Share

Pelukan Terakhir

Penulis: Erin Marta Lina
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-03 15:43:16

Anak Pungut ini yang akan Merawatmu Ibu

Bab 3 pelukan terakhir

By Erin Marta Lina

Aku membaca surat itu dengan seksama, tampak kak Silfa dan ibu mulai jengah karena aku tak kunjung membubuhkan tandatanganku di atasnya.

Hmm, sungguh licik kak Silfa, mas Bimo, dan kak Laras. Dengan cara halus seperti ini rupanya mereka berencana buruk terhadap ibu kandung mereka sendiri. Memaksa aku menandatangani akta serah terima rumah peninggalan ayah dengan dalih aku anak angkat, membuat rumah ini beratasnamakan nama ibu. Bagiku tak apa jika memang rumah ini benar untuk ibu, untuk tempat tinggal hari tua ibu. Tapi yang kukhawatirkan kurasa lebih dari itu. Semoga tidak terjadi.

Kita kihat, lihat apa yang akan terjadi kelak

"Lama banget sih, bisa baca nggak ? Tinggal tandatangan aja apa susahnya?" Cecar kak Silfa yang semakin mendesakku agar segera menandatangani dokumen bermaterai sepuluh ribu ini. Aku memang masih menimbang baik buruk ke depannya. Yang kukhawatirkan ibu tentunya. Masalah aku dan mas Andi tinggal dimana, tentu aku tak perlu memikirkan itu lagi.

"Assalamualaikum" terdengar salam dari depan, kuhafal sekali suara itu. Mas Andi

"Wa'alaikumussalam" jawabku beralih menatap imamku yang kini beranjak ke dalam memakai kopyah hitam dan koko putih kebanggaannya. Menatap sejuk segala sesuatu bahkan yang terlihat sangat membuatnya marah. Entahlah terbuat dari apa hati kekasih halalku ini. Semoga kita sehidup sesurga mas. Ucapku dalam hati

"Syukur udah pulang juga. Ndi, duduk sini ada yang mau ibu bicarakan dengan kamu dan Yura" terang ibu saat Mas Andi masuk dan menuju kami di ruang tamu.

"Eh ada Kak Silfa, kapan datang kak? mana mas Taufik kak?" Mas Andi bertanya perihal kakak iparnya. Memang meski Kak Silfa tak pernah mau baik padaku dan Mas Andi, namun Mas Taufik perangainya lebih baik, ia juga selalu menjadi penengah saat Kak Silfa mulai mengompori ibu dengan berbagai cara agar ibu mau mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Aku ingat sekali saat awal menikah Kak Silfa ngotot ingin punya mobil sendiri dengan meminta ibu menjual kebun sawit milik ayah yang ada di pulau seberang. Namun dengan kelembutan hati mas Taufik akhirnya kak Silfa mengalah dan mau bersabar hingga bonus dari perusahaan tempat Mas Taufik bekerja turun lalu dibelikannya Kak Silfa mobil keluaran terbaru kala itu.

"Dari tadi, ada itu barusan keluar. Cari angin kayaknya" jawab Kak Silfa singkat. Ketara sekali ia tak ingin berbasa-basi lalu segera menyelesaikan perkara warisan rumah ini.

"Ga usah lama-lama deh, cepetan tandatangani. Lama banget" cebik Kak Silfa lagi. Aku memang masih menimbang apakah ibu yakin jika aku harus menandatangani surat ini. Aku hanya memikirkan nasib ibu kemudian, apakah benar Kak Silfa mampu dan telaten merawat ibu yang makin kesini tentu makin sepuh dan banyak keluhannya.

"Ini surat apa dek?" Mas Andi melihat isi surat yang ada di depanku. Dengan tangan sambil mengunci bolpoin, aku menyerahkan surat itu pada Mas Andi. Ia membacanya pelan batinku.

"Maksudnya rumah ini akan diambil alih atas nama ibu? Kemudian Kak Silfa akan tinggal di rumah ini? Betul begitu Bu?" Tanya mas Andi meminta penjelasan.

"Ya, anggap saja seperti itu" jawab ibu singkat.

"Tapi Bu, menurut wasiat mendiang ayah, rumah ini adalah hak Yura. Ibu sudah memiliki bagian villa yang ada di daerah Bogor bukan?" Mas Andi mengingatkan sekaligus meyakinkan.

