Banyak yang bilang alasan seseorang tidak menjalin hubungan usai bercerai atau berpisah adalah cinta dia habis di mantannya. Mungkin itu juga yang terjadi padaku sekarang.
Setelah delapan tahun berpisah dari El, anehnya perasaanku seakan malas memulai hubungan apa pun. Entah karena trauma atau faktor lainnya, aku pun tak yakin tentang itu semua.Jadi, jika sekarang El curiga tentang kedatangan Neo yang mau menolongku saat mobilku mogok, pastinya aku ingin sekali tertawa karena rasanya dia gak perlu sampai sebegitunya."Oh ini ternyata kekasih kamu yang baru?" bisik El sambil menoleh ke arahku dan Neo secara bergantian.Aku yang tidak mau Neo disalahpahami El dan jadi canggung ke depannya, reflek menidakan dengan sedikit ketus."Jangan asal ngomong! Dia itu sebenarnya--""Elfarobi Fahreza?" sapa Neo dengan ragu yang membuat El menatap lurus ke arahnya. Aku menegang sekaligus terkejut heran karena Neo ternyata tahu nama lengkap mantan suamiku."Ya, saya Elfarobi. Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya El seraya menyipitkan mata memandang Neo.Neo tersenyum simpul. "Saya tentu saja tahu. Anda kan investor perusahaan baru kami. Oh ya, kenalkan saya Neo Davres, saya kepala bagian Humas Investama," jawab Neo sambil mengulurkan tangan santai tapi sayangnya aku malah sebaliknya.Daiku otomatis mengernyit karena mendengar fakta lain yang aku dengar dari Neo.Eh, bentar! El itu investor perusahaan? Kok aku gak tahu? Ya Tuhan, kalau dia masuk perusahaanku juga, bisa kacau dunia.Belum juga mencerna keadaan, suara El memecah konsentrasiku."Elfarobi, panggil saja El, mantan suami Alina," jawab El seraya membalas uluran tangan Neo.Mendengar jawaban El, aku bisa melihat wajah Neo berubah lebih tegang dari sebelumnya. Dia bahkan spontan menarik tangannya dari El dan melihat ke arahku seolah menuntut berbagai jawaban atas pertanyaannya yang tak keluar sementara aku hanya bisa tersenyum miris.Aku mengakui kalau selama kami kenal, aku memang tak pernah membahas perihal siapa mantan suamiku. Baik Adel mau pun Neo, sama-sama tidak tahu siapa sebenarnya mantan suamiku, mereka hanya tahu aku berstatus janda yang dipaksa bercerai oleh mertua. Maka tak heran jika Neo terlihat terkejut pas tahu kalau El adalah mantan suamiku."Kenapa? Keliatannya Anda begitu terkejut. Apa Alina gak pernah bilang?" tegur El melihat Neo hanya diam.Neo tergagap. "Oh, itu ya ... begitulah," jawab Neo seakan tak minat meneruskan bahasan dan lalu lebih mendekat ke arahku yang sejak tadi tak beranjak."Eh, betewe perkara mobil Lo gimana Lin? Kenapa katanya?" tanya Neo sengaja mengalihkan sambil menatapku khawatir.Aku menggelengkan kepala kecewa."Entahlah. Tapi, katanya Mas El ada yang salah di akinya. Akinya aus. Kayaknya gue harus ke bengkel deh Yo?" Aku memang terbiasa memanggilnya 'Yo' dari Neyo. Kata Neo aku boleh memanggilnya apa pun.Neo manggut-manggut paham. "Oke, kalau gitu kita ke bengkel gue aja, biar gue benerin. Ayo!" ajaknya sambil hampir membuka pintu mobil tapi tiba-tiba El menahannya."Maaf, sepertinya biar saya saja yang membantu membenarkan mobil Alina, gak masalah kan?" tawar El tiba-tiba.Aku terhenyak. Ini apa sih maksudnya? Kenapa dia tiba-tiba baik begini? Kemana El yang tadi kasar?Neo tak melepaskan tangannya dari pintu mobilku. Sahabatku itu seolah gak mau El membantu. "Sepertinya saya lebih paham tentang mobil ini. Mobil ini telah bersama saya selama Alina ada bersama saya. Bukan begitu, Lin? Jadi, lebih baik saya yang bawa mobil ini bukan Anda," sinis Neo pada El yang tampaknya masih gak mau menyerah.Melihat tatapan mereka yang sama-sama tajam pada satu sama lain, aku reflek memundurkan langkah dan memberi jarak.Jujur, aku bingung juga merasa gak enak karena membuat mereka berdua berdebat untuk membantuku.Inilah