"Aku tidak bisa menikahimu. Jadi, jangan memintaku untuk bertanggung jawab atas kehamilanmu, Aleena."
Bagai petir di siang bolong, kata-kata itu menghantam Aleena tanpa ampun.
Dunianya yang semula berputar dalam keyakinan bahwa pria yang dicintainya akan bertanggung jawab, seketika runtuh menjadi kepingan yang berserakan.
Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan itu tak lagi cukup untuk membuatnya bertahan.
Suara Liam terdengar dingin, tanpa emosi. Seakan-akan hubungan yang mereka jalani selama ini tidak berarti apa-apa.
Seakan-akan semua janji yang pernah terucap hanyalah angin lalu yang tak pernah memiliki bobot.
Aleena menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca, hatinya berteriak, menolak untuk percaya bahwa ini nyata.
"A—apa yang membuatmu berubah pikiran, Liam? Kau bilang kau akan menikahiku setelah tahu keberadaan bayi di perutku,” suaranya lirih, bergetar menahan luka yang mulai mengoyak.
Liam hanya menatapnya datar, seolah tak tergoyahkan sedikit pun oleh penderitaan di hadapannya. “Aku tidak yakin itu adalah anakku. Selama ini kita jarang berhubungan, aku tidak memiliki alasan kuat untuk menikahimu hanya karena kita pernah bercinta.”
Seakan dipukul dengan palu godam, Aleena terhuyung ke belakang. Kata-kata Liam lebih tajam dari belati yang menyayat kulitnya, lebih kejam dari badai yang menghancurkan segalanya tanpa ampun.
Matanya yang bening kini penuh dengan kesedihan, namun juga kemarahan yang siap meledak.
“Kau gila, Liam! Kau … benar-benar membuatku emosi!” Napasnya memburu, dadanya naik turun, menahan letupan perasaan yang tak terkendali.
“Kau sudah berjanji akan bertanggung jawab, Liam. Apa kau akan mengingkari janjimu begitu saja? Dan aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain selain denganmu!” ucapnya dengan tegas, mencoba mempertahankan harga dirinya yang mulai diinjak-injak.
Namun, Liam malah terkekeh kecil, seolah ucapan Aleena hanyalah sesuatu yang menggelikan.
“Cukup, Aleena! Keputusanku sudah bulat. Lagi pula, itu semua salahmu karena tidak bisa menjaga hal ini terjadi. Jika ingin digugurkan, gugurkan saja. Aku tidak peduli!”
Sebuah tamparan keras melayang di pipi pria itu, membuat kepala Liam sedikit menoleh. Namun, bukan rasa sakit yang terlihat di matanya, melainkan kemarahan yang mendidih.
“Kau tega ingin membunuh calon anakmu sendiri, Liam?” suara Aleena nyaris hanya berupa bisikan. Ada ketakutan, ada luka, ada keputusasaan.
“Calon anakku?” Liam mendengus sinis.
“Sudah kubilang padamu, aku tidak yakin bahwa dia adalah anakku, Aleena. Kau pikir aku tidak tahu bagaimana pergaulanmu di luar sana? Bahkan diajak tidur denganku pun kau mau-mau saja.”
Aleena mengerjapkan matanya, berusaha mencerna tuduhan itu. Rasa sakit di dadanya berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.
Tangannya kembali mengepal, bukan untuk menyerang, tetapi untuk menahan gemuruh emosi yang hampir meledakkan dirinya.
Ia ingin berteriak, ingin menumpahkan segala kepedihan yang telah ditanamkan pria itu dalam hatinya. Namun, ia tahu, tidak ada gunanya lagi.
Air matanya yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, tetapi bukan karena kelemahan. Itu adalah air mata dari seorang wanita yang terluka, namun tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan.
Aleena menatap Liam untuk terakhir kalinya, kemudian berbalik, melangkah keluar dengan kepala tegak.
