Evan benar-benar panik dan takut terjadi sesuatu ke Renata. Dia lantas memilih masuk ke IGD bersama Albert untuk mencari keberadaan Renata.“Di mana dia?” Evan mencari sambil terus berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa dengan Renata.Di IGD, hanya ada seorang pria yang sedang diobati bagian kepala. Evan menghentikan langkah, kecemasan merayap di hatinya karena pikiran buruk kembali menguasai kepala.“Maaf, apa ada wanita hamil besar yang jadi korban kecelakaan mobil siang ini?” tanya Albert ke perawat yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.“Wanita hamil? Tidak ada,” jawab perawat itu.Evan dan Albert terkejut, tapi tentunya senang karena tidak ada wanita hamil yang menjadi korban kecelakaan.“Tapi saya dengar korban wanitanya meninggal,’” ucap Albert mengorek informasi.“Oh … itu. Iya memang ada korban wanita yang meninggal, tapi tidak sedang hamil. Wanita itu mengalami serangan jantung dadakan, lantas menabrak pengemudi lain hingga terjadi tabrakan. Wanita itu meninggal
Hari-hari dilalui Renata penuh dengan kesabaran. Usia kandungan yang sudah besar, membuatnya kesulitan melakukan aktivitas seperti biasa. Dia mulai sudah duduk, sekalinya duduk susah berdiri. Bahkan ingin berjalan pun sekarang malas karena mudah lelah. “Mama, kapan dedeknya keluar?” tanya Dhira yang sore itu menemani Renata di halaman samping. Dhira duduk di samping Renata, satu tangan mengelus perut sang mama yang besar. “Bentar lagi. Kak Dhira sudah ga sabar ya mau lihat adek?” tanya Renata setelah menjawab. Dia menggoda putrinya dengan sebutan ‘Kak’. “Iya. ‘kan Dhira mau jadi kakak, biar kayak Dharu. Masa Dharu aja yang jadi kakak.” Dhira masih saja tidak terima jadi adik dan Dharu kakaknya. “Udah, ga usah iri lagi. Nanti kalau adik keluar, jadi kakak juga,” balas Dharu yang ada di samping Renata juga. “Makanya, Dhira ga sabar lihat adik. Biar cepet-cepet dipanggil kakak. Iyakan, Ma?” Dhira menatap Renata sambil mengedip-ngedip manja. Renata tertawa kecil mendengar ucapan Dhi
“Mama nggak kenapa-kenapa ‘kan, Oma?” Dhira menatap Margaret penuh harap.Dhira dan Dharu merengek ingin ikut ke rumah sakit karena sangat mencemaskan Renata.“Oma juga tidak tahu. Tapi kita berdoa saja agar Mama dan adik baik-baik saja,” ujar Margaret mencoba menenangkan.“Dhira mau lihat Mama.”“Dharu juga.”Margaret kebingungan karena cucu-cucunya ingin melihat Renata yang sekarang sedang menjalani persalinan.“Mama lagi berusaha melahirkan adik. Jadi Dhira dan Dharu yang sabar, ya. Nanti kalau adiknya sudah lahir, baru bisa lihat,” kata Margaret kembali membujuk.Margaret memang mengajak anak-anak ke rumah sakit, tapi dia menjaga Dhira dan Dharu di luar IGD, takut jika anak-anak akan membuat keributan di ruang IGD.Dhira dan Dharu terlihat sedih. Margaret pun berusaha untuk menenangkan keduanya.“Kalian berdoa ya, biar Mama dan adik sehat. Kalian mau segera ketemu adik, kan? Nah, adik juga mau ketemu kalian, makanya sekarang mau keluar. Jadi Dhira dan Dharu harus tenang agar bisa
Edward baru saja mengurus prosedur rumah sakit. Dia sudah mendapatkan informasi dari perawat jika Renata melahirkan dengan lancar.Edward pun pergi menemui Margaret untuk menyampaikan kabar gembira itu, agar istrinya dan anak-anak tidak cemas.“Ma.” Edward berjalan menghampiri Margaret.Margaret dan anak-anak langsung berdiri melihat Edward datang. Dia benar-benar mencemaskan Renata.“Opa, bagaimana kondisi Mama?” tanya Dhira langsung karena mencemaskan sang mama.Edward tersenyum memandang Dhira, kemudian menjawab sambil menatap Margaret.“Papa tadi mendapat info dari perawat kalau persalinannya lancar. Sekarang sedang diurus agar bisa segera dipindah ke ruang inap,” ujar Edward menjelaskan dengan senyum penuh kebahagiaan.Margaret mengucap syukur penuh kelegaan mendengar kabar itu. Dia sampai menangis karena sangat bahagia.Dhira dan Dharu pun ikut senang, mereka bahkan saling memeluk sebagai tanda syukur atas kelahiran adik mereka.“Adiknya Dhira cowok apa cewek?” tanya Dhira yang