pertama kalinya aku merasa gak enak berada di antara Neo mau pun El.Ddrt. Dddrt.Tepat di tengah ketegangan, tiba-tiba ponselku bergetar. Aku gegas melihat siapa yang menelepon dan ternyata itu adalah telepon dari Nek Omi--orang yang dititipi Aliza di rumah."Assalammu'alaikum. Nek ada apa?" tanyaku khawatir. Tidak biasanya Nek Omi meneleponku jika bukan dalam keadaan darurat."Wa'alaikumsalam. Maaf Teh, Neng Iza demamnya tinggi. Sekarang kejang-kejang. Tolong segera ke sini!" Info dari Nek Omi yang menyebutkan tentang keadaan Iza seketika membuatku panik. Bayangan Iza yang kesakitan membuat batin dan ragaku sakit.Andai mobil ini baik-baik saja, mungkin aku tidak akan terlambat pulang. Sebenarnya semenjak lepas obat kejang di umur dua tahun, Iza sudah tidak kejang tapi entah kenapa dia harus kejang sekarang.Ya Allah, Iza, maafkan Bunda. "Apa? Kejang-kejang? Ya Allah, Nek, kasih dulu obatnya Nek yang ada di kotak P3K. Ada gak obatnya?""Udah Teh, udah dikasih obat, tapi gak mempan.""Ya, udah, Nek. Tunggu saya meluncur sekarang." Dengan tergesa-gesa dan dada yang sudah bergemuruh hebat karena khawatir aku pun menutup telepon dari Nek Omi."Iza kenapa, Lin? Dia kejang lagi?" Neo menatapku cemas. Aku tahu sebenarnya bukan hanya Neo tapi El pun sama-sama menatap cemas dan memperhatikanku semenjak aku menerima telepon.Dengan berat hati dan tangan gemetar aku menganggukkan kepala. "Iya, dia kejang. Kalau gak berhenti-berhenti, gue harus bawa dia ke rumah sakit Yo," kataku hampir menangis. Setiap Iza kejang, aku pasti gak bisa menahan air mata karena pasti langsung teringat kejadian di mana Iza hampir saja tak bernapas saat waktu dilahirkan."Ya udah kalau gitu, gue anter lo ke rumah sakit. Kebetulan gue bawa motor biar cepet," ujar Neo sambil menunjuk motor Ninja yang ternyata terparkir tak jauh dari kami. "Dan Pak El, bukannya Bapak tadi bilang mau mengantar mobil Alina? Sekarang, saya persilahkan Pak EL melakukannya. Bagaimana?" usul Neo pada El yang masih terdiam tanpa suara. Namun, aku tahu dia pasti ingin mengantarku juga, itu terlihat dari bagaimana matanya yang tampak sangat khawatir.Aku tidak mau merepotkannya. "Jangan, Yo. Gak apa-apa biar mobil ini nanti sama tukang bengkel saja. Mas El pasti banyak kegiatan, sudahlah lebih baik kita--""Saya akan membawanya. Kamu dan Neo silahkan ke rumah sakit saja. Sementara saya akan pastikan mobil kamu aman dan nyaman buat kamu kendarai nantinya," putus El dengan nada lebih lembut dan bijaksana sampai-sampai aku yang mendengarnya terenyuh."Beneran, Mas? Apa tidak merepotkan?" tanyaku pada El.Dia menggelengkan kepala yakin. "Gak. Lagi pula sebentar lagi tukang bengkelnya sampai. Cepatlah bawa Aliza. Dia nunggu kamu.""Baik Mas. Saya dan Neo permisi. Terima kasih." Aku mengangguk sambil mengulas sedikit senyum sebagai tanda terima kasih.Karena melihat waktu yang mendesak dan takut Aliza kenapa-kenapa, aku dan Neo bergegas pergi ke arah motor. Samar, aku bisa melihat senyuman aneh Neo saat aku memilih pergi bersamanya tapi aku gak mau ambil pusing. Toh, sahabatku itu kadang random.Motor pun pada akhirnya melaju dan sudah mulai berlalu dari tempat El berada sendirian bersama dengan dua mobil yaitu mobilku dan mobilnya. Entah mengapa diam-diam aku bisa merasakan aura kesepian yang terpancar dari sosoknya yang masih menatapku meski motor sudah menjauh.Oh Tuhan. Salahkah aku meninggalkannya?Aku memandangi wajah cantik Iza yang sedang tertidur lelap. Aku mencium kening Iza dengan hangat, diam-diam aku bersyukur setelah aku datang tadi Iza langsung bisa ditangani. Ternyata karena demam tinggi, Iza jadi kejang lagi padahal setelah mengkonsumsi obat enam tahun lalu dia sudah jarang seperti itu lagi. Tapi, untunglah aku tahu apa yang harus kulakukan.Sesuai intruksi dokter