Ivy tak langsung pulang ke flat. Dia memilih untuk berjalan-jalan menyusuri pantai. Lalu Ivy menepi di salah satu kursi pantai untuk menikmati keindahan alam.Tanpa sengaja, matanya melihat ke arah kanan. Di mana sepasang kekasih sedang sibuk bercerita sambil sesekali berciuman mesra. Lalu tak jauh dari arah keduanya, tampak sepasang suami istri yang sibuk bermain pasir putih bersama bocah laki-laki.Kedua pemandangan itu menimbulkan gejolak ambigu di batin Ivy. 'Seandainya putraku masih hidup, pasti seumuran dengan anak itu.'Ivy bingung harus merindukan apa dan siapa. Hatinya hampa. Sakitnya nyata. Semua orang datang dengan alasan membawa cinta, tetapi semua malah pergi dengan meninggalkan jejak luka berbeda. Lalu Ivy harus tertatih-tatih untuk menyembuhkan lukanya, sendiri.Tatapan Ivy beralih. Lurus, menerawang jauh melewati batas karena sambil melamun. 'Sebenarnya, cinta itu apa? Kenapa begitu banyak luka menyertainya? Dan di mana kebahagiaan yang bisa dicicipi orang lain?'Ivy t
Hari ini, Ivy tak bisa bangun dari tempat tidur. Tubuhnya terasa lemas dan tak berdaya."Sepertinya aku demam. Mataku terasa panas dan lidahku pahit sekali." Ivy menutup kembali matanya. Rasa enggan beranjak dari tempat tidur, membuatnya ingin terus berbaring. Apalagi cuaca pagi ini cukup dingin. Di luar sana turun hujan cukup deras. Ivy ingin beristirahat sebentar lagi. Maka ditariknya selimut lebih rapat lagi. Di flat ini, Ivy tak begitu mengakrabkan diri dengan tetangga sekitar. Sifat introvert yang membuatnya seperti itu.Ivy hanya tersenyum tipis apabila kebetulan berpapasan. Selebihnya, dia adalah pribadi yang cukup tertutup. Karena itulah, tidak ada yang bisa diharapkan untuk menolong saat dia sakit.Ponsel butut yang bergetar membuat Ivy tersadar dari rasa kantuknya. Dicobanya untuk menjangkau letak benda itu tanpa beringsut sama sekali. Berhasil. "Tuan Joshua? Astaga!" Ivy menekan tombol terima panggilan. "Ya, halo.""Aurora, kenapa kau belum masuk kerja? Apa kau sakit?"
Ocean sedang sangat terkejut dengan kemungkinan yang dipaparkan oleh Anthony. Tak hanya itu, hatinya kembali terpukul karena kembali mengulang kesalahan yang sama. Jarret menatap prihatin pada wajah pucat pasi sang Tuan. Sementara Anthony tak berani melanggar privasi dengan bertanya lebih detil. Walau dari reaksi spontan dari Ocean, membuat otaknya merangkai banyak spekulasi."Kau hanya perlu menjaga pola makan dan vitamin saja. Selebihnya, aku pikir olahragamu masih cukup baik."Beberapa nasehat terkait kondisi kesehatan diucapkan Anthony sebagai dokter pribadi. Lalu saran tentang apa yang harus dilakukan Ocean sebagai suami siaga untuk istrinya.Ocean manggut-manggut, tetapi tatapannya sendu. Hatinya hancur karena menyadari kalau ini kali kedua Ivy hamil, tanpa sosok suami. Mafia kejam yang haus darah? Tidak, Ocean hanyalah lelaki tanpa hati.Setelah dokter Anthony pergi, Ocean beranjak sembarangan lalu melempari perabotan. Ia mengamuk sampai puas, lalu terduduk dengan bahu merosot
Ivy masih tergolek lemah. Tidak ada yang bisa diandalkan untuk merawat. Dan dirinya pun sungkan untuk meminta bantuan rekan kerja di restoran.Persediaan makanan di kulkas mini sudah tidak ada. Ivy terpaksa memesan layanan antar, tetapi harus turun ke lantai satu untuk mengambil.Saat tubuhnya menggigil hebat, ponselnya memberi notifikasi pesan masuk. Kurir makanan telah sampai. Susah payah Ivy menarik kardigan untuk menutupi gaun tidurnya, sembari berjalan lambat menuju pintu. Ivy berpegangan erat pada pegangan tangga. Penuh perjuangan untuk tiba di lantai dasar. Ketika berhasil melakukannya, tatapan Ivy berubah menjadi hitam. Ivy pingsan, tepat di hadapan Joshua yang sengaja mampir untuk memeriksa keadaan salah satu pekerja di restorannya. "Astaga, Nona Aurora!" Kurir makanan pun tak kalah terkejutnya melihat sosok wanita bertubuh kurus yang jatuh pingsan. Dengan instruksi dari Joshua, si kurir makanan membukakan pintu mobil. Sementara Ivy digendong oleh atasannya itu.Joshua mas