“Dia mau menyusu lagi?” tanya Evan saat melihat Renata memangku Aldric. Evan menengok ke arloji, waktu menunjukkan jam 11 malam. “Iya, memang sudah biasa kalau bayi baru lahir, akan menyusu setiap beberapa jam sekali,” ujar Renata menjelaskan. Renata sudah duduk bersandar headboard, memangku putranya lantas menyusui meski belum ada air susu yang keluar. “Van, tolong buatkan susu formula,” pinta Renata. Renata akan menyusui Aldric seperti biasa meski air susunya tidak keluar, lantas akan memberikan susu formula setelah bayinya itu kesal karena tidak ada air susu yang masuk ke lambungnya. Evan pun mengangguk dan segera melaksanakan apa yang dikatakan Renata. Dia sudah diajari Margaret cara membuat susu formula. Renata memandang bayi mungilnya yang sedang menyusu. Aldric begitu menggemaskan karena pipinya yang gembul. Evan duduk di samping Renata, memandang Aldric yang sedang menyusu sambil memegang botol susu. “Apa dulu Dhira dan Dharu juga seperti ini?” tanya Evan ke Renata. “
“Van.” Renata memanggil Evan yang sedang membaringkan Aldric di baby box.“Ya, kamu mau sesuatu?” tanya Evan menoleh Renata, setelah membaringkan bayinya.Renata meminta Evan mendekat lebih dulu dan duduk di sampingnya.“Ada apa?” tanya Evan keheranan.“Aku ingin bertanya soal Kak Kasih,” jawab Renata sedikit ragu tapi penasaran.“Hm … ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin bertanya tentangnya?” tanya Evan penasaran.“Ya, karena aku merasa ada yang aneh dengan pertanyaannya tadi. Aku mencoba bertanya dan ingin tahu, tapi Kak Kasih terlihat malu untuk bercerita,” ujar Renata menjawab pertanyaan Evan.Evan mengerutkan alis, menjadi penasaran dengan apa yang dibicarakan Renata dan Kasih saat dirinya juga Dean keluar dari ruang inap.“Memangnya Kasih bertanya soal apa?” tanya Evan mencari tahu.Renata pun menceritakan apa yang dibahas dengan Kasih, hingga berakhir dengan pertanyaan yang tak dijawab oleh wanita itu.Evan terkejut mendengar hal itu, hingga kemudian terdiam beberapa saat sambil men
Renata akhirnya sudah diperbolehkan pulang. Dhira dan Dharu senang karena akhirnya bisa melihat sang adik sepuasnya.“Kenapa dia tidur terus?” tanya Dhira sambil menusuk-nusuk pipi Aldric.Renata tersenyum mendengar ucapan Dhira. Dia pun berdiri di samping Dhira, sambil memandang Aldric.“Dedek masih kecil, Dhira. Dia masih banyak tidur karena hanya itu yang bisa dilakukan,” ujar Renata menjelaskan.“Terus, kapan bisa mainnya?” tanya Dhira lagi penasaran.Dhira bicara sambil mengamati sang adik yang begitu menggemaskan, apalagi sekarang Aldric tidur dengan bibir yang bergerak seolah menyesap sesuatu.“Nanti, beberapa bulan lagi. Yang sabar, ya.” Renata mengusap kepala Dhira, kemudian meninggalkan keduanya karena ingin mandi.Dhira memandang Renata yang baru saja masuk kamar mandi. Dia kemudian kembali memandang sang adik.“Aldric, bangun dan main, yuk. Aldric.” Dhira gemas hingga terus menusuk pipi sang adil.“Jangan ditusuk-tusuk terus, nanti kalau bangun terus nangis, kamu bingung.”
“Adam!” Dhira berteriak karena Adam mengikutinya terus menerus.Renata yang sedang berada di ruang makan menyiapkan makan malam pun terkejut dibuatnya.“Ada apa, Dhira?” tanya Renata saat menghampiri putrinya itu.“Adam ngikutin Dhira terus.” Dhira menunjuk ke sang paman kecilnya itu.Renata memandang ke Adam, melihat bocah kecil itu tersenyum sambil menatap Dhira.“Mungkin Adam kangen, ‘kan lama ga ketemu. Ajak main dong.” Renata memberi penjelasan.Dhira menoleh Adam, melihat pamannya itu tersenyum kepadanya.“Adam kalau diajak main, suka sembarangan dan ga nurut sama Dhira. Dhira jadi malas,” ujar gadis itu.“Ya, Dhira kasih tahu cara main yang benar, biar Adam paham. Kalau sama Adam saja Dhira ga bisa sabar, terus besok kalau Aldric ngajak main dan sembarangan, Dhira juga mau marah?” tanya Renata memberikan penjelasan.Dhira terdiam mendengar ucapan Renata, hingga menoleh Adam yang bertingkah lucu. Dia pun menghela napas kasar sampai kedua pundaknya naik dan turun.“Ya, sudah. Dhi
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan