senja. Dia duduk di bangku taman yang kosong. Sembari menatap keindahan semesta, Ivy mengelus lembut perutnya. "Bayiku, sedang apa di sana? Kau suka dengan rasa salad yang tadi Mama makan?"Sesekali Ivy tersenyum. Di bayangannya, ada anak yang terlahir dari rahimnya lagi. Dia bisa melupakan kerinduan kepada Lake yang sampai sekarang pun
Ivy tak bisa lagi bersikap seperti biasa ke Joshua. Pun lelaki itu seperti sengaja menjaga jarak. Ivy berusaha bekerja sangat profesional. Jika harus bersinggungan dengan Joshua, Ivy memasang sikap sangat formal. Hal itu membuat Joshua berang. Sepulang dari memeriksa laporan cabang-cabang restoran, Joshua sengaja mampir ke unit apartemennya. Walau sudah hafal luar kepala passcode, tetap saja Joshua harus menekan bel. Demi kesopanan, pikirnya. Ivy muncul dengan tampilan gaun tidur bermotif bunga dengan panjang selutut. "Ah, ternyata Anda. Maaf kalau aku sudah bersiap untuk tidur."Joshua tersenyum canggung. "Ada hal yang mengganggu pikiranku. Jadi aku putuskan untuk mampir.""Oh, begitu? Silahkan masuk. Toh ini unit milik Anda sendiri." Ivy membukakan pintu selebar mungkin.Joshua masuk dan mencium aroma teh. "Kau menyeduh teh?""Ya. Agar pikiranku bisa lebih rileks. Mau aku buatkan juga?""Sepertinya masih ada stok kopi di lemari. Aku akan membuatnya sendiri." Joshua berjalan cepat
Joshua menempatkan diri sebagai lelaki yang siaga. Bukan hanya membantu Ivy berbenah, tetapi juga membawakan barang-barang itu ke apartemen. Sedikit banyak, hati Joshua iba melihat apa yang Ivy bawa. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan selayaknya orang pindah rumah. Pun sejak saat itu, kedekatan di antara keduanya terus terjalin. Membuat Ivy merasa begitu banyak berhutang budi. Semuanya mulai tampak berbeda. Saat Ivy berada di dalam salah satu bilik toilet, ada suara dari luar. "Kau tau kalau sekarang dia sudah tinggal bersama pemilik restoran ini.""Dia?" "Ya. Si Aurora. Apa mungkin bayi dalam kandungannya itu pun anaknya Tuan Joshua?"Ivy yang tadinya hendak keluar dari bilik toilet, langsung mematung. Rumor itu sangat oimengerikan. Tuduhan menyakitkan hati yang terkesan kalau Ivy adalah perempuan murahan. "Hush! Jangan menebar gosip. Kalau ternyata bukan, itu akan menjadi bumerang bagi mulutmu sendiri."Ivy tak bisa mengenali siapa saja yang ada di luar bilik toilet. Hanya
Sembari terisak-isak Ivy bercerita. Di seberang percakapan, Charlotte pun ikut menangis. "Katakan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte di antara derai air mata."Tidak ada. Tolong rahasiakan keberadaanku. Juga nomor ponsel baru ini." Ivy sudah merasa jauh lebih baik setelah bercerita pada sahabatnya."Tapi, Sayang, dia berhak tau dan kau kejar pertanggung jawaban." Charlotte masih berusaha melunakkan hati Ivy."Biarlah. Aku hanya ingin hidup berdua dengan bayi ini." Ivy menyeka air mata. "Maafkan karena aku mengganggu tidurmu.""Hei, apa kau tau kalau belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, hah? Aku terus teringat dan merindukanmu." Charlotte masih sempat mengomeli Ivy.Sungguh, Ivy merasa terharu. Disadarinya rasa rindu itu utuh untuk gadis cerewet yang dapat dibayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini. "Aku rindu. Aku tak bersemangat kuliah karena kau tak ada. Apa kau tak ingin mencicipi cheese pizza di kantin kampus?" Air liur Ivy muncul membayangkan keju