Anak Pungut ini yang akan Merawatmu Ibu
Bab 4 Aku Pamit
By Erin Marta Lina
“Aku pamit Bu, kak Silfa, salam buat mas Taufik dan Niar saat bangun nanti” ucapku menjabat tangan ibu. Masih ada nurani ibu, aku melihat itu dalam secercah mata hitam yang mulai menua miliknya.
“Hmm” ibu hanya bergumam saat tangan ini menjabat tangan halusnya.
“Kami pamit, Assalamualaikum” ucap mas Andi yang kuikuti perlahan langkahnya menaiki motor matic yang senantiasa menemani dalam mengais nafkah selama setahun belakangan ini.
“Dek, apa tak apa jika kita ajak Fauzi perjalanan malam ini. Kasihan dia masih terlalu kecil” gumam mas Andi sambil bertanya kala aku mulai naik jok motornya.
“Insya Allah kita jalan pelan saja ya mas, nanti Fauzi aku dekap erat di jok belakang” solusi dariku. Aku yakin Allah akan memberi jalan, bismillahirrahmanirrahim Allah akan menerangkan cuaca hari ini sampai kami tiba di tujuan. Yakinku
“Huh, syukur deh ga nyusahin lama lama lagi” dengkus kak Silfa yang masih bisa kudengar karena motor belum dijalankan.
Pelan deru motor mas Andi menjauhi rumah penuh kenangan. Meski bukan sepenuhnya kenangan membahagiakan, namun tetaplah di rumah itu aku menemukan keluarga. Terutama kebaikan ayah yang senantiasa mendidik aku agar selalu mengalah meski aku bungsu di keluarga itu. Ayah, bukankah ayah di sana melihat betapa kini aku berpeluk luka kala ibu mengusirku dari rumah. Syukurku, aku memiliki suami yang sangat menyayangiku, memeluk dan menopang saat aku sudah mulai lelah.
“Kita mau kemana mas? “ Tanyaku pada Mas Andi ketika motor ini melaju ke arah kota.
“Kita ke rumah orangtuaku ya dek” tenang mas Andi, ya sebenarnya mas Andi memiliki rumah peninggalan kedua orang tuanya, yakni rumah di kota kabupaten, tapi karena menuruti permintaanku akhirnya beliau mengalah bekerja di desa sebagai tukang ojek kampung biasa.
“Alhamdulillah kita sudah sampai” ucap mas Andi sembari memarkirkan motor di halaman rumah yang cukup luas dan asri. Aku pernah kesini sekali, namun saat itu mas Andi bilang rumah ini dijaga Bulek Sih jadi kufikir ini rumah Bulek Sih. Ternyata bulek hanya bertugas membersihkan saja seminggu dua kali tutur mas Andi.
“Alhamdulillah” jawabku. Mas Andi membantu membawa tas travel juga beberapa tas bayi milik Fauzi. Syukurlah Fauzi anteng sekali saat di perjalanan.
“Ayo masuk, meski ditinggal lama, tapi Bulek Sih selalu membersihkannya rutin, jadi tetap nyaman kan dek” Mas Andi membukan kunci rumah yang meski terlihat lama tapi cukup nyaman dan asri menurutku. Mas Andi memang punya kunci utama rumah ini, ia duplikat dan satu ia serahkan kepada Bulek Sih.
“Iya mas, nyaman dan bersih. Ehm, aku tidurkan Fauzi dulu ya mas, kasian pasti lelah sekali perjalanan lumayan jauh.” Usulku pada mas Andi.
“ Iya benar, ayo mas antar ke kamar utama. Ish, anaknya ayah pinter banget” ucap mas Andi sambil berbicara pada Fauzi yang masih terlelap nyaman usai minum ASI di seperempatnya perjalanan tadi.
“Kita istirahat dulu aja ya dek, besok baru kita tata barang-barang ini. Sekalian ngabari Bulek Sih kalau kita sekarang pindah kesini” mas Andi mengusulkan. Tentu aku hanya bisa mengiyakan. Mungkin saat inilah baktiku pada suamiku harus kubuktikan secara total. Karena ketika merawat ibu, beberapa kali mas Andi mengusulkan agar kami pindah ke rumah kota ini, selalu kutolak. Dengan alasan menjalankan wasiat ayah.
“Sarapan dulu mas” tawarku pada mas Andi yang sudah rapi, entah mau kemana. Fikirku.
“Ehm, enak nih nasi goreng telur kesukaanku, bebebku is the best dah pokoknya” puji mas Andi.
Ia memang selalu seperti itu, seperti tak pernah ada cela pada setiap tingkah lakuku. Namun tetap menegur kala aku khilaf. Itulah yang membuatku mantap memilih Mas Andi sebagai suamiku ketimbang anak pak lurah pilihan ibu, kini aku tahu ibu menjodohkanku dengan Riko yang jelas-jelas bukan pemuda baik-baik karena sering kulihat menggandeng gonta ganti wanita, bahkan pernah terjerumus dunia narkoba, dengan kata lain ibu ingin menendang aku keluar dari rumah, ikut dengan keluarga Riko dan tak lagi mengusik kehidupan ibu. Padahal aku ingat betul kak Silfa dulu terang terangan tak diperbolehkan dekat dengan Riko. Malah aku mau dijodohkan dengannya.
Teganya ibu ingin memasukkanku ke dalam kandang singa. Ternyata tiga bulan setelah aku menikah, Riko tertangkap tangan dalam operasi bandar narkoba di sekitar area penginapan milik ayahnya. Itu yang kudengar ketika beberapa kali ibu-ibu tetangga membicarakannya. Akhirnya ia kini mendekam di penjara, tapi tak lama karena kuasa orangtuanya. Lagu lama.
“Dek,....” Panggil mas Andi
“Eh iya ada apa mas?” Tanyaku tersadar akan lamunan beberapa waktu silam.
“Ngelamun apa? Kamu masih ga tega ninggalin ibu sama kak Silfa? “ Tanya mas Andi lagi kini melihatku khusyu. Aku yang dilihat malah salah tingkah.
“Enggak mas, aku lagi mikirin masa lalu tentang rencana ibu jodohin aku sama anak pak lurah” jawabku jujur.
“Kenapa nih? Kok tiba-tiba inget masa lalu. Cemburu nih akunya” mas Andi memamerkan wajah seolah tak suka mendengar jawabanku.
“Enggak mas, aku malah bersyukur banget ga jadi nikah sama dia. Kalau jadi entahlah. Mana mungkin aku bisa berduaan sarapan pagi sama pangeran gini” godaku padanya. Yang digoda malah senyum-senyum. Seperti itulah aku dan mas Andi tak ada prasangka. Karena kami selalu terbuka dalam hal sekecil apapun.
“Ehm, mas aku kefikiran ibu di rumah. Terakhir kemarin, darah rendah ibu masih suka kambuh. Ditambah cuaca malam.yang dingin banget kadang asma ibu juga kambuh. Kira-kira Kak Silfa telaten gak ya mas ngerawat ibu. Aku kok kefikiran terus” ungkapku pada Mas Andi sambil menemaninya menyantap nasi goreng kesukaannya.
“Dek, Kak Silfa itu malah anak kandung ibu. Sebaiknya kita pasrahkan aja ya, kan ini juga pilihan ibu” Mas Andi menjawab santai sambil sesekali menghentikan makannya.
“Iya mas, tapi mas tahu sendiri kan perangai Kak Silfa, jangankan mau bikinin ibu teh hangat, menyapu lantai saja ia ogah melakukannya” aku mengingat kala keseharian Kak Silfa selama hidup bersama saat ia belum menikah.
“Kita kan ga tahu, mungkin dia sudah berubah setelah berumahtangga. Buktinya adem ayem aja hidup sama mertua. Iya kan” Mas Andi menjelaskan sesuai pemikiranya.
“Iya sih, tapi kan di rumah mas Taufik banyak ARTnya mas. Mungkin juga kan Kak Silfa udah terbiasa segala sesuatu dilakukan ART” aku masih keukeuh dengan pemikiranku. Khawatir dengan ibu.
“Dek, sekarang kamu tenangkan fikiranmu. Inget, kamu menyusui, jika fikiran dan hatimu tak tenang sedikit banyak pasti berpengaruh buat ASI Fauzi. Sekarang kita coba berfikir positif aja ya. Yakin deh, ibu pasti baik-baik aja sama Kak Silfa” mas Andi menenangkanku.
“Iya mas, semoga ibu dirawat dengan baik di sana” Mas Andi mengamini ucapanku.
“Kalau kamu masih resah mikirin ibu, kita tunggu kabar seminggu ini ya. Selepas itu, kita jenguk ibu. Entah ibu suka atau tidak kita jenguk saja. Gimana sayang?” Tawar Mas Andi memecah rasa khawatir di hati ini.
“Boleh mas” ucapku senang. Paling tidak seminggu ke depan aku bisa bertemu ibu. Ya, ibu bukan wanita tua kekinian yang pandai mengaplikasikan HP, jadi mau tak mau jika ingin berkabar, aku harus menghubungi Kak Silfa. Namun, belum mencobanya rasa ragu sudah terpatri dalam hati. Ragu kalau Kak Silfa tak mau berbagi kabar ibu denganku. Ah, fikiran negatif enyahlah.
“Ya sudah, aku berangkat dulu ya dek” Mas Andi mengulurkan tangan pamit kepadaku.
“Mas mau kemana? Narik ojek?” Tanyaku penasaran.
“Bukan sayang, mas mau ke percetakan. Selama ini percetakan tetap jalan, kan diambil alih sementara sama Galih. Nah mumpung kita udah pindah kesini, mas mau aktif lagi mengurusi percetakan. Maaf ya baru cerita, soalnya baru ngasih kabar Galih habis subuh tadi juga” jawabnya menjelaskan. Aku bersyukur, di manapun kami berada, Allah selalu mencukupkan rezekinya untuk kami.
“Alhamdulillah, iya mas. Bismillah rencana Allah pasti lebih baik dari apapun” semangatku untuk mas Andi.
“Aamiin, ya udah mas berangkat ya. Pakaian kita udah mas tata tadi malem” ucap mas Andi, pantas saja tas travel sudah tak ada di tempatnya kala aku bangun tadi pagi. Terimakasih Suamiku batinku.
“Baik banget sih suami... Yaudah hati-hati ya mas” ucapku.
“Iya sayang, assalamualaikum” pamitnya lagi, kini sambil beranjak menuju teras. Aku mengantarnya.
“Wa’alaikumussalam” jawabku sambil berdoa semoga setiap langkah suamiku, diberikan kebaikan dan keberkahan oleh Allah SWT.
RUMAH DIJUAL
SILAHKAN HUBUNGI BIMO 085787661212
Tulisan itu terpampang jelas di depan pagar rumah yang penuh kenangan itu
“Mas, kenapa rumah ibu dijual?”
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBy. Erin Marta LinaBab 5. Siasat 3 bersaudaraMelihat plat pada pagar rumah ibu, aku langsung menuju rumah Bu Juwariyah untuk menanyakan perihal plat penjualan rumah ibu“Assalamualaikum Bu Ju “ salamku pada Bu Juwariyah yang sedang melayani sesembak beli kerupuk di warung kelontongnya.“Wa’alaikumussalamwrwb, eh kamu Ra, apa kabar Ra, haduh ... ga ada kamu, rame bener dah rumah Bu Mur” jawab Bu Juwariyah membuat aku semakin bingung.“Rame kenapa Bu? Anak-anaknya abang sama kakak pada ngumpul ya Bu?” Tanyaku memastikan, karena selama ini rumah ibu ramai sekali jika anak Mas Bimo dan Kak Silfa berkumpul. Sedangkan Kak Laras belum dikaruniai keturunan.“Iya itu juga sih, tapi ada yang lebih rame lagi, sepeninggal kamu, rumah Bu Mur kabarnya dibuat rebutan sama ketiga
Anak Pungut ini Yang Akan Merawatmu IbuPart 6. Nasib Bu Mursidah"Assalamualaikum" kami tiba di kediaman mas Bimo. Rumah bergaya minimalis seorang arsitek handal. Siapa lagi kalau bukan Abang tertua ku."Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ya. Mau cari siapa dan ada perlu apa?" Keluar seorang wanita yang masih terhitung muda. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan."Saya Yura, adik Pak Bimo. Pak Bimo ada?jawabku. Dengan apron putih kutaksir ia adalah ART di rumah mas Bimo."Oh adik pak Bimo, mari masuk. Pak Bimo di dalam" jawabnya sopan, lantas mempersilahkan kami duduk. ART mas Bimo lantas ke dalam setelah menawarkan minuman pada kami."Eh, ada anak pungut nih. Ada apa kalian kemari?" Tanyanya dengan gaya yang memuakkan menurutku. Mas Bimo keluar dari ruang tengah sepertinya. Ia melihat siapa yang datang, dan ternyata aku dan Mas Andi."Ma
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuPart 1. Seakan Ada yang Hilang di Hati IniBy. Erin Marta LinaUhuk ... Uhuk...Terdengar suara batuk ibu yang mulai kambuh lagi, ya, sudah 4 hari ini ibu batuk disertai pilek disertai sakit persediannya.Aku sungguh khawatir akan kesehatan beliau, tapi apa daya kekhawatiranku tak pernah diindahkanya“Bu , ayolah menurut dengan kami, ayo kita periksa ke dokter desa sebelah, batuk ibu kian hari kian menjadi, jangan minum obat-obatan warung terus” saran Mas Andi membujuk ibu. Ya, aku dan mas Andi adalah sepasang suami istri yang masih tinggal bersama ibu, wanita lima puluh tahunan yang entah mengapa seperti sangat tidak menginginkanku dalam kehidupannya. Ah mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan, mungkin karena usianya ibu sering uring-uringan terhadapku juga Mas Andi. Fikirku“Iya Bu, di musim seperti ini kita harus
Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu IbuPart 2. KenyataanBy. Erin Marta Lina"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku."Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang."Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan."Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI."Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak
Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 3 pelukan terakhirBy Erin Marta LinaAku membaca surat itu dengan seksama, tampak kak Silfa dan ibu mulai jengah karena aku tak kunjung membubuhkan tandatanganku di atasnya.Hmm, sungguh licik kak Silfa, mas Bimo, dan kak Laras. Dengan cara halus seperti ini rupanya mereka berencana buruk terhadap ibu kandung mereka sendiri. Memaksa aku menandatangani akta serah terima rumah peninggalan ayah dengan dalih aku anak angkat, membuat rumah ini beratasnamakan nama ibu. Bagiku tak apa jika memang rumah ini benar untuk ibu, untuk tempat tinggal hari tua ibu. Tapi yang kukhawatirkan kurasa lebih dari itu. Semoga tidak terjadi.Kita kihat, lihat apa yang akan terjadi kelak"Lama banget sih, bisa baca nggak ? Tinggal tandatangan aja apa susahnya?" Cecar kak Silfa yang semakin mendesakku agar segera menandatangani dokumen bermaterai sepuluh ribu ini. Aku memang masih