Seperti kesetanan, Ocean mengamuk di kamarnya. Hatinya hancur melihat apa yang Ivy tinggalkan. Apalagi ketika melihat tulisan Ivy di secarik kertas sebagai pesan terakhir, beserta uang seratus dollar. "Kalau kau membaca surat ini, tandanya aku sudah pergi jauh. Jangan cari aku karena apa yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Aku kembalikan uang seratus dollar yang kemarin sempat aku pinjam. Beserta semua kepalsuan yang kau berikan. Terima kasih karena kau juga ikut andil dalam semua kehilangan dalam hidupku."Ocean terduduk pasrah di lantai berkarpet tebal itu. "Dia sudah tau semuanya. Kenapa kau tak mau membahasnya dulu, Sayang?"Lelaki itu patah hati. Rasa sakit yang ditinggalkan Ivy jauh lebih mengerikan. Daripada saat ia tersadar setelah malam panjang panas pertama bersama Ivy. Firasat buruk yang Ocean rasakan ternyata benar. Apalagi ketika menghubungi Charlotte yang juga tak tahu di mana keberadaan Ivy. Dunia Ocean gelap gulita dalam sekejap.Ocean menatap sedih bercampur
Ketika bangun, Ivy tanpa sadar meraba area kosong di sampingnya. Kosong. Lalu Ivy membuka mata dan mendapati sisi itu tak ada penghuninya.Ivy bangun dengan hati yang hampa. "Ternyata walau hanya sebentar, kau sudah menancapkan ingatan tentang kebersamaan kita."Sejak dahulu, Ivy merupakan orang yang sulit untuk move on. Rasa kehilangan tak semudah itu lenyap dari kepalanya. Ivy butuh waktu untuk beradaptasi kembali. Seperti saat Lake dibawa pergi, Ivy butuh menyesuaikan diri dengan kehampaan itu. Terkadang tanpa sadar, Ivy malah masih menyempatkan diri untuk memasak puding cokelat kesukaan Lake. Yang ujung-ujungnya akan dihabiskan oleh Ivy dan Charlotte.Ivy menyembunyikan air matanya. Ternyata Ocean masih mampu menyakitinya seperti sekarang ini. Ivy tak menyangka. Padahal dia pikir menjauh dari Ocean adalah jalan keluar terbaik. Ivy tak menyangka kalau kenyamanan hidup di dekat Ocean membuatnya lebih lemah. Apalagi ketika kembali ke tempat kerja dan melihat sikap antipati dari beb
Ivy tak langsung pulang ke flat. Dia memilih untuk berjalan-jalan menyusuri pantai. Lalu Ivy menepi di salah satu kursi pantai untuk menikmati keindahan alam.Tanpa sengaja, matanya melihat ke arah kanan. Di mana sepasang kekasih sedang sibuk bercerita sambil sesekali berciuman mesra. Lalu tak jauh dari arah keduanya, tampak sepasang suami istri yang sibuk bermain pasir putih bersama bocah laki-laki.Kedua pemandangan itu menimbulkan gejolak ambigu di batin Ivy. 'Seandainya putraku masih hidup, pasti seumuran dengan anak itu.'Ivy bingung harus merindukan apa dan siapa. Hatinya hampa. Sakitnya nyata. Semua orang datang dengan alasan membawa cinta, tetapi semua malah pergi dengan meninggalkan jejak luka berbeda. Lalu Ivy harus tertatih-tatih untuk menyembuhkan lukanya, sendiri.Tatapan Ivy beralih. Lurus, menerawang jauh melewati batas karena sambil melamun. 'Sebenarnya, cinta itu apa? Kenapa begitu banyak luka menyertainya? Dan di mana kebahagiaan yang bisa dicicipi orang lain?'Ivy t
Hari ini, Ivy tak bisa bangun dari tempat tidur. Tubuhnya terasa lemas dan tak berdaya."Sepertinya aku demam. Mataku terasa panas dan lidahku pahit sekali." Ivy menutup kembali matanya. Rasa enggan beranjak dari tempat tidur, membuatnya ingin terus berbaring. Apalagi cuaca pagi ini cukup dingin. Di luar sana turun hujan cukup deras. Ivy ingin beristirahat sebentar lagi. Maka ditariknya selimut lebih rapat lagi. Di flat ini, Ivy tak begitu mengakrabkan diri dengan tetangga sekitar. Sifat introvert yang membuatnya seperti itu.Ivy hanya tersenyum tipis apabila kebetulan berpapasan. Selebihnya, dia adalah pribadi yang cukup tertutup. Karena itulah, tidak ada yang bisa diharapkan untuk menolong saat dia sakit.Ponsel butut yang bergetar membuat Ivy tersadar dari rasa kantuknya. Dicobanya untuk menjangkau letak benda itu tanpa beringsut sama sekali. Berhasil. "Tuan Joshua? Astaga!" Ivy menekan tombol terima panggilan. "Ya, halo.""Aurora, kenapa kau belum masuk kerja? Apa kau sakit?"
