“Re, apa kamu tidak merasa ada yang aneh dengan sikap Raymond?”Evan bertanya ke sang istri, ketika keduanya berada di kamar.Renata baru saja membaringkan Aldric. Dia pun menoleh ke suaminya sambil menyelimuti bayi mungilnya.“Aneh bagaimana?” tanya Renata keheranan.“Entahlah. Dia mengatakan sesuatu yang seperti sudah mengenalmu, lalu ingin wanita sepertimu sebagai istrinya. Padahal jika dipikir, kalian saja baru bertemu dan kenal pun tidak dekat meski saudara,” ujar Evan menjelaskan keanehan yang dirasakan.Renata berpikir sejenak, lantas memilih menyusul suaminya yang sudah berada di ranjang.“Mungkin dia merasa aku bertanggung jawab, apalagi aku sampai rela melepas jabatan di perusahaan demi keluarga. Jadi dia berpikir ingin punya istri sepertiku. Dia pun tadi bicara begitu saat berkumpul dengan Oma dan Mama,” balas Renata menjelaskan.Evan berpikir, mungkin saja ucapan Renata benar, tapi tetap saja Evan merasa ada yang aneh.“Tapi kenapa aku masih merasa aneh sebab dia seperti b
3 tahun yang lalu.“Apa tidak bisa lebih cepat?”Raymond memerintahkan asistennya untuk melajukan mobil lebih cepat, karena dia harus segera menghadiri rapat penting.“Baik.” Asisten Raymond semakin menginjak pedal gas agar mobil bisa melaju lebih cepat lagi.Saat akan sampai di perempatan jalan. Tiba-tiba sang asisten menginjak pedal rem secara mendadak, membuat Raymond begitu terkejut sampai terhuyung ke depan.“Kenapa berhenti mendadak?” tanya Raymond.“Sepertinya ada kecelakaan di depan, Pak.” Asisten mencoba melihat apa yang terjadi di depan, sebab dua mobil di depannya berhenti.Raymond mencebik, lantas menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan.“Aku benar-benar akan terlambat menghadiri rapat,” gerutu Raymond.Sang asisten pun bingung harus bagaimana, sedangkan mereka terjebak di tengah.Asisten Raymond melihat beberapa orang mencoba mengatur lalu lintas secara manual agar tidak terjadi kemacetan panjang, hingga akhirnya membuat mobil Raymond bisa maju meski dengan p
“Boleh aku tanya sesuatu?”Evan menemui Raymond yang berada di kamar. Siang ini Raymond dan yang lain akan pulang.Raymond menoleh ke sumber suara, melihat Evan yang berdiri di ambang pintu.“Tentu saja, mau tanya apa?” tanya Raymond sambil mengancingkan manik ujung lengan.Evan mendekat ke Raymond. Dia ingin membahas masalah Raymond yang terkesan mengenal Renata sebelum mengetahui kalau mereka masih ada hubungan darah.“Apa kamu sebelum ini pernah bertemu Renata?” tanya Evan penasaran.Raymond diam menatap Evan, hingga kemudian mengulas senyum ke pria itu.“Tentu saja saat kita bertemu pertama kali melawan perampok,” jawab Raymond.Evan mengerutkan alis mendengar jawaban Raymond, hingga kemudian membalas, “Bukan saat itu. Sebelumnya lagi.”Evan merasa tak puas dengan jawaban pria itu.Raymond lagi-lagi tersenyum, hingga kemudian kembali bicara.“Andai pernah bertemu sebelumnya, seharusnya itu tak jadi masalah sekarang. Bukankah kita tidak bisa terus menengok masa lalu. Lagi pula itu
Tak terasa tiga bulan berlalu. Aldric kini berumur tiga bulan dan tumbuh begitu sehat dengan badan yang menggemaskan.“Sudah nyusu?” tanya Margaret saat melihat Renata meletakkan Aldric ke baby box.“Iya, Ma. Sudah kenyang dan sendawa juga,” jawab Renata kemudian menatap Aldric yang tidak tidur. “Tapi dia tidak mau tidur,” ujar Renata kemudian.“Sudah tambah besar, pastinya akan jarang tidur juga,” ujar Margaret.Renata mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mertua. Dia pun membiarkan Aldric di baby box, agar tidak kebiasaan digendong.Ponsel Renata tiba-tiba berdering. Dia pun meninggalkan Aldric bersama Margaret, untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Kak.” Renata langsung menjawab panggilan dari Kasih.“Re, apa siang ini ada waktu?” tanya Kasih dari seberang panggilan.Kasih kini tinggal di kota itu juga sebab sudah hamil besar dan Dean melarang Kasih menghadiri acara-acara seni.“Ada, Kak.” Renata menjawab tanpa berpikir.“Baiklah, nanti ketemu di kafe, ya. Aku akan mengirimkan ala
Renata menatap Kasih yang seperti sedang menanggung beban berat. Tatapan mata sahabatnya itu menunjukkan kesedihan yang sangat dalam.“Kak.” Renata menggenggam erat telapak tangan Kasih. Dia ikut merasakan apa yang sedang dirasa sahabatnya itu.“Aku benar-benar takut, Re. Bagaimana kalau aku tidak bisa melahirkan dengan benar? Bagaimana kalau rasa sakitnya seperti saat aku keguguran dulu? Aku benar-benar takut, sedangkan aku tidak bisa membagi ketakutanku dengan Dean, membuatku akhirnya menanggung semua sendiri,” ujar Kasih sambil menunduk. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.“Kak, angkat wajahmu dan tatap aku.” Renata mencoba mengembalikan kepercayaan diri Kasih.Kasih pun mengangkat wajah, lantas memandang ke Renata.“Dengarkan aku, Kak. Melahirkan tak sesakit yang Kakak kira. Mungkin dulu saat keguguran, Kakak merasa itu sangat sakit, sebab ada hal lain yang sebenarnya sedang Kakak rasa dan pendam,” ujar Renata mulai bicara dan menenangkan.Kasih diam mendengarkan ucapan R
Renata turun dari mobil. Dia kemudian berjalan masuk ke sebuah mall. Renata berjalan agak terburu karena Kasih menghubungi dan ingin bertemu dengannya.Renata akhirnya sampai di kafe yang terdapat di mall itu. Saat baru saja masuk, Kasih melambaikan tangan ke arah Renata.“Ada apa, Kak? Apa ada masalah?” tanya Renata terlihat panik. Dia duduk berhadapan dengan Kasih.Kasih tersenyum mendengar ucapan Renata yang terlihat cemas.“Tidak ada masalah, aku hanya ingin bertemu denganmu,” ujar Kasih menjawab pertanyaan Renata.“Serius?” tanya Renata meyakinkan. Dia mencemaskan Kasih setelah percakapan mereka kemarin.Kasih memulas senyum, lantas menggenggam telapak tangan Renata yang ada di atas meja.“Serius, Re. Aku mengajakmu bertemu karena ingin memintamu menemaniku belanja,” jawab Kasih sambil tersenyum hangat.“Apa benar semuanya baik?” tanya Renata memastikan karena masih tidak percaya.Kasih sampai tertawa mendengar ucapan Renata yang berulang kali menanyakan kondisinya.“Aku berterim
Wanita yang ditampar Renata begitu murka. Dia tidak terima terkena gampar begitu saja. Wanita itu menatap nyalang ke Renata, lantas mengangkat tangan untuk membalas. Renata tentu saja takkan tinggal diam. Dia menahan pergelangan tangan wanita itu sebelum mendarat di pipinya. “Brengsek!” Wanita itu mengumpat tak terima. “Mulutmu itu memang harus diberi pelajaran!” Renata melepas tangan wanita itu dengan sedikit mendorong. Kasih sudah panik karena Renata dan wanita itu malah bertengkar. Dia pun berusaha menarik lengan Renata. “Sudah, Re. Ayo pergi.” Kasih tidak mau menjadi tontonan orang-orang di mall yang memandang negatif. Renata menyipitkan mata, menatap tajam wanita itu saat tangannya ditarik Kasih. Kasih tidak mau berurusan dengan orang-orang yang ada di masa lalunya, meski saat memutuskan menetap di kota itu, kemungkinan bertemu dengan kenalan saat di kampus pastilah ada. Renata dan Kasih memilih ke parkiran, mereka sudah berada di mobil Renata. “Kakak baik-baik saja?” tan
“Apa dia sering jahat ke Kak Kasih hingga membuatnya sampai ketakutan begitu?” tanya Renata benar-benar penasaran dan tak bisa membendung untuk bertanya. Evan menatap Renata, lantas menganggukkan kepala. “Dia pernah membully Kasih sangat parah, hingga membuat Kasih saat itu kehilangan biola,” ujar Evan menjelaskan. Renata begitu terkejut, hingga dia semakin penasaran. “Namanya Kanaya. Saat di kampus pernah menjadi pacarnya Dean tapi hanya sebulan. Lalu dia tahu jika Dean menyukai dan dekat dengan Kasih, hingga akhirnya Kanaya membully agar Kasih menjauh dari Dean,” ujar Evan menjelaskan. “Kejam sekali? Kalau Dean sudah tidak mau, untuk apa maksa sampai mengganggu orang lain,” gerutu Renata yang kesal. “Ya, sama halnya dengan Keysha. Orang-orang seperti itu tidak akan pernah merasa puas, sampai ambisinya tercapai.” Renata terlihat geram, kenapa ada wanita yang berhati jahat seperti itu. “Dulu Kasih diringsak dengan cara kejam. Dia dibawa ke rooftop gedung, biolanya dihancurkan u