Anak Pungut ini yang akan Merawatmu Ibu
By. Erin Marta Lina
Bab 5. Siasat 3 bersaudara
Melihat plat pada pagar rumah ibu, aku langsung menuju rumah Bu Juwariyah untuk menanyakan perihal plat penjualan rumah ibu
“Assalamualaikum Bu Ju “ salamku pada Bu Juwariyah yang sedang melayani sesembak beli kerupuk di warung kelontongnya.
“Wa’alaikumussalamwrwb, eh kamu Ra, apa kabar Ra, haduh ... ga ada kamu, rame bener dah rumah Bu Mur” jawab Bu Juwariyah membuat aku semakin bingung.
“Rame kenapa Bu? Anak-anaknya abang sama kakak pada ngumpul ya Bu?” Tanyaku memastikan, karena selama ini rumah ibu ramai sekali jika anak Mas Bimo dan Kak Silfa berkumpul. Sedangkan Kak Laras belum dikaruniai keturunan.
“Iya itu juga sih, tapi ada yang lebih rame lagi, sepeninggal kamu, rumah Bu Mur kabarnya dibuat rebutan sama ketiga kakak kamu, makanya sekarang itu tuh dikasih tulisan dijual, katanya sih hasil penjualan mau dibagi tiga sama mereka, tau ga sih Ra, ibumu nangis-nangis ke rumah Pak RT sewaktu Bimo sama suami Silfa bertengkar sampai meja kaca ruang tamu pecah” jelas Bu Ju, jujur aku belum begitu percaya karena tidak langsung mendengar dari sumber terpercaya, apalagi mas Taufik yang biasanya kalem sampai ikut meladeni mas Bimo bahkan sampai menuai kerusakan. Tapi tetap aku akan berusaha mengorek ada apa dengan keluargaku, lebih tepatnya keluarga angkatku.
“Terus Bu, sekarang ibu kemana?” Tanyaku mengkhawatirkan ibu. Jelas Kak Silfa ingkar dengan janjinya akan merawat ibu selagi kutinggal. Kini rumah ibu malah dijual.
“Katanya sih ikut Silfa, tapi sebelumnya mereka bertiga sempat cek cok juga berebut....” jelas Bu Ju menggantungkan ucapannya.
“Berebut merawat ibu Bu?” Tanyaku memastikan.
“Nah bukan, malah berebut kagak mau ngerawat atuh, duh.... eh Yura, kenapa atuh kamu pergi, kasian Bu Mur, beneran kayak terombang-ambing hidupnya, mana anak-anaknya yang tiga kayak begitu, mending kamu susul Ibumu deh, daripada kenapa-kenapa” saran Bu Ju kepadaku. Ternyata apa yang kukhawatirkan benar terjadi, Kak Silfa tak menepati janjinya.
“Kenapa-kenapa? Emang ada apa Bu?” Tanyaku heran, memang sih Bu Ju ini semacam akun lambe turah di dusun ini, jadi cukup lengkap juga informasi yang diberikan, tapi tetap aku harus kroscek langsung apa yang sebenarnya terjadi.
“Kemarin si Silfa ngajak Bu Mur pindah ke rumahnya sambil bentak- bentak, aku lihat jelas Ra, orang aku sambil ngejualin anak anak ngaji beli sosis disini, kasian Bu Mur ini Ra, kenapa malah milih ngikut Silfa, dan bener bener enak dirawat kamu, malah milih Silfa, eh sebentar, ngomong ngomong kenapa kamu udah ga tinggal di rumah Bu Mur Ra??” Tanya Bu Ju penasaran, hmm, kukira berita aku adalah anak angkat belum tersebar, ya...aku maklum karena ibu juga memang jarang bergosip bersama tetangga, meskipun ibu ketus dan galak terhadapku, satu kelebihan ibu, beliau tak pernah menggunjingkanku dengan tetangga, seperti ini contohnya, meski sudah seminggu kepergianku, tapi berita alasan aku pergi belum juga ada yang tahu.
