Anak Pungut ini yang akan Merawatmu Ibu
Part 1. Seakan Ada yang Hilang di Hati Ini
By. Erin Marta Lina
Uhuk ... Uhuk...
Terdengar suara batuk ibu yang mulai kambuh lagi, ya, sudah 4 hari ini ibu batuk disertai pilek disertai sakit persediannya.
Aku sungguh khawatir akan kesehatan beliau, tapi apa daya kekhawatiranku tak pernah diindahkanya
“Bu , ayolah menurut dengan kami, ayo kita periksa ke dokter desa sebelah, batuk ibu kian hari kian menjadi, jangan minum obat-obatan warung terus” saran Mas Andi membujuk ibu. Ya, aku dan mas Andi adalah sepasang suami istri yang masih tinggal bersama ibu, wanita lima puluh tahunan yang entah mengapa seperti sangat tidak menginginkanku dalam kehidupannya. Ah mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan, mungkin karena usianya ibu sering uring-uringan terhadapku juga Mas Andi. Fikirku
“Iya Bu, di musim seperti ini kita harus lebih tanggap dengan keadaan, ibu mau ya diantar periksa oleh Mas Andi” bujukku pula karena ibu terkesan tidak mau periksa ke dokter, mungkin beliau khawatir di musim pandemi seperti ini juga. Karena banyak tetangga yang entah sengaja atau tidak berpulang setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit. Namun, bukan rumah sakit tepatnya kuajak ibu periksa, hanya ke dokter umum saja agar diperiksa keadaannya. Tetap ibu enggan melakukannya.
“ Halah, akal-akalan mau ajak periksa, tukang ojek aja sok banget suamimu itu” ucap ibu meremehkan Mas Andi. Mas Andi hanya terdiam, lantas menuju kamar melihat Fauzi yang baru saja terlap usai minum ASI. Ah, Mas Andi. Lelaki penyabar yang selalu berpembawaan tenang entah apapun suasananya. Jarang sekali marah.
Bukan sekali dua kali ibu selalu menghina kami, terutama Mas Andi karena pekerjaannya yang hanya seorang tukang ojek kampung. Sebenarnya Mas Andi punya pekerjaan tetap di kota, tepatnya sebelum memutuskan untuk ikut hijrah ke desa ini. Ia bekerjasama dengan temannya membuka usaha percetakan kecil-kecilan di kota. Namun, karena tak tega jika harus meninggalkanku bersama Fauzi yang masih bayi, juga merawat ibu yang mulai sakit-sakitan karena sakitnya. Jadi ia memutuskan untuk pindah ke desa ini, konsekuensinya hanya sebagai ojeklah Mas Andi bekerja agar kami tak sampai kekurangan. Anak-anak ibu yang lain? Mereka bertiga telah sukses dengan kehidupan rumah tangganya, namun entah karena terlalu sibuk mereka jarang sekali berkunjung. Mungkin sesekali ketika senggang.
“Mas, maafin perkataan ibuku ya, maafin aku juga belum sanggup dan tega jika harus meninggalkan ibu sendiri di rumah ini” jujurku dengan keadaan saat ini, karena memang Mas Andi menyarankan agar kami hidup terpisah saja, meski harus mengontrak agar lebih mandiri dan tentunya lebih tenang tanpa makan hati dengan ucapan ibu dan tetangga tentunya
“iya dek, tak apa aku sudah terbiasa, semoga lambat laun ibu bisa menerima dan ikhlas dengan keadaan kita ya” tulus mas Andi sembari tersenyum padaku
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumussalam, ya ampun Silfa kamu datang, syukurlah kamu dateng, ibu sakit sudah 4 hari ini tapi belum juga periksa, maklumlah yang nemani ibu malah anak yang ono noh.... Duh, ga usah ibu jelasin lah ...” Ucap ibu sambil menyambut kak Silfa, padahal yang disambut belum juga duduk. Aku yang merasa dibicarakan diam saja. Selalu seperti ini ketika kak Silfa datang ke rumah. Sebenarnya mas Bimo dan kak Laras juga kurang menyukaiku, tapi yang lebih terlihat sering wira-wiri ke rumah ibu adalah kak Silfa.