Ocean sedang sangat terkejut dengan kemungkinan yang dipaparkan oleh Anthony. Tak hanya itu, hatinya kembali terpukul karena kembali mengulang kesalahan yang sama. Jarret menatap prihatin pada wajah pucat pasi sang Tuan. Sementara Anthony tak berani melanggar privasi dengan bertanya lebih detil. Walau dari reaksi spontan dari Ocean, membuat otaknya merangkai banyak spekulasi."Kau hanya perlu menjaga pola makan dan vitamin saja. Selebihnya, aku pikir olahragamu masih cukup baik."Beberapa nasehat terkait kondisi kesehatan diucapkan Anthony sebagai dokter pribadi. Lalu saran tentang apa yang harus dilakukan Ocean sebagai suami siaga untuk istrinya.Ocean manggut-manggut, tetapi tatapannya sendu. Hatinya hancur karena menyadari kalau ini kali kedua Ivy hamil, tanpa sosok suami. Mafia kejam yang haus darah? Tidak, Ocean hanyalah lelaki tanpa hati.Setelah dokter Anthony pergi, Ocean beranjak sembarangan lalu melempari perabotan. Ia mengamuk sampai puas, lalu terduduk dengan bahu merosot
Ivy masih tergolek lemah. Tidak ada yang bisa diandalkan untuk merawat. Dan dirinya pun sungkan untuk meminta bantuan rekan kerja di restoran.Persediaan makanan di kulkas mini sudah tidak ada. Ivy terpaksa memesan layanan antar, tetapi harus turun ke lantai satu untuk mengambil.Saat tubuhnya menggigil hebat, ponselnya memberi notifikasi pesan masuk. Kurir makanan telah sampai. Susah payah Ivy menarik kardigan untuk menutupi gaun tidurnya, sembari berjalan lambat menuju pintu. Ivy berpegangan erat pada pegangan tangga. Penuh perjuangan untuk tiba di lantai dasar. Ketika berhasil melakukannya, tatapan Ivy berubah menjadi hitam. Ivy pingsan, tepat di hadapan Joshua yang sengaja mampir untuk memeriksa keadaan salah satu pekerja di restorannya. "Astaga, Nona Aurora!" Kurir makanan pun tak kalah terkejutnya melihat sosok wanita bertubuh kurus yang jatuh pingsan. Dengan instruksi dari Joshua, si kurir makanan membukakan pintu mobil. Sementara Ivy digendong oleh atasannya itu.Joshua mas
Ivy mencintai pekerjaannya. Seperti hari-hari biasa, dia tampak tenggelam dalam pekerjaannya. Laporan pembelian dan penjualan dari masing-masing cabang masuk secara bersamaan. Kesibukan itu membuat Ivy melewatkan jam makan siangnya."Tok ... tok." Joshua tertawa setelah menirukan bunyi ketukan pintu. Konsentrasi Ivy langsung teralih dari layar komputer. "Hai, Tuan Pemilik Restoran. Ada yang bisa aku bantu?"Joshua masuk dengan menenteng kotak makanan. "Jangan lewatkan makan siang. Bayi dalam perutmu butuh asupan gizi."Ivy tercenung. Benar. Terkadang dia memang seperti abai dengan kondisi yang tengah berbadan dua. Baby bump nya sudah mulai tampak. Usia kandungannya berjalan empat belas minggu."Aku bawakan baked potato dan meat ball. Kalau kau masih lapar, ada lasagna di depan." Joshua menarik kursi untuk duduk di depan meja kerja Ivy. "Terima kasih atas perhatiannya. Aku akan membalasnya dengan bekerja lebih baik lagi." Ivy bersungguh-sungguh. Mencari pekerjaan dalam kondisi hamil
Sembari terisak-isak Ivy bercerita. Di seberang percakapan, Charlotte pun ikut menangis. "Katakan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte di antara derai air mata."Tidak ada. Tolong rahasiakan keberadaanku. Juga nomor ponsel baru ini." Ivy sudah merasa jauh lebih baik setelah bercerita pada sahabatnya."Tapi, Sayang, dia berhak tau dan kau kejar pertanggung jawaban." Charlotte masih berusaha melunakkan hati Ivy."Biarlah. Aku hanya ingin hidup berdua dengan bayi ini." Ivy menyeka air mata. "Maafkan karena aku mengganggu tidurmu.""Hei, apa kau tau kalau belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, hah? Aku terus teringat dan merindukanmu." Charlotte masih sempat mengomeli Ivy.Sungguh, Ivy merasa terharu. Disadarinya rasa rindu itu utuh untuk gadis cerewet yang dapat dibayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini. "Aku rindu. Aku tak bersemangat kuliah karena kau tak ada. Apa kau tak ingin mencicipi cheese pizza di kantin kampus?" Air liur Ivy muncul membayangkan keju