“Em... Em, itu Bu, aku ikut Mas Andi, kerjanya di sini kan sepi, jadi mencari peruntungan di kota, sekalian merawat rumah peninggalan mertua.” Jelasku meski separuh benar separuh berbohong. Benar karena memang aku telah memilih untuk berbakti pada suami. Dusta karena alasan utamanya bahwa aku telah diusir oleh ibu angkatku. Sesakku dalam hati.
“Oh gitu, yaudah sekarang jemput ibumu Ra, kasian bener deh Bu Mur” saran perempuan gemuk berkulit putih tersebut.
“Baiklah Bu, makasih ya informasinya. Yura pamit, assalamualaikum” pamitku yang dijawab langsung oleh Bu Ju.
“ Assalamualaikum” ucapku setelah mengetuk pintu rumah bercat hijau toska ini, rumah yang cukup nyaman dan megah, dengan halaman luas yang terdapat kolam ikan koi dikelilingi beberapa anggrek gantung yang berbaris rapi di teras. Ditambah beberapa tanaman hias monstera yang bertengger anggun menandakan bahwa sang pemilik adalah pecinta tanaman.
“Wa’alaikumsalam” jawab seseorang dari dalam, pintu dibuka nampaklah seorang perempuan muda yang kuperkirakan adalah ART di rumah ini.
“Maaf, mencari siapa ya Bu?” Tanya perempuan itu sopan kepadaku dan mas Andi.
“Perkenalkan saya Yura, adik dari Kak Silfa. Kak Silfa ada di rumah kah mbak?” Aku memperkenalkan diri sekaligus mengungkapkan tujuan kemari.
“Oh adik Non Silfa, mari-mari masuk. Non Silfa ada di dalam” perempuan itu mempersilakan kami masuk.
“Eh kamu Ra, ada apa kesini? “ Tiba-tiba kak Silfa keluar sambil melipat tangan di dada.
“Kami mencari ibu kak” mas Andi menjawab singkat tujuan utama kami kemari.
“Ibu tidak ada di sini” ucapnya singkat namun membuat hatiku makin geram. Astaghfirullah. Apa lagi ini.
“Lantas, di mana ibu sekarang? Rumah ibu dijual, kata Bu Juwariyah, ibu ikut kakak. Tapi kenapa beliau tak ada di sini?” Tanyaku diliputi marah pada keadaan, pada kak Silfa juga tentunya.
“Ibu ada di rumah mas Bimo, mertuaku tak mau jika ibu ikut tinggal disini. Kau tahu sendiri bukan, ibu sangat cerewet tak tahu waktu saat sakitnya kambuh.” Kak Silfa beralibi yang membuatku muak. Sangat muak.
“Maksudmu apa kak, seminggu yang lalu seakan-akan kakak sanggup merawat ibu. Berjanji mau tinggal bersama ibu di rumah peninggalan ayah. Sekarang, rumah kalian jual, ibu kalian oper-oper layaknya barang. Jika kalian tak sanggup merawat ibu, tak usah kalian sok. Biarkan ibu bersamaku” aku berkata sambil menunjuk ke muka Kak Silfa. Amarah ini seakan tak bisa ditahan terus menerus.
“Eh, anak pungut, hak apa kamu berbicara demikian heh. Ibu aja terang-terangan ga mau tinggal sama benalu kayak kamu. Ga usah jadi pahlawan kesiangan” cerca Kak Silfa padaku.
“Cukup Silfa, biarkan Yura merawat ibu. Dia lebih baik perangainya daripada kamu. Aku saja tak tega jika melihat ibu dirawat olehmu” mas Taufik keluar dengan membawa satu koper besar. Sepertinya ia akan kembali ke pulau seberang.
“Apa lagi sih mas, udah deh belain aja tuh anak pungut” kak Silfa bersungut-sungut padaku.
“Ra, maafkan kakakmu ini. Sejujurnya aku sempat kaget saat seminggu yang lalu tiba-tiba kalian telah pergi meninggalkan rumah. Ibu bilang Silfa yang akan menggantikanmu tinggal di sana merawat ibu. Tentu awalnya aku mengiyakan, tapi baru sehari Silfa sudah merengek minta balik ke sini. Apalagi dia sedang hamil, jadi kukira mungkin ia kelelahan jika harus merawat ibu” Mas Taufik menjelaskan kronologi awal Kak Silfa sampai membawa ibu kemari.
“Tapi, ibuku sendiri tak mau jika ada ibu yang ikut tinggal di rumah ini. Padahal aku sudah berkali-kali menjelaskan bahwa ada ART yang bisa merawat ibu bergantian. Tapi ibuku menolak. Maafkan ibuku juga ya Ra. Entah, kenapa sifat istri dan ibuku sangat mirip sekali, kau tahu sendiri bukan ibuku juga sudah pikun, kadang beliau tak ingat jika Bu Mursidah adalah besannya.” Mas Taufik menjelaskan sambil melirik kak Silfa yang masih dongkol di sampingnya. Aku dan Mas Andi menyimak penjelasan mas Taufik.
“Jadi, setelah kejadian itu, ibu dijemput oleh Mas Bimo?” Aku bertanya melanjutkan.
“Tidak Ra, setelah itu ibu memilih kembali ke rumah ibu sendiri. Di sana Mas Bimo, kak Laras, dan kami ikut mengantar ibu. Belum sempat kami memutuskan pulang, ibu bertanya lantas siapa yang menemaninya sekarang. Sontak, ketiga kakakmu malah berebut tak mau” lanjut Mas Andi.
“Aku sempat lelah, lantas memutuskan untuk mencari udara segar.” Lanjutnya
“Beberapa saat setelahnya, entah ada angin apa. Ketiga kakakmu merencanakan hal buruk terhadap ibu. Mereka mengundi nasib ibu. Akhirnya pilihan jatuh pada Mas Bimo, dengan syarat penjualan rumah sebagian besar diperoleh mas Bimo” mas Andi mulai mengerucut penjelasannya.
“Rumah ibu dijual? Jadi itu alasan mengapa ada plat bahwa rumah ibu dijual? Benar begitu mas?” Kejarku pada penjelasan mas Andi.
“Benar begitu Ra” jawab mas Andi sambil menunduk. Malu mungkin ia dengan sikap istrinya. Dengan hidup sudah serba berkecukupan masih saja istrinya berbuat licik. Bahkan kepada wanita yang telah bertaruh nyawa melahirkannya.
“Sekarang mana ibu mas, kak? Kenapa kalian jadi begini? Lantas kenapa mas Taufik diam saja dengan kelakuan absurd kak Silfa, heh?” Tak tahan lagi rasanya dengan kelakuan ketiga kakakku ini.
“Ibu sekarang ada di rumah mas Bimo, kesana saja kalian. Sudah pusing aku merasakan masalah terus seminggu ini. Pergi sana, cari ibu di rumah mas Bimo” usir kak Silfa padaku dan Mas Andi.
“Maafkan kami Ra, Andi. Ada satu dua hal yang bisa aku jelaskan saat ini.” Mas Taufik meminta maaf padaku dan mas Andi.
“Baiklah, kami pamit. Assalamualaikum” mas Andi menggandengku lantas beranjak dari rumah megah bernuansa asri ini.
Anak Pungut ini Yang Akan Merawatmu IbuPart 6. Nasib Bu Mursidah"Assalamualaikum" kami tiba di kediaman mas Bimo. Rumah bergaya minimalis seorang arsitek handal. Siapa lagi kalau bukan Abang tertua ku."Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ya. Mau cari siapa dan ada perlu apa?" Keluar seorang wanita yang masih terhitung muda. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan."Saya Yura, adik Pak Bimo. Pak Bimo ada?jawabku. Dengan apron putih kutaksir ia adalah ART di rumah mas Bimo."Oh adik pak Bimo, mari masuk. Pak Bimo di dalam" jawabnya sopan, lantas mempersilahkan kami duduk. ART mas Bimo lantas ke dalam setelah menawarkan minuman pada kami."Eh, ada anak pungut nih. Ada apa kalian kemari?" Tanyanya dengan gaya yang memuakkan menurutku. Mas Bimo keluar dari ruang tengah sepertinya. Ia melihat siapa yang datang, dan ternyata aku dan Mas Andi."Ma
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuPart 1. Seakan Ada yang Hilang di Hati IniBy. Erin Marta LinaUhuk ... Uhuk...Terdengar suara batuk ibu yang mulai kambuh lagi, ya, sudah 4 hari ini ibu batuk disertai pilek disertai sakit persediannya.Aku sungguh khawatir akan kesehatan beliau, tapi apa daya kekhawatiranku tak pernah diindahkanya“Bu , ayolah menurut dengan kami, ayo kita periksa ke dokter desa sebelah, batuk ibu kian hari kian menjadi, jangan minum obat-obatan warung terus” saran Mas Andi membujuk ibu. Ya, aku dan mas Andi adalah sepasang suami istri yang masih tinggal bersama ibu, wanita lima puluh tahunan yang entah mengapa seperti sangat tidak menginginkanku dalam kehidupannya. Ah mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan, mungkin karena usianya ibu sering uring-uringan terhadapku juga Mas Andi. Fikirku“Iya Bu, di musim seperti ini kita harus
Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu IbuPart 2. KenyataanBy. Erin Marta Lina"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku."Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang."Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan."Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI."Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 3 pelukan terakhirBy Erin Marta LinaAku membaca surat itu dengan seksama, tampak kak Silfa dan ibu mulai jengah karena aku tak kunjung membubuhkan tandatanganku di atasnya.Hmm, sungguh licik kak Silfa, mas Bimo, dan kak Laras. Dengan cara halus seperti ini rupanya mereka berencana buruk terhadap ibu kandung mereka sendiri. Memaksa aku menandatangani akta serah terima rumah peninggalan ayah dengan dalih aku anak angkat, membuat rumah ini beratasnamakan nama ibu. Bagiku tak apa jika memang rumah ini benar untuk ibu, untuk tempat tinggal hari tua ibu. Tapi yang kukhawatirkan kurasa lebih dari itu. Semoga tidak terjadi.Kita kihat, lihat apa yang akan terjadi kelak"Lama banget sih, bisa baca nggak ? Tinggal tandatangan aja apa susahnya?" Cecar kak Silfa yang semakin mendesakku agar segera menandatangani dokumen bermaterai sepuluh ribu ini. Aku memang masih
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 4 Aku PamitBy Erin Marta Lina“Aku pamit Bu, kak Silfa, salam buat mas Taufik dan Niar saat bangun nanti” ucapku menjabat tangan ibu. Masih ada nurani ibu, aku melihat itu dalam secercah mata hitam yang mulai menua miliknya.“Hmm” ibu hanya bergumam saat tangan ini menjabat tangan halusnya.“Kami pamit, Assalamualaikum” ucap mas Andi yang kuikuti perlahan langkahnya menaiki motor matic yang senantiasa menemani dalam mengais nafkah selama setahun belakangan ini.“Dek, apa tak apa jika kita ajak Fauzi perjalanan malam ini. Kasihan dia masih terlalu kecil” gumam mas Andi sambil bertanya kala aku mulai naik jok motornya.“Insya Allah kita jalan pelan saja ya mas, nanti Fauzi aku dekap erat di jok belakang” solusi dariku. Aku yakin Allah akan memberi jalan, bismillahi