Hani--DSA (Dokter Spesialis Anak)-nya Iza yang kuhubungi lewat WA, aku bisa memberikan penanganan dini pada Iza tanpa harus membawanya ke UGD. Kata dokter Hani, sementara Iza bisa diberikan obat kejang yang sudah ia resepkan, tapi jika ketika diberikan obat masih kejang barulah harus dibawa ke rumah sakit."Ya Allah, sembuhkan Iza," desahku pada saat memegang tangan Iza yang kini untungnya sudah tertidur lelap.Sembari menjaga Iza, tanpa terasa bulir air mataku turun ke pipi. Membayangkan Iza kesakitan karena kesalahanku yang belum bisa menjadi orang tua sempurna, membuat hatiku teriris. Tak seharusnya Iza
Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Syukurnya keadaan Iza membaik setelah ditangani dokter Hani yang bersedia datang untuk memeriksa Iza yang mendadak kejang.Dokter Hani itu sebenarnya kenalan Adel dan juga sudah lama menjadi dokternya Iza, maka tak heran dia berusaha memantau Iza apa pun kondisinya. Aku tidak terbayang kalau Iza telat diberikan perawatan medis, aku pasti akan merasa sangat bersalah. Menurut info dari dokter Hani, Iza kembali kejang karena demam tinggi yang hampir mencapai 39 derajat.Sekarang pertanyaannya, apa yang menyebabkan Iza mengalami itu lagi? Apakah kedinginan? Kecapean? Salah makan?Atau ..."Agh!" Aku mengerang karena ketika memikirkan Iza sakit rupanya membuat perutku mendadak tak enak dan melilit. Kepalaku pun jadi pusing, mungkin karena aku terlalu stress belakangan ini.Reflek aku memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat dan makan sebentar, lagi pula Iza se
"Lin, Alina?"Aku mengerjapkan kedua mata dengan hati-hati. Saat ini perutku cukup membaik tapi kepalaku masih sedikit berputar seolah ditusuk paku walau tak sedahsyat tadi. Aku mencoba menengokkan kepala ke samping untuk memeriksakan keadaan dan mataku yang sipit seketika membola ketika mendapati ada El yang terduduk di samping dengan wajah khawatir. "Mas El?"Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Lin, kamu sudah bangun?" El menatapku cemas. Dia ingin memegang tanganku tapi ragu alhasil dia hanya menatap untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku menganggukkan kepala pelan. "Eng ... iya Mas. Ini di mana Mas?"Dia tersenyum lega. "Alhamdullilah syukurlah saya takut tadi kamu kenapa-napa. Kita sekarang ada di UGD. Kata dokter lambung kamu bermasalah dan dehidrasi. Sekarang coba kamu minum dulu, ya?" pinta El sambil membawa segelas air putih dari atas nak
"Orang kayak Mbak ini emang suka banget nyusahin, ya? Sifat ketergantungan Mbak ternyata gak hilang meski kalian sudah berpisah. Kenapa sih Mbak gak bisa sendiri aja urus hidup Mbak? Pantes Mas El ninggalin Mbak." Perkataan Faye yang menohok membuat aku menghela napas lelah. Aku sudah menduga wanita ini akan membahas hal ini saat kami tinggal berdua. Jujur, aku tidak kaget pada Faye yang menuduhku seenaknya karena dari sejak dulu dia memang begitu. "Pertama, saya gak minta Mas El buat nolong saya, kedua Mas El sendiri yang inisiatif buat membawa saya ke sini dan ketiga asal kamu tahu saya yang meminta diceraikan jadi bukan Mas El yang ninggalin," jawabku sambil menatap Faye sedatar mungkin. Aku mencoba menyandarkan badan ke ranjang karena kepalaku terasa lebih sakit dan berdenyut hanya karena gara-gara melihat Faye.Faye menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di samping bed dengan sikap jumawa. "Tapi yang aku lihat gak kayak gitu. Mas El sengaja meninggalkan Mbak yang memang beda k
Iza sudah bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari di observasi dan menjalani tes EEG kabar baiknya dokter mengatakan Iza normal untuk bisa pulang. Semua kondisi membaik hingga kami bisa beraktivitas seperti biasanya. Sayang, di antara kabar baik terselip satu keganjilan yang sampai sekarang masih belum bisa aku lerai yaitu tentang berbedanya sikap El setelah kejadian di UGD.Entah mengapa, selepas percakapan tempo hari itu, sikap El jadi lebih dingin dari biasanya. Dia seolah menghindar dan bahkan tak menampakan batang hidungnya di depanku. Namun, meski El seakan menjaga jarak, siapa sangka ketika keluar dari rumah sakit aku baru mengetahui kalau El sudah membayarkan biaya rumah sakit Iza.Di situ aku sangat terkejut dan bingung. Jujur, aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan lagi setelah mengetahui El yang ternyata tetap membantuku meski aku menolak.Menerima itu, aku tentu merasa gak nyaman apalagi ketika melihat El tampak marah pas mendengar percakapan aku, Neo dan Faye.Padahal j
"Bunda mau kan nikah sama Pak El? Pak El mau juga kan jadi ayahnya Iza?" Alina merasa hatinya seolah bergetar saat mendengar pertanyaan Iza, apalagi ketika melihat tatapan penuh harap dari Iza. Wanita muda nan cantik itu menggigit bibirnya gugup, dia rasanya tidak sanggup memberikan jawaban apa pun pada anak satu-satunya itu. Dia harus mengakui kalau permintaan Iza terlalu mustahil dirasa saat ini.Tidak. Ya, tidak mungkin rasanya Alina kembali bersatu dengan El karena hal itu sangat membahayakan bagi mereka berdua.Perlahan, Alina melirik ke arah El untuk mengetahui ekspresi dan reaksi pria itu ketika ditanya oleh Iza. Ternyata El pun sama mematungnya dengan Alina. Dan yang bisa pria tampan itu lakukan hanya berdiri menatap ke arah Alina dengan tatapan yang ... entah.Melihat kedua orang dewasa di depannya hanya bisa diam, Iza menggembungkan pipinya."Kok gak dijawab sih? Iza kan nanya. Bunda mau kan kalau Pak El jadi ....""Sudah Iza, jangan nanya yang aneh-aneh, ah. Kamu ini ada-a
Bu Rosa tersenyum sumringah. "Kenapa Ibu harus bilang untuk datang ke sekolah yang dipimpin anak Ibu sendiri?" tanya Ibu berwajah ayu itu seraya berdiri tepat di depan El yang langsung menyalami wanita setengah baya itu sopan. "Ya, bukannya apa-apa sih Bu, tapi kan kalau tahu Ibu mau ke sini El bisa sekalian jemput. Oh ya, ayo silahkan duduk di sini Bu," ujar El seraya menarik kursi yang ada di depan meja kerjanya. Lalu, Bu Rosa pun tanpa sungkan duduk di sana. "Makasih ya El. Oh ya, El, sebenarnya alasan Ibu datang ke sini itu untuk memastikan apa kamu kemarin jadi ke toko perhiasan teman Ibu?" tanya Bu Rosa seraya menatap anaknya lekat.El mengangguk. "Iya Bu, jadi. Tapi, katanya masih belum bisa diambil. Hem ... sebenarnya buat siapa cincin ini, Bu? Bukannya seminggu yang lalu juga Ibu baru membeli cincin dari kenalan Ibu? Jangan bilang kalau Ibu mau memberikannya pada kawan arisan Ibu lagi," desis El curiga karena sikap ibunya yang terlalu royal pada sahabatnya yang wajahnya opo
Waktu jam pemanggangan pantat budak korporat sepertiku akan berakhir, tapi aku masih duduk di kantin kantor dengan kopi hitam yang tinggal setengahnya. Usai kejadian tadi pagi di sekolah Iza, seharian ini aku jadi tak bisa berkonsentrasi sehingga memilih cepat-cepat mengerjakan tugas dan buru-buru ngopi di kantin untuk meleraikan penat. Sungguh. Saat ini, rasanya pikiranku melanglangbuana dan hatiku merasa buruk. Aku tidak tahan berada di balik kubikel karena setiap berada di balik laptop bayangan El yang menatapku tadi pagi terus saja berputar bagai kaset kusut hingga sore menjelang. Oh Tuhan, mengapa aku harus bertemu dengannya setelah delapan tahun ini? Bukankah aku dan Iza sudah baik-baik aja meski tanpa El?"Bun, Iza mau punya ayah kayak Pak El.""Astaghfirullah." Aku reflek beristighfar saat ingatanku tertuju pada kejadian tadi pagi, di mana Iza tetap memintaku untuk menikah dengan El meski saat itu kami sudah ada di depan kelasnya.Jujur, permintaan Iza itu sangat mengganggu
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat