“Boleh aku tanya sesuatu?”Evan menemui Raymond yang berada di kamar. Siang ini Raymond dan yang lain akan pulang.Raymond menoleh ke sumber suara, melihat Evan yang berdiri di ambang pintu.“Tentu saja, mau tanya apa?” tanya Raymond sambil mengancingkan manik ujung lengan.Evan mendekat ke Raymond. Dia ingin membahas masalah Raymond yang terkesan mengenal Renata sebelum mengetahui kalau mereka masih ada hubungan darah.“Apa kamu sebelum ini pernah bertemu Renata?” tanya Evan penasaran.Raymond diam menatap Evan, hingga kemudian mengulas senyum ke pria itu.“Tentu saja saat kita bertemu pertama kali melawan perampok,” jawab Raymond.Evan mengerutkan alis mendengar jawaban Raymond, hingga kemudian membalas, “Bukan saat itu. Sebelumnya lagi.”Evan merasa tak puas dengan jawaban pria itu.Raymond lagi-lagi tersenyum, hingga kemudian kembali bicara.“Andai pernah bertemu sebelumnya, seharusnya itu tak jadi masalah sekarang. Bukankah kita tidak bisa terus menengok masa lalu. Lagi pula itu
Tak terasa tiga bulan berlalu. Aldric kini berumur tiga bulan dan tumbuh begitu sehat dengan badan yang menggemaskan.“Sudah nyusu?” tanya Margaret saat melihat Renata meletakkan Aldric ke baby box.“Iya, Ma. Sudah kenyang dan sendawa juga,” jawab Renata kemudian menatap Aldric yang tidak tidur. “Tapi dia tidak mau tidur,” ujar Renata kemudian.“Sudah tambah besar, pastinya akan jarang tidur juga,” ujar Margaret.Renata mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mertua. Dia pun membiarkan Aldric di baby box, agar tidak kebiasaan digendong.Ponsel Renata tiba-tiba berdering. Dia pun meninggalkan Aldric bersama Margaret, untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Kak.” Renata langsung menjawab panggilan dari Kasih.“Re, apa siang ini ada waktu?” tanya Kasih dari seberang panggilan.Kasih kini tinggal di kota itu juga sebab sudah hamil besar dan Dean melarang Kasih menghadiri acara-acara seni.“Ada, Kak.” Renata menjawab tanpa berpikir.“Baiklah, nanti ketemu di kafe, ya. Aku akan mengirimkan ala
Renata menatap Kasih yang seperti sedang menanggung beban berat. Tatapan mata sahabatnya itu menunjukkan kesedihan yang sangat dalam.“Kak.” Renata menggenggam erat telapak tangan Kasih. Dia ikut merasakan apa yang sedang dirasa sahabatnya itu.“Aku benar-benar takut, Re. Bagaimana kalau aku tidak bisa melahirkan dengan benar? Bagaimana kalau rasa sakitnya seperti saat aku keguguran dulu? Aku benar-benar takut, sedangkan aku tidak bisa membagi ketakutanku dengan Dean, membuatku akhirnya menanggung semua sendiri,” ujar Kasih sambil menunduk. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.“Kak, angkat wajahmu dan tatap aku.” Renata mencoba mengembalikan kepercayaan diri Kasih.Kasih pun mengangkat wajah, lantas memandang ke Renata.“Dengarkan aku, Kak. Melahirkan tak sesakit yang Kakak kira. Mungkin dulu saat keguguran, Kakak merasa itu sangat sakit, sebab ada hal lain yang sebenarnya sedang Kakak rasa dan pendam,” ujar Renata mulai bicara dan menenangkan.Kasih diam mendengarkan ucapan R
Renata turun dari mobil. Dia kemudian berjalan masuk ke sebuah mall. Renata berjalan agak terburu karena Kasih menghubungi dan ingin bertemu dengannya.Renata akhirnya sampai di kafe yang terdapat di mall itu. Saat baru saja masuk, Kasih melambaikan tangan ke arah Renata.“Ada apa, Kak? Apa ada masalah?” tanya Renata terlihat panik. Dia duduk berhadapan dengan Kasih.Kasih tersenyum mendengar ucapan Renata yang terlihat cemas.“Tidak ada masalah, aku hanya ingin bertemu denganmu,” ujar Kasih menjawab pertanyaan Renata.“Serius?” tanya Renata meyakinkan. Dia mencemaskan Kasih setelah percakapan mereka kemarin.Kasih memulas senyum, lantas menggenggam telapak tangan Renata yang ada di atas meja.“Serius, Re. Aku mengajakmu bertemu karena ingin memintamu menemaniku belanja,” jawab Kasih sambil tersenyum hangat.“Apa benar semuanya baik?” tanya Renata memastikan karena masih tidak percaya.Kasih sampai tertawa mendengar ucapan Renata yang berulang kali menanyakan kondisinya.“Aku berterim
Wanita yang ditampar Renata begitu murka. Dia tidak terima terkena gampar begitu saja. Wanita itu menatap nyalang ke Renata, lantas mengangkat tangan untuk membalas. Renata tentu saja takkan tinggal diam. Dia menahan pergelangan tangan wanita itu sebelum mendarat di pipinya. “Brengsek!” Wanita itu mengumpat tak terima. “Mulutmu itu memang harus diberi pelajaran!” Renata melepas tangan wanita itu dengan sedikit mendorong. Kasih sudah panik karena Renata dan wanita itu malah bertengkar. Dia pun berusaha menarik lengan Renata. “Sudah, Re. Ayo pergi.” Kasih tidak mau menjadi tontonan orang-orang di mall yang memandang negatif. Renata menyipitkan mata, menatap tajam wanita itu saat tangannya ditarik Kasih. Kasih tidak mau berurusan dengan orang-orang yang ada di masa lalunya, meski saat memutuskan menetap di kota itu, kemungkinan bertemu dengan kenalan saat di kampus pastilah ada. Renata dan Kasih memilih ke parkiran, mereka sudah berada di mobil Renata. “Kakak baik-baik saja?” tan
“Apa dia sering jahat ke Kak Kasih hingga membuatnya sampai ketakutan begitu?” tanya Renata benar-benar penasaran dan tak bisa membendung untuk bertanya. Evan menatap Renata, lantas menganggukkan kepala. “Dia pernah membully Kasih sangat parah, hingga membuat Kasih saat itu kehilangan biola,” ujar Evan menjelaskan. Renata begitu terkejut, hingga dia semakin penasaran. “Namanya Kanaya. Saat di kampus pernah menjadi pacarnya Dean tapi hanya sebulan. Lalu dia tahu jika Dean menyukai dan dekat dengan Kasih, hingga akhirnya Kanaya membully agar Kasih menjauh dari Dean,” ujar Evan menjelaskan. “Kejam sekali? Kalau Dean sudah tidak mau, untuk apa maksa sampai mengganggu orang lain,” gerutu Renata yang kesal. “Ya, sama halnya dengan Keysha. Orang-orang seperti itu tidak akan pernah merasa puas, sampai ambisinya tercapai.” Renata terlihat geram, kenapa ada wanita yang berhati jahat seperti itu. “Dulu Kasih diringsak dengan cara kejam. Dia dibawa ke rooftop gedung, biolanya dihancurkan u
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K