"Yura bukan anak kandung dalam keluarga ini. Ia hanya anak pungut, jadi tak ada sedikitpun hak Yura dalam pembagian warisan suamiku" tegas ibu dengan intonasi yang cukup ditekankan pada kalimat anak pungut.

"Benar itu dek?" Mas Andi menoleh padaku, sisa mata sembab masih ada yang kini kembali dialiri air mata kesedihan. Sedih menerima siapa jati diri ini sebenarnya.

"Benar mas, ibu sendiri yang bilang" jawabku pelan, hampir tak terdengar.

"Tapi bagaimanapun juga ayah tahu bukan jika Yura adalah anak pungut, maaf anak angkat tepatnya. Dan sekalipun ayah tahu, beliau tetap membagi rumah ini untuk Yura. Jadi..." Tukas mas Andi menjelaskan sesuai pemahamannya.

"Sudah cukup, ibu ga mau permasalahan rumah ini berbuntut ramai. Malu didengar tetangga. Apapun alasannya. Saya Mursidah istri dari Toni Hadikusumo meminta hak atas rumah peninggalan suami saya." Geram ibu sambil menunjuk pada wajah mas Andi.

"Yura, bikin ribet aja sih, tinggal tandatangan juga. Cepetan kenapa" Kak Silfa mendesak lagi.

"Bukan begitu kak, Bu, apa ibu yakin dengan isi surat ini? Apa ibu sudah membaca dan memahami seluruh isi surat ini?" Tanyaku halus pada ibu, kini aku mulai bisa mengendalikan diri dengan situasi yang mulai mau tak mau membuatku harus tetap berdiri meski kaki ini seakan lumpuh tak berdaya.

"Maksudmu apa Ra? Jelas aku sudah mengetahui isinya, dan aku minta sekarang cepat tandatangani surat itu, lalu kemasi barang-barangmu beserta suami dan anakmu, karena sebentar lagi, Silfa yang akan menemani hari-hariku nanti dan seterusnya" ucap ibu terdengar angkuh, tak ada lagi sebutan ibu dalam ucapannya. Begitupun tak kutangkap sedikitpun rasa kasih itu padanya. Oh ibu, tak tahukah engkau betapa aku sangat ingin memelukmu saat ini, meski kau tak pernah menganggapku. Aku sungguh tulus ibu, mataku mulai berembun lagi

"Tapi Bu, apa ibu yakin kak Silfa bisa merawat ibu, Yura khawatir Bu, ketika sakit darah rendah ibu kambuh, ibu akan terus menerus merasa pusing hingga baru bisa terlelap ketika dipijit sambil dielus kaki ibu, Yura akan melakukannya untuk ibu" aku mulai merengek seperti bocah yang tak ingin ditinggal ibunya pergi. Lebih tepatnya meninggalkan ibunya pergi. Bu Mursidah adalah satu-satunya wanita yang merawatku hingga dewasa, meski beliau tak menganggapku. Di hati ini beliau satu-satunya ibuku.

"Eh Yura, ga usah banyak alesan ya, sekarang itu jaman udah modern, sok-sokan mau mikir aku mampu ga ngerawat ibu. Dikira aku ga pernah ngerawat ibu apa. Dan asal kamu tahu dokter itu dimana mana, tinggal panggil juga datang, besoknya sembuh deh, ribet banget" sinis kak Silfa lagi. Entah kenapa aku masih berat meninggalkan ibu, meski tanpa kasih sayang beliau membesarkanku, tapi aku tulus kepadanya

"Tak usah banyak alasan lagi, ibu lelah, biarkan ibu istirahat, dan kami Yura, setelah Andi pulang, kemasi barangmu lalu pergi, ibu ingin besok pagi kalian sudah beranjak dari rumah ini" ketus ibu

"Udah cepet tandatangani, jangan banyak cing cong Mulu, bikin kesel aja" sungut kak Silfa sembari menyodorkan kertas berisi surat yang sungguh membuatku takjub dengan isinya. Takjub karena sungguh nyata ada anak-anak berhati seperti mereka. Semoga ibu benar-benar dirawat dengan baik oleh kak Silfa. Seperti kasih ibu pada Kak Silfa.

"Baiklah, aku akan mendandatanganinya" ucapku seraya mengambil pena lalu membubuhkan tandatangan di atas materai itu. Sumringah sekali wajah Kak Silfa melihatnya. Tak apa, aku kuat aku pasti kuat. Teguhku menguatkan hati.

"Bagus, mulai detik ini, kau Yura Rey Amanda, kau bukan lagi bagian dari keluarga besar Toni Hadikusumo, dan kau berhak berdikari tanpa campur tangan dari keluarga ini lagi" ucap ibu diiringi senyuman miring dari kak Silfa.

"Yups, okey. Dan jangan pernah kau minta secuilpun isi dari warisan ayah, karena kau adalah seorang ANAK PUNGUT" tandas kak Silfa penuh penekanan pada kata anak pungut.

"Baik Bu, jika itu membuat ibu bahagia, aku akan menjalaninya, sebelumnya izinkan aku memelukmu untuk terkahir kalinya, karena bagiku hanya pelukan ibu lah yang selalu aku rindukan, ibu, sampai kapanpun, ibu tetaplah ibuku, bukan ibu angkatku, tapi Bu Mursidah adalah ibu kandungku, ibu yang selalu memelukku kala.ku sakit, tak apa jika pelukan itu hanya setengah hati, tapi bagiku, bahu ibu adalah tempat ternyamanku" aku tak tahan lagi dengan air mata yang terus mengalir, sungguh, aku sangat menyayangimu ibu. Beliau hanya mematung saat tubuh ini merengkuhnya. Mas Andi menenangkanku lantas membantuku berkemas malam itu juga.

Ibu, aku akan tetap membersamaimu dalam hatiku. Kudoakan dalam setiap sujudku agar Allah senantiasa menjagamu Bu, jika kakak-kakakku telah lelah Merawatmu izinkan tangan kecil ink yang akan berbakti padamu Bu. Semoga firasat ini salah, semoga ibu bahagia dengan ketiga anak kandungnya.

Bab terkait

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Aku Pamit

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 4 Aku PamitBy Erin Marta Lina“Aku pamit Bu, kak Silfa, salam buat mas Taufik dan Niar saat bangun nanti” ucapku menjabat tangan ibu. Masih ada nurani ibu, aku melihat itu dalam secercah mata hitam yang mulai menua miliknya.“Hmm” ibu hanya bergumam saat tangan ini menjabat tangan halusnya.“Kami pamit, Assalamualaikum” ucap mas Andi yang kuikuti perlahan langkahnya menaiki motor matic yang senantiasa menemani dalam mengais nafkah selama setahun belakangan ini.“Dek, apa tak apa jika kita ajak Fauzi perjalanan malam ini. Kasihan dia masih terlalu kecil” gumam mas Andi sambil bertanya kala aku mulai naik jok motornya.“Insya Allah kita jalan pelan saja ya mas, nanti Fauzi aku dekap erat di jok belakang” solusi dariku. Aku yakin Allah akan memberi jalan, bismillahi

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Siasat Tiga Bersaudara

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBy. Erin Marta LinaBab 5. Siasat 3 bersaudaraMelihat plat pada pagar rumah ibu, aku langsung menuju rumah Bu Juwariyah untuk menanyakan perihal plat penjualan rumah ibu“Assalamualaikum Bu Ju “ salamku pada Bu Juwariyah yang sedang melayani sesembak beli kerupuk di warung kelontongnya.“Wa’alaikumussalamwrwb, eh kamu Ra, apa kabar Ra, haduh ... ga ada kamu, rame bener dah rumah Bu Mur” jawab Bu Juwariyah membuat aku semakin bingung.“Rame kenapa Bu? Anak-anaknya abang sama kakak pada ngumpul ya Bu?” Tanyaku memastikan, karena selama ini rumah ibu ramai sekali jika anak Mas Bimo dan Kak Silfa berkumpul. Sedangkan Kak Laras belum dikaruniai keturunan.“Iya itu juga sih, tapi ada yang lebih rame lagi, sepeninggal kamu, rumah Bu Mur kabarnya dibuat rebutan sama ketiga

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Nasib Bu Mursidah

    Anak Pungut ini Yang Akan Merawatmu IbuPart 6. Nasib Bu Mursidah"Assalamualaikum" kami tiba di kediaman mas Bimo. Rumah bergaya minimalis seorang arsitek handal. Siapa lagi kalau bukan Abang tertua ku."Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ya. Mau cari siapa dan ada perlu apa?" Keluar seorang wanita yang masih terhitung muda. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan."Saya Yura, adik Pak Bimo. Pak Bimo ada?jawabku. Dengan apron putih kutaksir ia adalah ART di rumah mas Bimo."Oh adik pak Bimo, mari masuk. Pak Bimo di dalam" jawabnya sopan, lantas mempersilahkan kami duduk. ART mas Bimo lantas ke dalam setelah menawarkan minuman pada kami."Eh, ada anak pungut nih. Ada apa kalian kemari?" Tanyanya dengan gaya yang memuakkan menurutku. Mas Bimo keluar dari ruang tengah sepertinya. Ia melihat siapa yang datang, dan ternyata aku dan Mas Andi."Ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Seperti Ada Yang Hilang di Hati Ini

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuPart 1. Seakan Ada yang Hilang di Hati IniBy. Erin Marta LinaUhuk ... Uhuk...Terdengar suara batuk ibu yang mulai kambuh lagi, ya, sudah 4 hari ini ibu batuk disertai pilek disertai sakit persediannya.Aku sungguh khawatir akan kesehatan beliau, tapi apa daya kekhawatiranku tak pernah diindahkanya“Bu , ayolah menurut dengan kami, ayo kita periksa ke dokter desa sebelah, batuk ibu kian hari kian menjadi, jangan minum obat-obatan warung terus” saran Mas Andi membujuk ibu. Ya, aku dan mas Andi adalah sepasang suami istri yang masih tinggal bersama ibu, wanita lima puluh tahunan yang entah mengapa seperti sangat tidak menginginkanku dalam kehidupannya. Ah mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan, mungkin karena usianya ibu sering uring-uringan terhadapku juga Mas Andi. Fikirku“Iya Bu, di musim seperti ini kita harus

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Kenyataan

    Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu IbuPart 2. KenyataanBy. Erin Marta Lina"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku."Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang."Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan."Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI."Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03

Bab terbaru

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Nasib Bu Mursidah

    Anak Pungut ini Yang Akan Merawatmu IbuPart 6. Nasib Bu Mursidah"Assalamualaikum" kami tiba di kediaman mas Bimo. Rumah bergaya minimalis seorang arsitek handal. Siapa lagi kalau bukan Abang tertua ku."Wa'alaikumussalam, maaf dengan siapa ya. Mau cari siapa dan ada perlu apa?" Keluar seorang wanita yang masih terhitung muda. Kutaksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan."Saya Yura, adik Pak Bimo. Pak Bimo ada?jawabku. Dengan apron putih kutaksir ia adalah ART di rumah mas Bimo."Oh adik pak Bimo, mari masuk. Pak Bimo di dalam" jawabnya sopan, lantas mempersilahkan kami duduk. ART mas Bimo lantas ke dalam setelah menawarkan minuman pada kami."Eh, ada anak pungut nih. Ada apa kalian kemari?" Tanyanya dengan gaya yang memuakkan menurutku. Mas Bimo keluar dari ruang tengah sepertinya. Ia melihat siapa yang datang, dan ternyata aku dan Mas Andi."Ma

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Siasat Tiga Bersaudara

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBy. Erin Marta LinaBab 5. Siasat 3 bersaudaraMelihat plat pada pagar rumah ibu, aku langsung menuju rumah Bu Juwariyah untuk menanyakan perihal plat penjualan rumah ibu“Assalamualaikum Bu Ju “ salamku pada Bu Juwariyah yang sedang melayani sesembak beli kerupuk di warung kelontongnya.“Wa’alaikumussalamwrwb, eh kamu Ra, apa kabar Ra, haduh ... ga ada kamu, rame bener dah rumah Bu Mur” jawab Bu Juwariyah membuat aku semakin bingung.“Rame kenapa Bu? Anak-anaknya abang sama kakak pada ngumpul ya Bu?” Tanyaku memastikan, karena selama ini rumah ibu ramai sekali jika anak Mas Bimo dan Kak Silfa berkumpul. Sedangkan Kak Laras belum dikaruniai keturunan.“Iya itu juga sih, tapi ada yang lebih rame lagi, sepeninggal kamu, rumah Bu Mur kabarnya dibuat rebutan sama ketiga

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Aku Pamit

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 4 Aku PamitBy Erin Marta Lina“Aku pamit Bu, kak Silfa, salam buat mas Taufik dan Niar saat bangun nanti” ucapku menjabat tangan ibu. Masih ada nurani ibu, aku melihat itu dalam secercah mata hitam yang mulai menua miliknya.“Hmm” ibu hanya bergumam saat tangan ini menjabat tangan halusnya.“Kami pamit, Assalamualaikum” ucap mas Andi yang kuikuti perlahan langkahnya menaiki motor matic yang senantiasa menemani dalam mengais nafkah selama setahun belakangan ini.“Dek, apa tak apa jika kita ajak Fauzi perjalanan malam ini. Kasihan dia masih terlalu kecil” gumam mas Andi sambil bertanya kala aku mulai naik jok motornya.“Insya Allah kita jalan pelan saja ya mas, nanti Fauzi aku dekap erat di jok belakang” solusi dariku. Aku yakin Allah akan memberi jalan, bismillahi

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Pelukan Terakhir

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuBab 3 pelukan terakhirBy Erin Marta LinaAku membaca surat itu dengan seksama, tampak kak Silfa dan ibu mulai jengah karena aku tak kunjung membubuhkan tandatanganku di atasnya.Hmm, sungguh licik kak Silfa, mas Bimo, dan kak Laras. Dengan cara halus seperti ini rupanya mereka berencana buruk terhadap ibu kandung mereka sendiri. Memaksa aku menandatangani akta serah terima rumah peninggalan ayah dengan dalih aku anak angkat, membuat rumah ini beratasnamakan nama ibu. Bagiku tak apa jika memang rumah ini benar untuk ibu, untuk tempat tinggal hari tua ibu. Tapi yang kukhawatirkan kurasa lebih dari itu. Semoga tidak terjadi.Kita kihat, lihat apa yang akan terjadi kelak"Lama banget sih, bisa baca nggak ? Tinggal tandatangan aja apa susahnya?" Cecar kak Silfa yang semakin mendesakku agar segera menandatangani dokumen bermaterai sepuluh ribu ini. Aku memang masih

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Kenyataan

    Anak Pungut ini yang Akan Merawatmu IbuPart 2. KenyataanBy. Erin Marta Lina"Oeeeek oeeeekk..." Suara tangisan Fauzi menyadarkanku dari mendengar percakapan ibu dan Kak Silfa, karena tangisan itu pula mereka berdua beranjak menuju kamarku."Sayang .... Udah cup cup sayang " bujukku sambil memeluk Fauzi dalam dekapan. Ia selalu terbangun jika mendengar sedikit saja suara berisik. Entah, percakapan ibu dan Kak Silfa terdengar keras sekali, padahal mereka hanya berdua saat berbincang."Tante, adek Fauzi tadi ga aku apa apain loh te, adek nangis sendiri" ucap Niar agaknya ia takut jika jadi tertuduh yang menggangu tidur Fauzi. Padahal bukan."Enggak sayang, adek Fauzi emang kayaknya lagi haus, tante kasih nenen dulu ya adeknya " ucapku pada Niar agar ia tak lagi merasa bersalah. Fauzi mulai terdiam ketika sudah minum ASI."Ehm.. ehmmm.. sejak kapan di kamar" tanya kak

  • Anak Pungut Ini Yang Akan Merawatmu Ibu   Seperti Ada Yang Hilang di Hati Ini

    Anak Pungut ini yang akan Merawatmu IbuPart 1. Seakan Ada yang Hilang di Hati IniBy. Erin Marta LinaUhuk ... Uhuk...Terdengar suara batuk ibu yang mulai kambuh lagi, ya, sudah 4 hari ini ibu batuk disertai pilek disertai sakit persediannya.Aku sungguh khawatir akan kesehatan beliau, tapi apa daya kekhawatiranku tak pernah diindahkanya“Bu , ayolah menurut dengan kami, ayo kita periksa ke dokter desa sebelah, batuk ibu kian hari kian menjadi, jangan minum obat-obatan warung terus” saran Mas Andi membujuk ibu. Ya, aku dan mas Andi adalah sepasang suami istri yang masih tinggal bersama ibu, wanita lima puluh tahunan yang entah mengapa seperti sangat tidak menginginkanku dalam kehidupannya. Ah mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan, mungkin karena usianya ibu sering uring-uringan terhadapku juga Mas Andi. Fikirku“Iya Bu, di musim seperti ini kita harus

DMCA.com Protection Status