“Duh Bu.... Aku mah udah hafal sih, udah udah nanti sore kita ke dokter sekalian jalan-jalan sih, yakan pah” ucap kak Silfa kepada mas Taufik, suaminya sambil berjalan menuju sofa ruang tamu yang baru saja kubeli dari hasil menjahit pakaian sehari-hari.
Aku dan Mas Andi hanya bisa diam saja, setelah kak Silfa dan Mas Taufik masuk tentunya bersama Niar anaknya.
Kini aku bergegas ke dapur membuat teh dan menyiapkan cemilan untuk Niar yang sedari tadi bermain sendiri di ruang tamu. Biasanya ia suka sekali menggoda Fauzi saat sedang bangun.
“Tante.... Adek Fauzi kemana, aku kangen te, pengen nyubit pipi gembilnya hihi” Niar menghampiriku yang sedang mengaduk teh. Sejak masih usia dua tahun ia sudah cukup dekat denganku, karena seringnya kak Silfa membawanya kesini. Kadang ketika ibu dan Kak Silfa sibuk belanja, maka Niar dengan dengan hati akan menemaniku menjahit beberapa pesanan baju di rumah.
“Adek lagi bobok sayang, habis ini ikut Tante ke kamar yuk, kita lihat adek Fauzi udah bangun apa belum” bujukku sembari membawa teh ke ruang keluarga
Ya, rumah yang kutempati kini adalah rumah ayah dan ibu, rumah ini terbilang mewah jika dibandingkan dengan rumah warga lain, karena masih terbilang lingkungan dusun. Aku adalah anak bungsu perempuan di keluargaku, sebab itulah ayah dulu berpesan agar aku yang nantinya merawat ibu jika beliau telah berpulang.
Ayah merupakan pengusaha pada zamannya, ibu adalah ibu rumah tangga biasa, kami sekeluarga terbiasa hidup berkecukupan. Meski ayah telah pensiun, tapi ketiga kakakku telah berhasil menyelesaikan kuliahnya, hingga ketika aku kelas 2 SMA, ayah berpulang karena diabetes yang selama ini menggerogotinya.
Sebab itu juga, ibu tak memperbolehkan aku kuliah seperti kakak-kakaku
Mas Bimo sarjana arsitektur.
Kak Laras sarjana hukum.
Kak Silfa meski hanya D2, tapi beliau memiliki suami mas Taufik yang kaya karena seorang pengusaha batubara di pulang seberang.
Dan hari ini bertepatan mas Taufik pulang.
Mas Andi sebenarnya memiliki usaha percetakan di kota, karena sebelumnya beliau membuka usaha percetakan bersama temannya, tapi setahun belakangan setelah ayah meninggal jadilah beliau menurutiku untuk tinggal di desa menemani ibu, tapi bukan ibu namanya jika tak selalu berkata sinis terhadapku dan mas Andi
“ Bu, itu si Yura sampai kapan sih tinggal di rumah ini, udahlah ga bisa bahagiain ibu, malah ngerepoti terus yang ada” kudengar ucapan mbak Silfa sambil nyemil cemilan yang kusedikan
Bukan berniat menguping, tapi antara ruang tengah dan kamar memanglah tanpa sekat, juga kini kamarku sedang dalam kondisi sedikit terbuka
“Tak tau lah, Fa, kayak ibu ga sanggup aja tinggal disini sendiri, ibu tuh sebenernya bosen bener lah ada si Yura itu. Sebel, masak punya suami cuman tukang ojek, dijodohin sama anak pak lurah malah milihnya tukang ojek, duh malu bener lah ibu ini” sungut ibu yang memang sejak awal tak pernah setuju jika aku harus menikah dengan mas Andi yang tak punya masa depan menurut ibu. Ibu lebih setuju jika aku menikah dengan Danu anak pak kades yang kaya raya namun terkenal badung jelas aku menolak. Ayah pun tak setuju
“Kenapa ibu ga usir mereka aja” kompor kak Silfa. Sejak awal kak Silfa sangat tidak setuju aku tingga bersama ibu di rumah peninggalan ayah ini. Padahal akupun tahu bahwa rumah ini sebenarnya adalah warisan dari ayah untukku. Ketiga kakakku telah diberi bagian lebih besar berupa tanah di beberapa daerah dan aset berupa rumah juga tapi tidak di desa ini.
“Kalau ibu usir, nanti ibu tinggal dimana? Kalian tau sendiri kan ini rumah bagiannya si Yura” ucap ibu yang membuatku kaget mendengarnya, karena selama ada pembacaan wasiat dulu aku tak diperbolehkannya pulang alasan semua akses jalan ditutup. Padahal aku sudah mengetahui sesaat sebelum ayah tiada, ayah sudah berpesan bahwa aku harus menjaga ibu karena ketiga kakakku terlihat sekali perangai kurang baiknya, menurut ayah itu karena ibu selalu memanjakan ketiganya. Kini aku semakin yakin, bahwa rumah ini pada akhirnya akan menjadi rebutan oleh mereka yang serakah. Tak apa, aku percaya akan ada jalan terang setelahnya.
“Iya juga ya Bu, gampang lah nanti aku atur sama kak Laras, biar surat wasiat itu bisa diubah segera, enak aja anak pungut mau dapat rumah segede gini” ucapan kak Silfa membuat jantungku seakan mencelos seketika.
Inikah yang menjadi alasan perlakuan ibu selalu berbeda terhadapku??? Aku anak pungut? Benarkah yang mereka berdua bicarakan adalah aku? Lantas jika itu benar, siapakah aku sebenarnya?
Ibu... Inikah alasannya selama berpuluh tahun ibu selalu membedakan sikap antara kepadaku dan ketiga kakakku?
Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu IbuPart 2. KenyataanBy. Erin Marta Lina"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku."Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang."Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan."Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI."Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 3 pelukan terakhirBy Erin Marta LinaAku membaca surat itu dengan seksama, tampak kak Silfa dan ibu mulai jengah karena aku tak kunjung membubuhkan tandatanganku di atasnya.Hmm, sungguh licik kak Silfa, mas Bimo, dan kak Laras. Dengan cara halus seperti ini rupanya mereka berencana buruk terhadap ibu kandung mereka sendiri. Memaksa aku menandatangani akta serah terima rumah peninggalan ayah dengan dalih aku anak angkat, membuat rumah ini beratasnamakan nama ibu. Bagiku tak apa jika memang rumah ini benar untuk ibu, untuk tempat tinggal hari tua ibu. Tapi yang kukhawatirkan kurasa lebih dari itu. Semoga tidak terjadi.Kita kihat, lihat apa yang akan terjadi kelak"Lama banget sih, bisa baca nggak ? Tinggal tandatangan aja apa susahnya?" Cecar kak Silfa yang semakin mendesakku agar segera menandatangani dokumen bermaterai sepuluh ribu ini. Aku memang masih
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 4 Aku PamitBy Erin Marta Lina“Aku pamit Bu, kak Silfa, salam buat mas Taufik dan Niar saat bangun nanti” ucapku menjabat tangan ibu. Masih ada nurani ibu, aku melihat itu dalam secercah mata hitam yang mulai menua miliknya.“Hmm” ibu hanya bergumam saat tangan ini menjabat tangan halusnya.“Kami pamit, Assalamualaikum” ucap mas Andi yang kuikuti perlahan langkahnya menaiki motor matic yang senantiasa menemani dalam mengais nafkah selama setahun belakangan ini.“Dek, apa tak apa jika kita ajak Fauzi perjalanan malam ini. Kasihan dia masih terlalu kecil” gumam mas Andi sambil bertanya kala aku mulai naik jok motornya.“Insya Allah kita jalan pelan saja ya mas, nanti Fauzi aku dekap erat di jok belakang” solusi dariku. Aku yakin Allah akan memberi jalan, bismillahi
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBy. Erin Marta LinaBab 5. Siasat 3 bersaudaraMelihat plat pada pagar rumah ibu, aku langsung menuju rumah Bu Juwariyah untuk menanyakan perihal plat penjualan rumah ibu“Assalamualaikum Bu Ju “ salamku pada Bu Juwariyah yang sedang melayani sesembak beli kerupuk di warung kelontongnya.“Wa’alaikumussalamwrwb, eh kamu Ra, apa kabar Ra, haduh ... ga ada kamu, rame bener dah rumah Bu Mur” jawab Bu Juwariyah membuat aku semakin bingung.“Rame kenapa Bu? Anak-anaknya abang sama kakak pada ngumpul ya Bu?” Tanyaku memastikan, karena selama ini rumah ibu ramai sekali jika anak Mas Bimo dan Kak Silfa berkumpul. Sedangkan Kak Laras belum dikaruniai keturunan.“Iya itu juga sih, tapi ada yang lebih rame lagi, sepeninggal kamu, rumah Bu Mur kabarnya dibuat rebutan sama ketiga
Anak Pungut ini Yang Akan Merawatmu IbuPart 6. Nasib Bu Mursidah"Assalamualaikum" kami tiba di kediaman mas Bimo. Rumah bergaya minimalis seorang arsitek handal. Siapa lagi kalau bukan Abang tertua ku."Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ya. Mau cari siapa dan ada perlu apa?" Keluar seorang wanita yang masih terhitung muda. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan."Saya Yura, adik Pak Bimo. Pak Bimo ada?jawabku. Dengan apron putih kutaksir ia adalah ART di rumah mas Bimo."Oh adik pak Bimo, mari masuk. Pak Bimo di dalam" jawabnya sopan, lantas mempersilahkan kami duduk. ART mas Bimo lantas ke dalam setelah menawarkan minuman pada kami."Eh, ada anak pungut nih. Ada apa kalian kemari?" Tanyanya dengan gaya yang memuakkan menurutku. Mas Bimo keluar dari ruang tengah sepertinya. Ia melihat siapa yang datang, dan ternyata aku dan Mas Andi."Ma
Anak Pungut ini Yang Akan Merawatmu IbuPart 6. Nasib Bu Mursidah"Assalamualaikum" kami tiba di kediaman mas Bimo. Rumah bergaya minimalis seorang arsitek handal. Siapa lagi kalau bukan Abang tertua ku."Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ya. Mau cari siapa dan ada perlu apa?" Keluar seorang wanita yang masih terhitung muda. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan."Saya Yura, adik Pak Bimo. Pak Bimo ada?jawabku. Dengan apron putih kutaksir ia adalah ART di rumah mas Bimo."Oh adik pak Bimo, mari masuk. Pak Bimo di dalam" jawabnya sopan, lantas mempersilahkan kami duduk. ART mas Bimo lantas ke dalam setelah menawarkan minuman pada kami."Eh, ada anak pungut nih. Ada apa kalian kemari?" Tanyanya dengan gaya yang memuakkan menurutku. Mas Bimo keluar dari ruang tengah sepertinya. Ia melihat siapa yang datang, dan ternyata aku dan Mas Andi."Ma
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBy. Erin Marta LinaBab 5. Siasat 3 bersaudaraMelihat plat pada pagar rumah ibu, aku langsung menuju rumah Bu Juwariyah untuk menanyakan perihal plat penjualan rumah ibu“Assalamualaikum Bu Ju “ salamku pada Bu Juwariyah yang sedang melayani sesembak beli kerupuk di warung kelontongnya.“Wa’alaikumussalamwrwb, eh kamu Ra, apa kabar Ra, haduh ... ga ada kamu, rame bener dah rumah Bu Mur” jawab Bu Juwariyah membuat aku semakin bingung.“Rame kenapa Bu? Anak-anaknya abang sama kakak pada ngumpul ya Bu?” Tanyaku memastikan, karena selama ini rumah ibu ramai sekali jika anak Mas Bimo dan Kak Silfa berkumpul. Sedangkan Kak Laras belum dikaruniai keturunan.“Iya itu juga sih, tapi ada yang lebih rame lagi, sepeninggal kamu, rumah Bu Mur kabarnya dibuat rebutan sama ketiga
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 4 Aku PamitBy Erin Marta Lina“Aku pamit Bu, kak Silfa, salam buat mas Taufik dan Niar saat bangun nanti” ucapku menjabat tangan ibu. Masih ada nurani ibu, aku melihat itu dalam secercah mata hitam yang mulai menua miliknya.“Hmm” ibu hanya bergumam saat tangan ini menjabat tangan halusnya.“Kami pamit, Assalamualaikum” ucap mas Andi yang kuikuti perlahan langkahnya menaiki motor matic yang senantiasa menemani dalam mengais nafkah selama setahun belakangan ini.“Dek, apa tak apa jika kita ajak Fauzi perjalanan malam ini. Kasihan dia masih terlalu kecil” gumam mas Andi sambil bertanya kala aku mulai naik jok motornya.“Insya Allah kita jalan pelan saja ya mas, nanti Fauzi aku dekap erat di jok belakang” solusi dariku. Aku yakin Allah akan memberi jalan, bismillahi
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 3 pelukan terakhirBy Erin Marta LinaAku membaca surat itu dengan seksama, tampak kak Silfa dan ibu mulai jengah karena aku tak kunjung membubuhkan tandatanganku di atasnya.Hmm, sungguh licik kak Silfa, mas Bimo, dan kak Laras. Dengan cara halus seperti ini rupanya mereka berencana buruk terhadap ibu kandung mereka sendiri. Memaksa aku menandatangani akta serah terima rumah peninggalan ayah dengan dalih aku anak angkat, membuat rumah ini beratasnamakan nama ibu. Bagiku tak apa jika memang rumah ini benar untuk ibu, untuk tempat tinggal hari tua ibu. Tapi yang kukhawatirkan kurasa lebih dari itu. Semoga tidak terjadi.Kita kihat, lihat apa yang akan terjadi kelak"Lama banget sih, bisa baca nggak ? Tinggal tandatangan aja apa susahnya?" Cecar kak Silfa yang semakin mendesakku agar segera menandatangani dokumen bermaterai sepuluh ribu ini. Aku memang masih
Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu IbuPart 2. KenyataanBy. Erin Marta Lina"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku."Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang."Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan."Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI."Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuPart 1. Seakan Ada yang Hilang di Hati IniBy. Erin Marta LinaUhuk ... Uhuk...Terdengar suara batuk ibu yang mulai kambuh lagi, ya, sudah 4 hari ini ibu batuk disertai pilek disertai sakit persediannya.Aku sungguh khawatir akan kesehatan beliau, tapi apa daya kekhawatiranku tak pernah diindahkanya“Bu , ayolah menurut dengan kami, ayo kita periksa ke dokter desa sebelah, batuk ibu kian hari kian menjadi, jangan minum obat-obatan warung terus” saran Mas Andi membujuk ibu. Ya, aku dan mas Andi adalah sepasang suami istri yang masih tinggal bersama ibu, wanita lima puluh tahunan yang entah mengapa seperti sangat tidak menginginkanku dalam kehidupannya. Ah mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan, mungkin karena usianya ibu sering uring-uringan terhadapku juga Mas Andi. Fikirku“Iya Bu, di musim seperti ini kita harus