Ivy mencintai pekerjaannya. Seperti hari-hari biasa, dia tampak tenggelam dalam pekerjaannya. Laporan pembelian dan penjualan dari masing-masing cabang masuk secara bersamaan. Kesibukan itu membuat Ivy melewatkan jam makan siangnya."Tok ... tok." Joshua tertawa setelah menirukan bunyi ketukan pintu. Konsentrasi Ivy langsung teralih dari layar komputer. "Hai, Tuan Pemilik Restoran. Ada yang bisa aku bantu?"Joshua masuk dengan menenteng kotak makanan. "Jangan lewatkan makan siang. Bayi dalam perutmu butuh asupan gizi."Ivy tercenung. Benar. Terkadang dia memang seperti abai dengan kondisi yang tengah berbadan dua. Baby bump nya sudah mulai tampak. Usia kandungannya berjalan empat belas minggu."Aku bawakan baked potato dan meat ball. Kalau kau masih lapar, ada lasagna di depan." Joshua menarik kursi untuk duduk di depan meja kerja Ivy. "Terima kasih atas perhatiannya. Aku akan membalasnya dengan bekerja lebih baik lagi." Ivy bersungguh-sungguh. Mencari pekerjaan dalam kondisi hamil
Sembari terisak-isak Ivy bercerita. Di seberang percakapan, Charlotte pun ikut menangis. "Katakan, apa yang harus aku lakukan?" tanya Charlotte di antara derai air mata."Tidak ada. Tolong rahasiakan keberadaanku. Juga nomor ponsel baru ini." Ivy sudah merasa jauh lebih baik setelah bercerita pada sahabatnya."Tapi, Sayang, dia berhak tau dan kau kejar pertanggung jawaban." Charlotte masih berusaha melunakkan hati Ivy."Biarlah. Aku hanya ingin hidup berdua dengan bayi ini." Ivy menyeka air mata. "Maafkan karena aku mengganggu tidurmu.""Hei, apa kau tau kalau belakangan ini aku jarang bisa tidur dengan nyenyak, hah? Aku terus teringat dan merindukanmu." Charlotte masih sempat mengomeli Ivy.Sungguh, Ivy merasa terharu. Disadarinya rasa rindu itu utuh untuk gadis cerewet yang dapat dibayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini. "Aku rindu. Aku tak bersemangat kuliah karena kau tak ada. Apa kau tak ingin mencicipi cheese pizza di kantin kampus?" Air liur Ivy muncul membayangkan keju
Joshua menempatkan diri sebagai lelaki yang siaga. Bukan hanya membantu Ivy berbenah, tetapi juga membawakan barang-barang itu ke apartemen. Sedikit banyak, hati Joshua iba melihat apa yang Ivy bawa. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan selayaknya orang pindah rumah. Pun sejak saat itu, kedekatan di antara keduanya terus terjalin. Membuat Ivy merasa begitu banyak berhutang budi. Semuanya mulai tampak berbeda. Saat Ivy berada di dalam salah satu bilik toilet, ada suara dari luar. "Kau tau kalau sekarang dia sudah tinggal bersama pemilik restoran ini.""Dia?" "Ya. Si Aurora. Apa mungkin bayi dalam kandungannya itu pun anaknya Tuan Joshua?"Ivy yang tadinya hendak keluar dari bilik toilet, langsung mematung. Rumor itu sangat oimengerikan. Tuduhan menyakitkan hati yang terkesan kalau Ivy adalah perempuan murahan. "Hush! Jangan menebar gosip. Kalau ternyata bukan, itu akan menjadi bumerang bagi mulutmu sendiri."Ivy tak bisa mengenali siapa saja yang ada di luar bilik toilet. Hanya
Ivy tak bisa lagi bersikap seperti biasa ke Joshua. Pun lelaki itu seperti sengaja menjaga jarak. Ivy berusaha bekerja sangat profesional. Jika harus bersinggungan dengan Joshua, Ivy memasang sikap sangat formal. Hal itu membuat Joshua berang. Sepulang dari memeriksa laporan cabang-cabang restoran, Joshua sengaja mampir ke unit apartemennya. Walau sudah hafal luar kepala passcode, tetap saja Joshua harus menekan bel. Demi kesopanan, pikirnya. Ivy muncul dengan tampilan gaun tidur bermotif bunga dengan panjang selutut. "Ah, ternyata Anda. Maaf kalau aku sudah bersiap untuk tidur."Joshua tersenyum canggung. "Ada hal yang mengganggu pikiranku. Jadi aku putuskan untuk mampir.""Oh, begitu? Silahkan masuk. Toh ini unit milik Anda sendiri." Ivy membukakan pintu selebar mungkin.Joshua masuk dan mencium aroma teh. "Kau menyeduh teh?""Ya. Agar pikiranku bisa lebih rileks. Mau aku buatkan juga?""Sepertinya masih ada stok kopi di lemari. Aku akan membuatnya sendiri." Joshua berjalan cepat