"Tega sekali kau berkata seperti itu padaku, Liam. Kau menuduhku dengan keji, padahal kau sendiri yang sudah berjanji akan menikahiku begitu tahu aku sedang hamil." Suaranya bergetar, matanya memerah menahan air mata yang hampir jatuh.
Ia masih ingat betul, satu minggu yang lalu, saat ia dengan penuh keberanian memberi tahu Liam tentang kehamilannya.
Waktu itu, meski wajah pria itu sempat menunjukkan keterkejutan, tapi Liam berjanji akan bertanggung jawab.
Ia berjanji akan menikahinya, akan menjadi ayah bagi anak mereka. Namun kini, ketika ia datang menagih janji itu, Liam justru berbalik dan mengingkari segalanya.
Tidak hanya itu, pria itu bahkan dengan keji menuduhnya. Mengira bahwa janin yang dikandungnya bukan darah dagingnya sendiri? Ini benar-benar gila! Bagaimana bisa Liam sekejam ini padanya?
"Sekarang pergilah. Keputusanku tidak akan bisa diubah meski kau berlutut di kakiku. Aku juga belum siap menjadi ayah. Kalau kau ingin menggugurkannya, gugurkan saja. Aku sudah memberimu pilihan."
Aleena mengepalkan tangannya erat. Ia menatap wajah Liam dengan tajam, mencoba mencari sedikit saja penyesalan di sana.
Namun tidak ada. Tidak ada sama sekali. Liam tetap menatapnya dengan ekspresi tanpa dosa, seakan-akan dirinya bukanlah orang yang telah menghancurkan hati seorang wanita yang tulus mencintainya.
Dengan suara bergetar penuh kepastian, Aleena berkata, "Aku tidak akan pernah membunuh darah dagingku sendiri, Liam."
Liam hanya menghela napas pelan, tampak sedikit kesal dengan keteguhan hati Aleena. "Baiklah. Jika itu maumu. Jadi, sekarang pergilah. Aku sedang sibuk, Aleena."
Sibuk? Aleena hampir tertawa pahit. Bahkan untuk berbicara soal anak mereka pun, pria itu merasa ini hanyalah gangguan? Seberapa rendah dirinya di mata Liam sekarang?
Namun, sebelum Aleena bisa mengucapkan sepatah kata lagi, ketukan di pintu menghentikan segalanya.
Tak lama, seorang wanita cantik melangkah masuk. Tubuhnya semampai, dengan gaun ketat yang membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna.
Wajahnya begitu menawan, dan suaranya terdengar manja saat ia menyapa Liam dengan nada yang begitu akrab.
"Liam, aku sudah menunggumu. Apa kau sudah selesai?"
Aleena mengerutkan kening, matanya membesar saat menyaksikan interaksi mereka. Wanita itu berjalan mendekat, tanpa ragu melingkarkan tangannya di lengan Liam.
Sebuah tindakan yang membuat Aleena merasakan pukulan hebat di dadanya.
"Siapa dia, Liam?" tanyanya dengan suara tercekat, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.
Liam menatapnya sekilas sebelum kemudian menghela napas seakan tidak mau berlama-lama dalam situasi ini.
Sebelum pria itu sempat menjawab, wanita itu lebih dulu membuka suara dengan nada yang begitu santai.
"Aku Laluna. Kekasih Liam. Kau siapa? Tamunya Liam?"
Dunia Aleena seketika runtuh. Pandangannya mengabur, dadanya terasa sesak. Kata-kata wanita itu terus terngiang di kepalanya. Kekasih Liam? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Ke—kekasih?" bibir Aleena bergetar saat mengulang kata itu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Jadi, ini alasanmu batal menikahiku, Liam?" tanya Aleena dengan suara bergetar, matanya yang sendu menatap tajam ke arah pria yang pernah ia percayai sepenuh hati.Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain itu. Rasa kecewa, marah, dan sakit hati bercampur aduk dalam dadanya.Liam tidak segera menjawab. Justru seorang wanita yang duduk di sebelahnya lebih dulu bersuara. "Apa? Menikah? Apa yang kau katakan? Memangnya kau siapa? Kenapa meminta kekasihku menikahimu?"Rentetan pertanyaan itu meluncur tajam dari bibir Laluna, wanita yang kini tengah menggandeng tangan Liam dengan posesif.Aleena menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ingin rasanya ia memberitahu wanita itu bahwa ia sedang mengandung anak dari pria yang kini duduk di hadapannya.Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Liam sudah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu menghampirinya dengan ekspresi datar dan tatapan yang begitu dingin."Ya, ini alasanku tidak bisa menikahimu. Jadi, sekarang pergil
Tujuh tahun kemudian ….Angin sore berhembus lembut, mengibarkan beberapa helai rambut Aleena yang tergerai di bahunya. Matanya berbinar penuh kehangatan saat melihat kedua buah hatinya berlari kecil mendekat dengan seragam sekolah mereka yang masih rapi. Meski lelah mengurus restoran yang telah ia bangun selama lima tahun terakhir, semua itu terbayar lunas saat mendengar celoteh ceria Aiden dan Evelyn."Bagaimana dengan hari-hari pertama sekolahnya?" tanya Aleena, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Ia berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan dua bocah yang kini berdiri di hadapannya."Seru! Teman-temanku sangat tampan semuanya, Mommy!" seru Aiden dengan mata berbinar dan ekspresi penuh semangat. Bocah kecil itu bahkan menepukkan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang berbicara tentang hal paling menarik di dunia.Aleena langsung menyentil kening anak sulungnya dengan gemas. "Dasar centil! Apakah hanya itu yang kau ingat, hm?" tanyanya dengan nada geli.Seme
Pertanyaan yang diucapkan dengan sedih itu menusuk ke relung hati Liam, membuatnya ikut merasakan kesedihan yang entah bagaimana caranya menjalar ke dalam dirinya. Suara lirih itu seolah membawa luka yang terpendam, membuat hatinya terhimpit oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.Liam menghela napas pelan, mencoba memahami percakapan dua bocah yang hanya bisa ia lihat puncak kepalanya dari balik meja. Dari obrolan mereka, satu hal yang bisa ia simpulkan—sang ibu telah menyembunyikan sesuatu. Sebuah kebenaran yang barangkali terlalu menyakitkan untuk diungkapkan, terutama tentang sosok ayah mereka.Saat bersamaan, tatapan Liam tertarik pada selembar foto yang jatuh di lantai, tepat di samping mejanya. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya dengan niat baik untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Namun, ketika tanpa sengaja ia membalik foto itu, dunianya seakan berhenti berputar.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat.Di sana, dalam lembaran foto berukuran 4R itu, ada dua wajah yang begit
Aleena awalnya tak memperhatikan siapa yang sejak tadi tengah berjongkok di antara Aiden dan Eve. Fokusnya masih tertuju pada mereka, hingga tanpa sadar pandangannya akhirnya beralih ke sosok yang sudah bertahun-tahun berusaha ia hindari. Seketika tenggorokannya tercekat, dan tubuhnya langsung panas dingin.Liam.Lelaki itu seperti tak menua walau tujuh tahun telah berlalu. Wajahnya tetap sama, hanya sedikit lebih matang dengan garis-garis halus yang hampir tak terlihat. Sorot matanya tajam, penuh kehati-hatian, seolah sedang menelanjangi pikirannya. Aleena menelan ludah dengan susah payah.Tatapan Aleena tak sengaja turun ke lengannya. Sepertinya Liam kembali menambah tato lagi. Sebuah desain baru menghiasi lengan kanan atasnya, samar terlihat dari lengan kemeja yang digulungnya. Tubuhnya pun masih setegap yang dulu, bahkan massa ototnya tampak bertambah pesat. Aleena bisa melihat perbedaan mencolok dalam penampilan Liam kali ini."Hai." Suaranya lirih, lebih seperti gumaman yang
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi setelah sekian lama menghilang dan melahirkan darah dagingku, Elena. Mereka anak-anakku, dan mereka berhak tahu siapa ayah mereka!" ucap Liam dengan suara tegas, penuh penekanan.Mata Aleena langsung membulat, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang mendesak ingin meledak. Bisa-bisanya pria itu datang begitu saja, mengklaim hak atas anak-anak yang bahkan tidak pernah diakuinya sejak dalam kandungan. Pria itu seolah lupa dengan segala kepedihan yang telah ia sebabkan."Kau… menginginkan mereka?" suara Aleena bergetar, setengah tak percaya. "Bukankah kau sendiri yang telah mengusirku? Kau bahkan berselingkuh dengan banyak wanita! Aku mencari tahu semuanya, Liam. Dan rupanya bukan hanya Laluna saja yang dekat denganmu, tapi banyak!"Aleena menghela napas panjang setelah mengucapkan kata-kata itu. Dadanya terasa sesak, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat betapa ia pernah berharap pria itu berubah, namun semua hanya harapan kosong. Beberapa bula
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi setelah sekian lama menghilang dan melahirkan darah dagingku, Elena. Mereka anak-anakku, dan mereka berhak tahu siapa ayah mereka!" ucap Liam dengan suara tegas, penuh penekanan.Mata Aleena langsung membulat, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang mendesak ingin meledak. Bisa-bisanya pria itu datang begitu saja, mengklaim hak atas anak-anak yang bahkan tidak pernah diakuinya sejak dalam kandungan. Pria itu seolah lupa dengan segala kepedihan yang telah ia sebabkan."Kau… menginginkan mereka?" suara Aleena bergetar, setengah tak percaya. "Bukankah kau sendiri yang telah mengusirku? Kau bahkan berselingkuh dengan banyak wanita! Aku mencari tahu semuanya, Liam. Dan rupanya bukan hanya Laluna saja yang dekat denganmu, tapi banyak!"Aleena menghela napas panjang setelah mengucapkan kata-kata itu. Dadanya terasa sesak, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat betapa ia pernah berharap pria itu berubah, namun semua hanya harapan kosong. Beberapa bula
Aleena awalnya tak memperhatikan siapa yang sejak tadi tengah berjongkok di antara Aiden dan Eve. Fokusnya masih tertuju pada mereka, hingga tanpa sadar pandangannya akhirnya beralih ke sosok yang sudah bertahun-tahun berusaha ia hindari. Seketika tenggorokannya tercekat, dan tubuhnya langsung panas dingin.Liam.Lelaki itu seperti tak menua walau tujuh tahun telah berlalu. Wajahnya tetap sama, hanya sedikit lebih matang dengan garis-garis halus yang hampir tak terlihat. Sorot matanya tajam, penuh kehati-hatian, seolah sedang menelanjangi pikirannya. Aleena menelan ludah dengan susah payah.Tatapan Aleena tak sengaja turun ke lengannya. Sepertinya Liam kembali menambah tato lagi. Sebuah desain baru menghiasi lengan kanan atasnya, samar terlihat dari lengan kemeja yang digulungnya. Tubuhnya pun masih setegap yang dulu, bahkan massa ototnya tampak bertambah pesat. Aleena bisa melihat perbedaan mencolok dalam penampilan Liam kali ini."Hai." Suaranya lirih, lebih seperti gumaman yang
