Renata akhirnya sudah diperbolehkan pulang. Dhira dan Dharu senang karena akhirnya bisa melihat sang adik sepuasnya.“Kenapa dia tidur terus?” tanya Dhira sambil menusuk-nusuk pipi Aldric.Renata tersenyum mendengar ucapan Dhira. Dia pun berdiri di samping Dhira, sambil memandang Aldric.“Dedek masih kecil, Dhira. Dia masih banyak tidur karena hanya itu yang bisa dilakukan,” ujar Renata menjelaskan.“Terus, kapan bisa mainnya?” tanya Dhira lagi penasaran.Dhira bicara sambil mengamati sang adik yang begitu menggemaskan, apalagi sekarang Aldric tidur dengan bibir yang bergerak seolah menyesap sesuatu.“Nanti, beberapa bulan lagi. Yang sabar, ya.” Renata mengusap kepala Dhira, kemudian meninggalkan keduanya karena ingin mandi.Dhira memandang Renata yang baru saja masuk kamar mandi. Dia kemudian kembali memandang sang adik.“Aldric, bangun dan main, yuk. Aldric.” Dhira gemas hingga terus menusuk pipi sang adil.“Jangan ditusuk-tusuk terus, nanti kalau bangun terus nangis, kamu bingung.”
“Adam!” Dhira berteriak karena Adam mengikutinya terus menerus.Renata yang sedang berada di ruang makan menyiapkan makan malam pun terkejut dibuatnya.“Ada apa, Dhira?” tanya Renata saat menghampiri putrinya itu.“Adam ngikutin Dhira terus.” Dhira menunjuk ke sang paman kecilnya itu.Renata memandang ke Adam, melihat bocah kecil itu tersenyum sambil menatap Dhira.“Mungkin Adam kangen, ‘kan lama ga ketemu. Ajak main dong.” Renata memberi penjelasan.Dhira menoleh Adam, melihat pamannya itu tersenyum kepadanya.“Adam kalau diajak main, suka sembarangan dan ga nurut sama Dhira. Dhira jadi malas,” ujar gadis itu.“Ya, Dhira kasih tahu cara main yang benar, biar Adam paham. Kalau sama Adam saja Dhira ga bisa sabar, terus besok kalau Aldric ngajak main dan sembarangan, Dhira juga mau marah?” tanya Renata memberikan penjelasan.Dhira terdiam mendengar ucapan Renata, hingga menoleh Adam yang bertingkah lucu. Dia pun menghela napas kasar sampai kedua pundaknya naik dan turun.“Ya, sudah. Dhi
“Re, apa kamu tidak merasa ada yang aneh dengan sikap Raymond?”Evan bertanya ke sang istri, ketika keduanya berada di kamar.Renata baru saja membaringkan Aldric. Dia pun menoleh ke suaminya sambil menyelimuti bayi mungilnya.“Aneh bagaimana?” tanya Renata keheranan.“Entahlah. Dia mengatakan sesuatu yang seperti sudah mengenalmu, lalu ingin wanita sepertimu sebagai istrinya. Padahal jika dipikir, kalian saja baru bertemu dan kenal pun tidak dekat meski saudara,” ujar Evan menjelaskan keanehan yang dirasakan.Renata berpikir sejenak, lantas memilih menyusul suaminya yang sudah berada di ranjang.“Mungkin dia merasa aku bertanggung jawab, apalagi aku sampai rela melepas jabatan di perusahaan demi keluarga. Jadi dia berpikir ingin punya istri sepertiku. Dia pun tadi bicara begitu saat berkumpul dengan Oma dan Mama,” balas Renata menjelaskan.Evan berpikir, mungkin saja ucapan Renata benar, tapi tetap saja Evan merasa ada yang aneh.“Tapi kenapa aku masih merasa aneh sebab dia seperti b
3 tahun yang lalu.“Apa tidak bisa lebih cepat?”Raymond memerintahkan asistennya untuk melajukan mobil lebih cepat, karena dia harus segera menghadiri rapat penting.“Baik.” Asisten Raymond semakin menginjak pedal gas agar mobil bisa melaju lebih cepat lagi.Saat akan sampai di perempatan jalan. Tiba-tiba sang asisten menginjak pedal rem secara mendadak, membuat Raymond begitu terkejut sampai terhuyung ke depan.“Kenapa berhenti mendadak?” tanya Raymond.“Sepertinya ada kecelakaan di depan, Pak.” Asisten mencoba melihat apa yang terjadi di depan, sebab dua mobil di depannya berhenti.Raymond mencebik, lantas menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan.“Aku benar-benar akan terlambat menghadiri rapat,” gerutu Raymond.Sang asisten pun bingung harus bagaimana, sedangkan mereka terjebak di tengah.Asisten Raymond melihat beberapa orang mencoba mengatur lalu lintas secara manual agar tidak terjadi kemacetan panjang, hingga akhirnya membuat mobil Raymond bisa maju meski dengan p
“Boleh aku tanya sesuatu?”Evan menemui Raymond yang berada di kamar. Siang ini Raymond dan yang lain akan pulang.Raymond menoleh ke sumber suara, melihat Evan yang berdiri di ambang pintu.“Tentu saja, mau tanya apa?” tanya Raymond sambil mengancingkan manik ujung lengan.Evan mendekat ke Raymond. Dia ingin membahas masalah Raymond yang terkesan mengenal Renata sebelum mengetahui kalau mereka masih ada hubungan darah.“Apa kamu sebelum ini pernah bertemu Renata?” tanya Evan penasaran.Raymond diam menatap Evan, hingga kemudian mengulas senyum ke pria itu.“Tentu saja saat kita bertemu pertama kali melawan perampok,” jawab Raymond.Evan mengerutkan alis mendengar jawaban Raymond, hingga kemudian membalas, “Bukan saat itu. Sebelumnya lagi.”Evan merasa tak puas dengan jawaban pria itu.Raymond lagi-lagi tersenyum, hingga kemudian kembali bicara.“Andai pernah bertemu sebelumnya, seharusnya itu tak jadi masalah sekarang. Bukankah kita tidak bisa terus menengok masa lalu. Lagi pula itu
Tak terasa tiga bulan berlalu. Aldric kini berumur tiga bulan dan tumbuh begitu sehat dengan badan yang menggemaskan.“Sudah nyusu?” tanya Margaret saat melihat Renata meletakkan Aldric ke baby box.“Iya, Ma. Sudah kenyang dan sendawa juga,” jawab Renata kemudian menatap Aldric yang tidak tidur. “Tapi dia tidak mau tidur,” ujar Renata kemudian.“Sudah tambah besar, pastinya akan jarang tidur juga,” ujar Margaret.Renata mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mertua. Dia pun membiarkan Aldric di baby box, agar tidak kebiasaan digendong.Ponsel Renata tiba-tiba berdering. Dia pun meninggalkan Aldric bersama Margaret, untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Kak.” Renata langsung menjawab panggilan dari Kasih.“Re, apa siang ini ada waktu?” tanya Kasih dari seberang panggilan.Kasih kini tinggal di kota itu juga sebab sudah hamil besar dan Dean melarang Kasih menghadiri acara-acara seni.“Ada, Kak.” Renata menjawab tanpa berpikir.“Baiklah, nanti ketemu di kafe, ya. Aku akan mengirimkan ala
Renata menatap Kasih yang seperti sedang menanggung beban berat. Tatapan mata sahabatnya itu menunjukkan kesedihan yang sangat dalam.“Kak.” Renata menggenggam erat telapak tangan Kasih. Dia ikut merasakan apa yang sedang dirasa sahabatnya itu.“Aku benar-benar takut, Re. Bagaimana kalau aku tidak bisa melahirkan dengan benar? Bagaimana kalau rasa sakitnya seperti saat aku keguguran dulu? Aku benar-benar takut, sedangkan aku tidak bisa membagi ketakutanku dengan Dean, membuatku akhirnya menanggung semua sendiri,” ujar Kasih sambil menunduk. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.“Kak, angkat wajahmu dan tatap aku.” Renata mencoba mengembalikan kepercayaan diri Kasih.Kasih pun mengangkat wajah, lantas memandang ke Renata.“Dengarkan aku, Kak. Melahirkan tak sesakit yang Kakak kira. Mungkin dulu saat keguguran, Kakak merasa itu sangat sakit, sebab ada hal lain yang sebenarnya sedang Kakak rasa dan pendam,” ujar Renata mulai bicara dan menenangkan.Kasih diam mendengarkan ucapan R
Renata turun dari mobil. Dia kemudian berjalan masuk ke sebuah mall. Renata berjalan agak terburu karena Kasih menghubungi dan ingin bertemu dengannya.Renata akhirnya sampai di kafe yang terdapat di mall itu. Saat baru saja masuk, Kasih melambaikan tangan ke arah Renata.“Ada apa, Kak? Apa ada masalah?” tanya Renata terlihat panik. Dia duduk berhadapan dengan Kasih.Kasih tersenyum mendengar ucapan Renata yang terlihat cemas.“Tidak ada masalah, aku hanya ingin bertemu denganmu,” ujar Kasih menjawab pertanyaan Renata.“Serius?” tanya Renata meyakinkan. Dia mencemaskan Kasih setelah percakapan mereka kemarin.Kasih memulas senyum, lantas menggenggam telapak tangan Renata yang ada di atas meja.“Serius, Re. Aku mengajakmu bertemu karena ingin memintamu menemaniku belanja,” jawab Kasih sambil tersenyum hangat.“Apa benar semuanya baik?” tanya Renata memastikan karena masih tidak percaya.Kasih sampai tertawa mendengar ucapan Renata yang berulang kali menanyakan kondisinya.“Aku berterim
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan