“Dia mau menyusu lagi?” tanya Evan saat melihat Renata memangku Aldric. Evan menengok ke arloji, waktu menunjukkan jam 11 malam. “Iya, memang sudah biasa kalau bayi baru lahir, akan menyusu setiap beberapa jam sekali,” ujar Renata menjelaskan. Renata sudah duduk bersandar headboard, memangku putranya lantas menyusui meski belum ada air susu yang keluar. “Van, tolong buatkan susu formula,” pinta Renata. Renata akan menyusui Aldric seperti biasa meski air susunya tidak keluar, lantas akan memberikan susu formula setelah bayinya itu kesal karena tidak ada air susu yang masuk ke lambungnya. Evan pun mengangguk dan segera melaksanakan apa yang dikatakan Renata. Dia sudah diajari Margaret cara membuat susu formula. Renata memandang bayi mungilnya yang sedang menyusu. Aldric begitu menggemaskan karena pipinya yang gembul. Evan duduk di samping Renata, memandang Aldric yang sedang menyusu sambil memegang botol susu. “Apa dulu Dhira dan Dharu juga seperti ini?” tanya Evan ke Renata. “
“Van.” Renata memanggil Evan yang sedang membaringkan Aldric di baby box.“Ya, kamu mau sesuatu?” tanya Evan menoleh Renata, setelah membaringkan bayinya.Renata meminta Evan mendekat lebih dulu dan duduk di sampingnya.“Ada apa?” tanya Evan keheranan.“Aku ingin bertanya soal Kak Kasih,” jawab Renata sedikit ragu tapi penasaran.“Hm … ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin bertanya tentangnya?” tanya Evan penasaran.“Ya, karena aku merasa ada yang aneh dengan pertanyaannya tadi. Aku mencoba bertanya dan ingin tahu, tapi Kak Kasih terlihat malu untuk bercerita,” ujar Renata menjawab pertanyaan Evan.Evan mengerutkan alis, menjadi penasaran dengan apa yang dibicarakan Renata dan Kasih saat dirinya juga Dean keluar dari ruang inap.“Memangnya Kasih bertanya soal apa?” tanya Evan mencari tahu.Renata pun menceritakan apa yang dibahas dengan Kasih, hingga berakhir dengan pertanyaan yang tak dijawab oleh wanita itu.Evan terkejut mendengar hal itu, hingga kemudian terdiam beberapa saat sambil men
Renata akhirnya sudah diperbolehkan pulang. Dhira dan Dharu senang karena akhirnya bisa melihat sang adik sepuasnya.“Kenapa dia tidur terus?” tanya Dhira sambil menusuk-nusuk pipi Aldric.Renata tersenyum mendengar ucapan Dhira. Dia pun berdiri di samping Dhira, sambil memandang Aldric.“Dedek masih kecil, Dhira. Dia masih banyak tidur karena hanya itu yang bisa dilakukan,” ujar Renata menjelaskan.“Terus, kapan bisa mainnya?” tanya Dhira lagi penasaran.Dhira bicara sambil mengamati sang adik yang begitu menggemaskan, apalagi sekarang Aldric tidur dengan bibir yang bergerak seolah menyesap sesuatu.“Nanti, beberapa bulan lagi. Yang sabar, ya.” Renata mengusap kepala Dhira, kemudian meninggalkan keduanya karena ingin mandi.Dhira memandang Renata yang baru saja masuk kamar mandi. Dia kemudian kembali memandang sang adik.“Aldric, bangun dan main, yuk. Aldric.” Dhira gemas hingga terus menusuk pipi sang adil.“Jangan ditusuk-tusuk terus, nanti kalau bangun terus nangis, kamu bingung.”
“Adam!” Dhira berteriak karena Adam mengikutinya terus menerus.Renata yang sedang berada di ruang makan menyiapkan makan malam pun terkejut dibuatnya.“Ada apa, Dhira?” tanya Renata saat menghampiri putrinya itu.“Adam ngikutin Dhira terus.” Dhira menunjuk ke sang paman kecilnya itu.Renata memandang ke Adam, melihat bocah kecil itu tersenyum sambil menatap Dhira.“Mungkin Adam kangen, ‘kan lama ga ketemu. Ajak main dong.” Renata memberi penjelasan.Dhira menoleh Adam, melihat pamannya itu tersenyum kepadanya.“Adam kalau diajak main, suka sembarangan dan ga nurut sama Dhira. Dhira jadi malas,” ujar gadis itu.“Ya, Dhira kasih tahu cara main yang benar, biar Adam paham. Kalau sama Adam saja Dhira ga bisa sabar, terus besok kalau Aldric ngajak main dan sembarangan, Dhira juga mau marah?” tanya Renata memberikan penjelasan.Dhira terdiam mendengar ucapan Renata, hingga menoleh Adam yang bertingkah lucu. Dia pun menghela napas kasar sampai kedua pundaknya naik dan turun.“Ya, sudah. Dhi
“Re, apa kamu tidak merasa ada yang aneh dengan sikap Raymond?”Evan bertanya ke sang istri, ketika keduanya berada di kamar.Renata baru saja membaringkan Aldric. Dia pun menoleh ke suaminya sambil menyelimuti bayi mungilnya.“Aneh bagaimana?” tanya Renata keheranan.“Entahlah. Dia mengatakan sesuatu yang seperti sudah mengenalmu, lalu ingin wanita sepertimu sebagai istrinya. Padahal jika dipikir, kalian saja baru bertemu dan kenal pun tidak dekat meski saudara,” ujar Evan menjelaskan keanehan yang dirasakan.Renata berpikir sejenak, lantas memilih menyusul suaminya yang sudah berada di ranjang.“Mungkin dia merasa aku bertanggung jawab, apalagi aku sampai rela melepas jabatan di perusahaan demi keluarga. Jadi dia berpikir ingin punya istri sepertiku. Dia pun tadi bicara begitu saat berkumpul dengan Oma dan Mama,” balas Renata menjelaskan.Evan berpikir, mungkin saja ucapan Renata benar, tapi tetap saja Evan merasa ada yang aneh.“Tapi kenapa aku masih merasa aneh sebab dia seperti b
3 tahun yang lalu.“Apa tidak bisa lebih cepat?”Raymond memerintahkan asistennya untuk melajukan mobil lebih cepat, karena dia harus segera menghadiri rapat penting.“Baik.” Asisten Raymond semakin menginjak pedal gas agar mobil bisa melaju lebih cepat lagi.Saat akan sampai di perempatan jalan. Tiba-tiba sang asisten menginjak pedal rem secara mendadak, membuat Raymond begitu terkejut sampai terhuyung ke depan.“Kenapa berhenti mendadak?” tanya Raymond.“Sepertinya ada kecelakaan di depan, Pak.” Asisten mencoba melihat apa yang terjadi di depan, sebab dua mobil di depannya berhenti.Raymond mencebik, lantas menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan.“Aku benar-benar akan terlambat menghadiri rapat,” gerutu Raymond.Sang asisten pun bingung harus bagaimana, sedangkan mereka terjebak di tengah.Asisten Raymond melihat beberapa orang mencoba mengatur lalu lintas secara manual agar tidak terjadi kemacetan panjang, hingga akhirnya membuat mobil Raymond bisa maju meski dengan p
“Boleh aku tanya sesuatu?”Evan menemui Raymond yang berada di kamar. Siang ini Raymond dan yang lain akan pulang.Raymond menoleh ke sumber suara, melihat Evan yang berdiri di ambang pintu.“Tentu saja, mau tanya apa?” tanya Raymond sambil mengancingkan manik ujung lengan.Evan mendekat ke Raymond. Dia ingin membahas masalah Raymond yang terkesan mengenal Renata sebelum mengetahui kalau mereka masih ada hubungan darah.“Apa kamu sebelum ini pernah bertemu Renata?” tanya Evan penasaran.Raymond diam menatap Evan, hingga kemudian mengulas senyum ke pria itu.“Tentu saja saat kita bertemu pertama kali melawan perampok,” jawab Raymond.Evan mengerutkan alis mendengar jawaban Raymond, hingga kemudian membalas, “Bukan saat itu. Sebelumnya lagi.”Evan merasa tak puas dengan jawaban pria itu.Raymond lagi-lagi tersenyum, hingga kemudian kembali bicara.“Andai pernah bertemu sebelumnya, seharusnya itu tak jadi masalah sekarang. Bukankah kita tidak bisa terus menengok masa lalu. Lagi pula itu
Tak terasa tiga bulan berlalu. Aldric kini berumur tiga bulan dan tumbuh begitu sehat dengan badan yang menggemaskan.“Sudah nyusu?” tanya Margaret saat melihat Renata meletakkan Aldric ke baby box.“Iya, Ma. Sudah kenyang dan sendawa juga,” jawab Renata kemudian menatap Aldric yang tidak tidur. “Tapi dia tidak mau tidur,” ujar Renata kemudian.“Sudah tambah besar, pastinya akan jarang tidur juga,” ujar Margaret.Renata mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mertua. Dia pun membiarkan Aldric di baby box, agar tidak kebiasaan digendong.Ponsel Renata tiba-tiba berdering. Dia pun meninggalkan Aldric bersama Margaret, untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Kak.” Renata langsung menjawab panggilan dari Kasih.“Re, apa siang ini ada waktu?” tanya Kasih dari seberang panggilan.Kasih kini tinggal di kota itu juga sebab sudah hamil besar dan Dean melarang Kasih menghadiri acara-acara seni.“Ada, Kak.” Renata menjawab tanpa berpikir.“Baiklah, nanti ketemu di kafe, ya. Aku akan mengirimkan ala