Pertanyaan yang diucapkan dengan sedih itu menusuk ke relung hati Liam, membuatnya ikut merasakan kesedihan yang entah bagaimana caranya menjalar ke dalam dirinya. Suara lirih itu seolah membawa luka yang terpendam, membuat hatinya terhimpit oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.Liam menghela napas pelan, mencoba memahami percakapan dua bocah yang hanya bisa ia lihat puncak kepalanya dari balik meja. Dari obrolan mereka, satu hal yang bisa ia simpulkan—sang ibu telah menyembunyikan sesuatu. Sebuah kebenaran yang barangkali terlalu menyakitkan untuk diungkapkan, terutama tentang sosok ayah mereka.Saat bersamaan, tatapan Liam tertarik pada selembar foto yang jatuh di lantai, tepat di samping mejanya. Ia mengulurkan tangan, mengambilnya dengan niat baik untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Namun, ketika tanpa sengaja ia membalik foto itu, dunianya seakan berhenti berputar.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat.Di sana, dalam lembaran foto berukuran 4R itu, ada dua wajah yang begit
Tujuh tahun kemudian ….Angin sore berhembus lembut, mengibarkan beberapa helai rambut Aleena yang tergerai di bahunya. Matanya berbinar penuh kehangatan saat melihat kedua buah hatinya berlari kecil mendekat dengan seragam sekolah mereka yang masih rapi. Meski lelah mengurus restoran yang telah ia bangun selama lima tahun terakhir, semua itu terbayar lunas saat mendengar celoteh ceria Aiden dan Evelyn."Bagaimana dengan hari-hari pertama sekolahnya?" tanya Aleena, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Ia berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan dua bocah yang kini berdiri di hadapannya."Seru! Teman-temanku sangat tampan semuanya, Mommy!" seru Aiden dengan mata berbinar dan ekspresi penuh semangat. Bocah kecil itu bahkan menepukkan kedua tangannya seperti seseorang yang sedang berbicara tentang hal paling menarik di dunia.Aleena langsung menyentil kening anak sulungnya dengan gemas. "Dasar centil! Apakah hanya itu yang kau ingat, hm?" tanyanya dengan nada geli.Seme
“Jadi, ini alasanmu batal menikahiku, Liam?" tanya Aleena dengan suara bergetar, matanya yang sendu menatap tajam ke arah pria yang pernah ia percayai sepenuh hati.Ia tak tahu lagi harus berkata apa selain itu. Rasa kecewa, marah, dan sakit hati bercampur aduk dalam dadanya.Liam tidak segera menjawab. Justru seorang wanita yang duduk di sebelahnya lebih dulu bersuara. "Apa? Menikah? Apa yang kau katakan? Memangnya kau siapa? Kenapa meminta kekasihku menikahimu?"Rentetan pertanyaan itu meluncur tajam dari bibir Laluna, wanita yang kini tengah menggandeng tangan Liam dengan posesif.Aleena menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ingin rasanya ia memberitahu wanita itu bahwa ia sedang mengandung anak dari pria yang kini duduk di hadapannya.Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Liam sudah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu menghampirinya dengan ekspresi datar dan tatapan yang begitu dingin."Ya, ini alasanku tidak bisa menikahimu. Jadi, sekarang pergil
"Aku tidak bisa menikahimu. Jadi, jangan memintaku untuk bertanggung jawab atas kehamilanmu, Aleena."Bagai petir di siang bolong, kata-kata itu menghantam Aleena tanpa ampun.Dunianya yang semula berputar dalam keyakinan bahwa pria yang dicintainya akan bertanggung jawab, seketika runtuh menjadi kepingan yang berserakan.Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan itu tak lagi cukup untuk membuatnya bertahan.Suara Liam terdengar dingin, tanpa emosi. Seakan-akan hubungan yang mereka jalani selama ini tidak berarti apa-apa.Seakan-akan semua janji yang pernah terucap hanyalah angin lalu yang tak pernah memiliki bobot.Aleena menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca, hatinya berteriak, menolak untuk percaya bahwa ini nyata."A—apa yang membuatmu berubah pikiran, Liam? Kau bilang kau akan menikahiku setelah tahu keberadaan bayi di perutku,” suaranya lirih, bergetar menahan luka yang mulai mengoyak.Liam hanya menatapnya datar, seolah tak tergoyahkan sedi